Categories
Kabar TBM

DARI IMAJINASI MENJELMA KENYATAAN (8)

Oleh Badaruddin Amir

(Pendiri Perpustakaan Komunitas Iqra)

Harus diakui bahwa kami memang belum mengenal sistem yang digunakan dalam pengelolaan perpustakaan dan sementara ini kami masih mempelajarinya, karena demikianlah awalnya kami mengelolanya dalam “gaya sastrawan”. Apa yang disebut sistem (administrasi/pengelolaan) selalu menjadi bahagian yang rumit dibenak sastrawan. Saya ingat bagaimana penyair Sosiawan Leak mengelola sebuah ‘komunitas’ bernama ‘PMK’ (Puisi Menolak Korupsi” yang anggota konkretnya berjumlah lebih dari 1000 penyair dari berbagai daerah dan mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan konkret seperti membuat antologi puisi, melakukan roadshow di berbagai kota dan daerah tanpa menganut satu sistem pengelolaan organisasi dan tata kelola administrasi secara formal. Kuncinya hanya kata-kata ini: kejujuran, transparansi, toleransi dan kepercayaan. Tiga kata yang gampang diucap tapi susah diwujudkan dalam organisasi-organisasi resmi beranggaran dasar. Pengelolaan seperti itu memang tidak pernah dibenarkan dalam sistem administrasi pada lembaga-lembaga pemerintahan, namun dalam organisasi-organisasi swasta yang sifatnya non frofit segalanya bisa terjadi. Yang pasti kejujuran, transparansi, toleransi dan kepercayaan sangat ampuh untuk membangun sebuah idealisme dan juga telah menjadi barang mahal dalam pergaulan hidup.

Memang mengembang amanah ‘mencerdaskan bangsa’ bukanlah perkara mudah bagi orang-orang yang bergelut dalam dunia literasi. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Persoalan pendanaan menjadi persoalan utama, bagaimana mengatasi kebutuhan lembaga atau komunitas, atau organisasi sehingga tetap bisa bernafas dan tetap bisa berkontribusi pada banyak orang, terutama pada masyarakat di lingkungannya. Sementara itu, sebaliknya masyarakat atau konsumen tidak memahami peran penting organisasi atau komunitas literasi sehingga banyak yang menyia-nyiakan kesempatan untuk ‘mencerdaskan bangsa’ yang diberikan kepadanya. Lebih dari itu, kadang-kadang ada pula yang muncul sebagai antagonis dan berperan hanya sebagai perusak sistem.

Masyarakat kita pada umumnya memang belum membaca. Tradisi mereka tidak dimulai dengan ‘iqra’ atau membaca. Tapi dari tradisi lisan, tradisi tutur yang turun temurun dari nenek moyang. Karena itu di rumah-rumah, di ronda-ronda, di balai-balai atau dimana saja yang mempertemukan beberapa orang dapat dipastikan bahwa aktivitas yang berproses di sana adalah aktivitas lisan, bukan membaca. Kegiatan membaca selalu menempati urutan ke dua atau mungkin ke sekian dari daftar kebutuhan masyarakat. Berbicara atau menjadi pendengar memang jauh lebih gampang dan lebih enak ketimbang membaca. Tapi hal itu tak mengapa seandainya kegiatan berbicara/mendengar yang bisa berlangsung di berbagai tempat dan memakan waktu berjam-jam ini  memang dapat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ (atau dalam bahasa agama dapat mendatangkan kemaslahatan), sebagai tujuan nasional dari gerakan literasi. Yang miris karena kebanyakan aktivitas seperti itu hanyalah bermuatan gosif dan tidak menambah kecerdasan. Sangat beda dengan aktivitas yang dilakukan di taman-taman baca atau rumah-rumah baca, yang selain menumbuhkan aktivitas baca juga membiasakan kegiatan-kegiatan diskusi dan pengembangan kreativitas. Karena itulah kami di Perpustakaan Komunitas Iqra merencanakan kegiatan-kegiatan proaktif untuk mengunjungi rumah-rumah masyarakat dengan segerobak buku, menawarkannya untuk dibaca tanpa harus mendatangi perpustakaan. Tapi ini baru tahap perencanaan karea kami belum memiliki pasilitas maupun kapasitas. Kami masih mencari relawan literasi yang bisa bekerja tanpa pamrih.

