Categories
Opini

Menyiasati Mainan Anak yang Berantakan

Dunia anak adalah dunia yang identik dengan bermain dan permainan. Sebab,salah satu sifat fitrah anak-anak adalah homo ludens, yaitu makhluk penyuka bermain. Maka, tak heran jika hal yang tidak pernah absen dari dunia mereka adalah memiliki mainan.
Dewasa ini, mainan sudah sangat beragam. Mulai dari yang tradisional seperti gundu dan ketapel, sampai yang paling modern yaitu gawai.

Seringkali, kita sebagai orang tua menjadi pusing dan jengkel jika melihat mainan anak yang berantakan, bahkan kondisi rumah ikut porak-poranda gara-gara mainan-mainan itu.  Ada mobil-mobilan di tempat tidur, boneka di dapur, bola di kamar mandi, dan lain-lain.

Maka, tak jarang demi menghindari berantakan itu, akhirnya beberapa dari kita memilih  jalan yang dirasa ‘aman’ agar anak tenang bermain dan tidak membuat keributan atau berantakan seisi rumah yaitu mengganti mainan anak yang banyak (dan tak jarang mahal) dengan gawai. Fenomena itu belakangan saya jumpai terjadi di beberapa keluarga, terutama keluarga muda, yang rata-rata memang sangat reaktif dengan perkembangan teknologi.

Namun, sadarkah kita bahwa “berantakan” yang disebabkan oleh anak-anak kita merupakan wujud dari perkembangan kecerdasan mereka? Membatasi ruang gerak mereka dengan menjejalkan permainan dari dalam gawai justru dapat memicu berhentinya proses perkembangan itu.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa anak-anak yang bermain dengan berantakan lebih mudah mengingat nama benda yang diacak-acaknya sendiri. Hal ini merupakan indikator kecerdasan verbal-linguistik (bahasa). Selain itu, anak-anak yang aktif memainkan mainannya akan sering menyentuh dan lebih mudah mengidentifikasi bentuk benda. Hal itu merupakan indikator kecerdasan visua-spasial (bentuk dan warna).

Maka, sebagai orang tua, sebaiknya kita bersyukur jika anak-anak kita dapat aktif bermain dengan dunianya. Nah, untuk meminimalisir berantakan yang mungkin ditimbulkan, ada beberapa tips yang melibatkan anak agar mainan-mainan mereka bisa dikondisikan dengan baik di rumah.

Satu, buatlah kesepakatan antara orang tua dan anak untuk rule bermain seperti durasi, hal-hal yang diizinkan, dan tidak diizinkan. Jadi, dalam bermainpun anak memiliki hak dan kewajiban. Hak-nya adalah anak boleh menghabiskan waktu bermainnya sesuai kesepakatan. Kewajibannya adalah menjaga dan membereskan mainannya.

Dua, memberikan tempat atau ruang khusus bermain. Hal ini akan membuat anak merasa memiliki ruang privasinya sendiri. Orang tua bisa mengajarkan anak rasa bertanggung jawab dari ruang bermain dengan cara menjaga dan merawat mainan-mainannya.

Tiga, diskusikan ketika membeli mainan. Ketika orang tua membelikan atau membeli mainan bersama anak, sebelum menggunakannya ajak anak berdiskusi tentang hal-hal yang harus dilakukan anak dengan mainan tersebut. Seperti bagaimana cara menggunakannya dengan baik, bagaimana cara merawatnya, sampai bagaimana cara menyimpannya. Jangan terpaku pada aturan yang ditentukan tapi fokus pada karakter yang berdampak pada anak kita yaitu bertanggung jawab.

Empat, membuat tempat penyimpanan bersama. Ajak anak membuat atau mengatur tempat penyimpanan mainannya bersama. Hal ini agar anak tidak semata mengandalkan orang tua untuk membereskan mainannya. Kita bisa mengajak anak untuk memanfaatkan kardus bekas lalu menghiasnya dengan kertas kado, atau ember bekas yang dicat ulang. Hal ini juga mengajarkan pada anak tentang prinsip recycle.

Permainan yang menyenangkan bagi anak bukanlah yang canggih dan berharga mahal. Tetapi seberapa besar kita menghargai mainan-mainan itu. Hal-hal di atas akan mengajarkan pada anak betapa berharganya mainan-mainan sederhana mereka.

Selamat bermain!

Categories
Opini

Mendampingi Anak dalam Menghadapi Kegagalan

Nah, gitu dong. Hebat! Itu baru anak Ayah-Bunda!”

