Categories
Kabar TBM

Asah Otak Anak Lewat Teka-Teki Kreatif

Tak hanya mengasah kreativitas, tapi juga kemampuan menganalisis. “Aku buah-buahan, rasanya manis, rambutku banyak dan warnaku merah, apa hayo?” tanya Fima, bocah 4-6 tahun, kepada tiga teman mainnya. Di saat dua temannya mengernyitkan dahi, berpikir mencari jawaban tepat, tiba-tiba seorang temannya yang lain menjawab, “Buah rambutan!”

“Betul!” ucap Fima sambil menepuk bahu temannya itu. Anak prasekolah, tepatnya mulai 4 sampai 6 tahun, memang senang bermain teka-teki. Kesenangan ini muncul karena pengaruh lingkungan kampung Wadas Kelir yang berbasis literas, ketika anak sudah bersosialisasi dengan teman-temannya, entah yang sebaya atau berumur di atasnya. “Nah, dari interaksi itu, mungkin saja anak mendengar atau mengamati teman-temannya bermain teka-teki,” ujar Muhammad Hamid Samiaji. Selaku Relawan Wadas kelir.

Bisa juga, main tebak-tebakan ini datang dari orangtua atau pengasuhnya. Saat senggang, beberapa orangtua sangat senang menggunakan permainan ini. Pengaruh lainnya bisa lewat media, entah televisi atau media cetak. Bahkan, beberapa majalah anak menyediakan kolom khusus teka-teki beserta hadiah bagi pengirim jawaban yang benar. Apalagi, tambah psikolog perkembangan anak yang akrab dipanggil Ita ini, kosakata, pengalaman, dan kemampuan kognitif anak juga sudah berkembang. “Mereka sudah bisa mencari jawaban dari potongan-potongan informasi yang di-namakan petunjuk. Jawaban itu diperoleh dari pengalamannya sehari-hari. Semakin kaya wawasan anak semakin mudah dia menjawab.”

Selain itu, usia ini juga dikenal dengan usia cerewet. Anak-anak Wadas Kelir senang bertanya dan menanyakan sesuatu. Nah, dengan permainan teka-teki, keterampilan berbahasanya seakan tersalurkan. Bahkan, beberapa anak yang cerdas sangat senang bila bisa membuat teka-teki sendiri.

Tentunya, anak tidak ujug-ujug bisa bermain teka-teki yang rumit, melainkan dimulai dari soal-soal sederhana. Awalnya sangat mungkin anak-anak hanya bertanya-jawab tentang persamaan dan perbedaan dari sebuah kata atau benda. Umpama, “Apa persamaan Tomat dan Wortel?”, “Apa beda ikan dan kodok?”, dan seterusnya. Dari situ mereka belajar mengotak-atik kata-kata menjadi sebuah teka-teki.

Jadi, sesuai kemampuan kognisinya, teka-teki anak di Wadas Kelir umumnya cukup sederhana. Misal, di awal pertanyaan, anak akan menyebutkan kategori seperti, “Aku binatang.”, “Aku buah-buahan….”, dan sebagainya. Petunjuknya pun, biasanya cukup lengkap sehingga memudahkan mereka untuk menjawab. Beberapa teka-teki favorit, umumnya tak jauh dari dunia anak-anak, seperti tokoh jagoannya, binatang, mobil, buah-buahan, dan lainnya. Mereka senang mengenali ciri sesuatu benda, lalu mengubahnya menjadi teka-teki seru.

