Categories
Kolom

MERAWAT INGATAN : DARI KABUYUTAN KE TBM

“The struggle of man against power is the struggle of memory against of forgetting”

Milan Kundera, 1996:4.

MERAWAT INGATAN DAN KABUYUTAN.

Kekuatan apa yang sedang mengancam kita? Ancaman dunia dewasa ini adalah eksploitasi kesadaran kemanusiaan manusia secara masif. Disana ada yang disebut post truth dan framing-nya, ada moral hazard pendidikan kita, ada tirani kapitalis yang mengendarai globalisasi, dan lain-lainnya, dan sebagainya.  Sebuah kekuatan yang dimaksud secara khusus oleh Milan Kundera sebagai kekuatan yang korup dan menindas.

Dalam bukunya,  John Farndon (2011:364) menempatkan menulis sebagai gagasan kedua terbesar yang mengubah dunia.  Tulisan menjadi penanda kita meninggalkan era prasejarah menuju zaman sejarah. Berbeda dengan lisan, tulisan memungkinkan informasi dapat diterima oleh siapapun yang membacanya, tanpa harus bertatap muka. Selain itu, tulisan dapat menyimpan informasi lebih lama dan menjaganya persis seperti saat pertama kali disampaikan. Tulisan merawat ingatan.

Dalam Bab “Buku dari Kabuyutan” di buku “Googling Gutenberg” karya Atep Kurnia (2019), menyebutkan keberadaan Kabuyutan sebagai tempat penulisan, penyalinan, penyimpanan naskah. Atep memberi padanan Kabuyutan dengan Skriptorium (jamak: skriptoria; wikipedia) adalah tempat penyalinan naskah-naskah manuskrip. Pada awalnya merupakan nama ruangan di dalam biara untuk menyalin manuskrip oleh penulis monastik. Monastik (akar katanya monos = sendiri; wikipedia) sendiri merupakan praktik keagamaan berupa tindakan menafikan segala hasrat keduniawian dengan maksud membangkitkan hidup semata-mata bagi kegiatan kerohanian.

Kembali ke Kabuyutan, masih menurut Atep, bahwa keberadaan Kabuyutan sebagai media interaksi antara budaya Sunda dengan budaya luar, sehingga terbentuk suatu pengalaman baru. Kabuyutan memegang peranan penting dalam mentransformasikan tradisi lisan menjadi tradisi literasi. Transisi tersebut terlihat dari cara pembacaan yang masih dengan cara suara lantang (reading aloud), belum sampai ke cara membaca sunyi (silent reading).

Namun, tradisi literasi pada saat itu masih terbatas pada kalangan tertentu saja, masih bersifat elitis. Selain itu, pergeseran fungsi kabuyutan dengan menempatkan naskahnya sebagai artefak dan untuk membukanya diperlukan ritual khusus. Pergeseran fungsi ini, selain terjadi di Kabuyutan Ciburuy, ditemukan pula di Dusun Prawira, Kabupaten Lombok Utara.

Menyambut baik gagasan untuk merevitalisasi fungsi Kabuyutan, yakni dengan menumbuhkembangkan kembali literasi baca-tulis. Tentu saja kali ini harus menghilangkan sifat elitisnya, yakni bisa di akses oleh masyarakat, maka Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sejatinya dapat mengemban fungsi ini.

LITERASI BACA-TULIS DAN TBM.

TBM dalam perannya mengembangkan budaya baca masyarakat, mengemban tanggung jawab untuk menciptakan masyarakat gemar belajar yang berdampak pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sejalan dengan apa yang di kampanyekan oleh Kementrian pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam Gerakan Literasi Nasional (GLN), yakni mencakup 6 literasi dasar, terutama literasi baca-tulis.

Dalam buku elektronik Materi Pendukung Literasi Baca Tulis yang diterbitkan Kemdikbud, literasi baca-tulis didefinisikan sebagai engetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial.  Dalam akivitas literasi baca-tulis terjadi yang dinamakan knowledge sharing / knowledge transfer. Aktivitas ini mensyaratkan perlakuan ilmiah terhadap ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan (what to be), lebih jauhnya dapat menggerakan atau mentransformasikan seseorang (baca : individu) dan atau organisasi menjadi lebih efektif, efisien, fleksibel dan adaptif (how to be) terhadap perubahan yang serba cepat.

