Categories
Kolom

Jejak Kecendekiaan Perempuan

Pro dan kontra mengenai mahasiswi bercadar di kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, seolah menjadi pucuk peringatan Hari Perempuan Sedunia (8 Maret) tahun ini. Itu menjadi semacam renungan tentang narasi perempuan hari ini yang tak lebih tentang persoalan tubuhnya semata-mata.

Dr. Muhammad al Habasy dalam bukunya Al Mar’ah Baina al Syari’ah wa al Hayah menyebut bahwa pergeseran narasi tentang perempuan yang melulu soal domestik didasarkan pada argumen prinsip Sadd al Dzariah (menutup pintu kerusakan). Keterlibatan perempuan di ruang-ruang publik dapat menimbulkan “fitnah” dan penyimpangan moral. Jargonnya maut sekali: “Demi melindungi” dan atau “Menjaga kesucian moral”. Padahal, ada perbedaan yang sangat tebal tentang “melindungi” dan “membatasi”.

Tulisan ini secara rendah hati ingin mengajak kita semua untuk membaca bentangan sejarah yang demikian panjang tentang perempuan. Bahwa ketika perempuan mendapatkan ruang yang lega untuk bernafas, mereka nyatanya mampu membangun narasi yang besar. Bahkan sejarah kita hari ini, tak lain karena sumbangsih mereka.

Mari kita sapa ibunda kita, Aisyah binti Abu Bakar. Beliau adalah istri kesayangan Rasulullah Saw., yang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang. Menurut Al Dzahabi dalam Siyar A’lam al Nubala (Riwayat Hidup Ulama-ulama Cerdas), lebih dari 160 sahabat laki-laki belajar kepada Aisyah. Secara persis, sebagian ahli hadits lain menyebut bahwa murid-murid Aisyah berjumlah 299 orang, yang terdiri atas 67 orang perempuan dan 232 laki-laki.

Beberapa lagi misalnya Umm Salamah binti Abi Umayyah, mengajar 101 orang yang terdiri atas 23 orang perempuan dan 78 orang laki-laki. Hafshah binti Umar memiliki 20 orang murid, 3 di antaranya perempuan dan 17 orang sisanya laki-laki. Hujaimiah al Washabiyyah memiliki 22 orang murid yang semuanya laki-laki. Ramlaha binti Abi Sufyan memiliki 21 orang murid, 3 perempuan dan 18 murid laki-laki. Fatimah binti Qais mempunyai 11 orang murid laki-laki. (al Habasy, Al Mar’ah Baina al Syari’ah wa al Hayah, hlm.16, dari Makalah “Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah”, Husein Muhammad, 2017).

Dua imam besar yang ritus keagamaannya hari ini banyak diikuti pun rupanya berguru pada perempuan. Imam al Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal rupanya berguru pada cicit Nabi Muhammad Saw, Sayyidah Nafisah (wafat 208 H). Sayyidah Nafisah adalah seorang perempuan yang cerdas dan sebagai sumber pengetahuan keislaman, pemberani dan dikenal sebagai yang tekun menjalani ritual dan asketis. Sebagian orang menyebutnya Waliyullah yang memiliki sejumlah keramat.

Sufi terbesar sepanjang zaman, Ibn Arabi, rupanya juga memiliki guru perempuan. Sekurang-kurangnya ada dua orang perempuan yang menjadi guru Ibn Arabi. Pertama Fakhr al Nisa, seorang sufi terkemuka yang menjadi idola para ulama laki-laki dan perempuan pada masanya. Ibn Arabi belajar kitab hadits Sunan al Tirmidziy kepadanya. Kedua, Lady Nizham. “Da adalah matahari di antara dua ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya jelita, tutur bahasanya lembut, otaknya sangat cemerlang, kata-katanya bagai untaian kalung yang gemerlap cahaya penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun. Jika ia bicara semua yang ada menjadi bisu.” Demikian komentar Ibn Arabi terhadap guru yang dikaguminya itu.

Sejarawan Damaskus yang terkemuka bergelar “Hafidz al Ummah”, Ibnu Asakir, memiliki banyak guru yang delapan puluh orang di antaranya adalah perempuan. Kemudian ahli hadis terkemuka, Ibn al Jauzi dan Ibn Qudamah al Hanbali merupakan murid dari seorang perempuan cendekia, Syuhdah bin al Abri. Al Hafidz Ibn Mundzir berguru kepada Ummu Habibah al Ashbhani. Bahkan Ibn Hazm, seorang tokoh cemerlang dalam keilmuan Islam dan mujtahid besar yang berasal dari Andalusia, pengetahuannya diperoleh dari kaum perempuan.