Perpustakaan Komunitas Iqra sesungguhnya berangkat dari keprihatinan ini. Sebagai pengelola saya berusaha untuk terus mengembangkan taman bacaan ini baik dengan merogoh kocek sendiri maupun berupaya mencari bantuan dari berbagai donatur yang bisa memberikan bantuan bahan-bahan pustaka. Karena itu Perpustakaan Komunitas Iqra menjalin hubungan cinta tanpa ikatan dengan berbagai lembaga atau yayasan yang dapat menjadi donatur bagi Perpustakaan Komunitas Iqra.  Tercatatlah beberapa lembaga yang telah memberikan bantuan bahan pustaka (buku, majalah dan sebagainya) yang tidak sedikit seperti yang telah kami paparkan di atas. Badan Arsip dan Perpustakaan Daeran Propinsi Sulawesi Selatan harus kami berulang sebut karena dari sanalah bantuan sebanyak 1000 judul serta mencanangkan Perpustakaan Komunitas Iqra sebagai “Baruga Baca” (Rumah Baca) sebagai “pilot projeknya” di tahun 2011 lalu di kabupaten Barru. Kami tentu harus menagih tindak lanjut seterusnya agar apa yang pernah menjadi proyek tersebut tidak berhenti hanya pada “label” yang menempel di perpustakaan kami: Mereka telah memberikan penghargaan sebagai pelopor perputakaan di Sulawesi Selatan dan whot next ? Demikian juga dengan Perpustakaan Daerah Kabupaten dan Dinas Pendidikan kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan-bantuannya.

Akhirnya sebagai relawan literasi kami memang hanya pelaksana kegiatan yang memiliki sejuta cita-cita tapi tidak memiliki pasilitas dan modal untuk bergerak. Kami masih terus mengharapkan bantuan dari siapapun juga demi terlaksananya kehidupan literasi di tengah-tengah masyarakat sebagai bentuk dari kepedulian  terhadap Gerakan Literasi Nasional.

 

Barru, 28 Juli 2019

Categories
Kabar TBM

DARI IMAJINASI MENJELMA KENYATAAN (7)

Oleh Badaruddin Amir

(Pendiri Perpustakaan Komunitas Iqra)

Perpustakaan Komunitas Iqra bukanlah sebuah perpustakaan besar yang dikelola dengan sistem pengelolaan perpustakaan yang sudah canggih. Ia hanyalah sebuah perpustakaan kecil –yang lebih layak disebut sebagai sebuah ‘taman baca’ atau ‘rumah baca’ dengan koleksi yang sangat terbatas namun eksklusif.

Tidak jelas memang ‘apa dan siapa’ komunitas iqra yang dirujuk dengan nama ini. Tapi ada rencana ke depan untuk membangun sebuah yayasan bernama Yayasan Kebudayaan Iqra. Tapi tentu saja ini masih merupakan sebuah “imajinasi” yang lain lagi yang masih menunggu perkembangan, ide-ide, gagasan dan saran-saran dari semua pihak. Yang pasti bahwa Perpustakaan Komunitas Iqra beralamat di Jalan Pramuka No. 108 Kabupaten Barru sekarang ini sudah memiliki koleksu lebih dari 5000 judul buku selain buku paket, modul dan buku pelajaran, ratusan keping CD dan ratusan majalah, kliping, brosure dan koleksi-koleksi non buku lainnya.