Pemahaman ini menjadi penting bagi pengelola TBM dengan layanan pustaka sebagai layanan utamanya. Baik itu hanya berupa : layanan ruang baca, sirkulasi bahan pustaka, atau bahkan layanan kelompok pembaca. Mengetahui jenjang membaca pemustaka diperlukan supaya pengelola TBM dapat membantu pemustaka memilih bacaan yang tepat. Ada 2 cara pokok dalam mengidentifikasi jenjang membaca, yaitu : respons lisan dengan menceritakan kembali dan respons tertulis. Respons tertulis, secara umum membahas : alur (awal-tengah-akhir) dan narasi cerita, menjelaskan latar, membuat karakter yang kuat, membuat akhir yang berkesan, bermain dengan sudut pandang. Respons terhadap bacaan oleh pembaca merupakan langkah awal menuju ke menulis. Sehingga literasi baca-tulis merupakan satu kesatuan proses. Respons ini sebagai reproduksi pengetahuan secara sederhana, berdasarkan pengalaman membaca.

Khusus sebagai bekal di era post-truth dan menghadapi hantu framing, membaca kritis dapat memberikan keterampilan yang kita butuhkan (Dewayani, 2017), yaitu : menjadi pengguna yang bijak (mengakses konten yang aman dan bermanfaat), menjadi pengguna kreatif (berbasis pada karya dan memiliki kepedulian sosial), menjadi pengguna kritis (selalu memastikan sumber yang kredibel), menjadi pengguna produktif (tidak hanya sebagai pengakses informasi tetapi juga penghasil informasi).

Literasi baca-tulis yang dilakukan memenuhi prinsip: holistik (utuh dan menyeluruh), terintergrasi (terpadu), berkelanjutan (sustain), kontekstual, serta responsif terhadap kearifan lokal akan menumbuhkan empati kita. Empati sebagai inti dari kemanusiaan adalah senjata untuk melawan keserakahan. Empati akan membawa kita kepada keadilan sosial. Keserakahan akan menjerumuskan kekuatan menjadi korup dan menindas.

Aris Munandar – Founder Matahari Pagi

Tulisan ini dimuat juga di laman www.mataharipagi.online dan www.pamatriliterasi.com

Categories
Kolom

Sebuah Ulasan Sederhana Puisi “Roh Kekasih” karya Jonson Effendi

Sekilas membaca puisi karya Jonson Effendi (selanjutnya disebut Abi) membuat geli dan senyum sendiri. Ini tentang aku yang sedang galau karena ingin ibadah tapi yang di sebelah kurang memberikan dukungan hehehe.

Roh Kekasih

Wahai kepinding

Dengarlah desah napas ini

Ke mana lagi kan kukirimkan candu berahi

Setiap malam tidur mendengkur

Bantal guling menjadi saksi

                  

Wahai angin

Tolong kabarkan padanya

Aku merindu belaian sayang

Penghangat tubuh di tungku perapian

Wahai kecoa

Jika dia tidur tolong bangunkan

Bawalah duduk terus berjalan

Di sini aku menggantang roh kekasih

Datang

Datanglah

Aku menanti di peraduan asmara

Di kala cinta bersemi.

Jonson Effendi

Palembang, 19/03/2019

Namun dalam memaknai sebuah puisi, sebaiknya memperhatikan struktur bathin puisinya yaitu tema, rasa (perasaan penyair termasuk di dalamnya latar belakang penyair), nada atau sikap penyair terhadap pembacanya (tone) dan amanat (intention) (Wibowo, 2016).

Artinya, faktor siapa sang penulis tidak bisa dilewatkan begitu saja untuk mendapatkan penafsiran yang baik. Terlebih, saya tergelitik untuk menelisik puisi ini lebih dalam lagi sebab ada beberapa baris pada bait yang menandakan bawa ini puisi prismatic yakni puisi yang multiinterpretable atau mulititafsir.

Satu diantaranya adalah larik … Jika dia tidur tolong bangunkan.

 

Bila ini tentang suami/ istri bagaimana mungkin sang aku tidak tahu pasangannya sudah tidur atau belum, apakah mereka long distance relationship (LDR)?  Jika ya, apa makna duduk terus berjalan? Lalu mengapa aku menggantang roh kekasih? Siapa yang dimaksud kekasih, sementara aku sudah memiliki pasangan. Kemudian penutup puisi dengan larik Di kala cinta bersemi  menyiratkan ada kalanya cinta tidak bersemi dalam arti, cinta sang aku tidak konsisten. Saya mulai menemukan sedikit kejangggalan, ada yang tidak cocok jika puisi ini sekedar tentang rindu untuk ‘beribadah’  dengan pasangan.

