Categories
Artikel Opini

Sekarang Menimbang Buku Digital

Oleh. Atep Kurnia*

Dalam kerangka menghadapi Hari Buku Nasional pada 17 Mei mendatang, terbersit di benak saya untuk mengajak bersama-sama menimbang lagi eksistensi buku digital. Karena tentu saja kita sama-sama mafhum, dari segi jumlahnya buku digital dalam jaringan internet barangkali takkan terbilang. Saking banyaknya.

Mulai dari yang sejak lama melakukannya seperti situs Project Gutenberg, Google Books, Archive.org, serta situs-situs penyedia buku elektronik lainnya yang juga sangat banyak. Dari segi formatnya tersedia beberapa pilihan. Kita sekarang dapat dengan mudah menemukan buku dalam bentuk teks, audio, video, serta gabungan beberapa format.

Di satu sisi, secara pribadi, saya sebagai seorang pembaca, terus-terang sangat dimanjakan dengan begitu banyaknya buku digital. Namun, sekaligus juga disertai perasaan gundah, bingung, kehilangan fokus, bila sudah tersesat di antara sekian banyak buku elektronik yang meruyak di internet, sudah terunduh dan tersimpan dalam hardisk, atau dalam sekian ratus halaman buku yang harus dibaca.

Dengan demikian, kerap kali kita menjadi berpikir dangkal bila sudah berhubungan dengan buku digital. Karena yang kita praktikkan untuk membacanya adalah hanya scrolling atau cepat-cepat menggulung teks ke bawah atau meloncat-loncat buku audio dan video yang berhasil kita unduh.

Oleh karena itu, saya pikir, menimbang-nimbang lagi keberadaan buku digital alias buku elektronik itu sangatlah penting. Lalu, apa yang perlu dipertimbangkan? Kita dapat menjawabnya dengan mengajukan lagi pertanyaan-pertanyaan lain. Misalnya, apa maksud atau tujuan utama dari keberadaan buku digital? Bagaimana seharusnya memandang buku digital? Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap buku digital atau dengan kata lain bagaimana kita memperlakukan buku elektronik itu? Apakah implikasi lebih lanjut dari keberadaan buku digital bagi, katakanlah, dunia pendidikan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita tentu saja harus kembali kepada konsep dasar mengenai buku. Apa konsep dasar buku? Secara arti kamus, buku mengandung arti “lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong”. Namun, pengertian tersebut pasti tidak akan memuat konsep buku digital yang tidak lagi ditulis di atas kertas dan diberi jilid dengan berisi tulisan atau kosong, karena bentuknya sudah berbentuk elektronik, teks, audio, atau video.

Dalam pengertian yang lebih teknis, seperti yang terungkap dalam Wikipedia: “A book is medium for recording information in the form of writing or images, typically composed of many pages (made of papyrus, parchment, vellum, or paper) bound together and protected by a cover” (Buku adalah media untuk merekam informasi dalam bentuk tulisan atau citraan, khasnya tersusun dari banyak halaman [yang terbuat dari papirus, perkamen, kulit binatang, atau kertas] dan diikat bersamaan serta terlindungi oleh sebuah jilid).

Lagi-lagi, pengertian di atas, meskipun sudah teknis, masih terbatas pada media yang sifatnya fisik: dapat diraba, dipegang, dibolak-balik, dicium, dibaui. Padahal buku digital meski misalnya sudah ada yang dapat dibolak-balik seperti flipbook, tetapi pada dasarnya tetap bersifat nonfisik.

Bila kita kembali ke Wikipedia dan mencari lema buku digital atau digital book, maka kita akan bersua dengan lema ebook. Di situ tertulis “An ebook (short for electronic book), also known as an e-book or e-Book, is a book publication made available in digital form, consisting of text, images, or both, readable on the flat-panel display of computers or other electronic devices” (sebuah ebook [kependekan untuk buku elektronik], dikenal juga sebagai e-book atau e-Book, adalah publikasi buku yang disediakan dalam bentuk digital, terdiri atas teks, citraan, atau keduanya, dapat dibaca pada tampilan panel datar komputer atau perkakas elektronik lainnya).

Bila memperhatikan pengertian-pengertian di atas, dapatkah kita menentukan tujuan utama buku digital? Bila kita gabungkan, dari pengertian-pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan utama atau fungsi buku digital sama dengan buku fisik: merekam atau mengawetkan informasi dalam bentuk tulisan atau imaji lainnya, seperti suara dan gambar hidup alias video.