Berawal dari koleksi pribadi, kemudian menjadi koleksi banyak pribadi,kemudian mendapat suntikan buku-buku bacaan anak dari Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Barru serta berbagai donatur. Itulah wajah Perpustakaan Komunitas Iqra. Karena ia telah ‘terkontaminasi’ dengan bahan bacaan pengadaan pemerintah yang tentunya berasal dari pajak rakyat, maka berdosalah rasanya jika perpustakaan ini tidak melayani dan mengabdi pada masyarakat secara umum. Karena itulah perpustakaan ini dibuka secara umum untuk melayani masyarakat sekitarnya. Hanya saja sisi mirisnya dan kemudian menjadi tantangan layanan ini sering disia-siakan oleh masyarakat. Pengunjung yang terbanyak tetap juga kalangan ‘eksklusif’, para peneliti, mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikan, dan penulis/sastrawan kawan. Itulah yang menjadi “komunitas” utamanya. Sedang masyarakat pada umumnya menjadi “komunitas” kedua. Menurut analisis kami hal itu disebabkan karena kurang tersedianya buku-buku praktis yang mereka butuhkan. Selai buku-buku agama yang memang dibutuhkan oleh semua orang sebagai penuntun di jalan lurus, masyarakat pun membutuhkan buku-buku praktis, tepat guna, buku-buku pertanian, peternakan dan semacamnya. Dan itu yang masih kami butuhkan dari para donator. Sekalipun analisis SWOT yang kami buat beberapa waktu lalu bahwa tantangan kami dalam mengembangkan minat baca (literasi baca-tulis) pada masyarakat –terutama di kalangan generasi muda sekarang– adalah kehadiran IT, dan itu memang belum kami akses untuk mereka karena ketiadaan dana.

Categories
Kabar TBM

DARI IMAJINASI MENJELMA KENYATAAN (6)

Oleh Badaruddin Amir

(Pendiri Perpustakaan Komunitas Iqra)

Apa yang kami sebut sebagai “Pojok Literasi” sesungguhnya adalah sebuah ruang public yang kami buka di Perpustakaan Komunitas Iqra setahun terakhir ini. “Pojok Literasi” adalah sebuah kegiatan diskusi tentang literasi yang dilaksanakan secara terencana dua bulan sekali di ruang baca/teras Perpustakaan Komunitas Iqra. Pojok Literasi melibatkan semua komunitas yang ada di Kabupaten Barru, bahkan juga yang ada di luar Kabupaten Barru dengan persetujuan yang telah disepakati sebelunya. Komunitas yang setuju dan telah membuat kesepakatan (tak tertulis) kami undang sebagai pelaksana kegiatan diskusi literasi di Perpustakaan Komunitas Iqra. Kegiatan ini biasanya kami laksanakan pada sore hingga malam hari Minggu. Yang mengundang peserta dan menyediakan pasilitas seperti sound system, lighting, dekorasi, dan konsumsi adalah komunitas yang diberikesempatan sebagai pelaksana. Perpustakaan Komunitas Iqra hanya menyediakan akomodasi, menyediakan ruang, serta pemantik diskusi (pembahas/pemateri) dari pakar, sastrawan, penulis atau tokoh tertentu sebagai pembicara jika komunitas yang kami undang tak bisa menyediakannya. Hal itu kami sanggupi karena saya secara pribadi sebagai penulis/sastrawan/wartawan memiliki banyak kolega yang mampu berbicara tentang literasi. Kegiatan ini tidak semata menampilkan diskusi, tapi juga disertai ekspresi budaya seperti pementasan monolog, tari, baca puisi, baca cerpen, music akustik dan lain-lain sebagai acara selingan.

