Categories
Opini

Lima Ciri Anak yang Miliki Kecerdasan Emosional Tinggi

Saat itu, ada dua anak yang sama-sama sedang bermain. Anak pertama memiliki banyak mainan tapi merasa ridak senang karena tidak ada teman bermainnya. Sedangkan anak yang kedua ini hanya memiliki segunduk pasir dan sendok makan bekas untuk dimainkan. Namun anak yang kedua ini justru terlihat sangat bahagia sekalipun bermain sendirian tanpa teman dan hanya dengan alat bermain yang ala kadarnya. Ia nampak senang dan berimajinasi penuh khayal membuat istana kerjaan dari pasir. Pertanyaanya adalah kenapa kedua anak ini berbeda? Dimana letak perbedaannya? Iya, kedua anak ini saling berbeda. Bedanya adalah tingkat kecerdasan emosial dari tiap-tiap anak tersebut. anak kedua memiliki kecerdasan emosianal yang lebih tinggi dari pada anak yang pertama.

Dari sini, kita menjadi tahu bahwa kecerdasan emosional merupakan hal yang penting dalam menunjang kesuksesan dan kebahagiaan tiap individu anak, baik di lingkungan keluaga, lingkungan pergaulan, hingga di tempat kerja nantinya. Memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu anak dalam bersikap kiritis saat dihadapkan dengan suatu persoalan. Untuk itu, di sini akan disebutkan beberaa ciri anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Hal ini penting diketahui mengingat dapat dijadikan referensi bersama untuk kehidupan seorang anak dan keluarga yang lebih berharga dan bermanfaat kedepannya. Berikut lima ciri anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

Pertama, fokus pada hal-hal positif. Anak yang memiliki kecerdasan emosional tinggi sadar bahwa akan menjadi sesuatu yang sia-sia jika terus-terusan berlarut dengan masalah. Fokus pada masalah tidak akan pernah menghadirkan solusi, sebaliknya bersikap positif dalam menyikapi masalah akan mendatangkan anak pada solusi yan tepat untuk menyelasikan permasalahan tersebut.

 

Kedua, menghabiskan waktu bersama teman yang berkepribadian positif. Anak yang memiliki kecerdasan emosianal tinggi tidak menginginkan waktunya terbuang secara cuma-cuma. Ia akan menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat dan berkumpul bersama teman-teman disekelilingnya yang baik. Dengan berkumpul dengan teman yang baik dan positif inilah kecerdasan emosional anak semakin meningkat.

Ketiga, selalu bersikap tegas. Baik tegas dalam berpendapat, tegas dalam mebuat aturan, tegas dalam hal lainnya tanpa disertai melukai perasaan orang lain. Anak yang bersikap tegas ini dapat memposisikan diri dimana ia harus berbicara, kapan saat yang tepat untuk berpendapat, dan bagaimana cara tepat memberikan ide dan solusi tanpa adanya sikap menggurui. Selain itu, ia akan berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.

Keempat, bersikap visioner. Anak dengan kecerdasan emosional tinggi akan berpikir selangkah lebih maju dari kebiasaan anak-anak pada umumnya. Ia akan sibuk memikirka apa yang akan dilakukan di masa depan dan tidak larur dalam masa lalu. Baginya, kegagalan adalah sebuah pelajaran yang dapat dijadikan sebagai cermin untuk mengambil langkah yang lebih baik dan matang di masa mendatang.

Kelima, memiliki semangat belajar tinggi. Anak dengan kecerdasan emosional tinggi sadar bahwa apa yang ia ketahui saat ini hanyalah sebagian kecil apa yang ada di dunia. Baginya, belajar itu dimana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun. Selain itu, ia akan selalu bersikap terbuka dan mencoba hal-hal baru dalam hidupnya yang membuatnya menantang dan menjadikanya berkembang. Dari sesuatu yang baru inilah anak akan belajar bagaimana bersikap dan bertindak untuk masa depan yang gemilang.

