Categories
Artikel Opini

Jalan yang Menantang

Oleh. Heri Maja Kelana

“Sebuah mimpi bisa menjadi titik tertinggi kehidupan”, kalimat tersebut terdapat dalam novel yang sangat fenomenal dari seorang penulis hebat asal Nigeria, yaitu Ben Okri yang berjudul The Famished Road. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1991 oleh penerbit Jhonathan Cape di London, Inggris.

Novel The Famished Road ini menjadi bahan perbincangan para ahli pada waktu itu, pasalnya novel ini mengangkat postmodern dan pascakolonial yang terjadi pada realitas masyarakat Nigeria. Novel ini memenangkan Booker Prize pada tahun 1991.

Pada kesempatan kali ini, saya tidak banyak bercerita tentang novel yang ditulis oleh seorang Ben Okri, melainkan akan banyak mengemukakan tentang jalan, mulai dari realitas dan filosofi.

Jalan adalah konsep yang mencakup berbagai pemahaman dan pandangan mengenai jalan, baik secara harfiah maupun metaforis. Filosofi ini dapat mencakup aspek fisik, spiritual, dan simbolis dari jalan dalam kehidupan manusia.

Jalan sering kali digunakan sebagai metafora untuk perjalanan hidup seseorang. Setiap individu menempuh jalannya sendiri dengan berbagai rintangan, persimpangan, dan tujuan.

Dalam banyak tradisi spiritual dan religius, jalan sering kali diartikan sebagai perjalanan menuju pencerahan atau keselamatan.

Filsuf seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus membahas konsep jalan dalam konteks pilihan dan kebebasan individu. Jalan di sini menggambarkan pilihan yang harus dibuat oleh setiap individu dalam kehidupannya yang absurd dan penuh dengan kebebasan.

Kant membahas konsep jalan dalam konteks moralitas. Jalan yang benar adalah mengikuti imperatif kategoris, prinsip moral yang bersifat universal dan harus diikuti tanpa pengecualian. Jalan moral ini adalah panduan untuk bertindak berdasarkan prinsip yang dapat diterima secara universal.

Heidegger berbicara tentang konsep “Weg” (jalan) dalam karyanya Being and Time. Baginya, jalan adalah perjalanan eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan (Sein). Dia menekankan pentingnya “berjalan” atau “menjalani” kehidupan dengan kesadaran penuh tentang keberadaan dan waktu.

Nietzsche menggunakan metafora jalan dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra. Dia berbicara tentang “jalan ke atas” sebagai perjalanan menuju pengembangan diri dan transformasi menjadi “Übermensch” (manusia unggul). Jalan ini penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi penting untuk mencapai potensi penuh sebagai individu.

Masing-masing filsuf memiliki cara unik dalam memahami dan menjelaskan konsep jalan, tetapi secara umum, “jalan” sering kali merujuk pada perjalanan hidup, proses mencapai tujuan, atau cara menjalani hidup yang benar dan bermakna

Banyak karya sastra dan budaya yang menggunakan konsep jalan sebagai simbol perjalanan, perubahan, dan transformasi. Jalan juga bisa dipahami dari sudut pandang urbanisme dan perencanaan kota, di mana jalan menjadi ruang sosial yang menghubungkan orang-orang dan berfungsi sebagai sarana mobilitas dan interaksi sosial.

Gas Terus Semangatmu

JNE, ya JNE ekspedisi pengiriman barang kekinian memiliki moto Menyambung Kebahagiaan dari Generasi ke Generasi begitu sangat terasa di masyarakat Indonesia. Dari mulai anak kecil hingga lansia, pasti tahu JNE.

Saya memiliki pengalaman tersendiri dengan JNE. Setiap bulan saya mengirimkan buku-buku untuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di pelosok-pelosok Indonesia. Tidak sampai empat hari, buku-buku yang dikirim sudah sampai di TBM yang dituju. Saya mengetahuinya dari laporan TBM yang mengirimkan pesan lewat whatsapp ke ponsel.

Suatu ketika, saya mengirimkan paket ke wilayah Indonesia timur, lebih tepatnya ke Provinsi Maluku. Seperti biasa ada pesan pemberitahuan ke ponsel bahwa buku telah sampai. Namun kali ini ada yang berbeda, setelah pemberitahuan lewat whatsapp penerima buku telepon melalui aplikasi whatsapp.

Tidak berpikir panjang, diangkat telepon tersebut dan orang yang telepon tersebut menangis terharu. Bahwa buku-buku yang dikirim telah sampai di TBM dan mengatakan selama membuka TBM baru kali ini ada yang mengirimkan buku dari luar Provinsi Maluku dengan paket JNE.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa TBMnya sangat jauh dari Ambon, kurir JNE sempat kebingungan untuk mencari alamat yang dituju. Kurir pun menanyakan ke kecamatan dan desa, akhirnya menemukan alamat TBM yang dituju.

Mendengar pengakuat tersebut saya jadi terharu. Pertama terharu karena dapat membantu pengadaan buku di TBM untuk kemajuan literasi di Indonesia. Kedua terharu oleh perjuangan kurir JNE yang bersusah payah menemukan alamat tujuan.

Saya membayangkan dalam pikiran kurir tersebut, bahwa yang dikirimnya adalah buku, maka dia harus menemukan alamat, supaya buku ini sampai dan dapat dimanfaatkan oleh penerima. Saya sangat menghargai kerja keras yang dilakukan oleh kurir JNE, mengantarkan paket-paket buku yang saya kirim ke pelosok-pelosok Indonesia.