Kesimpulan tersebut mengingatkan saya kepada pendapat Umberto Eco, bahwa, “One of two things will happen: either the book will continue to be the medium for reading, or its replacement will resemble what the book has always been, even before the invention of the printing press. Alterations to the book-as-object have modified neither its function nor its grammar for more than 500 years. The book is like the spoon, scissors, the hammer, the wheel. Once invented, it cannot be improved”.

Artinya, satu dari dua kemungkinan akan terjadi: buku akan terus berlanjut menjadi medium untuk membaca, atau penggantiannya akan menyerupai buku seperti biasanya, bahkan sebelum penemuan mesin cetak. Penggantian buku-sebagai-objek telah dimodifikasi baik bukan fungsi atau tata bahasanya lebih dari 500 tahun. Buku itu mirip sendok, gunting, kapak, roda. Sekali ditemukan, mereka takkan meningkat (lagi fungsinya) (Jean-Claude Carrière and Umberto Eco, This is not the End of the Book, 2011).

Konteks kemunculan pernyaataan ahli semiotika bangsa Italia itu adalah pertanyaan seputar apakah dengan kehadiran internet akan menyebabkan hilangnya buku? Yang tentu dijawab oleh Umberto Eco dengan optimis bahwa justru dengan adanya internet sebenarnya mengembalikan kita kepada alfabet (“The Internet has returned us to the alphabet”). Ini mengandung arti dengan kehadiran internet sebenarnya kita sangat tergantung kepada tulisan, dalam pengertian membaca.

Makna lain yang dipetik dari pendapat Umberto Eco di atas adalah buku digital berfungsi sama seperti buku fisik. Bukankah seperti halnya sendok, buku (apapun bentuknya) sekali ditemukan, maka fungsinya akan selalu tetap sama, baik sebagai media pengawet informasi maupun media untuk membaca.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita seharusnya memperlakukan buku digital? Meskipun fungsinya sama, tetapi karena bentuk medianya berbeda, maka buku digital mengisyaratkan perbedaan perlakuan. Sepanjang yang saya alami dengan kecenderungan pembacaan yang menggunakan teknik scrolling atau meloncat-loncat pada buku digital disertai dengan berbagai gangguan pembacaan, maka seharusnya kita memperlakukan buku-buku digital seperti halnya perlakuan kita terhadap internet, yaitu sebagai buku konsultasi atau rujukan, tempat kita mencari jawab atas pertanyaan yang berkisar di sekitar fakta, data, informasi, pengertian. Dengan kata lain, buku digital semestinya diperlakukan layaknya kamus atau ensiklopedia.

Implikasi lebih jauhnya, buku digital saya kira tidak pas untuk dijadikan sebagai wahana pendalaman materi atau objek kajian. Meskipun saya juga tidak menutup kemungkinan ada, bahkan banyak, yang dapat memusatkan pikirannya sehingga mampu bertemu dengan pemahaman sehabis membaca buku elektronik.

Bagaimana dengan implikasi terhadap dunia pendidikan, termasuk taman bacaan masyarakat di dalamnya? Dengan pertimbangan di atas, saya pikir, buku digital seyogyanya hanya difungsikan sebagai bahan pengayaan saja, bukan merupakan pilihan utama atau satu-satunya media baca. Meski juga bisa  jadi bahan bacaan utama, manakala tidak tersedia buku fisiknya.

Saya pikir, sepanjang masih tersedia, alangkah lebih baiknya kita tetap bersandar pada buku fisik. Lagi pula, keberadaan buku digital berkaitan dengan infrastruktur yang inheren dengannya, seperti perkakas baca (komputer dan gawai), sumber daya listrik, jaringan internet, dan lain-lain. Semua itu tidak tersebar merata di seluruh tanah air, bergantung kemampuan masing-masing daerah, masing-masing keluarga, masing-masing individunya.