Berapa   banyak   orang   tua   yang   mengatakan   hal   itu   kepada   anaknya   ketika   si   anakmemperoleh   nilai   tinggi,  di   mata   pelajaran   tertentu,   lalu   menggerutu   ketika   si   anakmendapat nilai rendah? Atau ketika si anak mendapatkan juara dia dipuji setinggi langit. Tetapi ketika dia kalah dia dicibir, meskipun hanya sebatas candaan.

Pernahkah   kita   berpikir   bahwa   tindakan   itu   melukai   hatinya? Membuatnya   menjadiseseorang yang ambisius?

Pikiran tentang hal itu terlintas di kepala saya setelah sebuah kejadian cukup menarik yang saya alami. Beberapa hari yang lalu saya agak tercengang melihat seorang siswa SD menangis cukup histeris ketika tidak terpilih mewakili sekolah di sebuah ajang lomba. Saya tahu dia kecewa. Ketika itu saya adalah orang yang bertanggung jawab menyeleksi perwakilan sekolah. Maka,bisa jadi anak itu kecewa pada saya. Ketika saya hampiri dan saya peluk, anak itu tidak menolak. Saya cukup bingung, karenamendapatkan respon baik. Saya tunggui dia sampai selesai menangis. Ketika tangisnya reda,saya minta maaf padanya. Saya mencoba membesarkan hatinya. “Takut dimarahi Ibu,” katanya ragu-ragu.

Saat   itu   juga   saya   memahami,   bahwa   orang   tuanya,   baik   sadar   maupun   tidak,   telahmenitipkan sebuah ‘ambisi’ pada anaknya. Ambisi untuk menjadi yang terbaik. Ambisi untukselalu berprestasi dalam sebuah kompetisi. Hal itu menjadi parameter si anak yang ditanamoleh orang tua lewat pola asuhnya.

Tetapi kita tidak bisa memandang sikap orang tua si anak itu secara hitam-putih belaka. Sayameyakini, di balik pola asuh tersebut hal yang dicita-citakan orang tuanya pastilah baik. Agaranaknya  selalu  berusaha  berprestasi,  selalu  berusaha  menjadi  orang  yang    pandai,  agaranaknya menjadi orang yang pintar, dan lain-lain.

Hanya saja, sikap yang ditunjukkan ketika si anak mengalami kegagalan bisa jadi kurangtepat. Anak-anak tentu belum mampu memahami makna tersirat dari ucapan dan tindakankita. Apa yang dia dengar adalah yang dia pahami. Maka, ketika anak mengalami kegagalan, orang tua harus hati-hati mengambil sikap.

Hal-hal berikut bisa menjadi cara atau alternatif yang bijak menyikapi kegagalan anak kita.

Pertama, besarkan hatinya. Ketika anak mengalami kegagalan, hibur dia dengan kata-kataseperti “Tidak apa-apa, yang penting Adik sudah berusaha!”, “Tenang, masih ada kesempatanlain.   Besok   kita   coba   lagi,   ya!”.

Kata-kata   sederhana   itu   adalah   penghiburan   palingmenentramkan baginya yang sedang kecewa.

Kedua, berikan quality time. Berikan waktu khusus pada si anak untuk menenangkan hatinyadan bercerita. Hal itu akan membuatnya lebih mudah menerima kegagalan karena merasaditemani.

Ajak   dia   bercerita,   tetapi   jangan   buru-buru   memaksanya   mengungkapkan kekecewaannya.   Jika   sudah   benar   merasa   nyaman   dan   menerima,   anak   akanmenceritakannya   sendiri   pada   orang   tua.   Hadirkan   kisah   inspiratif   tentang   orang-orangsukses yang dulunya pernah gagal berulang kali. Hal itu akan mengobati rasa kecewanya.

Ketiga, ajak evaluasi. Ketika anakk sudah bisa berdamai dengan rasa kecewanya, ajak diamengevaluasi kegagalan kemarin. Hal itu akan mengajarkan anak untuk naik satu tingkatlebih baik.

Seperti kata pepatah “Pengalaman adalah guru terbaik”, jadikan pengalamankemarin sebagai motivasi untuk berusaha lebih baik lagi. Dengan melakukan hal-hal tersebut, anak tidak merasa ditekan untuk berprestasi. Anak akan terhindar   dari   sikap   ambisius   yang   mengungkungnya. Anak   akan   berprestasi   atas keinginannya karena menjadi anak berprestasi sangat menyenangkan. Semoga bermanfaat.