Dalam komunikasi pun JNE sangat baik, terutama kurir yang mengantarkan paket. Mereka selalu laporan apabila ada TBM yang sudah pindah alamat dan tidak ditemukan. Kemudian saya komunikasi ulang dengan TBM yang dikirim buku untuk meminta alamat yang baru atau no kontak yang dapat dihubungi.

JNE telah menemukan makna dari “jalan”. Bagi JNE, jalan adalah penyambung kebahagiaan dari generasi ke generasi yang kemudian dibuat moto oleh JNE “Menyambung Kebahagian dari Generasi ke Generasi”. Dan untuk kurir JNE, jalan adalah perjalanan eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan (Sein), seperti yang dikatakan pada buku Being and Time karya Martin Heidegger.

Pengalaman-pengalaman kurir JNE terkait jalan saya kira sangat banyak dan beragam. Pengalaman mereka satu sama lain akan sangat berbeda. Hal ini menjadi kekayaan terhadap pengalaman empirik, psikologi, dan sosial dari kurir JNE tersebut. Apabila pengalaman-pengalaman ini dibukukan, ini menjadi portofolio yang sangat bagus untuk JNE.

Kembali pada novel The Famished Road, saya membayangkan bahwa sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh JNE terkait pengiriman paket menembus batas-batas realis. Seperti yang dilakukan oleh Azaro seorang tokoh dalam novel The Famished Road.

Menembus batas realis yang saya maksudkan adalah bagaimana paket tersebut berpindah dari satu moda ke moda yang lain, karena Indonesia adalah sebuah negara kepulauan, tidak menutup kemungkinan bahwa kurir JNE menaiki sepeda motor atau mobil menyebrangi lautan atau sungai setiap hari untuk mengirimkan paket. Ini menjadi suatu trans di luar nalar. Dan menjadi suatu keberhasilan JNE dalam membangun jaringan yang begitu luar biasa. Terutama adalah kepercayaan terhadap pelanggan setia.

JNE tidak lantas berpuas diri dengan capaian yang telah dicapai selama ini dalam mengantarkan paket ke pelosok-pelosok Indonesia. Hingga banyak penghargaan yang diraih olehnya. JNE terus melakukan inovasi dan kreativitas. Dan tentu saja yang terpenting adalah tetap bahagia di jalan.

Kurir menjadi ujung tombak penyalur kebahagiaan dari pengirim ke penerima di seluruh Indonesia. Kurir juga tidak pernah lelah, berada di jalanan yang kadang hujan, panas, berbatu, lumpur, menyebrangi sungai dan lautan. Namun dengan spirit berbagi kebahagiaan, rintangan di jalan dapat teratasi.

Saya memiliki pengalaman empirik dengan kurir dan penerima paket buku yang dikirim oleh JNE ke Indonesia timur. Pengalaman ini tidak akan terlupakan. Bravo JNE. Seperti apa yang dikatakan oleh Friedrich Nietzsche “jalan ke atas” sebagai perjalanan menuju pengembangan diri dan transformasi menjadi “Übermensch” (manusia unggul). Jalan ini penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi penting untuk mencapai potensi penuh sebagai individu. Dan sebuah mimpi bisa menjadi titik tertinggi kehidupan.

Bravo JNE!

Salam.

Categories
Artikel Opini

Sunyi yang Berdenting pada Film “Denting Sunyi” TBM Omah Buku

Oleh. Heri Maja Kelana

Manusia modern telah begitu terbentuk oleh asumsi-asumsi sejarah budaya kita, oleh peradaban yang telah memupuk kita. Kita mengatakan bahwa kita telah mengelola sebuah warisan budaya. Namun, kita juga terbentuk oleh sejarah biologis planet kita ini. Kita mengelola juga sebuah warisan genetik.

(Novel Dunia Anna, Jostein Gaarder)

 

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Omah Buku mengalihwahanakan buku digital dari Aplikasi Let’s Read yang berjudul “Tarian Sunyi” karya Sarah Fauzia dengan illustrator Widyasari Hanaya. Buku ini diangkat menjadi film pendek berdurasi 19 menit dengan judul “Denting Sepi”. Sekenario serta sutradara dari film ini adalah Gepeng Nugroho, sedangkan produser Budi Susila. Pemeran dari film ini anak-anak dari TBM Omah Buku seperti Kalyana, Arkanata Ganendra Kawiswara, Sri Rezeki Teyeng, Syifa Salsabila Salma, Shanika Zaina Almahyra, Amira Nugraheni Syahida, Bunga Rimawati, Valerian, Rachmat Nurgianta, Ragio Lovan, Uti Tinah, Herman Yulianto, Joko Ronggolawe, Ranto. Sedangkan untuk pengambil gambar adalah tim dari Cakrawala Film, penata lampu dan properti Soekrisno Sengkolon.

Berikut adalah ceria singkat dari buku “Tarian Sunyi” yang diangkat pada film yang berjudul “Denting Sepi”. Mentari seorang anak tunarungu dan tunawicara sangat ingin sekali menari seperti teman-temannya. Ia, terus melihat serta memerhatikan teman-temannya menari sambal menirukan gerakannya. Namun selalu gagal dan kacau. Bu Ayu, memperbolehkan Mentari untuk belajar menari bersama anak-anak yang lain. Mentari pun ditemani oleh Tara dan Galuh.

Mentari terus mencoba untuk belajar menari, namun selalu gagal mengikuti ritme anak-anak yang lain. Hingga ia mendekatkan pengeras suara, supaya lebih terasa getaran ke kaki Mentari serta hentakan ke jantungnya. Alhasil, Mentari dapat menari mengikuti aba-aba dari Bu Ayu.