Perdebatan hari ini tentang pro dan kontra mahasiswi bercadar atau yang sejenisnya telah dengan benderang menunjukkan bahwa kita semua belum memanusiakan perempuan. Jika esok lusa perdebatan kita masih berpusing di sekitar itu, bukan tentang ide-ide dan pemikiran dari kaum perempuan, maka kemunduran peradaban itu telah benar-benar nyata di depan mata kita.[]

Categories
Berita

Rafe’i Ali Institute Selenggarakan Safari Literasi

Rafe’i Ali Institute (RAI) memulai rangkaian Safari Literasi ke SMP IT Nurul Yaqin, Kecamatan Patia, Kabupaten Pandeglang, Selasa (25/10). Safari Literasi  merupakan upaya RAI dalam menebar virus literasi ke sekolah-sekolah. Programnya berupa workshop menulis fiksi-nonfiksi, jurnalistik, aktivasi mading sekolah, inisiasi jurnalistik pelajar, gerakan membaca dan cinta perpustakaan dan sebagainya.

Direktur Eksekutif Rafe’i Ali Institute, Atih Ardiansyah, menyebut Safari Literasi merupakan program jemput bola.

“Selama ini, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan RAI terfokus di Balai Ilmu Pengetahuan Rafe’i Ali, di Kampung Jaha Masjid. Kita ingin memperluas spektrum, biarkan BIP RAI menjadi episentrumnya,” ujar Atih.

Ditambahkan Atih, bahwa saat ini RAI telah membuka beberapa titik pusat belajar berbasis perpustakaan yang dikolaborasikan dengan warga. Dua di antaranya di RW 03 Desa Sukamaju dan di RW 06 Komplek Griya Labuan Asri.

“Di RW 06, kita sudah musyawarah dengan RT-RW sampai ketua DKM. Kebetulan sudut baca yang kita kembangkan di dekat masjid. Harapan kami, keberadaan sudut baca tak hanya menjadi perpustakaan semata, tetapi bisa menstimuli adanya semacam Islamic Centre.”

Di SMP IT Nurul Yaqin, Patia, RAI menggandeng guru Bahasa Indonesia setempat untuk berbagi dan memotivasi siswa dalam membaca dan menulis. Hilman Sutedja, relawan RAI membawakan materi menulis cerpen sambil membedah proses kreatif buku kumpulan cerpennya berjudul “Lege” (Gong Publishing, 2017).

Suhadi, guru Bahasa Indonesia SMP IT Nurul Yaqin menilai agenda Safari Literasi sangat diperlukan. Hal ini karena sekolah-sekolah saat ini masih gagap dalam mengimplementasikan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

“Bersyukur sekali sekolah kami kedatangan RAI. Bagi sekolah kami, ini merupakan kegiatan bedah buku dan seminar literasi pertama sejak sekolah ini berdiri.” Ujarnya.

Bagi sekolah-sekolah yang ingin berkolaborasi dengan RAI dalam kegiatan literasi, bisa melayangkan surat permohonan atau menghubungi Saudara Faisal Hatami (085794968313).**

Categories
Kolom

Kebangkitan Literasi, Literasi Kebangkitan

Hari-hari besar yang jatuh pada bulan Mei mengandung falsafah hidup yang sangat penting. Mari kita melakukan penelusuran ke awal bulan, di sana ada Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei. Kemudian di pertengahan, 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Kemudian diakhiri pada hari ini, Sabtu 20 Mei, yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pendidikan-buku-kebangkitan, menjadi satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Ketiganya sambung-menyambung membentuk sebuah narasi besar nan diidamkan; Indonesia yang sejahtera dan berkemajuan.

Pendidikan, buku dan kebangkitan, pada bulan Mei ini seolah menemukan momentumnya. Pucuk momentum itu bernama literasi. Geliat literasi seperti menjanjikan narasi pendidikan, buku dan kebangkitan sekaligus, untuk menemui kenyataan.

