Categories
Event Kabar TBM

Menebar Mimpi, Menyebar Ruang Baca

Agustus lalu, pada suatu sore berbagai pegiat literasi Enrekang berkumpul di sebuah Basecamp Literasi Galeri Macca.  Satu pesatu berdatangan dari Komunitas Literasi Massenrempulu (Kulimaspul), Taman Baca Masyarakat (TBM Sullung Pustaka, TBM Mareka), dan pegiat kopi (Macca Cafe, Majao Cafe dan Marasa Cafe). Sembari menikamti kopi dan menunggu hujan reda, kami sejenak menyusun strategi pemberangkatan menuju Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin, Enrekang.

Kami akan menyambangi Nating untuk keempat kalinya dari tahun-tahun yang telah berlalu. Membawa buku dan membikin pustaka kecil-kecilan untuk anak-anak Nating yang sedang menggantungkan cita-citanya pada buku. Perjalanan ini kami namai “Nating Untuk Indonesia: Wisata Literasi dan Kopi”. Sebab, Nating adalah dusun yang letaknya menjulang di kaki gunung Latimojong, ia dengan segar dan mudah menumbuhkan kopi. Oleh karena itu, selain kami berwisata literasi, juga berwisata kopi.

Sebelum malam tiba, semua perlengkapan yang dibutuhkan telah siap siaga. Komando pemberangkatan pun mulai terdengar dari satu Handy Talking (HT)  ke HT lainnya. Kami pun melaju menggunakan sepeda motor sejenis KLX, yang dibuntuti oleh sebagian kendaran matic. Kami melintasi jalan yang curam dan menanjak hingga membuat beberapa kendaraan tampak menjerit-jerit. Lajur kiri dan kanan terlihat terjal berjurang. Belum lagi, jalanannya tentu tak beraspal, melainkan hamparan bebatuan gunung dan dilapisi becek bekas guyuran hujan. Perjalanan itu kami tempuh kisaran 2-3 jam dengan hitungan roda yang selalu menanjak. Tanpa ada pertamina, bengkel dan lampu jalan. Sehingga kerap beberapa kendaraan kami kehabisan bensin dan mogok-mogokan.

Namun niat baik selalu tak terbantahkan. Kami tiba dengan selamat setelah melewati berbagai rintangan di jalanan. Akhirnya, kami pun menginjakkan kaki di dusun Nating. Mulanya kedatangan kami diapresiasi dengan secangkir kopi dan teh hangat. Kemudian selanjutnya kami diberi sambutan meriah oleh anak-anak dan penduduk yang ramah. Setelah sedikit merebahkan badan, kami memulai berkenalan dan bincang-bincang bersama Kepala Dusun Nating serta warga lainnya mengenai kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan hari ini dan esok.

Malam yang sangat dingin, di sullung bola (bawah rumah panggung), kami mengawali kegiatan dengan pemutaran film berjudul “ Di Timur Matahari”. Sebuah film yang bercerita bagaimana kehidupan anak-anak di wilayah yang terbatas (Timur Indonesia) berusaha menggapai mimpi-mimpinya. Awalnya, kami sempat mengalami kesulitan saat menyiapkan pemutaran film menggunakan LCD Projector, sebab tegangan arus listrik di Nating masih dibatasi di setiap rumah. Untungnya, kami telah menyiapkan genset untuk membantu kuatnya tegangan listrik pada perangkat elektronik lainnya. Sehingga acara pemutaran film tetap berlanjut dengan khidmat. Dengan wajah ceria, anak-anak pun mulai berdatangan. Begitu juga dengan orang-orang tua tampak antusias menikmati film sambil melilit-lilitkan sarung di lengannya. Tentunya, nobar (nonton bareng) ini ditemani dengan kopi hasil olahan petani Nating sendiri.

Selang beberapa menit menjelang usainya film, satu persatu dari mereka mulai ngantuk dan membubarkan diri.