Mentari terus berlatih di rumah. Hingga pada suatu waktu ia pentas Tari Bali. Apa yang dicita-citakannya tercapai berkat kerja keras yang dilakukan Mentari berlatih menari.

Mengalihwahanakan teks ke bentuk visual seperti film adalah sebuah karya yang baru. Akan tetapi, tidak meninggalkan teks sebagai sumber serta ide utamanya ketika diubah pada bentuk visual. Seperti yang dilakukan oleh Gepeng Nugroho sebagai seorang penulis sekenario yang mengadaptasi dari buku “Tarian Sunyi”.

Mentari pada teks maupun pada film sebagai tokoh kuat dengan karakter yang unik. Mentari adalah simbol pars pro toto dari anak tunarungu serta tunawicara. Kekuatan karakter ini yang menjadikan buku ini asik untuk dibuat film. Serta tentu kejelian seorang sutradara dalam memilih aktor watak. Sehingga pengalihwahaan ini berhasil membuat saya sebagai penonton larut terbawa emosi film tersebut.

Aktor-aktor yang notabene bergiat di TBM Omah Buku saya kira memang bukan aktor yang profesional. Namun akting mereka tidak kalah dari aktor profesional. Mereka memiliki talenta yang gemilang, mereka mempunyai semangat yang luar biasa, total dalam memerankan karakter.

Teks dan Warisan Genetik

Buku-buku digital anak Let’s Read memang sangat luar biasa. Teks yang lahir pada buku-buku anak bukan lahir dari mengarang serta imajinasi semata, melainkan lahir dari riset yang mendalam.

Di Bali, pasti semua sudah mengetahui ada populasi Tuli-Bisu yang cukup besar di Desa Bengkala. Tuli-Bisu di Bengkala warisan genetik dari orang tuanya serta leluhurnya. Lalu apakah mereka pasrah menerima kenyataan? Saya kita tidak. Dengan keterbatasannya, mereka memiliki banyak kelebihan serta kreativitas yang luar biasa. Terlebih ditunjang dengan semangat yang luar biasa.

Membaca buku “Tarian Sunyi” serta menonton film “Denting Sunyi” pikiran saya seperti diajak bertamasya ke Desa Bengkala. Selain itu, memang masalah insklusi juga diangkat pada buku ini. Oleh karena itu, buku ini memiliki kekuatan tersendiri. Meski ditujukan untuk anak, serta menggunakan bahasa anak, buku ini sangat kuat dan layak untuk mendapatkan apresiasi dialihwanakan oleh TBM Omah Buku.

Namun sebuah karya tidak ada yang sempurna, selalu ada sesuatu yang beda persepsi antara film dan penonton. Posisi saya sebagai penonton yang telah membaca bukunya, artinya ada imajinasi yang berbeda ketika membaca buku, serta menonton film.

Pada buku “Tarian Sunyi” saya menangkap ada spritit semangat yang luar biasa, lahir dari teks serta visual gambar dari illustrator. Dalam film “Denting Sunyi” saya tidak melihat sepirit tersebut, nuansa yang dimunculkannya sunyi, hal ini. Suasana musik, pemilihan latar tempat, simbol-simbol, hingga gestur tokoh mengarah pada kesunyian. Terlepas dari hal itu semua, saya kemudian berpikir bahwa sutradara sepertinya sedang memainkan alusi sunyi. Terlebih judul dari film ini “Denting Sunyi”, artinya sutradara memang menguatkan nuansa sunyi yang dominan muncul pada film tersebut.

TBM Omah Buku satu dari 14 TBM penerima Program Hibah Forum TBM bersama Let’s Read The Asia Foundation 2022. Kegiatan yang dilakukan oleh TBM penerima hibah sangat luar biasa bagus, menarik dalam menyosialisasikan buku digital Let’s Read. Namun yang mengalihwahanakan pada film hanya TBM Omah Buku.

Tabik.

Categories
Artikel Opini

Suara Lain dari Lubang Kecil

Oleh. Heri Maja Kelana

Belakangan masyarakat Indonesia dihebohkan dengan minyak goreng yang langka sehingga harganya menjadi mahal. Kasus ini menggelikan, Indonesia pengekspor Crude Palm Oil (CPO) tetapi di Indonesia sendiri minyak goreng langka dan mahal. Hal ini menjadi catatan buruk, terlebih yang menjadi tersangka adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan.

Belum lama ini di media sosial, banyak beredar amaran terkait ISBN (International Standard Book Number) “Berdasarkan Rekomendasi dari ISBN Internasional, buku hasil dari kegiatan siswa dan gerakan literasi tidak diberikan ISBN. Silahkan diterbitkan sendiri”. Pada teks tersebut tertada TIM ISBN.

Pertama yang akan saya soroti dari teks email TIM ISBN ini adalah kesalahan penulisan “silahkan” seharusnya ditulis “silakan”. Di sini saya melihat ada pola pikir ketergesaan dari TIM ISBN yang notabene sebagai institusi pemerintahan di bawah Perpustakaan Nasional.

Pola pikir ketergesaan dalam memecahkan masalah ini sebenarnya banyak terjadi pada institusi pemerintahan. Atau mungkin hal ini sebuah instruksi langsung dari presiden, terkait pemecahan masalah yang harus segera diatasi. Padahal apabila dilihat serta dikaji, masalah yang dipecahkan menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh kasus pada dunia pendidikan, ketika terdampak pandemi kemarin.

Pada tulisan ini saya tidak akan membahas minyak goreng atau ISBN juga kasus-kasus lainnya yang terjadi di Indonesia. Saya hanya ingin membahas puisi di Hari Puisi Nasional sekarang ini.

