Categories
Opini

SMS-an dengan Bocah-bocah Wadas Kelir

Jadwal kegiatan yang cukup padat tiba-tiba saja dijadikan alasan pembenaran bahwa ‘kelupaan’ pada jadwal mengajar itu sah. Lupa memang manusiawi, tetapi hal itu bisa saja tidak terjadi, apabila saya mampu menata waktu sedemikian rupa dan sedemikian baik.

Sore itu  contohnya, keriuhan di grup whatsapp relawan mengganggu tidur siang saya yang nyaman. Ternyata, pusaran masalah adalah saya. Sore itu seharusnya jadwal saya adalah mengajar SEKOLAH LITERASI (kelas PAUD dan SD), bukan tidur siang. Saya tidak ingat sama sekali, sehingga saya tidak mempersiapkan amunisi apa-apa ketika datang kepada mereka, kepada anak-anak yang siap belajar.

Terciptalah suasana yang kaku, antara saya dan anak-anak yang tadinya asyik main pasir, kelereng, sampai ayunan. Saya sudah terlanjur menghentikan permainan asyik mereka untuk belajar. Maka saya harus bertanggung jawab.

Hal pertama yang saya lakukan adalah membacakan buku cerita dengan nyaring (atau read aloud) untuk mereka yang tujuannya memunculkan ketertarikan belajar. Hebatnya, beberapa anak sudah fasih melafalkan diksi ‘read aloud’ ini. Contohnya Malfa (kelas 3 SD) yang suatu hari ketika melihat saya nganggur langsung menyodorkan buku lalu bilang “Kak, ‘read aloud’ in buku ini dong,”.

Dan jurus ‘read aloud’ memang ampuh. Sepuluh dari dua belas anak yang tadinya terkesan ogah-ogahan, menjadi tertarik untuk mendekat, menyimak, dan berinteraksi.

Apakah urusan selesai? Belum! Ketika cerita saya akhiri, anak-anak nyaris bubar kembali. Rencana saya untuk belajar dalam porsi yang cukup serius bersama mereka sepertinya memamg harus disimpan dulu. Yang mereka inginkan adalah permainan yang aktif dan seru.

Tiba-tiba saya teringat obrolan siang hari dengan seorang teman relawan yang berkata bahwa dirinya merasa kagum melihat Watiek Ideo (penulis dongeng nasional) yang mampu menghidupkan dolanan bocah di lingkungannya. Mengapa Wadas Kelir tidak?

Akhirnya, langkah kedua yang saya lakukan adalah mengajak anak main sunda-manda. Tetapi, ada syaratnya. Setiap anak yang mendapat giliran main harus menjawab pertanyaan singkatan dari saya (awalnya pertanyaan berasal dari saya, lama anak-anak berebut memberikan pertanyan untuk teman-temannya, dan menjadikan permainan makin seru).

Oleh karena itu, kami menamai permainan tersebut dengan SMSan (Sunda Manda dan Singkatan). Cara mainnya sangat sederhana, contohnya saya menyebutkan tiga huruf ‘OHS’, anak-anak menjawab kepanjangan tiga abjad itu semampunya, seperti: Orang Harimau Salak. Odol Hiasan Senang. Obat Hantu Sakit. Ombak Hanyut Sungai. Macam-macam sekali. Terserah!

Untuk membantu mereka, saya menyediakan banyak buku sebagai bahan referensi mencari kosakata. Akhirnya kalau sudah kepepet kehabisan kosakata, mau tidak mau, mereka membuka buku dan menelusuri kata per kata. Hasilnya kosakata anak semakin banyak dan beragam.

Yang tadinya hanya seputar nama buah dan hewan, lama-lama menyentuh kosakata seperti ‘amfibi’, ‘pledoi’, ‘signifikan’, ‘daring’, ‘narahubung’, dan lain-lain.

Lebih senang lagi ketika mereka tidak mengerti makna kata yang diucapkannya, mereka tidak segan bertanya atau minta penjelasan. Saya sampai harus membuka fitur KBBI.  Anda semua mau coba serunya?Silahkan cari kepanjangan dari OTR, YEW, CFK, HSM, PUZ.