Kebangkitan Literasi 

Kebangkitan literasi dimulai saat para pegiat literasi diundang Presiden Joko Widodo ke Istana pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2017 yang lalu. Menurut saya, undangan ini memiliki tiga makna. Pertama, ini semacam apresiasi pemerintah terhadap perjuangan tak kenal lelah para pejuang literasi yang telah mendekatkan buku kepada rakyat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, betapa heroiknya para pegiat literasi mendekatkan buku kepada masyarakat. Ada yang menggunakan perahu, kuda, andong, angkot, motor, dan sebagainya demi menjangkau daerah pelosok. Presiden seolah menegaskan bahwa pegiat literasi kini tak lagi berjuang di jalan sunyi, karena ada pemerintah beserta perangkat-perangkatnya yang menemani, menyisi di kanan dan kiri.

Kedua, undangan itu menjadi semacam simbol bahwa pemerintah menaruh harapan besar pada literasi sebagai anak panah pendidikan. Kita tentu telah sama-sama mafhum bahwa dunia pendidikan kita seolah asing dengan dunia literasi. Plagiasi dan aktivitas contek mencontek di dunia pendidikan telah menjadi berita yang kerap kita santap. Kedua aktivitas destruktif ini, dari sekian banyak persoalan lainnya, merupakan bukti sahih dari gagalnya institusi pendidikan kita dalam mewariskan semangat literasi kepada peserta didiknya. Nah, bertemu dan berbincangnya Presiden dengan para pegiat literasi menjadi semacam penyatuan kekuatan dalam mendobrak kejumudan dunia pendidikan kita.

Ketiga, undangan ini berarti banyak bagi pemerintah untuk mencegah disintegrasi bangsa. Pemerintah seolah ingin menggandeng para pejuang literasi dan mendukung upaya pengentasan buta aksara. Masih tingginya angka buta aksara ditambah makin tak terbendungnya arus teknologi dan informasi membuat masyarakat dengan mudah menyantap berbagai berita hoax. Berita hoax yang menjadi viral itulah yang selama ini membikin gaduh negara kita. Hoax seolah-olah menjadi alarm bahwa krisis sesungguhnya bagi bangsa, dan ini mengancam keutuhan NKRI, adalah krisis buku dan bencana buta aksara. Tragedi 0 buku seperti yang diungkapkan Taufiq Ismail, menjadi sebenar-benar tragedi dalam arti yang sesungguhnya.

Presiden Jokowi, pada bulan Mei ini bahkan menepati janjinya untuk menggratiskan ongkos kirim buku saban tanggal 17—kecuali bulan Mei gratis ongkir pada tanggal 20. Ini bukan hanya menjadi kabar gembira bagi para pegiat literasi, namun menjadi semacam gerakan nasional untuk sama-sama tergerak mendekatkan buku sedekat-dekatnya. Dan Presiden Jokowi, jauh sebelum peringatan Hardiknas 2 Mei 2017, telah melakukan kampanye buku dengan cara jalan-jalan ke toko buku dan membeli sejumlah buku.

Literasi Kebangkitan

Mesti kita sadar bahwa pekerjaan para pegiat literasi sangatlah berat. Wilayah NKRI yang luas dengan kondisi alam dan infrastruktur yang belum memadai menjadi satu dari sekian banyak penyebabnya. Ada tiga pekerjaan yang (harus) dilakukan para pegiat literasi. Pertama, membuka akses buku kepada masyarakat, dan ini masih terus dilakukan. Kedua, mengentaskan buta aksara. Buku sudah ada, distribusnya pun dimudahkan pemerintah dengan bebas ongkir saban tanggal 17 tiap bulannya melalui PT Pos Indonesia, namun angka buta aksara masih demikian tingginya. Kemdikbud, per tahun 2015, mengeluarkan data bahwa sebanyak 3,56% penduduk Indonesia masih buta aksara. Itu artinya, ada sekitar 5,7 juta orang yang belum melek huruf. Ketiga, menjadikan membaca sebagai aktivitas fungsional (budaya). Poin yang ketiga ini merupakan pekerjaan abadi, yang takkan rampung dalam hitungan jemari.

Literasi merupakan investasi leher ke atas, bukan leher ke bawah. Literasi itu mengenyangkan kepala, bukan membuncitkan perut. Paradigma inilah yang harus terus ditanamkan para pegiat literasi kepada siapa saja, terutama kepada penerima manfaat literasi. Makanya, rasanya agak tabu, meski tidak terlarang, beranggapan bahwa literasi bisa mendongkrak kesejahteraan.