Kemudian,  saya membaca ulang puisi Abi dan melihatnya dari salah satu struktur batin puisi yakni rasa. Dari latar belakang pengarang, saya berpendapat puisi ini merupakan puisi sufi. Ini dapat dilihat dari makna larik-larik di tiap baitnya.

Pada bait pertama sang aku tengah resah, tak berdaya (dengan menggunakan kata kepinding). Ia menghabiskan waktunya untuk tidur dimana seharusnya ia bisa bangun untuk menemui tuhannya. Pada bait kedua, aku menginginkan pasangannya memberi dukungan agar dia bersemangat dalam ibadah khususnya shalat malam. Di bait ketiga, dalam ketakberdayaannya, sang aku berkeinginan agar pasangannya mau bersama-sama menemui Dia, sang penggenggam semesta dalam kecintaan dan kenikmatan qiyamul lail.

Menariknya puisi ini dipungkas dengan larik Di kala cinta bersemi. Ini menandakan bahwa seperti kebanyakan orang dalam beribadah terlebih mendirikan shalat malam, sering mengalami fluktuasi. Karenanya, selalu dibutuhkan bantuan, dukungan juga doa dari orang-orang terdekat baik pasangan, keluarga, karib kerabat, juga para sahabat.

Tentu saja, ini adalah penafsiran saya sebagai pembaca puisi Abi. Setiap orang bebas memberikan penafsiran atau interprestasi terhadap sebuah puisi  mengingat puisi merupakan bagian karya sastra yang bertujuan menghibur dan memberi pelajaran (Horatius dalam Teeew dalam Zenul , 2018)

Nirma Herlina Ghanie

Sumber bacaan

https://m-edukasi.kemdikbud.go.id

https://kompasiana.com

Tulisan ini dimuat juga di www.mataharipagi.online

Categories
Kolom

Dr Hermawan: Menulis Cerpen Jangan Teoritis

Menulis cerpen jangan menggunakan konsep teori agar bisa mengembangkan imajinasi dan tidak terbunuh ide dan gagasan sehingga akan melahirkan tulisan yang tidak kaku. Hal itu dikatakan Dr. Hermawan, M.Hum dalam acara Bincang literasi mengangkat tema penulisan cerpen di  Pasirpengaraian, Ahad (24/3/2019).

“Hasil survey beberapa sekolah kebanyakan guru fokus pada teori yang ada pada buku pelajaran sehingga konsep menulis cerpen menjadi tak berkembang dan imajinasi kaku. Hal ini menyebabkan anak menjadi malas dan bosan dalam menulis,” jelas Hermawan.

Menulis seperti Putu Wijaya dengan menggunakan objek yang dilihatnya dan dimana pun ia menulis dengan tidak pernah memikirkan bentuk tulisan, sebab bila terpaku dalam teori dan bentuk tulisan tidak akan berkembang bahkan mati ide.

Di sela perbincangan Hermawan juga mengungkapkan bahwa menulis merupakan proses dari membaca alam yang berpedoman “Alam Takambang jadi Guru” maknanya sangat luas bahwa kita belajar pada alam yang menyajikan berbagai fenomena. Alam terbentang luas senantiasa mengabarkan sebuah kearifan’.

Sejatinya pepatah atau ungkapan filosofi ini mengandung makna, pertama menunjukan sikap seseorang terhadap tanggung jawab yang seharusnya ia laksanakan dalam rangka pengembangan potensi diri. Kedua ungkapan ini bermakna menunjukan kepada kita apa sesungguhnya sumber dari pengetahuan, teknologi dan keterampilan sehingga sumber daya manusia bisa berkembang dan cerdas wawasan. Inilah yang diterapkan banyak penulis dan sastrawan seperti A.A. Navis. Sutardji Calzoum Bahr, Iwan Simatupang, hamka, dan lain sebagainya. Apapun bentuknya membaca hal yang terpenting  sehingga imajinasi berkembang dan tulisan kita semakin baik.

Kegiatan perdana yang diagendakan oleh pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan akan menjadi kegiatan rutin setiap bulannya untuk menggairahkan semangat dan motivasi dalam gerakan literasi di Rokan Hulu. Diskusi seperti ini sangat diperlukan memancing ide dan gagasan yang akan dituang dalam pola rasa, pola pikir dan pola kata bagian literasi. Pertanyaan dari peserta pun tak kalah seru dan antusias.