Tetapi, berhadapan dengan anak-anak tanpa persiapan itu sesuatu yang mengerikan(untuk saya). Hari ini saya hanya sedang beruntung. Lain waktu, saya akan membuat konsep permainan yang lebih menyenangkan, lebih edukatif, dan lebih kreatif untuk semakin mendekatkan anak pada buku dan membuat mereka jatuh cinta pada ilmu.

Tabik.[]

 

Categories
Kabar TBM

“Konspirasi” di Antara Mereka

Seperti biasa, selepas ashar, bocah-bocah sekitar pasti ramai berkumpul di halaman PBM Wadas Kelir. Macam-macam tujuannya, dari main ayunan sanpai numpang makan jajan. Pun para orang tua mereka, dari sekadar momong anak sampai ngobrol tentang sarapan enak. Satu hal yang juga tidak pernah lepas dari jangkau mata adalah: para relawan pustaka yang duduk berjajar di seantero sudut Pusat Belajar Masyarakat (PBM) dan dikerumuni para bocah yang haus cerita.

Seperti biasa juga, saya segera ikut bergabung. Begitu datang, saya langsung mengambil sebuah buku dongeng di gerobak baca, lalu iseng bersenandung “Siapa yang mau dengar cerita?” untuk menarik perhatian mereka. Dan seperti biasa lagi, tiga bocah usia PAUD yang tertarik pada buku di tangan saya langsung berkerumun. Siap mendengar cerita!

Namun, begitu halaman pertama terbuka, ada seorang bocah di luar kerumunan saya yang tiba-tiba mengomandoi mereka, “Bikiss, Malva, Neya, sini!” katanya bernada tegas. Bahkan lebih terdengar seperti bos. Saya sempat menahan tawa.

“Sini, Kak Endah bacakan cerita!” rayu saya. Dia menggeleng sambil menentengi sebuah buku cerita.

Anak-anak yang tadinya mengerumuni saya segera berhambur bubar jalan, mereka berempat membuat kerumunan baru. Saya yang tadinya sudah siap membacakan buku untuk mereka jadi terbengong. Tapi, saya biarkan saja. Saya amati apa yang akan mereka lakukan. Konspirasi macam apa yang sedang mereka lakukan? Tanya saya dalam hati sambil menahan rasa geli karena baru saja (merasa) dicueki.

Ternyata, MEREKA SALING MEMBACAKAN BUKU SATU SAMA LAIN. Setiap lembar, secara bergantian, mereka bergiliran membacakan cerita untuk teman-temannya. Padahal, saya yakin betul, beberapa anak di antara mereka belum bisa membaca. Tetapi, mereka berusaha mengikuti apa yang temannya lakukan. Ia bercerita menggunakan imajinasinya sendiri. Jadi, apa yang dimaksud dengan ‘membacakan cerita’ bermakna absolut. Ada yang mereka-reka adegan berdasar ilustrasi. Ada yang semau sendiri bercerita, yang penting terlihat seperti sedang cerita. Dan, itulah ajaibnya imajinasi anak!

Saya senyum-senyum melihat tingkah mereka. Sebentar kemudian, saya seperti tersadar, bahwa  tingkah laku mereka adalah apa yang kami, para relawan pustaka , lakukan selama ini. Mereka tidak mau kalah oleh kami, para relawan pustaka. Mereka meniru kami, orang-orang dewasa di sekitarnya. Betapa mereka, anak-anak itu, memang seperti spons yang sangat mudah menyerap apa yang lingkungannya berikan.

Jika lingkungannya mencontohkan banyak berkata kasar, maka dengan sangat mudah pula anak akan berkata kasar. Jika lingkungannya mencontohkan kebiasaan belajar, maka anak akan tumbuh menjadi manusia pembelajar.