Categories
Kabar TBM

Satu Posyandu Satu Poslitera

Stunting baru-baru ini mendapat perhatian khusus dari Kepala Bappenas dan bahkan Presiden Joko Widodo dalam rapat Istana Negara yang secara khusus membahas masalah ini. Data kesehatan terakhir menunjukkan dari 24,5 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia sekitar 9 juta atau 37 persen menderita stunting.[1]

 

Stunting merupakan kondisi anak balita gagal tumbuh yang diukur berdasarkan tinggi badan menurut umur. Stunting menciptakan risiko kematian yang lebih besar, menurunkan kemampuan kognitif anak serta rentan terserang penyakit degeneratif saat dewasa.[2]

  

Mengurai Sumber Permasalahan

 

Jika kita telaah, pada hakikatnya ada dua sumber permasalahan stunting yang terjadi pada masyarakat, yakni tidak sadar sehat dan tidak tahu sehat.

 

Pertama, tidak sadar sehat. Ketidaksadaran masyarakat tentang kesehatan ini disebabkan karena kurang maksimalnya peran pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal inilah yang memunculkan gangguan pada pertumbuhan masyarakat seperti rendahnya kualitas output kelahiran, yaitu berat bayi rendah (<2,5 kg), terjangkitnya penyakit anemia karena asupan gizi yang kurang cukup dan pola pangan kurang seimbang.

 

Kedua, tidak tahu sehat. Peran pemerintah sekadar memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat saja tidak cukup, perlu juga upaya layanan edukasi untuk mencedaskan masyarakat. Mengapa demikian? Analoginya, orang sudah sadar akan pentingnya kesehatan, tapi jika tidak diimbangi dengan pengetahuan untuk menjaga kesehatan maka orang itu tidak akan melakukannya. Ketidaksadaran dan ketidaktahuan terhadap kesehatan inilah yang menimbulkan rendahnya kualitas sumber daya manusia.

 

Untuk mengatasi kedua persoalan di atas maka antara sadar sehat dan tahu sehat harus dilakukan secara bersaamaa. Sebab kesadaran akan kesehatan yang diimbangi dengan pengetahuan akan sehat maka akan membentuk sikap untuk hidup dan berperilaku sehat.

 

 

 

Layanan Poslitera Sebagai Sebuah Solusi

 

Rendahnya kualitas generasi stunting membuat wawasan mereka kalah dengan anak-anak yang pertumbuhannya normal. Dampaknya, kemampuan intelektual yang rendah ini akan mengancam daya saing generasi mendatang. Untuk itu, layanan poslitera perlu digalakkan untuk mewujudkan Indonesia bebas stunting.

 

Layanan poslitera ini diselenggarakan satu waktu dengan posyandu. Di sini diperlukan sinergitas dan kerja sama yang solid untuk mewujudkan Indonesia bebas stunting. Sederhananya, dimana ada layanan posyandu maka disitu ada poslitera untuk masyarakat.

 

Posyandu sebagai ujung tombak program gizi di lapangan harus benar-benar maksimal dan didongkrak kinerjanya. Persepsi masyarakat terhadap posyandu hanya sekadar tempat penimbangan anak balita dan pembagian bubur serta biskuit gratis sudah saatnya dibenahi dan diperbaiki. Sebab sehat secara pertumbuhan tubuh saja tidak cukup, perlu adanya asupan gizi literasi untuk perkembangan intelektual.

 

Poslitera memberikan layanan dan fasilitas kepada masyarakat berupa pojok baca, kelas balita dan kelas ibu hamil, serta penyuluhan kesehatan. Pertama, pojok baca. Dalam pojok baca ini nantinya menyediakan beberapa buku kesehatan yang bisa dipinjam dan dibaca oleh masyarakat saat mengantri/ menunggu untuk diperiksa kesehatannya saat posyandu berlangsung.  Hal ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

 

Kedua, kelas ibu hamil. Kelas ini adalah fasiltas layanan yang disediakan khusus untuk para ibu-ibu yang sedang hamil. Dalam kelas ini, nantinya diberikan penyuluhan dan pendampingan bagi ibu hamil secara kontinyu agar bayi yang ada di dalam kandungan sehat dan tidak mengalami gangguan pertumbuhan atau perkembangan yang dapat memicu persoaln stunting. 