Menjadikan literasi sebagai pendongkrak kesejahteraan tentu saja merupakan pekerjaan yang mahaberat. Akan tetapi, bagi masyarakat yang sudah teriluminasi literasi, kesejahteraan tidak melulu soal terpenuhinya kebutuhan perut dan derivasinya. Yang paling fundamental, literasi bisa mengubah cara pandang orang tentang kesejahteraan.

Bagi orang yang sudah merasakan manfaat literasi, kesejahteraan bukan lagi tentang pemenuhan kebutuhan makan semata. Tentu saja orang yang melek aksara akan menjadi lebih cerdas dan taktis dalam upaya memenuhi tuntutan kesejahteraan diri dan keluarganya. Tetapi lebih jauh dari itu, dia akan memahami bahwa kesejahteraan ditentukan pula oleh kebijakan pemerintah.

Kesadaran akan hal ini akan menghadirkan efek yang lain, yakni munculnya kepedulian sekaligus daya kritis. Orang yang melek aksara akan peduli dengan sesama yang belum sejahtera, dan pada saat yang sama muncul daya kritisnya untuk mengentaskan kesenjangan sosial. Kepedulian dan daya kritis kolektif akan memiliki posisi tawar yang kuat dalam menghadapi setiap keputusan politik yang tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika hal ini sudah terjadi, maka literasi sudah betul-betul menginspirasi kebangkitan.

Mudah-mudahan.*

Categories
Kolom KOLOM FATIH ZAM

Memerdekakan Literasi

Bila meminjam istilah dunia virtual, literasi berikut derivasinya tampaknya sedang viral saat ini. Literasi bagaikan fashion, kata Dewayani dan Retnaningdyah (2017), orang beramai-ramai memakainya agar tidak ketinggalan mode. Literasi seolah telah menjadi brand baru bagi pendidikan modern. Hampir seluruh istilah yang berkaitan dengan ‘pendidikan’ atau ‘pengetahuan’ telah berganti baju menjadi literasi. Bukan hanya pegiat dan relawan, kepolisian sampai presiden pun turut ambil bagian.

Akan tetapi, di tengah geliat dan popularitasnya, kampanye literasi masih dilingkupi perasaan inferior. Inferioritas tersebut bahkan diembuskan oleh para pegiatnya sendiri. Saya masih kerap menjumpai makalah-makalah atau ceramah-ceramah literasi yang masih dihiasi data-data survey internasional yang menempatkan Indonesia hampir selalu berada pada ranking terbawah.

Saya sudah lama memendam perasaan tidak setuju dengan kampanye literasi yang menghidangkan ranking dan data berdasarkan survey internasional sebagai titik pijaknya. Saya pun sudah lama tak mengindahkan ujaran-ujaran yang mengatakan bahwa indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001, siswa di Indonesia membaca 0 buku dalam setahun, atau data teranyar dari studi Most Littered Nation in The World yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara. Saya percaya, setiap negara memiliki kekhasannya masing-masing. Dari segi jumlah penduduk, misalnya, rasanya tak apple to apple membandingkan Indonesia dengan Singapura, misalnya, yang jumlah penduduknya tidak sebanding. Itu belum melihat aspek lain, misalnya keragaman karakter dan kebudayaan.

Dalam buku “Suara dari Marjin” (Rosda Karya, 2017), Dewayani dan Retnaningdyah menuturkan bahwa pengaruh survey internasional memang telah berhasil menginduksi berbagai kebijakan. Sayangnya, kentara betul bahwa gerakan literasi yang dikobarkan pemerintah masih terkesan demi mengejar berbagai ketertinggalan versi survey internasional tersebut. Oleh karena orientasinya mengejar ketertinggalan tanpa ditopang penelitian yang holistis, maka kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pemerintah masih bersifat artifisial, seremonial, kurang esensial, dan berujung menjadi rebutan proyek.