Kami, relawan pustaka di Wadas Kelir  selalu berusaha melakukan itu: memberikan teladan pada anak-anak bahwa belajar, membaca buku, dan bekerja untuk lingkungan adalah hal yang menyenangkan. Kami selalu menginginkan anak-anak tumbuh dalam dunianya yang nyaman dan menyenangkan. Sebab, seperti yang Dostoyevsky katakan bahwa bisa jadi pelajaran paling berharga dalam hidup adalah sebuah pengalaman dari masa kecil.

Tabik,

ENDAH KUSUMANINGRUMRELAWAN PUSTAKAKAMPUNG LITERASI WADAS KELIRPURWOKERTO

Categories
Opini

Berbagi dan Mengabdi Karena Buku #3

Pertanyaan Orang Tua tentang Kerelawanan Saya

Orang tua saya sempat mempertanyakan kegiatan di komunitas. Hampir sama seperti pertanyaan saya dulu, “Untuk apa berkegiatan seperti itu?” “Apa tidak mengganggu kuliahmu?” dan sederet pertanyaan ragu lainnya. Saya hanya tertegun, belum bisa menemukan jawaban yang kuat. Saya tunjukkan karya-karya saya di media masa, jawaban mereka kurang menyenangkan, “Itu kan sudah lazimnya kamu sebagai mahasiswa bahasa,”. Setelah itu, saya hanya bisa diam saja, tidak ingin menjawab pertanyaan mereka dengan kata-kata.
Sampai pada akhirnya, saya mendapat kesempatan untuk mengajar di Pattani, Thailand Selatan. Cuma saya satu-satunya dari kampus. Dan kesempatan itu diberikan oleh komunitas. Saya tersenyum lega, akhirnya saya bisa memberikan (paling tidak) satu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sekarang, orang tua saya mendukung penuh kegiatan kerelawanan yang saya lakukan. Hati saya lega. Semangat saya terus-menerus bertambah. Bahkan, sekali waktu mereka pernah menasihati saya agar istiqomah berproses dan jangan meninggalkan apa yang sedang kami perjuangkan.
Saya semakin semangat untuk istiqomah (konsisten) berkegiatan di komunitas ini dan menjadi relawan pustaka. Hebatnya, orang tua saya yang mulanya tidak pernah berpikir bahwa saya akan lanjut studi ke S2 jadi berpikir ke arah sana. Kami berdiskusi dan akhirnya saya lanjut studi.
Saya coba tunjukkan prestasi-prestasi yang bisa membuat mereka bangga. Perlahan, karya saya mulai dihargai. Saya mampu mendapatkan kompensasi dari tulisan-tulisan saya. Selain itu, beberapa kali saya diundang sebagi pembicara, dan menjuarai lomba-lomba maupun kompetisi. Baru-baru ini, saya diundang oleh sebuah penerbit buku mayor di Jakarta dan kebetulan buku saya juga akan diterbitkan di sana.
Dari sambungan telepon, saya bisa mendengar getaran rasa bahagia dari kata-kata mereka. Selain membuat mereka bangga, saya berharap adik saya belajar dari apa yang telah saya lakukan sejauh ini.
“Ketika satu per satu mimpi saya tercapai, saya tahu, Tuhan sedang mengabulkan doa Ibu satu per satu!” begitu kata saya pada Ibu. Belakangan, saya tahu dari Bapak, bahwa Ibu menangis haru setelah saya menutup sambungan telepon.

Manufer Cita-cita
Dulu, saya adalah orang yang paling tidak percaya diri ketika ditanya perihal cita-cita. Mau jadi apa saya kelak? Saya selalu menemui jalan buntu memikirkan masa depan. Kerap kali, cerita orang-orang membuat pikiran saya tentang cita-cita menjadi kelewat suram. Paling mentok, yang ada di pikiran saya adalah: menjadi guru, karena sudah terlanjut masuk ke jurusan pendidikan di kampus.
Tetapi, sekarang, jika Anda bertanya pada saya, “Apa cita-citamu?”

Saya akan menjawab mantap, “Sejahtera dari menulis!”