Ketiga, kelas balita. Kelas ini diselenggarakan untuk mendampingi anak-anak balita, terutama balita yang ada di desa. Sebab pengetahuan orang tua terhadap perkembangan anak-anaknya kurang begitu mumpuni sehingga terkadang tidak jarang balita yang mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan maupun perkembangannya. Kelas balita yang intensif inilah yang nantinya memberikan bekal pengetahuan kepada orang tua untuk mendidik dan mendampingi tumbuh kembang balita secara baik dan maksimal.

            Dari layanan poslitera dengan tiga basis yang berkolaborasi dengan posyandu diatas inilah yang nantinya dapat menyeimbangkan antara masyarakat sadar sehat dan tahu sehat yang menciptakan sikap untuk hidup sehat dan masyarakat bebas stunting.

 

 

 

Program Satu Posyandu Satu Poslitera

Dengan adanya program satu posyandu satu poslitera di tiap desa ini, selain mewujudkan Indonesia bebas stunting juga dapat melahirkan generasi yang memiliki gizi literasi tinggi sehingga terbentuk karakter sumber daya manusia yang sehat, cerdas, berkualitas dan berdaya saing. Mari galakkan bersama gerakan satu posyandu satu poslitera untuk Indonesia bebas Stunting! Indonesia Berdaya Saing!

*Tulisan ini telah diikutsertakan dalam kegiatan lomba menulis artikel kesehatan yang diselenggarakan oleh LKNU Banyumas Tahun 2018

  

 

[1] Ali Khomsan, Lingkaran Setan “Generasi Pendek”, Koran Kompas, 25 April 2018, kolom opini hal. 7

 

 

 

[2] Sonny Harry B Harmadi, Mengungkit IPM dari Desa, Koran Kompas 27 April 2018, kolom opini hal. 6

 

 

 

Categories
Opini

Mengenalkan Api pada Anak Usia Dini

“Bunda Anis, itu apa?” tanya Zaka, bocah berumur 3 tahun itu. “Ini adalah lilin” jawab Bunda sambil menunjukkan lilin yang baru saja dibuatnya. Zaka dan temannya pun mendekati dan merasa penasaran. “Hati-hati yah” ucap Bunda.

Anak usia dini memang memiliki rasa ingin tahu lebih dan selalu saja ingin mencoba hal-hal baru. Pada usia tersebut pula seringkali anak tidak memperdulikan apakah hal baru yang dilakukan itu membahayakan dirinya atau tidak. Seperti bermain api misalnya. Bermain api bagi anak usia dini adalah sesuatu yang bahaya, terlebih jika di luar pengawasan dari orang tua. Sering kali kita melihat berita di televisi ataupun surat kabar yang menginformasikan peristiwa kebakaran yang disebabkan keteledoran orang tua yang membiarkan anaknya bermain api. Dari sini, maka orang tua harus lebih waspada dan selalu mendampingi anak di setiap tindakannya. Untuk itu, tidak ada salahnya jika orang tua mengenalkan api dan bahayanya sedini mungkin pada anaknya.

Pertama, ajak anak untuk menyalakan lilin. Biarkan anak sejenak untuk mengamati lilin yang telah dinyalakan. Mintalah kepada anak untuk mendekatkan tangannya kearah sumbu api. Setelah itu mintalah anak untuk mendekatkan kertas pada api hingga terbakar.

Kedua, berikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapat. Mintalah anak untuk mengungkapkan pendapatnya tentang rasa panas saat tangan dekat dengan api. Dengan begitu dapat diketahui apakah anak sudah mengetahui apa belum bahwa sifat api itu panas dan bisa membakar sesuatu yang lainnya.

Ketiga, mulailah memberikan pengetahuan pada anak kenapa tidak boleh bermain api. Orang tua bisa memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti anak. Seperti “Nak, api itu panas, jika mengenai tubuh kita maka kulit melepuh dan terbakar. Kamu tahu bagaimana rasanya? Ya, sakit dan perih”.

Keempat, selain mengenalkan panas, orang tua juga perlu mengajarkan cara mengatasi atau mengobati anggota tubuh saat terkena api dan bagaimana cara memadamkan api sehingga anak menjadi semakin paham tentang api dan bahayanya.