Sebagai seorang penulis puisi, saya sering memerhatikan puisi yang terbit di koran-koran atau buku-buku. Bahkan beberapa kali saya mengisi kelas kepenulisan puisi yang diadakan oleh temen-temen Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Puisi-puisi yang saya baca sudah terbuka serta bebas dari ancaman politik. Maksud saya, di zaman sekarang puisi sudah tidak lagi berada pada ketakutan doktrin pemerintahan serta politik. Akan tetapi, puisi justru sedang berada dalam amcaman yang hebat. Yaitu ancaman kapitalis.

Pada esai Oktavio Paz “The Other Voice” atau “Suara Lain”, mengatakan bahwa “Pada paruh kedua abad ke-18 terdapat gagasan-gagasan dan wawasan yang agak kompleks dan penuh kekuatan, sentimen-sentimen, aspirasi-aspirasi, dan mimpi-mimpi – yang jelas, ada yang gila – yang menggumal pada Revolusi Prancis dan Amerika.”

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Paz, puisi yang dulu penuh dengan gagasan, wawasan, serta penuh kekuatan, sekarang sudah tidak lagi kuat. Bahkan cenderung cair dan hanya memotret peristiwa.

Paz juga mengatakan bahwa kehidupan dan zaman sekarang ini bermula dari Revolusi Prancis dan Amerika. Begitu pula terjadi pada ranah politik, filsafat, serta Pendidikan. Lalu puisi berada di pihak mana dan pihaknya siapa sekarang?

Menjadi penting untuk diperhatikan, bahwa lemahnya puisi akan berkaitan dengan lemahnya ranah filsafat serta pendidikan. Puisi yang apabila dilihat pada masa lalu sangat intim dengan filsafat serta pendidikan, bahkan tidak sedikit demagog memanfaatkan puisi sebagai alat politiknya. Namun sekarang, sistem kapitalisme yang menguasai berbagai elemen dari teks puisi, mulai dari tanda hingga makna. Kapitalis memperlihatkan keperkasaannya menguasai puisi, lebih dari seorang diktator.

Kapitalis Memperlihatkan Keperkasaannya

Lantas apakah akan terjadi ekses terhadap masyarakat? Jawabannya “ya”. Sebagai contoh kecil, apakah kita sekarang berpikir secara ilmiah ketika mengkritik? Saya tidak yakin bahwa mengkritik di zaman sekarang ilmiah serta netral. Terlebih sesuatu yang ilmiah itu kalah oleh suara warganet.

Kemunculan kapitalis berbarengan dengan modernitas, di mana salah satu cirinya adalah kebebasan (liberty), kesamaan (equality), persaudaraan (fraternity). Saya menyorori “kebebasan” dan “kesamaan”.

Kebebasan dan kesamaan ini menimbulkan masalah yang sangat pelik, terjadi bukan hanya di Indonesia, pun di negeri-negara maju di Eropa juga di Amerika. Tetapi hal ini dibalut dengan persaudaraan (fraternity), yang menjadikan masyarakat seolah-olah damai, tentram, serta harmonis. Lalu apa yang dikatakan dalam puisi?

Puisi berada pada ancaman yang nyata. Ancaman yang meninabobokan kekuatan puisi, mengolah puisi menjadi kebutuhan pasar, karena sudah tidak ada lagi orang yang berdiri di depan membacakan puisi melawan ketidakadilan. Puisi sudah menjadi bagian dari arus besar kapitalisme.

John F. Kennedy berbicara bahwa “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Pertanyaan sekarang adalah siapa yang akan membersihkan ketika kapitalis kotor serta bengkok? Kapitalis di sini sedang memperlihatkan keperkasaannya.

Puisi Suara Lain dari Lubang Kecil

Saya tidak mengatakan bahwa puisi-puisi sekarang jelek dari pada puisi-puisi dulu, akan tetapi saya memberi pandangan bahwa cara pandang penyair menulis puisi sekarang lebih reflektif dari pada kritis. Sehingga puisi yang lahir lebih puitis daripada analitis. Mungkin juga pengaruh dari narasi koran, majalah, televisi, hingga media sosial yang seragam.  Sehingga teks melahirkan imperium tanda-tanda, tetapi tanda-tanda tersebut kosong. Yang terdapat hanya buaian, membuat pembaca tenang serta rileks.

Di Hari Puisi Nasional, saya sebagai penulis dan penikmat puisi merasa bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena masih ada yang mau dan terus menulis puisi, sedih karena puisi masih menjadi suara dari lubang kecil. Puisi belum kembali perkasa seperti ketika dulu Chairil “mengorek dan menggali kata hingga dalam”.

Kembali pada apa yang saya sampaikan di awal tulisan ini terkait kasus minyak goreng serta ISBN, bahwa ini adalah visualisasi realitas yang lahir dari liberty dan equality.

Tabik.

Categories
Kabar TBM

Kelas Berbagi: Beraksi Bersama Let’s Read

Senangnya…

Senang sekali…

Di Literasi Lumbung Lombok…

Bersama-sama berkreasi…

Gunakan “Aplikasi Let’s Read!”

(Penggalan lagu yang terinspirasi dari platform buku digital Let’s Read, diciptakan oleh TBM Literasi Lumbung, Lombok)

Ibu Paulina, pengajar Sekolah Dasar di Kalimantan Utara, pertama kali mengenal aplikasi Let’s Read dari INOVASI (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia, Program kemitraan antara Pemerintah Australia dengan Pemerintah Indonesia).