Mengupas kegalauan dan kendala kepenulisan yang sering mentok di tengah perjalanan menuangkan ide dan gagasan dalam kepenulisan cerpen.

“Saat ide sudah ada dan memulai menulis pada tengah perjalanan sering kehilangan ide sehingga tulisan tidak terselesaikan,” ungkap Wahyu Sabrinaldi mahasiswa STKIP Rokania.

Menulis dengan memikirkan teori inilah yang menyebabkan kebebasan penulis dibunuh. Bahkan sering tak menyelesaikan tulisan dari kungkungan teori. Akhir dari bincang literasi ditutup dengan menarik simpulan oleh Nirma Herlina, C.Ht, M.Pd. sebagai moderator “Kemana dan dalam bentuk apa kelak sebuah ide itu menjadi, biarkan pembaca yang menilainya. Di atas semua itu, banyaklah membaca untuk bisa mengupgrade karya. Lalu berlapang dada menerima kritikan dari pembaca dan ahlinya,” pungkasnya. (SY)

Catatan: artikel ini dimuat juga di www.mataharipagi.online

Categories
Opini

Tumbuh dan Berkembang Bersama Anak.

Kemandirian adalah faktor penting dalam membentuk rasa percaya diri. Kemandirian adalah suatu kondisi yang terdiri dari gabungan kecerdasan dan tata nilai. Pada akhirnya, kemandirian menentukan daya saing seseorang. Kualitas inilah merupakan impian setiap orangtua untuk dimiliki anak-anaknya.

Kualitas yang dimaksud bisa kita indentifikasi, sebagai berikut : (1) naluri untuk bertahan ketika menghadapi masa-masa sulit; (2) keyakinan diri untuk mengungkapkan ide-ide baru, inovatif, dan berpotensi besar; (3) kesabaran untuk berhenti, berefleksi, dan membuat keputusan dengan bijaksana saat menghadapi dilema yang tak terduga; (4) kemampuan untuk berpikir lateral dan menemukan solusi yang mengejutkan atas masalah-masalah yang pelik; (5) keinginan untuk menyelesaikan masalah dengan pikiran terbuka dan cerdik; (6) keberanian untuk bertaruh pada saat yang tepat dan kekuatan untuk bangkit kembali serta mencoba lagi ketika menghadapi kegagalan (Simister, 2009).

Tak dapat disangkal lagi jika suatu kualitas dilahirkan dari seuatu yang berkualitas juga. Dimaksud disini adalah sebuah keluarga sebagai lingkungan terdekatnya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi, komunikasi yang dibangun, dan pola asuh dalam keluarga akan sangat berpengaruh akan menjadi seperti apa seorang anak nantinya.

Orangtua dapat mengoptimalkan fungsinya dalam mengasuh anaknya dengan menjadi contoh bagi anak-anaknya, mendorong mereka untuk senantiasa berproses dengan memberikan apresiasi terhadap setiap progress yang dicapainya, dan tetap fokus pada pola asuh dengan memulai sejak awal serta dari hal kecil (Simister, 2009).

Memberikan contoh kepada anak, dapat dilakukan dengan membiasakan tidak berbohong ketika membujuk anak. John Ruskin mengatakan bahwa membuat anak-anak berkata jujur adalah permulaan pendidikan. Untuk itu, dalam berkomunikasi, kita sebagai orangtua harus menunjukan gestur, bahasa tubuh, raut muka, pilihan kata dan intonasi yang mudah dipahami oleh mereka. Sehingga komunikasi yang dilakukan harus dapat membangun citra diri yang positif. Komunikasi yang positif dapat mengembangkan kepercayaan diri anak. Anak yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan lebih mampu menghargai dan berempati terhadap orang lain (Dewayani, 2016).

Menanamkan kepercayaan diri menjadi bagian penting dalam proses tumbuh kembang anak. Kepercayaan diri anak sangat ditentukan oleh persepsi mereka mengenai bagaimana orang lain memandang diri mereka. Untuk itu, dengan memberikan kepercayaan bahwa mereka kreatif, kritis, terampil dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan, akan mengasah mereka (Simister, 2009). Memberikan apresiasi terhadap keberanian mereka untuk mencoba dan mengimplementasikan kepercayaan kita, sangatlah berarti bagi mereka. Perlihatkan gambaran kepada mereka mengenai progress yang telah mereka lakukan dan bandingkan apabila mereka tidak melakukannya. Hal tersebut dapat menstimulasi anak untuk memotivasi dirinya agar terus berkreasi (self-creative motivated).