Namun, tunggu sebentar, apakah uraian di atas memang benar demikian? Apakah saya sudah berlaku adil untuk semua kalangan? Jangan-jangan, itu hanya klaim saya untuk sebagian kalangan. Taruh saja, misalnya, generasi yang memang masih bertaut dengan buku cetak, karena saya, dan barangkali sebagian di antara kita, merupakan generasi pendatang di dunia digital. Sementara generasi anak saya dan umumnya anak-anak kelahiran tahun 2000 ke atas adalah generasi pribumi digital, karena sejak lahir mereka sudah hidup di dunia itu: komputer pribadi, telepon pintar, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Apakah dengan demikian ada jurang pemisah (gap) saat dua generasi itu memandang buku? Pasti demikian adanya. Saya dan generasi yang lebih tua dari saya, seperti almarhum Umberto Eco, “terpaksa” hidup di dua dunia. Satu kaki masih menjejak di dunia cetak, tetapi satu kaki sudah harus menyesuaikan dengan dunia digital. Tiada lain. Sementara anak saya dan generasi setelahnya sudah hidup di dalam dunia digital dan barangkali mesti menyesuaikan diri lagi apabila mendapati dunia cetak.

Lalu, bagaimana jalan tengahnya, bila dikaitkan dengan buku digital? Dengan berpegang pada pengertian buku digital yang sudah dirumuskan di atas, buku digital harus tetap dianggap sebagai buku. Kemudian agar tersebar merata, termasuk ke tempat-tempat yang mungkin masih terbatas jaringan listrik, komputer, gawai, dan jaringan internetnya, bagaimana?

Inisiatif yang diambil The Asia Foundation melalui situs dan aplikasi “Let’s Read” agaknya dapat dijadikan salah satu jawabannya. Baik situs maupun aplikasinya menyediakan buku-buku digital yang “relatable, high-quality children’s books in local languages” (buku-buku anak-anak yang dapat diaplikasikan dan berkualitas tinggi dalam bahasa-bahasa setempat) sekaligus menjadi “sustainable solution to book scarcity” (solusi sinambung untuk kelangkaan buku). Yang juga sangat penting mereka membolehkan “every book can be downloaded and printed for offline use” (setiap buku dapat diunduh dan dicetak untuk penggunaan di luar jaringan).

Dengan demikian, paling tidak ada beberapa hal yang dapat dipetik dari “Let’s Read”. Pertama, mereka berupaya untuk mendekatkan anak-anak dengan buku melalui penggunaan bahasa ibu mereka, sehingga secara psikologis akan lebih bertaut. Kedua, bentuk bukunya sendiri bisa dalam digital untuk yang mampu mengaksesnya atau bentuk fisiknya setelah bentuk digitalnya diunduh dan dicetak lalu disebarkan ke tempat-tempat yang terbatas akses gawai dan internetnya. Ketiga, bebas mengunduh dan mencetak buku digital berarti tidak ada kendala dengan hak cipta, karena selama ini salah satu masalah utama penyebaran buku digital terkait dengan pembajakan. Keempat, dengan bebas mengunduh dan mencetak itu juga sekaligus dapat menangani kelangkaan buku.

 

*Peminat literasi, anggota Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Categories
Artikel

Proklamasi Hari Buku Sedunia

Oleh. Atep Kurnia

 

 

Pada 15 November 1995, komisi IV the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) bertemu dalam rapat pleno ke-22. Hasil dari rapat tersebut adalah apa yang sekarang dikenal sebagai Hari Buku Sedunia (World Book Day), atau Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia (World Book and Copyright Day), atau Hari Buku Internasional (International Day of the Book).

Soalnya yang menarik adalah bagaimana kelahiran hari memuliakan buku tersebut? Apa saja yang menjadi pertimbangan atau landasan sehingga lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut berinisiatif meluncurkan gagasan tersebut? Untuk menjawabnya, kita dapat menyimak “Proclamation of 23 April ‘World Book and Copyright Day’” atau proklamasi tanggal 23 April sebagai hari buku dan hak cipta sedunia yang dimuat dalam Records of the General Conference: Twenty-eighth Session Paris, 25 October to 16 November 1995: Volume 1 Resolutions (1996: 51).