Dalam lima kali kegiatan “Pojok Literasi” di tahun 2018 kami telah mengundang lima komonitas sebagai pelaksana, masing masing komunitas Gusdurian Barru yang sekaligus memberi nama kegiatan ini sebagai “Pojok Literasi”. Gusdurian Barru mengambil tema “Literasi & Oase Bagi sikap Kemanusiaan Kita” berlangsung pada Sabtu, 29 September 2018. Pada kegiatan yang dilaksanakan oleh Gusduian Barru ini kami menghadirkan Jamal Passalowongi, S.Pd, M.Pd (Instruktur Literasi Sulawesi-Maluku) dan Badaruddin Amir, S.Pd, M.Pd (sastrawan Sulsel) sebagai pemantik diskusi. Dua bulan setelah itu kami mengundang komunitas mahasiswa Biro Khusus “Belantara Kreatif” Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar sebagai pelaksana dengan tema “Kaji sastra dan literasi” menghadirkan Tri Astoto Kodarie (penyair) dan Jamal Passalowongi, S.Pd, M.Pd (Instruktur Literasi) sebagai pemateri. Dan tiga kegiatan yang sama sebelum kegiatan ini bernama “Pojok Literasi” juga telah kami laksanakan, masing-masing “Silaturrahmi Budaya” yang diisi oleh Komunitas Menulis Pare-Pare menghadirkan Tri Astoto Kodarie (Penyair),  Pangerang P. Muda (cerpenis) dan Badaruddin Amir sebagai pemateri, “Dialog Sastra” diisi oleh Komunitas Sastra Ajattappareng menghadirkan sastrawan se Ajattappareng (Parepare-Barru-Sidrap), dan “Tudang Sipulung” yang diisi oleh mahasiswa KKN Unhas Gelombang 99 dengan tema “Sastra Daerah dan Kearifan Lokal di Tengah-Tengah Masyarakat Bugis”  dengan menghadirkan masyarakat setempat sebagai udiens. Semua kegiatan diskusi itu berlangsung di Perpustakaan Komunitas Iqra. Adapun agenda-agenda kami selanjutnya setelah beberapa bulan jeda yang bersedia masuk sebagai pelaksana adalah “Forum Arisan Sastra” (FAS) Sulawesi Selatan yang beranggotakan para  sastrawan Sulawesi Selatan yang memang telah melaksanakan kegiatan serupa di tempat lain, kami telah menawarkan tema “Literasi Sastra Koran vs Literasi Cybersastra” sebagai tema diskusi, menyusul “Pokja Wartawan Kabupaten Barru” yang saat ini masih kami konfirmasi dan menunggu kesepakatan.

Categories
Kolom

DARI IMAJINASI MENJELMA KENYATAAN (5)

Oleh Badaruddin Amir

(Pendiri Perpustakaan Komunitas Iqra)

Selain kegiatan literasi membaca, peningkatan minat baca melalui berbagai lomba dan acara-acara yang bersifat insidental misalnya ikut ambil bagian pada Hari Buku, Hari Aksara Internasional, Hari Anti Korupsi, Hari Puisi dan banyak lagi hari-hari lain yang kami laksanakan setempat dengan acara-acara yang sederhana sesuai dengan pasilitas dan kapasitas kami, Perpustakaan Komunitas Iqra tak ketinggalan untuk mengikuti even-even literasi penting yang dilaksanakan oleh pemerintah. Misalnya belum lama ini (April 2019) kami ikut berpartisipasi sebagai penyelenggara mendamping Dinas Pendidikan Kabupaten Barru pada even “Open Literacy & Book Fair 2019” dalam kegiatan pameran buku, workshop literasi, da lomba meresensi buku. Demikian pula dengan berbagai kegiatan pelatihan dan workshop menulis karya-karya sastra dan jurnalistik yang dilaksanakan oleh OSIS SMA/MA yang diselenggaraka di sekolahnya masing-masing, kami atas nama koordinator selalu datang mendampingi sekaligus memperkenalkan “Perpustakaan Komunitas Iqra”. Dan yang menjadi program/kegiatan unggulan kami adalah “Pojok Literasi” Perpustakaan Komunitas Iqra.

Categories
Kolom

DARI IMAJINASI MENJELMA KENYATAAN (4)

Oleh Badaruddin Amir

(Pendiri Perpustakaan Komunitas Iqra)

Sekarang setiap orang boleh datang membaca di “Perpustakaan Komunitas Iqra”. Usia peminjam/pengunjung pun tidak lagi terbatas pada hanya pembaca dewasa karena koleksi kami juga sudah tersedia untuk pembaca anak-anak. Demikian juga dengan jenis bacaan yang semakin beragam dari buku-buku dewasa untuk semua jenis/genre. Kami pun berusaha mengklasifikasinya sesuai dengan klasifikasi persepuluhan Dewey, mendaftarnya pada Buku Induk, melengkapinya dengan call number, lembar tanggal kembali dan kantong-kantong kartu buku sebagai persiapan untuk beralih ke sistem peminjaman kartu, juga mencoba membuat kartu-kartu catalog, meskipun kegiatan administratif ini, diakui akan berlangsung sangat alot karena ketiadaan dana dan tenaga. Saat ini kami sudah mendaftar sekitar 3000 eksamplar dari sekitar 5000-an eksamplar buku yang telah kami miliki.