Pola asuh yang demikian dapat membentuk konsep diri bermuatan positif, sehingga anak tersebut merasa dicintai oleh orang-orang terhebat dalam hidupnya, merasa memiliki kemampuan untuk berhasil dan pada akhirnya mampu mengendalikan hidupnya sendiri, menjadi anak mandiri (Cline & Fay, 2009).

Bagaimanapun kemandirian adalah bekal dari orangtua kepada anak-anaknya dalam menyongsong masa depan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orangtua kepada anak-anaknya agar dapat mengembangkan inisiatif dan memilki pemikiran berorientasi masa depan. Kita harus dapat membuka mata anak-anak kita untuk melihat berbagai pilihan, mengajari mereka untuk menyusun tujuan-tujuan yang jelas, mendorong agar mereka mengenali dirinya sendiri, memberikan banyak kesempatan untuk mengambil tanggung jawab dan menunjukan inisiatif, serta apapun hasilnya harus tetap menunjukan bahwa kita memercayai mereka sepenuhnya (Simister, 2009).

Mengingat luasnya kesempatan yang ada didunia ini, maka sangat mengejutkan penemuan dari Higher Education Statistic Agency (HESA) yang menunjukan bahwa betapa kurangnya informasi mengenai pilihan pendidikan yang dapat dipilih oleh anak-anak kita. Hal ini berkenaan dengan temuan lainnya dari World Economic Forum 2015 bahwa sistem pendidikan formal bisa menggerus potensi kecerdasan dan kreatiftas anak kita hingga tinggal tersisa 3% saja pada usia 25 tahun. Sehingga disini menunjukan betapa pentingnya peran orangtua dalam melatih anak-anaknya untuk dapat terus berpikir kritis sehingga mereka dapat terus melihat berbagai pilihan dalam hidupnya.

Pada usia 1-3 tahun dapat mulai belajar untu mandiri. Pada rentang usia ini, anak-anak sudah dapat membuat pilihan. Pada saat meninginkan sesuatu, mereka akan berusaha mengendalikan diri guna mencapai keinginannya tersebut. Namun, anak-anak yang tidak bisa mandiri pada rentang waktu ini, akan tumbuh jadi pemalu dan tidak percaya diri (Erikson, 1902). Mengingat sangat pentingnya pembelajaran tentang kemandirian pada kurun usia tersebut. Artinya, orangtua harus memanfaatkan masa batita (bawah tiga tahun) sebaik mungkin dengan, antara lain, melatih mereka untuk membuat keputusan sendiri. Tujuannya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tak lain agar mereka terbiasa berpikir kritis.

Terhadap pilihan-pilihan yang dimilikinya, maka anak-anak ini harus diajari bagaimana menyusun tujuan-tujuan yang jelas, sehingga mereka memiliki gambaran dan berbagai pendekatan terhadap pilihan-pilihannya tersebut menurut tujuan yang telah mereka tetapkan. Saat mereka bertambah besar, secara bertahap, dampingi mereka dalam menyusun tujuan. Ajari mereka skala prioritas, berdasarkan ukuran seberapa penting dan frame waktu pengerjaannya. Dengan dibiasakan memiliki tujuan sejak dini, akan membantu mereka untuk mengenali potensi dirinya sendiri.

Orangtua yang membekali anak-anaknya dengan kemandirian adalah orangtua yang memberi kesempatan mereka untuk mempersiapkan masa depannya yang bahagia, produktif dan bertanggung jawab. Selain itu, dengan pola asuh ini, orangtua juga dapat tetap mersakan tumbuh dan berkembang bersama mereka, orangtua yang menjadi sahabat anak-anaknya.

Aris Munandar. Pegiat di Komunitas Matahari Pagi.

*)   Tulisan ini pertama kali dimuat di www.mataharipagi.tk.

Categories
TALI INTEGRITAS

Kolaborasi Semangat Integritas

Literasi menghadiahi kita kompetensi yang sangat berharga, yaitu : berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Jejaring integritas yang diinisiasi oleh Komunitas Matahari Pagi, Jemari (Jejaring Matahari Pagi), mencoba menawarkan kolaborasi kepada para entitas literasi untuk berkolaborasi dalam aspek semangat antikorupsi (baca: menumbuhkan integritas). Berbeda dengan jejaring yang berbasiskan gerakan, dimana setiap entitas yang tergabung didalamnya dituntut untuk memiliki gerakan yang serupa, disini kita hanya mengharapkan nilai-nilai integritas lebih ditekankan dalam setiap kegiatan yang sudah dijalankan selama ini.