Tabik.

Categories
Opini

Dongeng Indah di Hari Minggu

Anak-anak selalu tumbuh menjadi besar. Seiring pertumbuhan fisiknya itu, kecerdasannya juga bertumbuh. Salah satunya adalah kecerdasan bahasa atau verbal-linguistik.

Sayang, tidak semua orang mau menyadari bahwa bahasa adalah salah satu aspek kecerdasan yang berkembang dengan baik jika terus diasah.

Padahal, kompetensi bahasa anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, terutama keluarga sebagai orang terdekat yang tiap harinya berinteraksi dan menjalin komunikasi melalui bahasa.

Oleh sebab itu, kemampuan bahasa anak pada masa-masa awal pertumbuhannya perlu dikawal agar dapat berkembang dengan maksimal. Banyak sekali cara yang bisa dilakukan untuk memancing perkembangan bahasa anak, seperti membacakan dongeng sebelum tidur, menyanyikan sebuah lagu, bermain sandiwara boneka, sampai bercerita menggunakan media gambar berseri.

Hari ini, beberapa family berkumpul di rumah. Mereka membawa putra-putri kecilnyaa. Saat seperti itulah saya masuk untuk ‘kampanye’ sekaligus mendemokan tentang beberapa langkah sederhana untuk berinteraksi dengan anak-anak agar kecerdasan linguistiknya dapat terdampingi dan berkembang dengan baik.

Saat anak-anak usia 2-7 tahun itu asyik dengan gawai orang tuanya, menonton tivi, dan tidak mau turun dari gendongan ibunya, saya muncul membawa sebuah buku dongeng warna-warni. Sebetulnya, buku itu sudah lama terpajang di lemari, tapi belum ada yang menyentuhnya.

Saya membacakan buku itu pada seorang anak yang langsung tertarik. Kemudian diikuti oleh dua anak lagi. Saya bersyukur meski sebentar mereka bisa lepas dari gawai dan televisi.

Melihat saya yang bisa dengan mudah akrab dan membuat mereka lupa untuk berkutat dengan gawainya, beberapa family akhirnya mulai mengajak saya diskusi tentang anak-anak.

Ada yang mengeluh anaknya jarang bicara, sangat pemalu, senang berteriak, sampai senang main pukul. Ada beberapa hal yang saya sarankan untuk menjalin keakraban sekaligus mengembangkan karakter baik dan kecerdasan mereka, seperti senang membacakan cerita atau dongeng.

Dongeng bisa disajikan dengan tujuan agar anak dapat belajar tentang nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalamnya. Selain itu dongeng juga dapat memberikan pemahaman dan gambaran nyata tentang dunia melalui jalan sederhana yaitu lewat cerita.

Hal tersebut sudah tepat, karena dongeng memang sengaja diciptakan untuk dibaca oleh anak-anak agar mereka dapat belajar dari cerita yang dikisahkan. Nilai-nilai yang terimplementasi dalam dongeng, dikemas dengan sederhana dan sesuai dengan sudut pandang anak, sehingga mudah untuk diterima dan dipahami oleh logika anak.

Seperti yang diungkapkan dalam sebuah penelitian bahwa dongeng yang dikisahkan pada masa kanak-kanak dapat memberikan sugesti serta menjadi konsep yang tertanam pada diri anak. Isi cerita yang dipahami anak dapat mempengaruhi cara berpikirnya, sehingga dapat berpengaruh pula pada pola kepribadian dan tingkah lakunya dalam menghadapi sebuah problema.

Cerita bisa diperoleh dari buku maupun karangan orang tua sendiri. Akses buku-buku anak di desa memang tidak terlalu terjangkau. Selain harga yang mahal tempat membelinya yang cukup jarang ada di sini. Saya menawarinya alternatif dengan meminjaminya buku-buku dongeng koleksi saya. Selain itu orang tua bisa juga mengakses dongeng di internet atau menciptakan dongengnya sendiri.

Interaksi orang tua dengan anak-anak melalui dongeng tidak berakhir sampai di situ saja. Setiap mengakhiri cerita, orang tua bisa mengajak anak-anak merefleksikan cerita dengan kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, cerita tentang seekor kelinci yang makan sambal berbicara akhirnya tersedak makanan. Hal tersebut tidak pantas ditirukan, dan lain-lain.