Untuk menjadi seorang pengunjung atau peminjam di “Perpustakaan Komunitas Iqra” sementara ini kami memang belum menetapkan aturan (Tata Tertib) yang ketat, mengingat banyak peminjam kami dari luar daerah seperti mahasiswa, peneliti dan juga para teman-teman sastrawan. Mereka boleh meminjam buku sampai satu-dua bulan dengan kewajiban harus melaporkan keadaan buku tersebut melalui WA Grup atau Facebook Perpustakaan Komunitas Iqra bahwa buku itu masih dibutuhkannya. Tetapi untuk pembaca setempat (masyarakat di seputar “Perpustakaan Komunitas Iqra” dan anak-anak SMP dan SMA) mereka pada umumnya dapat mengembalikan buku setelah buku itu selesai dibacanya dalam satu atau dua minggu. Ada pertimbangan untuk mengubah aturan ini lebih ketat dan menetapkan Tata Tertib sebagaimana yang diterapkan pada perpustakaan-perpustakaan daerah seperti menyimpan identitas dan uang jaminan mengingat banyak juga peminjam yang nakal dan tak memberi laporan dan tak juga mengembalikan buku yang dipinjamnya. Tapi itu masih dalam pertimbagan kami untuk tak membunuh minat baca masyarakat hanya gara-gara Tata Tertib yang terlalu ketat.

Sebelum bermetamorfosis menjadi “Perpustakaan Komunitas” (Perpustakaan Komunitas Iqra) – sesungguhnya memang komunitas ini adalah komunitas maya dan tidak memiliki anggota tertentu yang terdaftar– kami sudah mulai memperkenalkannya di dunia maya. Terutama setelah memasuki era kemajuan teknologi informasi. Dunia maya melalui –media social seperti facebook dan Washup– menjadi ajang komunikasi dan informasi yang tidak terbatas ruang dan waktu lagi. Sosialisasi keberadaan “Perpustakaan Komunitas Iqra” pun kami lakukan lewat dunia maya dalam rangka membuat jalinan kemitraan dengan komunitas-komunitas literasi lainnya sehingga bentuk komunikasi kami sudah dapat dikatakan lintas komunitas. Demikianlah kami kemudian terdaftar sebagai anggota pada beberapa “komunitas literasi” yang lebih besar dan berperan sebagai penerima donasi maupun donator bahan pustaka. Kami tercatat pada “Satu Juta buku” (Sajubu) sebuah komunitas literasi di Jakarta dan telah menerima bantuan puluhan buku-buku novel karya pengarang Indonesia; menjadi anggota “Yayasan 1001 Buku” (Komunitas relawan dan pengelola taman baca anak) dengan No. Registrasi: 405. Dari yayasan ini kami telah menerima ratusan buku anak dan menjadi koleksi sangat menarik untuk bacaan anak-anak TK-SD sampai SMP di perpustakaan kami; menjadi salah satu simpul Pustaka Berkerak Indonesia (PBI) yang terdaftar dan telah menerima donasi buku dari berbagai pihak –juga telah menjadi donator buku untuk taman bacaan lain (salah satu kewajiban simpul anggota PBI yaitu menerima dan memberi buku sehingga buku selalu “bergerak”); menjadi anggota (terdaftar) sebagai salah satu taman baca pada Daftar Perpustakaan Nasional Indonesia dengan NPP 7311034F2000001; dan terakhir terdaftar sebagai anggota TBM pada Donasi Buku Kemdikbud (http://donasibuku.kemdikbud.go.id/profile) dan sedang menunggu bantuan buku dari para donator yang bergabung di sana.