“Latar belakang sekolah tertinggal di Kalimantan Utara. Dari sana kami mengenal aplikasi Let’s Read. Di tempat kami, Kalimantan Utara buku masih dapat dikatakan susah, dengan adanya aplikasi ini kami sebagai guru sangat terbantu. Anak yang awalnya kurang minat dengan membaca, dengan adanya aplikasi ini kemudian diperkenalkan pada anak, mereka mulai berminat untuk membaca. Karena selama ini di sekolah belum menyediakan buku yang sesuai dengan level anak-anak yang ada di sekolah.” tutur Ibu Paulina.

15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar, Ibu Paulina bersama anak-anak selalu membacakan buku dari Let’s Read. Hal ini selalu dilakukan, supaya minat baca anak terus meningkat.

Ibu Paulina juga mengkolaborasikan buku pelajaran dengan buku-buku Let’s Read. Seperti yang Ibu Paulina contohkan, menghitung sudut layang-layang atau bentuk dari layang-layang dalam pelajaran matematika, maka akan dicari pula buku yang berhubungan dengan layangan tersebut. Hal ini juga dapat menimbulkan siswa untuk minat terhadap membaca.

Dari beberapa hal yang sudah dipraktikan oleh Ibu Paulina, anak-anak sekolah di tempat Ibu Paulina memiliki kemampuan minat baca yang baik, selain itu memiliki kemampuan menulis cerita yang baik pula. Kemampuan ini distimulus oleh buku-buku dari Let’s Read.

Selain Ibu Paulina yang berbagi cerita mengenai Let’s Read, Arif Setiabudi berbagi ceritanya. Arif Setiabudi dari TBM Tunas Ilmu SKB Kab. Semarang memaparkan apa yang sudah dipraktikan di TBMnya. Awalnya ia mengidentifikasi masyarakat yang berada di TBM Tunas Ilmu, dan banyaknya pada agama.

Buku-buku agama sudah banyak di masyarakat, namun buku-buku pengetahuan umum yang masih kurang. TBM Tunas Ilmu meminjamkan 50 buku setiap bulan. Dengan adanya program Let’s Read, kami sangat terbantu, terlebih di TBM Tunas Ilmu maupun masyarakat sekitar sangat kekurangan buku-buku anak. Mereka (anak-anak) sangat menyambut sekali program Let’s Read, karena anak-anak sudah menggunakan handphone dan dapat digunaan di mana saja.

Mitra yang lain di TBM Tunas Ilmu, yaitu PAUD di mana peserta didiknya mencapai 60 orang, mereka juga kekurangan sumber bacaan. TBM Tunas Ilmu melatih mendongeng menggunakan aplikasi Let’s Read untuk orang tua PAUD. Selain, PAUD ada pula Paket B, di mana masih ada yang belum dapat membaca secara lancar. Sumber bacaan dari let’s read sangat membantu melancarkan membaca bagi siswa Paket B.

Lain di Semarang, lain di Lombok. Meski sama-sama menghidupkan aplikasi Let’s Read untuk masyarakat, namun cara mereka menyosialisasikannya berbeda. TBM Literasi Lumbung memiliki keunikan tersendiri dalam menghidupkan aplikasi Let’s Read.

Berawal dari hobi serta mencintai dunia pendidikan, perempuan asal Lombok ini mendirikan TBM yang diberi nama TBM Literasi Lumbung. Adalah Nikmah yang memiliki latar belakang keperawatan berbagi praktik baik pengenalan Let’s Read di Lombok.

TBM Literasi Lumbung lebih berkonsentrasi menyosialisasikan kegemaran membaca melalui lagu. Buku-buku Let’s Read menjadi inspirasi teman-teman di TBM Literasi Lumbung dalam membuat teks-teks lagu. Sekalian juga menyosialisasikan tentang platform aplikasi buku digital Let’s Read.

Konsentrasi lain dari TBM Literasi Lumbung Lombok pada lingkungan, terutama penangulangan sampah. Lagu yang dibuat oleh Kak Nisa Nikmah adalah mengajak orang untuk mendaur ulang sampah menjadi kerajinan. Berikut adalah teks dari lagu yang dibuat oleh TBM Literasi Lumbung

Aku mau tau…

Aku juga mau tahu…

Mari sama-sama…

Kita cari tahu…

Kawan coba lihat…

Buku perahu botol bekas…

Mari!

Kita baca…

Aku punya ide…

Kita buat perahu botol bekas…

Kumpulkan bahan-bahan…

Buat banyak kerajinan…

 

Senangnya…

Senang sekali…

Di Literasi Lumbung Lombok…

Bersama-sama berkreasi…

Gunakan “Aplikasi Let’s Read!”

 

Narasumber terakhir adalah Budi Susila, dari TBM Omah Buku, Magelang. Bapak Budi mempresentasikan materi yang diberi judul “Merajut jejaring, menjaring dukungan”.

Berawal dari mengenai relawan, biasanya relawan memiliki karakter, kemampuan, serta jejaring masing-masing. Dari sana ia mulai mengenali relawan terlebih dahulu. Kemudian membuat program yang jelas serta terukur, lalu masyarakat di sekitar TBM dipetakan.

Setelah itu bagaimana kita meyakinkan calon mitra kita, bahwa bermitra dengan TBM itu tidak rugi. Tentu saja TBM Omah Buku selalu menjaga mitra dengan menjaga kepercayaan yang diberikan oleh mitra, membuat MoU atau surat perjanjian, dokumentasi yang baik, ucapan terima kasih, dll.

Selama ini, mitra dari TBM Omah Buku dapat dikatakan banyak, mulai dari Perguruan Tinggi, sekolah, perusahaan, komunitas, majalah serta koran cetak maupun online, yayasan sosial, lembaga desa, dll.