Mimpi Nating, Mimpi Indonesia

Keesokan harinya, mentari menyapa Dusun  Nating dalam keadaan masih sangat dingin. Di depan rumah pak Kades yang kami huni, anak-anak sudah tampak gaduh menuju ke sekolah. Sebuah pemandangan eksotis bagi anak-anak Nating. Sesekali kami membandingkan dengan tampilan anak-anak sekolah di perkotaan atau daerah yang berkecukupan. Mungkin agak sedikit jauh, secara materi anak-anak Nating berani bernampilan dengan khasnya sendiri apa adanya. Ada yang menggunakan sepasang baju putih dan celana pramuka, atau pakaian sebolak-baliknya. Bagi mereka itu tidak jadi masalah. Yang masalah jika mereka tak mempunyai buku. Akan tetapi, apakah mungkin antusias mereka sudah bisa dikatakan mampu mengungguli mimpi dan ketekunan anak di luar sana, yang serba berkecukupan?  Entahlah, kami tidak terlau tahu menahu tentang itu. Alih-alih, tujuan utama kami ke Nating adalah untuk menebarkan mimpi dan menyebar ruang baca.

Sepagi itu pun kami berkemas menyusul anak-anak ke sekolah. Beberapa diantara kami kerap berteriak di kamar mandi lantaran tak mampu menahan dinginnya air.  Sebagian dari kami mempersiapkan  buku-buku yang akan dibawa ke sekolah.

Sebab, kami hanya bermukim sehari semalam, maka kami membagi beberapa kelompok untuk melaksanakan tugas masing-masing. Ada yang belajar dan bermain bersama anak-anak di sekolah (SDN 118 Nating), ada yang membuat pojok baca di rumah warga, dan ada yang melakukan praktek meracik kopi bersama warga menggunakan alat-alat kopi modern.

Di sekolah, sekalipun terik sangat menyengat, anak-anak tampak bermain dengan ceria. Begitu juga dengan para guru ikut berpartisipasi. Kami memberikan beberapa jenis permainan yang ringan. Memunculkan permainan ala klasik seperti permainan kucing dan tikus, tebak-tebakan, bernyanyi dan sebagainya. Agar mereka tetap antusias dalam bermain, di akhir kegiatan kami juga menjanjikan hadiah untuk mereka. Tak kala pentingnya, alat baca tulis lengkap tetap kita bagikan kepada semuanya tanpa terkecuali.

Di sisi lain, Tugas kami adalah mendirikan pojok baca. Kami menyambangi rumah warga yang sudah dipilih sebelumnya. Diantaranya rumah pak Kadus dan salah satu rumah warga yang letaknya strategis dijangkau oleh warga lainnya. Sedikit demi sedikit kami merangkai balok per balok menjadi sebuah rak buku. Rak itulah yang lami lekatkan di depan dinding rumah pak Kadus dan salah satu warga. Sepulang sekolah, anak-anak sudah memiliki akses perpustakaan mini di luar sekolah. Kini, mereka bebas membaca dan meminjam buku kapan pun yang mereka inginkan. Bahkan didampingi orang tua sekalipun di waktu senggang.

Selain itu, kegiatan kami lainnya adalah event meracik kopi bersama warga Dusun Nating. Sambil mengecap aroma kopi Nating, kami mencoba memperkenalkan hasil olahan kopi Nating yang diracik menggunakan peralatan modern ala barista. Satu persatu dahi warga tampak mengerut-ngerut kepahitan. Sebab menurut pak Kadus, sejauh ini warga Nating terkhususnya yang bertani kopi lebih memprioritaskan strategi pemasarannya. Mereka tak terbiasa dengan kopi tanpa gula. Oleh karena itu, kami berusaha menghadirkan aroma dan kenikmatan kopi Nating untuk warga.

Selang berjam-jam hingga menjelang senja, kegiatan tersebut pun usai. Kami sejenak istirahat dan berkemas-kemas untuk kembali. Kami memisahkan beberapa barang bawaan yang akan disumbangkan untuk warga Nating, seperti pakaian dan peralatan bermain untuk anak-anak. Sebelum kami beranjak dari Nating, kami menerima kesan dan pesan perpisahan dengan anak-anak dan warga.  Kami berharap agar anak-anak Nating juga mampu berkarya laiknya anak-anak sebayanya. Mereka juga berhak mengantungkan mimpi-mimpi mereka.

Nating!!!

“Luar biasa!” sontak para anak-anak sebagai salam perpisahan. Kami pun kembali mempersiapkan diri melintasi jalan pulang yang sama sebelumnya.

Dan cerita kami berlanjut setelah memutuskan untuk berkonvoi menyambangi desa selanjutnya. Desa Angin-Angin, sebuah desa yang berartefak surga.

#TBMStory2017 #SahabatLiterasi #relawanliterasi #forumtbm #gerakanliterasinasional #gerakanliterasilokal

*Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Massenrempulu (kulimaspul.com).