Dari pihak-pihak lain pun baik lembaga maupn perorangan kami telah banyak menerima bantuan baik yang bersifat insidental maupun berkelanjutan. Kami telah menerima ratusan eksamplar majalah kebudayaan India dari Kedutaan India, majalah dan brosure dari Kedutaan Jepang, buku-buku dan majalah dari Kedutaan Saudi Arabia, buku-uku berbahasa Inggris dari kelompok  mahasiswa Indonesia pecinta literasi di Australia, ratusan majalah dan bundel-bundel surat kabar Kompas, Media Indonesia, Republika dari The Habibie Centre Jakarta melalui Bapak A. Makmur Makka, langganan tetap majalah Integrito dari Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), langgaran tetap jurnal Dialog Kebijakan Publik dari Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, langganan tetap tabloid Komunika dari Departemen Komunikasi dan Informatika, langganan tetap majalah berbahasa Inggris Saudi Aramco World dari Aramco Services Company USA, ratusan buku-buku sastra dari Bapak Maman S. Mahayana (Kritikus Sastra), Sosiawan Leak (sastrawan), Ana Mustamin (sastrawan), Dedari Rsia (Sastrawan), Wilson Tjandinegara (sastrawan), Helvy Tiana Rosa (sastrawan), Dr. Mu’jizah, M.Hum (peneliti Badan Bahasa Jakarta), Prof. Dr. Nurhayati Rahman, M.Hum (Lagaligolog), Bambang Widiatmoko (penyair), Abdul Rasyid Idris (penulis), Asdar Muis RMS (penulis), Goenawan Monoharto (Penerbit), A. Wanua Tangke (penerbit), Muhary Wahyu Nurba (penerbit), Aspar Paturusi (sastrawan), D. Zawawi Imron (penyair), A. Makmur Makka (Budayawan), Halim HD (Budayawan), Asma Nadia (sastrawan), Asrizal Nur (sastrawan), Ahmadun Yosi Herfanda (sastrawan), Mira Arifiani (penulis/penerbit), Gola Gong (penulis) dan masih banyak lagi yang tak dapat kami sebut satu persatu. Juga demikian dari instansi seperti Balai Bahasa Propinsi Sulawesi Selatan, Departemen Agama setempat, Dinas Pendidikan, dan dinas-dinas lain serta masyarakat yang memiliki koleksi buku dan tak dipeliharanya lagi atau tak ada pewarisnya, banyak yang mewakafkan buku atau majalah-majalah bekasnya pada kami dan semuanya kami tampung atau salurkan pula ke tamanan bacaan lain melalui jasa kiriman POS untuk program “Free Cargo Literasi” tiap tanggal 17 itu.

Categories
Kolom

DARI IMAJINASI MENJELMA KENYATAAN (2)

Oleh Badaruddin Amir

(Pendiri Perpustakaan Komunitas Iqra)

Tahu 2011 “Taman Bacaan Iqra” yang saya bangun dari sebuah “imajinasi” kini memang sudah menjelma di hadapan saya sebagai sebuah kenyataan. Sebuah kenyataan yang sederhana tentunya. Saat saya sudah memiliki sebuah rumah panggung yang kuat dari kayu ulin berukuran 10 X 13 meter di kampung kelahiran saya, kelurahan Tuwung Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Propinsi Sulawesi Selatan, saya menyulap bagian bawah (kolong rumah) menjadi perpustakaan. Di kolong rumah yang sama luas dengan badan rumah bagian atas ini memang kosong melompong. Kolong rumah ini saya modifikasi: memasanginya dinding beton dan lantai keramik kemudian memasang di atas pintu masuk sebuah papan nama sederhana berbunyi : “Taman Bacaan Iqra”.  Hanya bagian atas rumah ini yang kami jadikan tempat tinggal. Sedang bagian bawah seuruhnya menjadi perpustakaan.

Di kolong rumah yang telah menjelma perpustakaan itu saya membuat sebuah kamar prosessing merangkap gudang buku. Juga sebuah ruang baca yang dilengkapi dengan kursi-kursi sederhana dan lemari serta rak-rak buku berjejer menempel pada dinding. Dan pada bagian teras yang masih cukup luas juga kami jadikan ruang ruang diskusi dan pertunjukan-pertunjukan kecil seperti baca puisi, pementasan monolog dan mendongeng untuk anak-anak. Karena pasilitas dan sarana prasarana memang sudah memungkinkan untuk dibuka secara umum, saya pun membuka taman bacaan saya menjadi “Taman Bacaan Masyarakat” (TBM). Saya segera menyusun komposisi kepengurusan TBM tersebut sebagai berikut :