Categories
Opini

Mengapa Anak Usia SD Sudah Suka Membentuk Geng?

Minggu lalu, teman saya bercerita di Forum Studi Literasi tentang pengalaman dan tantangan mengajar di sekolah dasar. Terutama pengalaman dan tantangan saat menjumpai anak didiknya sudah mulai membentuk geng atau kelompok teman bermainnya. Yang menjadi permasalahan dan terkadang membuat guru bingung adalah saat ada satu anak yang kurang disukainya oleh suatu geng, kemudian kelompok geng itu pun biasanya turut membenci dan menjauhi.

Fenomena di atas wajar saja terjadi saat anak usia SD mulai suka membentuk geng atau kelompok. Sebab itu semua termasuk bagian dari proses perkembangan dan pertumbuhan anak. Dimana pada usia antara 6-12 tahun, anak sudah mulai mencari pertemanan dan mengenal lingkungan di luar lingkungan keluarga. Anak-anak mulai suka dengan teman-temannya yang bisa membuat nyaman dan memiliki kesukaan yang sama.

Lalu, apa saja penyebab anak usia SD sudah mulai suka membentuk geng?

Pertama, usia SD adalah usia seorang anak yang sedang mencari jati diri. Anak sudah mulai mencoba berpikir rasional dan mencari tahu siapa sebenarnya dirinya itu sendiri.

Kedua, usia SD adalah usia dimana seorang anak ingin mendapat perhatian banyak orang di sekelilingnya. Biasanya anak atau geng akan melalkukan “caper” atau cari perhatian dengan membuat polah kepada guru atau orang lain yang ada di sekitarnya. Sehingga akan mendapatkan sorotan dan kepuasan sendiri.

Ketiga, usia SD adalah usia seorang anak yang sedang belajar berinteraksi sosial. Anak mencoba belajar untuk memahami karakteristik orang lain, sehingga dari sini anak bisa belajar menghargai dan menghormati perbedaan antara anggota geng satu dengan yang lainnya.  []

Categories
Literasi Masyarakat Opini

Mengapa Orang Tua Perlu Menghadirkan Sosok Inspiratif Untuk Anak?

Setiap orang tua dapat dipastikan memiliki impian dan cita-cita terhadap keluarganya. Termasuk cita-cita untuk mengantarkan anaknya menjadi sukses misalnya. Sukses tidaknya orang tua dalam mengantarkan anak pun juga masih tergantung pada usaha yang dilakukan. Semakin baik usaha yang dilakukan maka semakin dekat pula mengantarkan anaknya pada pintu kesuksesan. Akan tetapi, terkadang motivasi orang tua untuk mengantarkan anaknya sukses sangat kurang dan hanya sekadar ucapan lisan. Terlebih orang tua yang tinggal di desa dan berlatar belakang ekonomi pas-pasan. Orang tua seperti ini biasanya akan membiarkan anaknya bertumbuh kembang dengan sendirinya dan hanya berharap nasibnya tidak sama seperti bapak atau ibunya. Pandangan orang tua seperti ini sudah sepantasnya mulai dirubah sejak sekarang. Sebab seorang anak juga berhak meraih masa depan dan cita-cita mulianya.

Untuk itu, salah satu langkah yang bisa orang tua lakukan dalam mengantarkan anaknya menuju pintu kesuksesan adalah dengan cara menghadirkan sosok inspiratif pada anak. Seperti menghadirkan sosok orang sukses di usia muda, pengusaha,dokter, masinis, pilot, atau sosok-sosok inspiratif lainnya. Meskipun menghadirkannya sekadar berkenalan sebentar dan mencium tangan saja namun akan memberikan energi positif yang luar biasa bagi anaknya. Beberapa orang tua mungkin akan mempertanyakan mengapa orang tua perlu menghadirkan sosok inspiratif pada anak? dan bertanya pula apa manfaatnya bagi anak? Berikut adalah ketiga alasan pentingnya dan manfaat yang bisa didapat oleh si anak saat bertemu dengan sosok inspiratif.