Cita-cita lain yang mungkin jarang orang miliki di dadanya adalah, “Menjadi penulis yang disayang penerbit mayor!”
Menulis buku adalah salah satu hal yang bisa saya lakukan untuk mengabdikan dan mengabadikan diri lewat ilmu pengetahuan. Saya berharap, buku-buku yang saya tulis bisa mencerdaskan putera-puteri negeri.
Bagaimana agar saya bisa menjaga mimpi dan cita-cita mulia itu? Jawabannya adalah dengan bergabung bersama orang-orang yang memiliki satu visi. Komunitas misalnya. Saya merasa beruntung, bisa bergabung bersama teman-teman relawan pustaka lainnya di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Sebab, menjaga semangat tidaklah mudah. Sebuah jalan yang begitu sepi. Pasang-surut persoalan kita, kawan-kawan di komunitas yang satu visi dan satu misi akan menjaga semangat kita tetap ada dan tumbuh.
Setidaknya, dalam proses belajar kami sebagai manusia sekaligus relawan pustaka, kami tidak hanya berguna bagi diri sendiri. Tetapi juga bagi orang lain. Belajar dari pengalaman masa kecil yang cukup sulit pada akses buku, saya ingin anak-anak di sekitar saya tidak lagi merasakan hal yang sama.[]

 

Categories
Opini

Berbagi dan Mengabdi Karena Buku #2

Di Bangku SMA Menemukan Jati Diri
Ketika menjadi pelajar SMA, saya mulai bertransformasi menjadi remaja yang berbeda. Pertama, setelah menemukan bahwa di depan sekolah ada toko kecil tempat persewaan buku. Meski mencekik uang saku yang tidak seberapa itu, buku-buku di sana sangat mengobati kehausan saya pada bacaan yang asyik.
Karena harus ekstra perhitungan, maka setiap novel yang saya sewa pasti saya target supaya selesai dalam 24 jam. Saya membacanya kapanpun dan di manapun: di kantin sambil jajan, di halte sambil menunggu bus, di perjalanan pulang dalam bus, tapi tidak di rumah. Simbah melarang saya membaca buku selain buku-buku pelajaran sekolah. Kurang kerjaan, tidak ada faedahnya, dan segudang nasihat lain.
Dari toko persewaan kecili itulah saya mengenal Raditya Dika, Andrea Hirata, sampai Donny Dirgantara (penulis novel ‘5 cm’). Lagi-lagi perpustakaan sekolah menjadi tempat yang mengecewakan. Tidak ada buku bacaan menarik –selain buku pelajaran, tentu saja—kecuali majalah sastra Horison. Itupun sering sekali telat kirim. Sang kurir tidak pernah mendapat teguran berarti dari pihak sekolah, sehingga drama telat itu terus saja berlanjut.
Karena sering melihat saya baca buku di mana-mana, beberapa teman dan guru ramai-ramai menjuluki saya ‘kutu-buku’. Ditambah saya yang kala itu berkaca mata besar dan tebal. Saya hanya tertawa saja disandangi julukan itu. Sebab, nyatanya saya memang suka baca, tapi hanya baca novel dan komik. Buku pelajaran hampir tidak pernah saya baca, kecuali buku bahasa Indonesia. Bahkan, ketika itu, saya sangat ingat, cita-cita besar saya adalah membeli KBBI aseli dan membawanya ketika pelajaran Bahasa Indonesia. Bukan apa-apa sih, agar terlihat keren saja.
Kedua, kedatangan mahasiswa magang di sekolah yang sekaligus membawa masuk sebuah komunitas sastra. Komunitas Sastra Bunga Pustaka (KS Bupus) namanya. KS Bupus membuka cabang di sekolah saya. Betapa bangga ketika saya ditunjuk menjadi ketua cabangnya. Lebih bahagia lagi ketika para mahasiswa itu bersedia meminjami novel-novel mereka secara cuma-cuma.
Sejak saat itu saya dapat julukan sastrawan sekolah. Bangga sekali. Suatu kali, karya saya dimuat majalah nasional, hal itu seperti semakin melegitimasi saya yang memang sastrawan sekolah. Sayang, baru seumur jagung KS Bupus bubar. Tidak ada yang menaruh minat padanya kecuali saya.