Nah, interaksi itulah yang juga akan mengembangkan kecerdasan bahasa anak. Ketika anak sering diajak bicara, dihargai pendapatnya, dan dibetulkan kosakatanya yang keliru, di situlah perkembangan bahasanya akan terbentuk dengan baik dan pesat.

Pelan-pelan orang tua dapat memberikan nasihat, memberi contoh, dan belajar bersama agar anak tidak berkata kasar, agar anak tidak main pukul, agar anak tidak manja.

Selamat mendongeng untuk buah hati, Ayah dan Bunda..

Tabik,

ENDAH KUSUMANINGRUMRELAWAN PUSTAKARUMAH KREATIF WADAS KELIR

Ilustrasi dari sini

Categories
Opini

KELUARGA Pembaca

Siang menjelang sore tadi semua sibuk. Relawan sibuk menata panggung. Anak-anak sibuk latihan pentas. Saya, sibuk menyaksikannya. Sebab, saya memang sedang ada jadwal menjaga TBM.

Singkat cerita, seorang gadis bersenyum manis datang membawa setumpuk buku. Dia lah Malfa, pengunjung TBM paling rajin. Bukan hanya karena rumahnya yang berjarak seperlemparan batu dari TBM, tetapi jam terbang bacanya juga sangat tinggi.

Kami, TBM Wadas Kelir punya sebuah jurnal mandiri untuk setiap anggotanya. Jurnal itu berisi tiga kolom. Kolom satu meminjam buku, akan terisi 0,5 poin jika anak-anak meminjam buku dari TBM. Kolom dua: membaca buku, akan terisi satu poin jika anak-anak telah meminjam buku. Untuk mengetahui kedalaman pemahamannya pada buku, kami petugas jaga diharuskan membuat semacam waawancara tentang isi buku pada anak.

Awal-awal memang terasa berat bagi mereka. Lama-lama malah terasa asyik. Mereka mengembalikan buku sambal antre untuk ditanyai. Kolom terakhir: mengembalikan buku, akan terisi 0,5 jika anak-anak mengmbalikan buku yang dipinjam dengan tepat waktu (rentang peminjaman adalah 1 minggu)

Hari ini Malfa datang membawa 7 buku. Saya kontan bertanya, “Loh, kok banyak banget? Kan satu orang boleh pinjam maksimal dua,”

Lalu dia memilah-milah setumpuk buku itu“Ini punya Bilqis,” katanya menunjukkan dua majalah anak-anak. Bilqis adalah nama adiknya. “Ini punya mama,” katanya menunjukkan satu buku novel anak.“Ini punya embah,” katanya menunjukkan satu buku kumpulan resep masakan Indonesia.“Ini punyaku,” katanya menunjukkan dua buku terakhir. Buku dongeng dunia dan dongeng nusantara.

Saya tersenyum menerimanya. Hebat sekali keluarga ini. Dari simbah sampai ke cucunya, semua membaca. betapa menyenangkannya membayangkan atmosfer ilmu ada di rumah mereka.

Dari seseorang, saya pernah mendengar, “Belajar itu menular,”

Ya, saya setuju. Sebab, saya sendiri merasakannya. Ada di lingkungan yang mempunyai kegemaran belajar menularkan energy itu pada saya. Saya jadi suka dan cinta belajar.

Lalu, jika sekarang saya merasakan sebuah lingkungan yang belum terbangun atmosfer belajar, apakah yang akan saya lakukan?

Meninggalkannya? Tidak peduli? Atau, berusaha menjadi orang yang lebih dari biasa: menciptakan atmosfer belajar di lingkungan itu, dimulai dari diri kita sebagai seseorang yang menularkan belajar.

Semoga, semoga itu bisa kita capai.[]

Categories
Opini

Jauhkan Gawai Sebelum Anak Tidur

Suatu malam sepulang dari bioskop, saya tidur sangat lelap. Pagi hari, ketika saya bangun, badan terasa ringan. Hati saya bahagia. Pagi jadi penuh semangat.
Tunggu dulu, kenapa pagi itu bisa begitu menyenangkan? Saya putar kembali ingatan semalam.

Semalam saya menonton sebuah film yang sangat bagus. Isi ceritanya sangat memanjakan imajinasi, menegangkan, sesekali lucu, dan membuat penasaran.
Lalu, kenapa begitu panjang lebar saya ceritakan hal ini? Sebab, kemudian saya teringat dua keponakan kecil saya –Alika dan Innara– dari dua orang tua yang berbeda.