Agar lebih mendapatkan gambarannya secara menyeluruh, kayaknya ada baiknya saya terjemahkan keseluruhan isi dari proklamasi tersebut. Berikut ini adalah hasilnya:

Menimbang bahwa secara sejarah buku merupakan faktor paling ampuh dalam menyebarkan pengetahuan dan perkakas paling efektif untuk melestarikannya;

Menimbang sebagai konsekuensinya bahwa semua gerakan untuk mempromosikan penyebaran buku-buku tidak saja hanya akan mencerahkan semua orang yang mengakes buku, tetapi juga mengembangkan secara penuh kesadaran kolektif terhadap tradisi budaya di seluruh dunia dan menginspirasi perilaku berdasarkan pemahaman, toleransi, dan dialog;

Menimbang bahwa salah satu jalan paling efektif untuk mempromosikan dan menyebarkan buku – sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengalaman beberapa negara anggota UNESCO – adalah  penentuan “hari buku” dan pengorganisasian pelbagai perhelatan seperti bazar-bazar buku dan pameran-pameran pada hari yang sama;

Mengingat lebih jauhnya bahwa gagasan ini belum diadopsi pada level internasional;

Mengadopsi gagasan yang sudah disebutkan di atas dan memproklamasikan tanggal 23 April setiap tahunnya sebagai ‘Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia’, karena pada tanggal tersebut pada 1616 Miguel de Cervantes, William Shakespeare dan Inca Garcilaso de la Vega meninggal dunia.”

Pada praktiknya, Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia mulai diumumkan oleh UNESCO pada 23 April 1996 atau beberapa bulan setelah diproklamasikan pada           15 November 1995. Dengan pengumuman tersebut beberapa negara menunjukkan perhatian yang lebih sekaligus memahami mengenai arti penting membaca. Demikianlah asal-usul di balik lahirnya Hari Buku Sedunia yang setiap tahun dirayakan pada 23 April.***

Categories
Artikel

Tumpang Tindih Informasi

Sebelum internet datang dari kota lalu merasuk masuk ke kampung-kampung bahkan hingga pelosok-pelosok, orang Indonesia, termasuk saya, masih menggunakan cara-cara konvensional untuk memperoleh informasi. Cara-cara konvensional tersebut erat kaitannya dengan tradisi cetak berikut hasil-hasil produksinya, terutama buku, koran dan majalah, dan teknologi audio-visual berupa saluran radio dan televisi.

Namun, baik cara konvensional maupun audio-visual tidak semua orang kampung mampu mendapatkan aksesnya. Hanya orang-orang yang berlebih saja yang dapat menikmati “kemewahan” seperti itu, jadi informasi hanya menjangkau segelintir orang belaka. Atau bila ada orang yang tidak punya tapi ngebet hendak memiliki informasi, hendak tahu ihwal dunia di luar lingkungan sekitarnya, terpaksa harus berjuang “menduakan” bahkan “mentigakan” kemampuan keuangannya dengan kebutuhan yang mendesak benak. Atau bisa pula “mendekati” orang yang mempunyai aksesnya, dengan mengorbankan rasa malu.

Untuk menjadi tahu saat internet belum umum di kampung berarti informasi kebanyakannya saling dibagikan dari mulut ke mulut melalui mekanisme tradisi lisan yang memang merupakan kemampuan bawaan setiap orang sejak lahir. Artinya informasi yang berasal dari luar sana itu tidak banyak yang beredar di masyarakat, sehingga bila ada informasi baru yang diterbitkan oleh orang atau pihak punya aksesnya akan segera menyebar di tengah-tengah masyarakat. Demikian terus bertahan di benak dan mulut orang, hingga pada saatnya dengan informasi lainnya yang baru.

Akibat mekanisme penyebaran informasi melalui tradisi lisan itu akan membentuk kemampuan benak untuk dapat menyimpannya lebih lama. Dengan kata lain, otak yang jarang menerima informasi baru atau pergantiannya berselang-seling menyambangi kepala jadi mempunyai jeda untuk terus mengingat-ngingatnya. Sehingga wajar belaka, bila dulu zaman sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, saya punya kebiasaan untuk menghapal di luar kepala fakta-fakta yang berkisar di sekitar nama-nama ibu kota provinsi dan negara-negara lain, nama mata-mata uang, presiden-presiden, perdana menteri, peristiwa-peristiwa bersejarah baik yang terjadi di tanah air maupun di luar negeri. Atau konon, dulu pernah ada orang yang mampu mengingat ratusan nomor telepon. Itu semua karena informasinya masih terbatas.