Menjadi Relawan Pustaka
Disadari atau tidak, beberapa potongan kisah di atas menuntun saya memilih jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kampus menjadi tempat saya menyibukan diri dengan buku-buku yang memang saya cintai: buku-buku sastra. Sampai pada akhirnya tahun 2012 saya bertemu sebuah komunitas penulis dongeng: Komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK).
Setelah pertemuan itu, kehidupan saya seolah  seperti dalam dongeng: menulis dongeng yang hidup dalam kepala saya serta berbagi cinta pada anak-anak di sanggar RKWK. Berbagi tentang hal-hal yang pernah saya alami dan hal-hal yang saya pelajari. Akhirnya, saya menjadi relawan. Sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya.
Sejak saat itu, sebagian hati saya telah terisi dengan kegiatan berbagi cinta pada anak-anak di RKWK. Namun, di awal tergabung dengan komunitas ini, kadar semangat saya masih fluktuatif. Kadang saya berpikir, “Apa sih gunanya saya selalu datang ke mari?” kebetulan jarak antara kos yang dekat kampus dengan sanggar tempat kami berbagi cukup jauh.
Sekali waktu saya pernah juga berpikir begini, “Kami cuma main-main seperti ini. Menghabiskan waktu, tenaga, dan kadang pikiran,”. Tapi saya tetap datang juga. Sebab, seletih apapun keadaannya, ketika datang ke sanggar, kemudian disambut antusias oleh anak-anak, rasanya ajaib: letih itu tiba-tiba hilang. Yang tersisa hanya rasa puas dan berarti. Kalau Chairil pernah mengatakan “Sekali berarti setelah itu mati!”, saya sungguh tidak ingin mengamininya. Seharusnya, “Sekali berarti, setelah itu lagi, lagi, dan lagi!”. Saya ingin hidup menjadi orang yang berarti untuk orang lain. Selalu.
Tidak hanya itu, kadang, saya juga berpikir, “Kenapa saya menulis dongeng untuk anak-anak? Nggak keren sekali sih, nulis esai kek, nulis karya ilmiah kek, atau apalah yang susah dikit bahasanya,”. Meski nyatanya menulis dongeng juga tidak mudah –sungguh banyak pertimbangan yang harus kita pikirkan, baik segi konten maupun bahasanya. Sebab, segmen pembaca kita adalah anak.
Tapi tetap, pada akhirnya, saya tetap menulis dongeng. Membayangkan anak-anak yang membaca dongeng itu tersenyum, matanya berbinar, imajinasinya tumbuh melesat, saya bahagia! Bahkan, bukan tidak mungkin saya hidup dari menulis dongeng. Banyak penulis senior yang produktif dan mampu menata hidupnya dengan baik.[]

Categories
Opini

Berbagi dan Mengabdi Karena Buku #1

Hal yang seru dari baca buku adalah tidak seorangpun yang bisa mencuri ilmunya darimu, kecuali engkau membaginya. Dan sebaik-baik ilmu adalah yang dibagikan
Kurang lebih 16 tahun lalu, ketika duduk di bangku kelas II SD, saya mempunyai sebuah buku favorit dengan ilustrasi penuh warna berjudul ‘Jack dan Kacang Buncis’. Buku itu bukan milik saya dan entah milik siapa. Sebab, buku itu tergeletak begitu saja di laci meja kelas, selama berbulan-bulan. Kenapa saya tahu sampai berbulan-bulan lamanya? Sebab, setiap hari ketika istirahat kedua, sejak saya menemukan buku itu di laci meja, saya selalu menyempatkan diri membacanya. Berulang-ulang. Tanpa bosan. Mengapa di jam istirahat kedua? Karena uang saku saya yang hanya Rp. 200,- pasti sudah habis. Jadi, pada waktu itulah, saya isi waktu dengan membaca buku. Saya sampai hapal isi cerita dalam buku itu di luar kepala.
Cerita di atas adalah  fragmen kecil awal-mula saya berkenalan dengan buku. Bagi saya, seorang anak yang lahir dari keluarga yang sangat biasa-biasa saja, buku merupakan salah satu benda mewah. Bagi keluarga saya, buku selalu identik dengan sekolah. Jika guru tidak memerintah untuk membeli sebuah buku, maka kita tidak perlu memilikinya. “Buku kuwe larang. Tuku sing kanggo nggo sekolah bae. Duite aja diubah-ubah,” kata simbah. Artinya, “Buku itu harganya mahal. Beli yang terpakai saja untuk sekolah. Jangan buang-buang uang!”
Besar di Lingkungan Tanpa Akses Buku