Hari itu saya menginap di rumah Innara. Setiap pagi, selama saya menginap, Innara selalu terbangun dengan tersenyum. Turun sendiri dari kasur tempatnya tidur, lalu menuju ke dapur, menghampiri ibunya minta dipeluk.
Lain waktu, saya menginap di rumah Alika. Setiap pagi selama saya menginap, Alika selalu bangun pagi lalu menangis, merajuk, bahkan sekali waktu mengamuk.
Entah apa alasannya, orang tuanya hanya bilang, “Udah biasa, langganan tiap pagi,”. Dan setengah jam kemudian dia baru berhenti karena kelelahan.

Betapa berbeda budaya bangun pagi mereka. Kemudian, di kepala saya muncul pertanyaan “Kenapa?”
Lamat-lamat saya teringat, tentang kebiasaan keduanya waktu berangkat tidur. Ternyata keduanya punya kebiasaan yang amat berbeda.

Innara, si kecil yang bangun tidur dengan tersenyum, setiap malam selalu tidur dengan diantar oleh dongengan menyenangkan dari ayah-ibunya. Tidak perlu waktu lama menidurkan dia. Hanya lima menit bercerita, sisanya Innara ‘ngoceh’ sendiri. Beguling-guling di kasurnya, seolah-olah sedang memerankan satu-dua tokoh. Lalu, brukk! Sepuluh menit kemudian dia tidur lelap. Esoknya bangun dengan tersenyum.

Lain halnya dengan Alika. Sebelum tidur, dia sibuk dengan gawainya –bahkan, pernah sekai waktu kepalanya benjol karena tertimpa gawai selebar buku tulis. Bagaimana tidak? Tangan kecilnya tidak terlalu kuat menyangga gawai sebesar itu lama-lama. Posisinya selalu tengadah, jadilah gawai itu jatuh dan menimpa pelipisnya tanpa ampun–, untuk menidurkannya perlu waktu cukup lama.
Selain karena terlalu asyik menonton video-video kartun kesayangannya, Alika juga jadi tidak merasakan kantuk (Sebuah penelitian mengatakan bahwa sinar/ cahaya yang dihasilkan gawai akan mempengaruhi otak kita, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan rasa kantuk. Itulah kenapa para gamers bisa tahan tidak tidur sampai berhari-hari karena terus menatap layar komputernya).

Alika melakukannya. Ia bisa tidur kalau gawainya benar-benar mati (lowbat) atau karena sudah larut malam, akhirnya orang tuanya memilih mengambil gawai dengan paksa.

Bisa ditebak apa yang terjadi, gadis kecil itu meronta, merasa jengkel. Malam sebelum ia berangkat tidur jadi terasa kacau. Besok paginya, ia bangun dengan rasa yang mungkin masih meninggalkan dongkol.

(Bukan, bukan saya ingin mengatakan bahwa gawai berbahaya untuk anak-anak. Gawai harus dijauhkan dan dihindari. Bukan. Tetapi, kita, sebagai orang tua hendaknya bijak menggunakannya dan menetapkan batasan yang baik untuk anak-anak kita)

Dari kondisi bangun tidur pagi itu, saya seolah-olah memahami, betapa kisah yang menyenangkan, imajinasi yang dimanjakan akan memenuhi kebutuhan anak akan cerita. Sebab, mereka, anak-anak itu adalah makhluk yang ditakdirkan Tuhan sebagai homo fabulans atau makhluk penyuka cerita.

Dari sebuah buku, saya membaca sebuah fragmen:
“Cerita yang Anda pilih sama pentingnya dengan bagaimana Anda menceritakannya. Cerita itu harus memasukkan cukup aksi untuk menciptakan ketertarikan tanpa harus menstimulasi mereka secara berlebihan. Cerita itu juga perlu memiliki akhir yang memuaskan. Sebuah cerita seperti sebuah kado: saat mencapai akhir, anda harus menghubungkan segalanya, sehingga pendengar merasa bahagia dengan kesimpulannya dan bisa berlanjut ke cerita lain di waktu selanjutnya. Si kecil perlu menikmati dongeng dan kemudan beranjak ke alam mimpi dengan nyaman.” (Alison R. Davies, Mendongeng untuk Buah Hati).

Tidak perlu waktu yang panjang, cerita yang rumit, dan alat yang lengkap. Sederhana saja, cukup lima menit sebelum tidur menceritakan kisah-kisah ajaib pada anak-anak kita –justru membangun budaya bercerita sebelum tidur ini lah yang perlu waktu.