Kondisi demikian memunculkan aktor-aktor, yang oleh Iqbal Dawami (2017) disebut sebagai pseudoliterasi. Pseudoliterasi adalah mereka yang berkedok pegiat literasi namun pada kenyataannya tengah berebut aneka proyek untuk keuntungan pribadi. “Saya sering melihat para aktivis literasi mengampanyekan untuk membaca, tetapi dirinya tidak membaca.” Demikian Iqbal melontarkan keresahannya dalam buku Pseudoliterasi (Maghza, 2017). Ya, bagaimana mungkin kampanye membaca dan menulis digalakkan oleh mereka yang tidak menjadikan membaca dan menulis sebagai kegiatan dalam keseharian? Kemunculan pseudoliterasi, menurut Iqbal, tak bisa dihindari karena motif awal kampanye yang dicanangkan pemerintah pun sekadar memperbaiki peringkat. AS Laksana, sebagaimana dikutip Iqbal, menyebut kampanye gerakan literasi saat ini ibarat perayaan tujuh belas Agustusan, yang pesan utamanya hanya: “Kami telah menjalankan anjuran untuk memasyarakatkan budaya membaca.”

Literasi Ideologis

Kampanye literasi yang artifisial sangat mudah kita identifikasi cirinya. Tengoklah lini masa media sosial kita. Akan kita jumpai foto-foto anak-anak yang sedang berpose membaca buku, atau anak-anak yang berbaris sambil menampilkan salam literasi (ibu jari dan telunjuk diacungkan membentuk huruf L). Foto-foto yang ditampilkan hampir seluruh komunitas literasi tersebut tentu saja tidak salah. Akan tetapi, foto tersebut menjadi ciri betapa gerakan-gerakan literasi menjadi sungguh artifisial manakala para pegiatnya alpa melaporkan hasil baca, menyodorkan karya dan sebagainya. Keberhasilan gerakan literasi,  bagi para pseudoliterasi ini, dicirikan oleh adanya kemeriahan dan pencitraan.

Dewayani dan Retnaningdyah dalam Suara dari Marjin (Rosda Karya, 2017), mengajak kita untuk memahami bahwa literasi memiliki makna lebih daripada sekadar kampanye penumbuhan minat baca dan program tantangan membaca yang didengungkan dengan meriah. Kampanye literasi, tambah mereka, hendaknya tidak memaksakan program yang seragam kepada komunitas masyarakat. Dewayani dan Retnaningdyah menawarkan konsep literasi ideologis.

Literasi ideologis adalah upaya menitikberatkan pada upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memahami teks (seperti teks cetak, digital, teks budaya, teks religius) untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Titik pijaknya adalah “memahami”. Seseorang atau masyarakat tidak mungkin memiliki pemahaman tanpa mengalami atau terlibat yang dalam istilah Dewayani dan Retnaningdyah disebut trajektori. Trajektori literasi adalah lintasan pengalaman seseorang ketika memaknai kegiatan membaca dan menulis untuk mencerna pengetahuan (2017:24).

Bagaimana cara menuju literasi ideologis? Kuncinya ada pada keteladanan. Apakah kebijakan bidang literasi ini telah terinternalisasi dalam pribadi pengambil kebijakannya?

Apakah di lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, kegiatan membaca dan menulis sudah menjadi tradisi? Di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, sudahkah pejabat-pejabatnya sampai pegawai-pegawainya menjadikan membaca dan menulis sebagai tradisi? Jika hal itu belum menjadi kebiasaan yang mengakar, maka gerakan literasi yang sejauh ini sudah dilakukan hanya sandiwara belaka, yang dalam bahasa Erving Goffman sebagai dramaturgi literasi.

Saya mengajak siapa saja, terutama para pengambil kebijakan di bidang literasi, untuk memerdekakan literasi kita dari ranking-ranking internasional. Upaya membumikan gerakan literasi harus dimulai dari bumi kita, dari kultur kita, dari kondisi masyarakat kita, bukan dari langitan, dari tes-tes dan survey internasional. Karena gerakan literasi yang berangkat dari sosiokultural kita akan mensyaratkan keterlibatan langsung para pelakunya, sehingga suasana maupun hasilnya mampu membangkitkan kesadaran, membentuk pribadi yang lebih kuat, dan lebih tepat sasaran. Bukan hanya itu, praktik literasi yang ideologis seperti itu bisa berlangsung secara mandiri, penuh idealisme, saling menguatkan. Dan sebenarnya, gerakan-gerakan seperti ini telah berlangsung cukup lama, namun terabaikan oleh pemerintah yang terbius oleh obsesi mengejar ketertinggalan berdasarkan ranking yang dibuat lembaga-lembaga internasional itu.

*) Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di alineatv.com dan rafeiali-institute.org

**) Ditulis/diposting kembali di web ini semata-mata untuk sebaran semata

Categories
Kolom KOLOM FATIH ZAM

Manusia Mbeling

Dengan penuh kesadaran, saya pernah melakukan cocoklogi antara kata ‘mata’ dengan fenomena yang melekat pada presiden Indonesia. Hasilnya begini: SBY presiden ‘mata panda’ karena besarnya perawakan dan kantung mata yang dia punya. Megawati presiden ‘mata pedang’ karena pada masanya masyarakat dihebohkan dengan fenomena kolor ijo dan ninja. Gus Dur presiden ‘sebelah mata’ sebab hanya dia yang berani mengatakan bahwa DPR tak berbeda dengan Taman Kanak-kanak. Habibie presiden ‘mata pena’, manusia paling jenius yang dimiliki Indonesia. Soeharto presiden ‘mata duitan’ karena pada masanya korupsi terjadi besar-besaran tanpa ketahuan. Sukarno: ‘Mata keranjang’ (Fatih Zam, Mata Presiden, Tribun Jabar, 2 Mei 2014).

Saya tidak betul-betul mengenal Sukarno. Sejarang memiliki rupiah yang bergambar dirinya. Saya hanya mampu mensketsanya sebagai seorang flamboyan—untuk tak menyebutnya sebagai penjahat kelamin. Saya juga mengenalnya sebagai Bapak Proklamator. Sejak di bangku Sekolah Dasar, saya telah diberitahu guru bahwa dialah manusia Indonesia pertama yang merekahkan fajar kemerdekaan dengan lidahnya yang fasih—lidah serupa yang dia pakai untuk merayu wanita tentunya.

Manusia semacam inilah yang dipilih semesta untuk menjadi tokoh utama Indonesia. Dialah pemilik sihir yang sanggup membuat saya mengambil jeda agak lama ketika menyebutnya ‘mantan presiden’. Ganjil rasanya, sebutan itu tak seluwes ke presiden selain dirinya. Meski dalam konteks apapun, kata ‘mantan’ memang kerap membuat saya baper.

Walau bagaimanapun saya harus siap menghadapi kenyataan bahwa manusia dengan pikiran begitu rupa (mungkin mesum salah satunya) adalah wasilah Tuhan sehingga saya bisa sekolah, bisa menikah dan bisa bicara dengan enak dalam tulisan ini. Mengingat hal itu, rasa-rasanya saya harus sedikit objektif memandang Sukarno. Karena saya percaya tidak ada satu pun kebaikan yang hilang lantaran sebuah keburukan, begitu pula sebaliknya.

Sebagai manusia pertama Indonesia, sulit bagi saya untuk menyandingkan Sukarno dengan tokoh-tokoh lain di dunia. Seseorang yang dengan enteng bilang, “Amerika kita setrika! Inggris kita linggis!” namun di sisi yang lain menyetrika dan melinggis (hati) banyak wanita, ah, siapakah yang mampu menyepadani reputasinya?

Hanya satu orang, menurut saya, yang memiliki kemiripan dengan Sukarno. Dia adalah Nabi Adam—semoga ini bukan sesuatu yang tergolong lancang.

Setidak-tidaknya ada tiga karakter utama yang mirip. Satu di antaranya sama-sama berpredikat manusia pertama: Nabi Adam dalam konteks umat manusia seluruhnya, Sukarno untuk Indonesia.

 

Ekualitas Nabi Adam dan Sukarno 

Di dalam semua kitab suci agama samawi, akar dan jalinan cerita Nabi Adam serupa belaka. Adam adalah manusia pertama yang tinggal di surga, berjenis kelamin lelaki dan terusir ke dunia lantaran mendekati pohon terlarang dan memakan buahnya. Manusia pertama yang membuat Malaikat bersujud dan Iblis tertendang itu mengawali kiprahnya sebagai khalifah fil ardh lewat keterlibatan wanita. Ini kesamaan kedua antara Nabi Adam dan Sukarno. Hanya, Sukarno dengan banyak wanita, sementara Nabi Adam setia kepada Hawa semata—harap dicatat, waktu itu populasi wanita ada satu saja.