Sejak berusia dua bulan, saya dibesarkan oleh kakek dan nenek yang saya panggil simbah. Beliau berdua, yang lahir di era penjajahan Jepang, tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Simbah puteri bisa membaca karena belajar di balai desa ketika pemerintah mengeluarkan program Indonesia bebas buta aksara.

Beliau berdua tidak pernah dengan sengaja menyuruh saya belajar. Tapi, kalau saya tidak mengaji, simbah bisa marah besar. Jadilah saya tumbuh sebagai bocah yang tidak gemar belajar apalagi membaca. Tapi rajin mengaji. Sepulang sekolah sampai menjelang Maghrib agenda harian saya adalah main di kebun, di sawah, atau di kali (sungai) bersama teman-teman. Kami bocah-bocah desa yang tidak kenal tidur siang. Apalagi membaca dongeng. Sejak Maghrib hingga lepas Isya, kami semua akan sibuk mengaji, kemudian pulang ke rumah untuk nonton tivi sambil sesekali membuka buku karena ada PR dari guru.

Ritma Kehidupan yang Berubah karena Buku

Namun, ritma kehidupan itu agak berubah ketika tiba-tiba guru kelas, Bu Yati, menunjuk saya menjadi delegasi sekolah di tangkai lomba baca puisi. Belakangan saya tahu bahwa alasan beliau memilih saya bukan karena melihat potensi maupun bakat terpendam, tapi karena jarak rumah saya dan beliau hanya seperlemparan batu.
Tiap sore selepas Ashar saya sudah harus datang ke rumahnya untuk diajari bagaimana cara baca puisi yang baik. Namun, bukan itu satu-satunya hal yang saya ingat dari Bu Yati. Beliau dengan sangat berbaik hati meminjami saya majalah anak-anak milik cucunya. Saat itu saya merasa menjadi anak desa yang seberuntung anak-anak di kota. Gambar-gambar di majalah itu membuat imajinasi saya melampaui apa yang mampu saya pikirkan secara nyata. Percaya tidak percaya, setelah itu saya memelihara sebuah teman imajinatif di dalam diri. Saya senang ngobrol sendiri, menciptakan dialog-dialog bahkan adegan-adegan antara saya dan teman imaji itu.
Kebiasaan meminjam majalah itu berlangsung terus-menerus sampai pada suatu sore saya membawa serombongan teman untuk ikut meminjam majalah juga. Tapi, sungguh malang, majalah itu tidak pernah kembali lagi. Saya yang kena marah! Setelah sore itu, saya tidak pernah berani lagi  meminjam majalah ke rumahnya. Tapi, ingatan saya tentang majalah-majalah itu sudah terlanjur lekat.
Menjadi Remaja yang (Kembali) Tidak Senang Membaca

Ketika duduk di bangku SMP, saya kembali menjadi manusia yang tidak senang membaca. Saya lebih menyenangi kegiatan fisik-motorik seperti ikut ekstrakurikuler drama dan pramuka. Lagi pula, perpustakaan di SMP saya keadaannya menyedihkan. Sejak saya sah menjadi siswa, gedung sekolah sedang dipugar besar-besaran.