Selamat mendongeng sebelum tidur.
Tabik.[]

Categories
Opini

Hindarkan “Buta Konsep Diri” pada Anak Kita

Awal memasuki dunia kuliah, saya memiliki sebuah pertanyaan yang menggantung di benak: “Kenapa saya memilih masuk jurusan ini?”.

Ternyata hal itu juga terjadi pada beberapa teman baru saya. Sebab, tidak semua mahasiswa yang masuk ke sebuah jurusan adalah murni pilihannya, merupakan passionnya, atau berdasarkan sebuah pertimbangan yang matang. Ada yang berdasarkan paksaan orang tua, mengikuti teman, sampai asal-asalan yang penting kuliah. Hal ini adalah fenomena yang tidak pernah luntur dari kultur pendidikan kita, di mana seseorang merasa bimbang, merasa tidak punya pilihan, dan merasa tidak percaya diri menghadapi masa depan.

Padahal, sebetulnya, hal seperti ini bisa diantisipasi sejak awal, jika seseorang mengetahui apa yang benar-benar diinginkannya. Sayangnya, proses mengenali diri sendiri ini tak banyak mendapat perhatian, baik dari diri kita sendiri maupun dari lingkungan terdekat (keluarga).

Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua sejak dini agar anak-anak tidak menjadi orang yang buta pada konsep dirinya.

Pertama, berhenti memaksakan kehendak pada anak. Tak jarang terjadi, orang tua yang tidak mengenali dengan baik sifat dan pribadi anaknya. Sehingga apa yang diinginkan anak tidak dipahami orang tua. Hal itu berujung pada pemaksaan kehendak pada anak. Sebab, tugas orang tua adalah memberikan pengarahan, bukan pemaksaan.

Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak adalah hal yang baik untuk menghindarinya. Menciptakan positive bonding dapat mempermudah keduanya untuk bisa saling memahamin. Hal itu bisa dilakukan setiap hari melalui obrolan ringan tentang pengalamannya di sekolah, ketika bermain, dan lain-lain.

Dengan didengarkan dan diajak berdiskusi, anak akan merasa dihargai. Rasa percaya dirinya tumbuh. Selain itu, ketika anak telah mengenal konsep diskusi sejak dini, hal itu akan baik baginya, karena anak akan semakin menghargai pendapat orang lain juga.

Kedua, mengajarkan konsep diri pada anak. Dalam teori kecerdasan jamak, hal ini disebut dengan kecerdasan intrapersonal. Masih juga ada hubungannya dengan poin pertama, orang tua sebaiknya tidak melulu menyetir anak-anak, tapi mengarahkannya. Jika hal itu dilakukan terus-menerus pada anak hingga ia tumbuh menjadi remaja, bisa jadi hal itu akan menghambat prosesnya mengenali tentang konsep diri.

Proses mengenali diri bisa dimulai sejak dini. Ketika mereka masih balita, orang tua bisa menceritakan dongeng pada anak. Di dalam dongeng terkandung pelajaran moral, sosial, emosi, dan logika yang baik. Biarkan anak belajar mengidentifikasi dirinya melalui tokoh-tokoh dalam dongeng yang diceritakan oleh orang tuanya. Hal itu akan sangat memantik pengetahuan mereka tentang konsep baik-buruk, bahagia-sedih, dan lain-lain.

Ketiga, melatih anak untuk belajar mengambil keputusan. Setiap hari, dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita semua selalu dituntut untuk mengambil keputusan. Belajar mengambil keputusan bagi seorang anak adalah hal yang amat baik baginya, terutama dalam proses memahami konsep diri.

Contoh paling sederhana adalah biarkan anak memilih akan memakai baju warna apa, memilih permainan yang akan dimainkan, memilih buku yang ingin dibacanya, dan lain-lain. Dengan terbiasa mengambil keputusan, membuat anak tidak ketergantungan pada orang lain. Hal itu bisa meningkatkan rasa percaya dirinya. Membuatnya jadi pribadi yang tegas dan tidak plin-plan.

Tugas kita, sebagai orang dewasa adalah membimbing dan mendampingi anak dalam mengenali persoalannya, mengarahkan, dan mendukung pilihannya. Sehingga, rasa percaya diri anak dapat berkembang baik dalam dirinya. Kelak, ia tidak akan hidup dalam kebimbangan karena buta pada konsep diri.[]