Lembaga yang bermitra dengan TBM Omah Buku tidak melulu dimintai dana atau pembiayaan, hal ini sesuai dengan porsi dari kemampuan mitra itu sendiri. Misalnya dengan sekolah, bukan sekolah yang dimintai dana untuk TBM, melainkan TBM yang membantu sekolah yang menjadi mitra TBM dalam hal Pendidikan. Seperti penguatan literasi dengan memperkenalkan buku-buku dalam upaya penguatan kegemaran budaya baca.

“Pada prinsipnya bermitra ini adalah memberi dan menerima, pada konteks let’s read, TBM Omah Buku lebih bergerak pada masyarakat” tutur Budi Susila.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Forum TBM bersama Let’s Read yang diberi judul “Kelas Berbagi: Beraksi Bersama Let’s Read” sangat memberikan informasi, inspirasi, dan motivasi untuk peserta webinar yang mengikutinya. Praktik baik yang telah dilakukan oleh temen-temen di TBM terkait menghidupkan aplikasi buku digital Let’s Read bervariasi, tidak membosankan, dan yang paling terpenting adalah membekas di masyarakat atau menimbulkan efek yang signifikan. Seperti yang dilakukan oleh TBM Literasi Lumbung dengan membuat lagu atau Ibu Paulina dan Mas Arif memanfaatkan aplikasi ini untuk menstimulus anak-anak SD serta paket supaya dapat membaca.

Begitu pula yang dilakukan oleh Pak Budi dengan mitra dan jejaringnya, memperluas daya jangkau aplikasi Let’s Read pada masyarakat.

Kegiatan ini dipandu oleh Heru Kurniawan, Pengurus Pusat Forum TBM, serta yang menjadi pembawa acara adalah Joana Jetira dari Pengurus Pusat Forum TBM pula. Peserta yang mengikuti webinar ini tersebar dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia.

Categories
Artikel

Ancaman dan Peluang Metaverse di Indonesia

Oleh. Heri Maja Kelana

Dunia baru tercipta, perpaduan antara fisik dan virtual. Di dunia baru ini, kita (pengguna) akan berubah menjadi avatar. Dapat berinteraksi dengan avatar-avatar lain dari belahan penjuru yang lain. Kita dapat membangun rumah, menjalin hubungan, membuat perusahaan, menaiki kendaraan, hingga berbelanja di mal. Transaksi yang digunakan menggunakan jenis uang kripto. Dinia ini dinamakan metaverse.

Metaverse sendiri berasal dari kata meta dan universe. Meta sendiri mempunyai arti di luar atau lebih dari sedangkan universe artinya semesta. Apabila digabungkan menjadi metaverse mengandung arti sebuah tempat yang lebih dari dunia sekarang. Menggabungkan antara dunia fisik dengan dunia digital, menggunakan teknologi Augmented Reality (AR) serta Virtual Reality (VR).

Metaverse sendiri muncul pada novel yang berjudul Snow Crash karya Neal Stephenson yang ditulis pada tahun 1992. Novel ini bergenre fiksi ilmiah, bercerita mengenai tokoh Hiro seorang pengantar pizza yang bekerja di perusahaan pizza Coso Nostra. Pada dunia lain di metaverse, Hiro menjadi seorang pangeran.

Hiro kemudian terjebak dalam virus komputer, mencari banyak informasi mengenai tentang penjahat virtual. Ia memiliki misi untuk menghancurkan penjahat tersebut.

Tokoh Hiro yang memiliki avatar seorang pangeran tersebut memiliki dua dunia, dunia fisik sebagai pengantar pizza, sedangkan di metauniverse sebagai pangeran.

Begitu pula dalam novel Ready Player One, karya Ernes Cline pada tahun 2011. Pada novel ini, menceritakan dunia yang akan dating pada tahun 2045, akan ada metaverse yang bernama Oasis yang menjadi kehidupan kedua. Oasis ini dapat diakses melalui headset Virtual Reality (VR). Pada tahun 2018, novel fiksi ilmiah ini diangkat menjadi film layer lebar dengan judul sama yaitu Ready player One. Sutradara dari film tersebut adalah Steven Spielberg.

Dari kedua novel tersebut istilah “metaverse” muncul. Kemunculan istilah tersebut dalam sebuah novel fiksi ilmiah sangat wajar karena sebuah novel yang bersifat fiksi. Seorang pengarang bebas menggunakan nama istilah, bahkan membuat sebuah dunia yang baru.

Literasi Digital di Indonesia VS Metaverse

Pemerintah Indonesia lewat Kominfo sedang gencar-gencarnya memperkenalkan serta menguatkan literasi digital untuk masyarakat Indonesia.

Dikutip dari tulisan yang berjudul Kominfo Mengajak Anak Muda Perkuat Literasi Digital Masyarakat yang tayang 15 Desember 2021 di laman kominfo.go.id, bahwa “Presiden Joko Widodo telah mencanangkan Gerakan Nasional Literasi Digital bulan Mei 2021”. Pada artikel yang sama pula, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Samuel A. Pangerapan mengatakan bahwa “Pengembangan talenta digital Indonesia dimulai dengan peningkatan kecakapan digital di tingkat dasar atau yang bias akita kenal Gerakan Nasional Literasi Digital. Program ini menargetkan 50 juta peserta sampai tahun 2024.”

Sementara di Kemdikbud Ristek sendiri, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus memiliki program Kampung Literasi, di mana di dalamnya terdapat 6 kemampuan literasi. Salah satunya kecakapan literasi digital.

Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) selalu mengajak anggota-anggotaya cakap dengan literasi digital. Festival Literasi Indonesia (FLI) 2021 yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemdikbud Ristek bersama Forum TBM mengangkat tema “Literasi Digital untuk Indonesia Bangkit”.

Semua lembaga pemerintahan maupun swasta sedang memajukan literasi digital di Indonesia. Lalu apakah ini ada hubungannya dengan metaverse yang sedang banyak diperbincangkan di dunia? Raksasa besar seperti Meta (Facebook) dan Mocrosoft sedang berlomba membuat metaverse. Apakah Indonesia dengan gencarnya Gerakan Nasional Literasi Digital akan mengambil peran dalam metaverse atau sebagai pengguna metaverse? Entahlah.

Di dunia Metaverse, melalui avatar semua orang bisa bersosialisasi, belajar, hiburan, bermain game, bekerja, hingga bisa juga berolah raga. Metaverse memang dunia tanpa sekat apa pun. Dunia tanpa batas, siapa saja dapat menjadi apa saja di metaverse.

Metaverse ini apakah sebuah ancaman atau peluang untuk Indonesia? Apabila melihat pada kemajuan teknologi yang berkembang begitu cepat di Indonesia, metaverse ini dapat menjadi peluang. Terlebih Indonesia sudah dibekali dengan literasi digital dengan baik. Ancaman dari metaverse sendiri akan lahirnya kapitalis gaya baru. Kesenjangan akan terjadi dalam segi apapun, terutama ekonomi. Kehidupan semua akan terkontrol dan terkendalikan.

Terlepas ada hubungannya atau tidak terhadap setingan arus global yang akan membuat metaverse, literasi digital memang perlu diberikan pada masyarakat Indonesia. Setidaknya dapat memilih portal yang baik, serta bacaan yang baik di internet. Atau sesing dikatakan dengan internet positif. Tidak membuat konten yang berhubungan dengan SARA, pencemaran nama baik, hoaks, dan lain sebagainya.

Ketika metaverse terjadi, masyarakat Indonesia sudah siap menerima peluang serta ancaman yang timbul dari metaverse sendiri, sebab masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat literat. Masyarakat yang siap bersaing di arus global. Bahkan mungkin dapat menciptakan arus sendiri.

Categories
Artikel

Kaki Kanan Pendidikan Indonesia: Literasi Dan Pendidikan Masyarakat

Oleh. Heri Maja Kelana

 

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimat. Tuntutlah ilmu sejak buaian sampai lubang kubur. Tiada amalan umat yang lebih utama daripada belajar.”

Belajar sepanjang hayat sudah dikatakan oleh Rasuallah, Muhammad SAW, kemudian dikatakan kembali oleh Edgar Faure dari The International Council of Education Development (ICED) atau Komisi Internasional Pengembangan Pendidikan, Edgar Faure mengatakan “With its confidence in man’s capacity to perfect himself through education, the Muslim world was among the first to recommended the idea of lifelong education, exhorting Muslim to educate themselves from cradle to the grave.” (Faure, 1972).

Belajar sebagai salah satu aktivitas manusia, tentu lahir sebuah prinsip-prinsip terkat belajar itu sendiri, diterjemahkan lewat teori-teori. Kita semua telah mengenal banyak sekali teori tentang pendidikan, mulai dari teori Koneksionisme yang dikemukakan oleh Thorndike, teori Conditioning yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, teori Medan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, teori Gestalt yang dikembangkan oleh Wertheimer, dan lain sebagainya. Serta tidak lupa teori yang dikembangkan oleh Paulo Freire seorang Brazilian, teori mengenai pendidikan yang membebaskan berpengaruh di dunia.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah teori-teori tersebut sudah menyentuh pendidikan seutuhnya? Pendidikan yang secara ideal adalah “memanusiakan manusia”.

Indonesia konsep pendidikan yang bagus, yaitu Pendidikan Keluarga, Pendidikan Sekolah, dan Pendidikan Masyarakat yang dikemukakan dalam Tripusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Namun selama ini pendidikan masih terfokus pada pendidikan sekolah semata.

Pincangnya Pendidikan di Indonesia

Belakangan ramai membicarakan mengenai Peta Jalan Pendidikan Indonesia, di mana dalam draf tersebut tidak terdapat frasa agama, pendidikan masyarakat, serta literasi di dalamnya. Temen-temen dari organisasi keagamaan turun ke jalan, serta memprotes hilangnya frasa agama dalam peta jalan tersebut. Kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim ikut berbicara dan menyampaikan bahwa peta jalan itu masih draf, masih memungkinkan untuk berubah.

“Dalam Peta Jalan Pendidikan menyebut pentingnya nilai-nilai kebudayaan, namun kalau kita lihat bahwa nilai-nilai kebudayaan lebih bisa hidup di masyarakat daripada di sekolah.” Maman Suherman mengomentari draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia pada kesempatan sebagai narasumber Energi Literasi dari Rumah, Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM), Jumat 30/04/21.

Selain Kang Maman sapaan akrab dari Maman Suherman, hadir pula Sofie Dewayani, Ph.D, serta Prof. Djoko Saryono pada kegiatan Energi Literasi dari Rumah.

Sofie Dewayani juga turut mengomentari draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia “Seperti yang dikatakan Freire, bahwa literasi kritis tidak lahir dari ruang kelas, melainkan lahir dari masyarakat.”

Kemudian kritik juga disampaikan oleh Prof. Djoko Saryono “Peta Jalan Pendidikan belum memberikan tempat pada Pendidikan Masyarakat dan Literasi.”