Sayangnya, perpustakaan adalah tempat terakhir yang dipugar. Kami sudah terlanjur tidak mengenalnya. Sesekali saya membaca sastra di buku paket Bahasa Indonesia. Di sana saya mengenal nama Ahmad Tohari dengan sedikit biografinya. Saya betul-betul penasaran pada orang Banyumas yang mampu meraih banyak penghargaan dari menulis.

Saya berusaha mencari tahu di mana saya bisa meminjam buku itu. Sayang, Guru bahasa Indonesia saya pun tidak mengoleksinya. Belakangan, saya baru bisa membaca trilogi ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ ketika duduk di bangku kuliah (S1). Rasanya seperti dendam yang harus terbalaskan, saya melahap habis triloginya kurang dari dua hari.[]

Categories
Opini

Menerbangkan Cita-cita

Siapa yang mau dengar cerita tentang rusa?”

“Sayaaa…” jawab adik-adik  yang  sedang asyik berkerumun di sekitaran TBM Wadas Kelir.
Mereka, yang tadinya sedang asyik main pasir, ayunan, juga makan jajan, segera mengerumun di depan gerobak baca untuk mendengarkan cerita. Cerita tentang cita-cita seekor rusa!
Di sela-sela cerita, bahkan sebelum sempat saya bertanya, adik-adik ini berebut menyebut cita-citanya masing-masing.
Seperti umumnya anak-anak seusia mereka, profesi yang dicita-citakannya adalah dokter, guru, pilot dan astronot. Tidak apa-apa. Itu keren. Saya senang mendengar mereka berucap-mantap tentang cita-citanya.

Disadari maupun tidak, keterbatasan pengetahuan anak tentang jenis-jenis profesi yang ada di dunia ini akan membatasi imajinasi mereka tentang masa depan. Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan mengedukasinya tentang cita-cita. Bisa dengan cara menghadirkan buku bacaan, menceritakannya dengan lisan, maupun mengisahkannya dari buku-buku dongeng.
Seperti yang saya lakukan sore itu, saya bercerita tentang macam-macam profesi yang ada di dunia ini. Profesi yang masih jarang mereka cita-citakan, seperti: wartawan, chef, apoteker, peneliti, penulis, illustrator, nakhoda, sampai arsitek.
Sepertinya mereka benar terpesona pada bermacam profesi itu. Dan benar saja, setelah cerita selesai dibacakan, beberapa anak meralat cita-citanya. Yang tadinya ingin jadi guru, karena sudah ada teman yang juga menyebut profesi guru, dia minta ralat menjadi chef. Katanya, karena ibunya pintar masak. Nah, itulah pentingnya membacakan buku untuk mereka.
Demi menciptakan debar yang syahdu, pertemuan itu kami akhiri dengan belajar melipat kertas menjadi bentuk pesawat. Pada sisi kanan-kirinya ditulisi nama dan cita-cita masing-masing. Lalu kami terbangkan pesawat cita-cita itu bersama-sama.  Diiringi doa, semoga cita-cita kami mengetuk pintu-pintu berkahMu!
Bercita-citalah setinggi langit, Dik! Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang

–epigon Ir. Soekarno

Melukis Mimpi*

–pada bocah-bocah Wadas Kelir
kami bocah kecil gemar melukis dunia

sejauh jangkau mata

dan bertemu buku-buku

dari negeri segapaian angan
melukis mimpi indah sekali

melemparnya ke langit

menggantung tinggi di sana

didoakan semesta
pagi sampai malam jadi cahaya, mentari juga bulan,

bergantian jadi bangun pagi dan pelukan dalam buaian
kami bocahbocah kecil berangan besar, ber-ingin tinggi

menjaga mimpi, jejakkan kaki, jelajahi negeri-negeri!
Satuatap, 2016

*dimuat Harian Satelit Pos awal Agustus 2017

Endah Kusumaningrum (Relawan Pustaka Kampung Literasi Wadas Kelir, Purwokerto)