Dalam pengalaman saya, itu semua terjadi hingga pertengahan tahun 2000-an. Setelah berkenalan dengan internet sekaligus teknologi era digital itu masuk ke kampung-kampung, mula-mula dalam bentuk warung internet, informasi menjadi deras sekali datangnya hingga kita sama-sama kewalahan. Kewalahan dalam arti informasi itu jadi menyebabkan agak sukar untuk menerimanya, membacanya, dan meresapkannya. Informasi yang awalnya hanya dalam bahasa daerah dan bahasa nasional menjadi pelbagai bahasa sedunia. Gencarnya informasi juga menyita waktu untuk mengumpulkannya, ketimbang membacanya. Apalagi kesempatan untuk mempertalikannya dengan konteks yang membarenginya dan jarak untuk meresapkannya di dalam benak.

Banjir informasi dari internet tersebut menyebabkan orang meninggalkan atau secara sengaja atau tidak terkurangi waktunya dari menimbanya dengan jalan konvensional. Misalnya, saya, meski tidak meninggalkan kebiasaan membaca buku dan majalah serta produk tradisi cetak lainnya, mulai mengunduh dan mengumpulkan pelbagai informasi dari internet itu sejak paruh kedua tahun 2000-an. Ya, dengan teknologi informasi yang baru itu kita semua dipermudah untuk mengaksesnya. Namun, paradoksnya juga tidak kurang-kurang, karena keluasan informasi itu nyatanya tetap saja berada di luar sana, tidak masuk, tidak terbaca, dan tidak diresapkan di dalam benak. Sehingga yang ada tetap saja ketidaktahuan seperti ketika internet belum ada, saat informasi masih langka. Dengan banjir informasi itu tetap saja membuat kita bodoh.

Untuk mewadahi informasi dari internet, awalnya saya hanya mengandalkan disket besar dan kecil yang hanya punya kapasitas ratusan kilobyte. Sehingga yang terwadahi hanya berupa file teks saja, tidak audio apalagi video. Namun, teknologi penyimpanan itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Selang beberapa lama, saya dapat menggunakan compact disk (CD) dan flashdisk yang dapat mewadahi hingga ratusan megabyte. Dengan teknologi ini, selain teks, saya juga jadinya dapat mengumpulkan file audio meskipun tidak banyak, sekaligus mencoba mengumpulkan file video. Apalagi setelah mampu membeli hardisk eksternal yang mula-mula kapasitasnya ratusan gigabyte dan sekarang mencapai terabyte. Demikian pula, flashdisk kian berkembang teknologinya, hingga setara dengan hardisk eksternal.

Di sisi lain, telepon genggam yang awalnya hanya digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan singkat, seperti yang pernah saya miliki pada awal tahun 2000-an, berkembang menjadi perkakas untuk mengakses informasi sekaligus mewadahinya. Ini saya rasakan sekali, setelah terpaksa keadaan “harus” memilikinya sejak akhir tahun 2016. Pasti saya termasuk orang “terbelakang” yang menggunakan telepon pintar. Karena sebelumnya saya tetap bersikeras bertahan untuk tidak memilikinya. Karena saya tidak mau terlalu ribet dengan berbagai godaan untuk terus terkoneksi ke dunia maya. Namun, karena desakan pekerjaan yang banyak dibagikan melalui dan hanya dapat diakses di media sosial, saya mengalah.

Akhirnya, kini saya merasa bahwa informasi sudah bertumpang-tindih sedemikian rupa, dan masih tetap berada di luar sana, tidak hadir di dalam diri saya. Informasi itu hanya tersimpan dalam rekaman sekian banyak disket, CD, flashdisk, hardisk eksternal, ditambah dalam telepon pintar yang setiap beberapa hari sekali saya kosongkan memorinya dan dipindahkan ke dalam hardisk laptop.

Dengan kekayaan informasi yang demikian berlimpah tersebut, seharusnya saya jadi banyak tahu kan? Tidak, saya tetap tidak tahu banyak. Karena informasi baru terus datang bertubi-tubi setiap saat, mustahil bagi saya untuk mengetahui semuanya. Untuk  menjadi tahu, saya tetap mengulang lagi pencarian informasi melalui cara-cara konvensional dan mengakses internet. Jadi, informasi yang bertumpang-tindih terus terjadi setiap hari dan yang penting terus saya simpan dalam perkakas memori eksternal, dan barangkali sedikit yang menyangkut di ingatan. Jadi, dibandingkan dengan dulu, sekarang kemampuan mengingat saya dan anda sekalian barangkali terus diperlemah dengan meruyaknya informasi yang tidak membedakan asal-usul, apakah dari kota atau dari kampung.***

 

*Peminat literasi, tinggal di Bandung.

 

 

Ciawi, 19 Januari 2021