Penasihat                              :    Kepala Kelurahan Tuwung

Pembina                               :    Drs. H. Kaharuddin, M.Si (Lepala Inspektorat Kabupaten

                                                  Barru)

Koordinator/Pengelola         :    Badaruddin Amir, S.Pd, M.Pd

Sekretaris                             :    Ayu Wulandari

Bendahara                            :    Hj. Ratnawati, S.PdI

Teknis                                   :   

   – Bagian Pengadaan          :    Muh. Said Lukman

   – Bagian Pengolahan         :    Muh. Afdal Wijaya

   – Bagian Penyusunan        :    Andri Wahyudi

Layanan                               :

   – Bagian Sirkulasi              :    Sitti Kanariah

   – Bagian Referensi            :    Ismayani

   – Bagian Layanan Bacaa   :    Erman Amri

Sejak itu saya merasa tidak memiliki lagi taman bacaan itu secara pribadi, tapi sudah menjadi taman bacaan milik masyarakat di desa Tuwung,  yang memang tidak mengenal dan memiliki taman bacaan itu.

Memang pada awalnya sebuah perjuangan untuk mengenalkan taman bacaan tersebut keada masyarakat. Tak ada masyarakat yang mau datang berkunjung. Mereka masih segan karena mengira taman bacaan itu milik pribadi. Padahal saya sudah membukanya secara umum untuk masyarakat. Tetapi setelah melakukan serangkaian sosialisasi di tahun-tahun awal kepada masyarakat baik melalui masjid yang dekat dengan lokasi taman bacaan kami, maupun dengan mengundang masyarakat secara langsung untuk mengikuti pertemuan-pertemuan khusus — seperti melalui pelatihan keterampilan rumah tangga untuk ibu-ibu dan cara bertanam hidroponik untuk bapak-bapak (Catatan : kami memiliki dua instalasi hidroponik di halaman taman bacaan) yang dilaksanakan di “Taman Bacaan Iqra”, akhirnya masyarakat pun mulai mengenal “Taman Bacaan Iqra”. Anak-anak muda, remaja dan anak-anak sekolah SMP dan SMA kami buatkan pula kegiatan pelatihan-pelatihan menulis sehingga ramailah anak-anak datang pada sore hari dan mereka mulai pula mengenal “Taman Bacaan Iqra”. Sementara untuk anak-anak TK pernah pula kami hadirkan seorang pendongeng untuk berdongeng kepada mereka.

Meski kegiatan-kegiatan seperti itu memang tidak rutin kami lakukan atau tidak menjadi agenda khusus di “Taman Bacaan Iqra”, tetapi kegiatan-kegiatan tersebut sudah berhasil mengundang perhatian mereka untuk mengenal dan akrab dengan “Taman Bacaan Iqra” sebagai tempat membaca dan menimba ilmu. Sebagai hasil konkret usaha sosialisasi seperti ini sebagian dari mereka sudah ada yang sadar untuk datang sendiri berkunjung ke “Taman Bacaan Iqra” dan menjadi peminjam buku secara tercatat dan menjadi anggota. Segala sirkulasi yang kami lakukan memang masih dicatat secara manual karena kami belum menggunakan sistem peminjaman dengan kartu pinjam sebagaimana sisrkulasi di perpustakaan-perpustakaan daerah. Kendala utama yang kami alami adalah tak adanya tenaga pustakawan yang kompeten dan tentu saja juga tak adanya dana untuk membiayai kegiatan operasional taman bacaan ini.

Kendala ini saya pernah sampaikan kepada Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah di daerah kami (Kabupaten Barru) dengan menghadap langsung kepada beliau dan dijawab dengan menempatkan seorang pegawai honorernya di “Taman Bacaan Iqra”. Tapi itu hanya dapat berlangsung kurang lebih setahun. Saya melihat kinerja yang bersangkutan sama sekali tidak profesional dan kurang memahami ilmu perpustakaan. Ia hanya dating bertugas membuka dan menutup pintu taman baca, menjadi pelayan baca anak-anak kecil, dan meminta tanda-tangan pada saya untuk kepentingan laporan — meskipun yang bersangkutan tidak masuk kerja. Hanya setahun saya minta yang bersangkutan untuk kembali lagi ke instansinya di BAPD.