Pertama, mengenalkan sosok inspiratif sama halnya membuka cakrawala anak. Anak yang semula masih awam, hanya tahu guru adalah profesi yang menjanjikan, dan atau bahkan sama sekali tidak tahu dengan dunia luar kini menjadi tahu ternyata macam-macam profesi yang bisa membuat sesorang sukses itu beragam jenisnya. Dari sinilah anak akan mendapatkan kesan pertama dan sudah mulai terbuka pikirannya perihal masa depannya mau jadi apa dan bagaimana.

Kedua, menghadirkan sosok inspiratif berarti menanamkan mimpi pada anak. Anak yang barangkali tadinya tidak memiliki mimpi atau biasanya bingung saat ditanya perihal mimpi, kini setelah bertemu sosok inspiratif anak memiliki keyakinan yang besar tanpa ragu terhadap mimpinya. Dari sini, setidaknya anak terinspirasi untuk mencoba meniru dan meyakini dalam hatinya esok akan menjadi sosok yang menginspirasinya itu.

Ketiga, menghadirkan sosok inspiratif adalah membangun harapan pada anak. Saat anak melihat orang lain saja bisa sukses pasti dalam hatinya muncul rasa keinginan untuk menjadi sukses. Selanjutnya anak meyakini bahwa orang lain saja bisa pasti saya juga bisa. Dari sinilah anak akan membangun sebuah harapan untuk masa depannya. Harapan untuk hidup sukes, harapan untuk hidup bahagia, ataupun harapan-harapan lainnya yang diyakini bisa dicapai dengan kerja kerasnya.[]

Categories
Opini

Snake GENERATION #1

Ada tiga pola perilaku generasi muda di era milenial yang bisa menghawatirkan masa yang akan datang jika dibiarkan secara terus menerus.

Pertama, perilaku eat (budaya konsumtif). Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku generasi muda saat ini lebih suka makan di tempat yang terlihat mewah dari pada makan di rumah atau makan yang dimasak sendiri. Cara makannya pun sudah berbeda, yang dahulu barangkali diawali dengan doa kini justru semakin ribet. Kebiasaan sebelum makan di awali dengan selfie bersama makanan terlebih dahulu kemudian dibuat caption menarik atau status di media sosial, dan barulah mulai makan.

Kedua, perilaku sleep (memilih tidur/ malas gerak). Tidak sedikit kita jumpai generasi muda seperti mahasiswa selepas dari kampus tercintanya memilih untuk tidur di rumah atau kos dari pada melakukan hal positif yang bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya. Selain tidur, mereka juga asyik ngeliker menghabiskan waktunya di tempat tidur dengan gawainya.

Ketiga, perilaku hunting (suka jalan-jalan). Hunting seolah-olah menjadi hobby yang paling diminati oleh generasi muda kita. Mereka berlomba-lomba untuk sampai pada tempat wisata untuk memfoto diri dan memamerkan kepada teman-temannya melalui lebih dari satu media, seperti whatsapp, instagram, ataupun media sosial lainnya.

Dari ketiga perilaku generasi muda kita ini, jika ditanya gambaran nyata pemuda saat ini seperti apa? Maka saya akan jawab seperti ular. Sebabnya, generasi muda kita saat ini sedang suka ngeliker di tempat (malas gerak), budaya konsumtif tinggi, memakan sesuatu secara mentah-mentah tanpa dikunyah, garang dan mudah menyerah, lebih suka memotret diri dan lingkungannya untuk diunggah di sosial media, tetapi action-nya kurang dalam menyikapi persoalan pribadi atupun persoalan lingkungan sekitar.

Untuk itu, gambaran fenomena generasi muda saat ini saya sebut sebagai snake generation. Snake generation adalah generasi yang mindsite nya dipenuhi dengan lingkaran kemalasan dan ke-instan-an. Sehingga malas untuk bergerak, bekerja, apalagi berkarya. Terlebih jika generasi ini dibenturkan dengan sebuah masalah, maka ia hanya akan mengambil sikap menghindar atau sekadar berwacana tanpa memberikan solusi yang konkret dan nyata.[]