Seharian ia memikirkan dirinya sendiri. Tentang mimpinya yang ia rahasiakan. Saat Santri lain bertanya apa cita-citanya?. Kupluk tidak pernah menjawabnya dengan jelas. Bibirnya mengecil dan telapak tangannya hanya menunjukkannnya pada dadanya.
Tidak sia-sia Kupluk sudah menghabiskan waktunya untuk mendengar ceramah dan belajar kitab gundul. Seribu pengetahuan ia kuasai. Kepekaan intuisinya pun semakin hari meningkat tajam. Di dalam pikirannya seperti berdiri lemari buku yang berjejer rapi. Betapa pertanyaan sulit yang dilemparkan, Kupluk mampu menjawabnya. Seakan otaknya memiliki pembantu yang mengambilkan jawaban untuk Kupluk.
Tidak heran, santri lain sangat segan dengan Kupluk karena kecerdasannya ini. Bahkan jika ada persoalan sebelum santri mengajukannya pada Kyainya. Karena merasa jika setiap hari harus menundukkan kepala hanya untuk mengajukan pertanyaan. Santri lain biasa mendahulukannya pada Kupluk yang selalu berdandan sarung dan kopyah ini.
Ada cerita Kupluk selalu membaca Sholawat Nabi sebelum dan sesudah tidur. Ia mendapatkan wejangan itu ketika ia berhasil menghafalkan Nadhom Alfiyah Ibn Malik. Bait-bait yang panjang itu selalu mengelilingi pikirannya setiap hari. Ia mengeluhkannya karena tidak kunjung tidur. Kupluk pun mendapat wejangan Sholawat Nabi agar bisa tidur.
Demikianlah, Kupluk akhirnya sudah bisa tidur dengan nyenyak. Tapi semenjak ia tidur dengan nyenyak ia merasa menjadi ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Ada hal yang orang bisa melihatnya. Namun, Kupluk sendiri sulit melihatnya.
Saat di dalam kamar ia mencoba menghadap cermin dan memperhatikannya. Ia tidak melihat apa yang mengganjal pada dirinya. Ia hanya melihat bayangan yang memantul membentuk dirinya. “Kupluk yang cerdas dan disegani banyak orang”. Pikirnya.
Kupluk dicintai banyak santri. Kupluk pun membalasnya dengan tidak mencintai satu orang. Ia mencintai semua santri. Semua laki-laki. Persoalan perempuan, Kupluk memiliki catatan sendiri di lembaran kertas yang ia tulis “CINTAKU PADA ILMU LEBIH BESAR DARI PADA CINTAKU PADA SEORANG WANITA”. Kupluk menyembunyikan catatan itu pada selembar kertas yang ia selipkan di dalam Al-Qur’an. Kupluk sengaja menyimpannya di awal surat Yusuf. Saat Kupluk membuka surat tersebut, maka ia sedang jatuh cinta lalu Kupluk berusaha menghilangkannya.
Kupluk tidak mau pikirannya terganggu. Ia tidak mau saat ada persoalan datang. Di dalam pikirannya hanya mengingat-ingat perempuan.
“Aku harus membagi pengetahuanku kepada santri lain.” Ujar Kupluk.
Saat malam. Kupluk membangunkan setiap santri yang tengah tidur pulas. Kupluk merasa perihatin. Kupluk tidak pernah melihat santri tidur dengan nyenyak. Ia selalu mendapati santri yang tengah tidur selalu menggaruk-garukkan tangannya pada tangan lainnya. Kadang ia melihat jari dengan kuku yang runcing seperti harimau hendak mencakar mangsanya. Para santri sangat menikmati mangsanya ini.
“Kalian hanya perlu melakukan sholat tengah malam, saat orang lain mendekatkan lambungnya dari lantai. Kalian harus menjauhkannya, mengerti?!” Kata Kupluk meyakinkan.
Di sinilah Kupluk memulai pengembaraanya. Ia membangunkan setiap santri yang tidak bisa bangun larut malam. Kupluk menjadi tukang pos ronda. Ia membisikkan suaranya di telinga-telinga Santri. Tidak jarang Kupluk mendapatkan santri yang tidur hanya memakai sarung tanpa pakaian dalam.