Diantara entitas yang berinteraksi di Jemari, terdapat 5 entitas yang keberadaannya cukup menonjol dan unik. Mereka adalah Pustaka QorAn – Bandung, Komunitas Banzai – Sukabumi, FTBM Lampung Timur, TB Amandraya – Nias Selatan, Pustaka Salimah – Karawang, Vespa Pustaka – Sukabumi. Banyak yang bisa kita gali dari kelima entitas literasi tersebut.

Pustaka QorAn Bandung diinisasi oleh Ibu Yusrianti Y Pontoh, merupakan potret kegiatan literasi yang mengedepankan pendidikan anak dengan mengenalkan kepedulian sosial secara langsung. Dalam kegiatanya, Pustaka QorAn menggandeng sekolah-sekolah dan pelibatan masyarakat sekitar. Sepertihanlnya, donasi sampah dan penyelenggaraan dapur umum untuk warga yang terdampak banjir. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat efektif dalam membangun empati, karakter dan integritas anak. Kesalehan sosial dicontohkan secara nyata.

Sementara itu, di Sukabumi, terdapat Komunitas Bazai. Komunitas tersebut merupaka komunitas tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari bahasa dan budaya Jepang. Dalam konteks ini, terdapat irisan masalah integritas yang cukup relevan untuk menautkan kami. Jepang adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi integritas. Bahkan para pelaku korupsi lebih takut terhadap sanksi sosial daripada sanksi hukum yang akan diterimanya. Mempelajari bagaimana terbentuknya integritas yang kuat pada bangsa Jepang sambil menginternalisasi nilai-nilai integritas merupakan keunikan tersendiri dari kegiatan Komunitas Banzai ini.

Di Lampung Timur, 15 Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang tergabung dalam Forum TBM Lampung Timur menggagas kegiatan Safari Literasi. Yaitu TBM Rubah Jabung, TBM Pematang Ilmu, TBM Benteng Ilmu, TBM Gubuk Woco, TBM Keramat, TBM Mekar Jaya, TBM Bhineka Jaya, TBM Cordova, TBM Wacana, TBM Zulfa, TBM Adinda, TBM Tri Sukses, TBM Cerdas, TBM Cengkir, TBM Raman Aji. Kegiatan yang tema Generasi Literat Berintegritas tersebut digawangi oleh      I Nyoman Gali Darmawan, M.Pd dari TBM Widya Utama. Tujuannya untuk memperkuat persatuan dan kebersamaan  visi, visi dan tujuan antar TBM se-Lampung Timur dalam membentuk generasi-generasi literat berintegritas. Agenda kegiatannya adalah sosialisasi program Tali Integritas, saresehan dan donasi buku. Ini merupakan gerakan yang sangat masif yang diselenggarakan selain oleh Panglima Integritas.

TB Amandraya memiliki cerita tersendiri. Taman baca ini digagas oleh Achmad Masruri, S.Pd, seorang pendidik yang tergabung dalam program Guru Garis Depan (GGD) 2016. Yang menariknya, TB Amandraya ini telah mengenalkan nilai-nilai integritas melalui kerjasamanya dengan Kejaksaan Negeri Nias Selatan. Bukan suatu hal yang kebetulan, karena Kepala Kejaksaan Nias pernah bertugas menjadi Jaksa KPK selama 10 tahun. Sehingga dengan demikian, TB Amandraya mendapatkan bahan pustaka dari KPK. Berbagai variasi kegiatan selalu dilakukan, dari mulai literasi dasar sampai dengan literasi budaya. Tidak lupa juga binaan dari TB Amandraya dibekali keterampilan dan kerajinan tangan.

Yanti Kurniasih ketika mendirikan Pustaka Salimah di Karawang memiliki visi Cerdik bersama Pustaka Salima, yang merupakan kependekan dari Cerdas Energik Religius Dermawan Innovatif dan Kreatif. Visi tersebut diimplementasikan dalam kegiatan yang cukup beragam, mulai dari gelar baca gratis, road to school, road to ponpes, mendongeng, hingga nonton bareng. Selain itu ada beberapa program juga yang diselenggarakan oleh Pustaka Salimah, diantaranya : Pustaka Salimah Berbagi, Donasi Buku dan Peminjaman Buku Nusantara. Dengan semangat untuk selalu belajar dan menebar kebaikan. Pustaka Salimah terus bergerak, termasuk kali ini dalam menebarkan nilai-nilai integritas.