Keserupaan ketiga tidak berkait dengan kehidupan pribadi namun kehidupan sosial dan politik, yakni karakter kepemimpinan. Nabi Adam dan Sukarno adalah tipe manusia dengan karakter berani—berkonfrontasi, berperang dan menumpahkan darah.

Terus terang, saya agak kesulitan menemukan kepingan kisah yang menceritakan olah strategi sekaligus peperangan fisik yang dialami Nabi Adam. Namun, “diskusi” antara Tuhan dengan malaikat yang berlangsung entah kapan, Allahua’lam bisshawab, menunjukkan karakter tersebut.

Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata,“Akankah Engkau jadikan di sana (makhluk) yang merusak dan menumpahkan darah? Padahal kami mensucikan dengan memuji-Mu dan mengkuduskan-Mu.” (Q.S. 2:30)

Ditinjau dari sudut tafsir tematik, Bambang Pranggono (2006) menerangkan bahwa ayat ini berbicara tentang petunjuk Tuhan soal pemilihan pemimpin. Menurutnya, malaikat bukanlah makhluk “penurut”, tak seperti yang diajarkan guru ngaji saya sewaktu kecil dahulu. Malaikat ternyata berani menyampaikan pendapatnya kepada Tuhan. Pendapat itu bahkan bernada miring. Ada semacam black campaign yang dilakukan malaikat terhadap Nabi Adam. Komentar yang memojokkan Nabi Adam bisa dijumpai dalam kalimat: akankah Engkau jadikan di sana (makhluk) yang merusak dan menumpahkan darah? Kemudian, malaikat menutup argumentasinya dengan menjunjung tinggi kelebihannya: padahal kami mensucikan dengan memuji-Mu dan mengkuduskan-Mu. Malaikat sedang melakukan lobi politik agar Allah memilih dirinya sebagai khalifah di bumi, bukan Nabi Adam.

Manuver politik malaikat yang telah mengeluarkan komentar bernada miring tentang Nabi Adam rupanya tidak dibantah oleh Tuhan. Saya tidak menemukan satu ayat pun dalam Al Quran yang menerangkan bahwa Tuhan mendamprat malaikat lantaran itu. Tuhan justru mengamini keresahan malaikat. Meski begitu, Tuhan telah berketetapan: Aku mengetahui apa-apa yang tidak kamu ketahui, begitu firman-Nya (Q.S. 2:30).

Secara tidak langsung, Tuhan mengakui sekaligus memberikan pengertian kepada malaikat—juga kepada kita—bahwa Nabi Adam memang memiliki karakter merusak dan menumpahkan darah (berkonfrontasi, berkonflik dan berperang). Namun, Tuhan tetap memilih Nabi Adam sebagai khalifah dan bukannya memilih malaikat mengindikasikan bahwa karakter tersebut bukan halangan berarti untuk menjadi pemimpin. Karakter demikian malah lebih efektif daripada yang ragu-ragu karena tersandera citra. Atau bahkan karakter tersebut lebih baik daripada karakter lembut dan lurus (kerap bertasbih dan bertahmid) seperti yang dimiliki oleh malaikat.

Nah, kepada karakter yang tidak lurus-lurus amat itulah bumi dititipkan untuk dikelola dan dimakmurkan. Demikan pula dengan bumi pertiwi ini. Di antara sekian banyak tokoh pergerakan di masa-masa menjelang kemerdekaan, Tuhan justru mewariskan Indonesia kepada Sukarno dengan karakter mbeling-nya.

Apakah tidak ada tokoh lain yang lebih baik daripada Sukarno? Tentu saja ada. Hanya saja, definisi “lebih baik” yang saya pakai jangan-jangan serupa dengan logika malaikat waktu mempersoalkan penunjukkan Nabi Adam sebagai khalifah. Saya melupakan, atau pura-pura lupa dengan logika Tuhan.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (Q.S. 2:216).

Bagaimanapun, jarang ada manusia pelopor yang lurus-lurus saja. Pelopor adalah dia yang selalu resah dan berani mengambil risiko. Risiko tersegara bagi pelopor dan yang selalu terdepan adalah duluan kena damprat atau bahkan yang lebih sadis daripada itu. Sementara manusia belakangan, para pengekor, adalah mereka yang memiliki keuntungan karena bisa mengambil pelajaran. Tetapi nasib hakiki ekor itu begini: posisinya di dekat pantat, dikentuti melulu.