Dengan mata mengantuk santri-santri mencoba memahami apa yang disampaikan Kupluk. Para santri duduk berbaris menahan kantuk masing-masing. Suara Kupluk mula-mula merendah lalu meninggi mengejutkan santri yang hendak memenuhi kantuknya. Kupluk mencoba meniru badut yang menarik perhatian. Tapi Kupluk malah terlihat menjadi pendongeng yang menidurkan orang yang mendengarnya.
Panjang lebar Kupluk menjelaskan kepada teman santrinya. Belum juga santri-santri ini memahami apa yang disampaikan Kupluk. Larut malam Kupluk merenungi diri. Menatap lintang-lintang di angkasa raya. Ia mulai menghitung-hitung sambil mendongkakkan kepala. Kupluk sudah tidak ingat lagi berapa jumlah lintang yang dihitungnya.
“Maka nikmat mana lagikah yang aku dustakan?!”
Kupluk meratapi diri. Mengunci keramaian disekelilingnya menjadi hening dan sepi. Tidak ada lagi suara keras. Burung-burung ikut meratapi Kupluk menghinggapi di genteng-genteng.
Sekarang Kupluk mengerti. Bagaimana pun sulitnya memberi pengajaran. Kupluk harus tetap mengajarkan sesuatu untuk teman santrinya.
Tidak ada kunang yang menyala di pelataran untuknya. Bulan yang sempurna masih juga menggelapi Kupluk. Entah apa yang dirasakan Kupluk sekarang. Kupluk merasa pengetahuannya tidak berguna.
Apakah dunia ini kecil sekali hingga kebodohan terlihat jelas di mana-mana. Memangnya siapa itu kebodohan, bagaimana ia lahir?. Kebodohan itu bukannya gelap. Membuat gelap hati, menjadi tidak tahu mana benar mana salah. Ah, rasanya susah sekali menjadi orang bodoh. Menjadi bodoh menjadi sedikit pula temannya. Sedikit diandalkan, mungkin begitu maksud gelapnya hati. Menerangi diri sendiri saja susah apalagi menerangi orang lain. Lalu di mana cahayanya? Bukankah saat gelap pasti membutuhkan cahaya? malam saja ditemani bulan sebagai cahaya. Lalu bagaimana dengan hati? di mana cahayanya? Bagaimana memperolehnya.
Setahu Kupluk ilmu adalah cahaya. Bahkan kadang Kupluk menganggap ilmu bak kunang yang menyala. Setiap ada orang yang akan berbicara. Kupluk akan menahan mulutnya sendiri dengan kedua tangannya. Ia selalu memperhatikannya dengan seksama. Lalu sejurus ia membayangkan kunang-kunang keluar dari pintu gua. Ia lihat dan perhatikan ke mana perginya kunang-kunang itu. Kemudian, ia menangkapnya dan membawanya pulang ke rumahnya.
Kupluk jenuh dengan keadaannya. Ia berpamitan dengan Gurunya untuk keluar dari Pesantren dan mencoba mengembara. Ia pikir kunang-kunang pasti akan lebih banyak ia peroleh di luar sana. Di dalam Pesantren kunang-kunang berwarna putih berseri. Saat kunang tersebut dihinggapi debu akan terlihat jelas nodanya.
Sesampainya Kupluk di sebuah kota yang ramai. Ada banyak keasingan di sana. Kupluk melihat seorang anak kecil yang dekil dan berpakaian kusam tengah berdiri di samping tiang besi. Komat-kamit yang keluar dari mulut anak kecil itu terasa menyedihkan. Tapi ia senang ada orang yang menyodorkan uang untuknya. Kupluk menikmatinya. Di seberang jalan Kupluk juga melihat seorang Nenek sedang duduk bercakap-cakap dengan cermin. Gelang bertumpukan di tangan kanan dan kiri Nenek itu. Sedangkan, di lehernya juga menggantung emas bulat. Kupluk menikmatinya.**