Sekumpulan anak muda yang memiliki hobi terhadap Vespa berinisiatif mendirikan Vespa Pustaka Sukabumi. Selain dari touring, mereka mengadakan lapak buku gratis setiap hari Sabtu dan Minggu di Taman Kota Karangtengah. Meskipun baru fokus pada kegiatan menebarkan virus baca bagi masyarakat sekitar, inisiatif para pemuda ini sangat layak untuk mendapatkan apresiasi.

Melihat profile entitas literasi tersebut diatas, gerakan literasi sudah menunjukan modal yang cukup berharga untuk dapat mengambil peran dalam upaya permberantasan kroupsi. Negeri bebas korupsi merupakan impian kita semua. Karena kondisi negeri kita yang masih belum bisa dikatakan makmur dan sejahtera, ditengah jumlah penduduk, potensi wilayah dan potensi sejarah, hal tersebut salah satunya dikarenakan oleh korupsi.

Peran yang bisa diambil oleh entitas literasi adalah jalur edukasi dan kampanye, terutama menanamkan nilai-nilai integritas. Jalur ini merupakan jalan yang panjang, karena menyangkut perbaikan generasi, namun sangat strategis. Dikatakan strategis, karena keberhasilan kita dalam upaya perbaikan generasi, sangat menentukan keberadaan negeri kita dimasa yang akan datang. Untuk itu, melalui Jemari, mari kita mantapkan peran kita dengan kegiatan literasi seraya berseru : “Saatnya ber-AKSI!”.

Aris Munandar. Pegiat di Komunitas Matahari Pagi.

Catatan : Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di www.mataharipagi.tk

Categories
TALI INTEGRITAS

Kelas Integritas Mengajak Kita Membaca Tantangan

Kita dihadapkan pada satu paradoks. Suatu pertentangan dengan gap yang saling bertolak belakang. Disatu sisi, suka atau tidak, kemampuan membaca kita masih sangat rendah. Meskipun geliat literasi semakin terasa dan menyebar, namun harus diakui belum merata. Disisi lain, era internet of things yang ditunggangi oleh globalisasi seolah hanya menampilkan wajah buruknya saja. Pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup kita, serta pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal bangsa. Tiga besar pengaruh buruk tersebut adalah pornografi, hoaks dan sadisme.

Internet of things adalah era baru, yaitu masa depan yang aka kita jalani nantinya. Rhenald Kasali (2017) mengatakan bahwa telah tercipta dunia baru. Adanya dunia baru tersebut merupakan buah dari kemajuan teknologi informasi. Teknologi informasi memaksa kita menjadi serba real time. Peradaban ini memaksa kita untuk berpikir dan bekerja lebih cepat untuk bisa tetap relevan.

Namun kesalahan memahami tuntutan untuk serba cepat bukan membawa kita menjadi relevan, melainkan akan menjerumuskan kita kedalam ketiadaan. Sepertihalnya banyak sistem pendidikan, menurut Laporan Forum Ekonomi Dunia 2015, banyak yang tidak sejalan lagi dengan kebutuhan kompetensi dimasa depan. Kompetensi yang dibutuhkan oleh seseorang di abad 21 adalah berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Kompetensi yang dikenal dengan 5 C tersebut (critical thinking, creative, communicative, dan collaborative) bisa dihasilkan melalui kegiatan literasi. Pada umumnya, kegiatan literasi dimaknai dengan kegiatan membaca. Meskipun ruang lingkup literasi sangatlah luas, tidak terbatas pada kegiatan membaca saja. Namun kali ini kita fokuskan pembahasan pada sisi kegiatan membaca.

Kegiatan membaca sebenarnya adalah kegiatan interaksi kita dengan teks. Dalam teks tersebut terkandung ilmu pengetahuan. Sehingga, membaca sebenarnya kegiatan menginternalisasi ilmu pengetahuan. Ketika membaca, kita sedang melakukan transformasi. Dalam arti, kita menjaga ilmu pengetahuan yang diserap supaya tetap kontekstual dan relevan.