Pendidikan yang dimaksud dengan Tripusat Ki Hajar Dewantara belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Ditambah tidak adanya pendidikan masyarakat dan literasi dalam draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia, semakin jauh orientasi pendidikan yang dicita-citakan itu, yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia.

Kang Maman juga menyebutkan bahwa pendidikan lebih beroriantasi pada Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Terutama ketika menyesuaikan dengan revolusi industri 4.0 yang kemudian sekarang mengarah pada Society 5.0.

Ketika pendidikan hanya berorientasi pada DUDI, maka pendidikan akan berada dalam bayang-bayang kapitalis. Serta pendidikan yang memanusiakan manusia akan semakin jauh dicapai. Selama itu pula pendidikan di Indonesia akan terus pincang.

Pendidikan Masyarakat dan Literasi

Literasi dapat menjadi solusi dalam kepincangan pendidikan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Dr. Samto, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika memberikan pengantar pada Energi Literasi dari Rumah “Literasi itu sebagai petunjuk arahnya dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Jadi literasi adalah cara untuk mencapai tujuan dalam peta jalan tersebut.”

6 keterampilan literasi dasar harus betul-betul dimiliki oleh setiap individu manusia Indonesia. Taman Bacaan Masyarakat (TBM) melalui program-programnya sebenarnya sedang menanamkan 6 keterampilan literasi dasar tersebut. Teman-teman pengelola TBM dan komunitas literasi lainnya berjibaku di akar rumput, turut mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mengambil peran pendidikan sesuai dengan kapasitasnya.

Teman-teman pegiat literasi bergerak tanpa tahu dia bergerak menggunakan metode atau teori pendidikan. Yang mereka ketahui bahwa pendidikan harus sampai pada masyarakat. Pendidikan harus merata.

Literasi serta pendidikan masyarakat penting peranannya. Apabila saya meminjam konsep pendidikan humanis dari Landman, maka konsep ini lebih tepat diaplikasikan pada pendidikan masyarakat. Sebab konsep humanisme lebih menekankan pada objek kognitif dan afektif individu, juga kondisi lingkungan sekitar. Kemudian muncul pengalaman yang akan menjadi kebutuhan warga pembelajar secara empirik. Apa yang dibutuhkan serta dirasakan oleh warga belajar.

Teman-teman pegiat literasi sebenarnya sedang mempraktikan konsep humanisme. Sebab masyarakat (warga belajar) aktif dalam merumuskan strategi pendidikan yang kemudian menjadi program di Taman Bacaan Masyarakat serta Komunitas Literasi lainnya.

Kepincangan pendidikan di Indonesia, dapat disembuhkan dengan konsep humanisme pendidikan. Konsep humanisme pendidikan hanya terdapat pada pendidikan masyarakat, dan literasi seperti yang dikatakan Dr. Samto sebagai petunjuk arahnya atau rambu-rambunya.

Ketika draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia tidak memasukan literasi dan pendidikan masyarakat, maka aneh dan heran. Apa yang sedang terjadi dengan pendidikan? Apa sebenarnya yang sedang dirumuskan terkait pendidikan di Indonesia?

Saya jadi teringat dengan joke joke Warkop DKI ketika masih ngocol di Radio Prambors yang diberi judul “Belajar” yang selalu saya dengarkan ketika masih kuliah. Indro bertindak sebagai guru dengan murid Kasino dan Dono.

Guru: Anak-anak saya absen dulu ya, tolong yang disebut namanya tunjuk tangan.

Murid: Siap Pak Guru.

Guru: Fatonah?

(guru memanggil nama Fatonah hingga 3 kali)

Murid: Tidak ada pak.

Guru: Aminah?

Murid: Tidak ada pak?

Guru: Zamilah?

Murid: Tidak ada pak.

Guru: Suradi?

Murid: Tidak ada pak. Pak rasa-rasanya itu bukan murid sini, pak?

Guru: Rizki Rizki?

Murid: Gak ada pak.

Guru: Oh salah, ini absesnsi Majelis Taklim.

(Singkat cerita guru sudah berhasil mengabsen murid-muridnya. Kemudian memberikan pelajaran Ilmu Bumi, kalau sekarang Geografi)

Guru: Kalau kita berbicara bumi, maka kita akan dihadapkan dengan asal muasal bumi. Dengan kata lain, kapan terciptanya atau lahirnya bumi? Di buku saya ini dikatakan bahwa bumi lahirnya itu 4500 juta tahun yang lalu.

Murid: Ah bohong pak, 3 tahun yang lalu kakak saya sekolah di sini. Umur bumi masih tetap sama 4500 juta tahun. Kenapa gak nambah-nambah?

Guru: Bumi itu, anak-anak, konon katanya bulat.

Murid: lah katanya, guru kok gak yakin?

Guru: Saya akan yakin kalau saya sudah membuktikan. Selama ini saya belum membuktikan. Jadi harus pake kata “konon”.

(terjadi keriuhan ketika guru sedang menerangkan konon bumi itu bulat)

Guru: Kemudian bumi itu selalu berputar anak-anak. Menurut apa anak-anak bumi itu selalu berputar?

Murid: (serempak) menurut kehendak yang kuasa.

Guru: Pinter ya anak-anak. Sebagai penganut aliran Utha Likumahuwa. Memang semuanya harus menurut kehendak yang kuasa, ya.

Joke Joke tentang pendidikan hingga sekarang masih menarik untuk diangkat. Karena memang berbicara pendidikan, tidak ada batasnya. Seperti juga ketika menuntut ilmu, tidak ada batasnya, “Belajar sepanjang hayat”.