Kelas Integritas sebagai salah satu implementasi dari program Tali Integritas yang dilakukan oleh Komunitas Matahari Pagi, merupakan aksi literasi dengan pendekatan dalam konteks ini. Sasaran utamanya, kami analogikan terhadap remaja. Kenapa dianalogikan sebagai remaja? Karena remaja adalah fase krusial sebagai masa peralihan dari fase anak-anak ke fase dewasa. Pada fase remaja, seseorang mencari jati diri yang akan menjadi karakter difase dewasa.

Bagi remaja, pencarian jati diri adalah upaya untuk menemukan eksistensinya. Oleh karenanya terdapat keingintahuan yang besar dalam diri mereka. Disisi lain, pada dasarnya sebagai manusia, remaja juga cenderung mencari kenyamanan dalam eksistensinya. Sehingga eksistensi bagi mereka adalah tempat dimana mereka merasa diterima dan diakui keberadaannya.

Kami menemukan fenomena kenyamanan tersebut pada diri kita. Kenakalan-kenalakan yang awalnya kita maknai sebagai bentuk pemberontakan terhadap kemapanan dan keinginan akan situasi serta kondisi yang baru, ternyata salah. Motifnya hanya kenyamanan, merasa cukup dengan hanya dianggap “ada”. Hal tersebut kami tanggapi sebagai peristiwa terjadinya degradasi motivasi untuk bertransformasi, self-creative motivated.

Bertolak dari hal tersebut, kami melakukan uji coba dengan merancang kegiatan di Kelas Integritas berbasiskan teks. Ini dimaksudkan untuk melihat sampai sejauh mana kita dapat melihat dan menangkap situasi dan pengetahuan yang terkandung dalam suatu wacana.

Pada tema Karsa dan Teladan, sudah dipelajari mengenai unsur-unsur pembentuk cerita rekaan, modifikasi, mind map, 5W+1H, menyimak (dengan melakukan identifikasi, interpretasi dan uji relevansi), serta membaca kritis.  Semuanya dapat dianggap sudah mewadahi kompetensi 5C tadi. Miasalnya kita ambil berpikir kritis.

Berpikir kritis merupakan langkah awal menuju kontekstualisasi sebuah teks. Dengan berpikir kritis, kita dapat melihat situasi teks tersebut pada saat ditulis dengan pada saat dibaca. Tentu saja ada kesenjangan/gap diantara keduanya. Begitu juga dengan pengetahuan yang terkandung didalamnya, ada gap antara pemaknaan teks menurut penulis dan pembaca. Dengan berpikir kritis, seharusnya gap tersebut dapat dihilangkan.

Kenapa dengan berpikir kritis dapat menghilangkan gap situasi dan pengetahuan antara penulis dengan pembaca? Karena dengan berpikir kritis kita akan melakukan identifikasi terhadap teks tersebut, sehigga ditemukan signifikasi/relevansi teks tersebut dengan persoalan yang dihadapi oleh kita.

Namun, jika kita lemah dalam pemahaman gramatika dapat menyebabkan kegagalan kita dalam melakukan identifikasi tersebut. Hal itu disebabkan oleh kesulitan kita dalam mengklasifikasikan antara tema yang diusung dengan strukturnya. Tema sebenarnya merupakan pokok pikiran yang ingin dibahas oleh penulis atau pembicara. Sedangkan strukturnya adalah kerangka bagaimana tema tersebut akan disajikan menurut persfektif penyaji tadi.

Meskipun demikian, berpikir kritis hanyalah menyajikan kemungkinan-kemungkinan realitas yang “ada”, yang bisa kita temui. Karenanya transformasi tidak ditentukan oleh pemikiran, melainkan oleh keputusan. Keputusan akan membuat kemungkinan-kemungkinan realitas yang “ada” itu “menjadi” kenyataan. Penggeraknya adalah “care-why?” sebagai kreatifitas memotivasi diri.

Apakah kita dalam Kelas Integritas berhasil menaklukan tantangan yang disajikan dalam teks-teks? Apakah kita telah “menjadi”? ataukah hanya cukup dengan hanya “ada”?.

Jika kita hanya merasa cukup dengan menjadi “ada”, maka sebenarnya “ada” adalah “tiada”. Sedangkan “tiada” adalah tidak pernah “ada”. Apakah kita telah merasa begitu nyaman dalam “ketiadaan”?.

Aris Munandar. Pegiat di Komunitas Matahari Pagi.

Catatan : Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.mataharipagi.tk.