Yang jelas, permainan teka-teki dapat mengasah kreativitas dan memperkaya wawasan anak. Karenanya, Ia menyarankan orangtua agar menanggapi pertanyaan teka-teki anak. “Berpikirlah dan jawablah dengan serius, sehingga anak merasa dihargai. Hindari jawaban asal-asalan yang membuat anak malas dan ogah-ogahan memberikan soal teka-teki lagi,” kata pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. Jika anak-anak kehabisan ide, cobalah saya gantian memberikan pertanyaan yang menarik kepada anak. Mulailah dari hal-hal yang dekat dengan anak. Jika anak sedang gandrung dengan Spiderman, misal, cobalah membuat soal teka-teki tentang jagoannya itu. Jika anak kesulitan menjawab, cobalah untuk memberikan petunjuk lebih banyak. Atau, anak bisa berpikir untuk beberapa lama sampai menemukan jawaban tepat. Boleh jadi memberikan teka-teki di malam hari, tetapi baru dijawab keesokan harinya oleh anak sepulang sekolah atau bermain. Tak masalah.

Kemudian, jika anak menemukan teka-teki di majalah dan kesulitan menjawabnya, sebaiknya pendidik bersama anak memecahkan soal teka-teki itu. Baiklah dari penjelasan diatas dapat memberikan dampak bagi kita dalam pendidikan baik dikeluarga maupun dimasyarakat, disini ada beberapa manfaat main teka teki kreatif untuk kecerdasan otak anak sebagi berikut.

Pertama, Mengasah Daya Ingat. Saat teka-teki diluncurkan, anak akan menyisir semua arsip yang ada di kepalanya, untuk kemudian dicocokkan dengan petunjuk yang ada. Karenanya, permainan ini sangat baik untuk menjaga daya ingat anak. Selain itu, sangat mungkin anak menemukan kosakata baru yang belum dikuasainya. Dengan begitu, wawasan anak semakin kaya, kosakatanya pun bertambah banyak.

Kedua, Belajar Klasifikasi. Anak belajar mengklasifikasikan, mana yang termasuk kategori buah-buahan, binatang, kendaraan, dan sebagainya. Saat disebutkan buah-buahan, pikiran anak akan melayang kepada jeruk, pepaya, rambutan, dan sebagainya. Demikian juga ketika pertanyaan itu merujuk kepada binatang, maka gajah, monyet, kodok, dan lainnya, akan segera melintas dalam pikirannya. Dengan keterampilan klasifikasi ini, anak akan mudah menata ribuan kosakata yang dikuasainya.

Ketiga, Mengembangkan Kemampuan Analisis. Anak belajar menganalisis jawaban yang tepat dari berbagai petunjuk yang ada. Dia belajar menggabungkan informasi itu dan menemukan jawabannya. Kemampuan analisis ini sangat berguna, khususnya saat anak masuk usia sekolah. Banyak sekali pertanyaan yang membutuhkan analisis, utamanya soal-soal yang memakai penggunaan cerita.

Keempat, Menghibur. Permainan teka-teki sangat menghibur. Ini jelas permainan yang menyenangkan dan bisa mengakrabkan hubungan anak dengan orangtua, maupun antarteman sebaya. Bisa dilakukan di mana saja dan kapan pun, baik dalam perjalanan, di rumah, sekolah, maupun di saat-saat santai lainnya.

Ada beberapa contoh teka-teki kreatif. Orangtua bisa membuat beberapa soal teka-teki yang kreatif. Mulailah dari hal-hal yang dekat dengan keseharian anak. Sangat mungkin jawaban dari teka-teki itu lebih dari satu. Berikut beberapa contohnya: Buah-buahan. Aku buah-buahan. Warna kulitku hijau. Warna dagingku merah. Rasaku manis. (Jawaban: semangka). Aku buah-buahan. Aku memiliki banyak duri tajam. Bauku harum dan rasaku manis. (Jawaban: durian). Binatang. Aku binatang berkaki empat. Aku berbadan besar dan memiliki belalai panjang. (Jawaban: gajah). Berpikirlah dan jawablah dengan serius, sehingga anak merasa dihargai. Hindari jawaban asal-asalan yang membuat anak malas dan ogah-ogahan memberikan soal teka-teki lagi. Begitu dengan model pembelajaran teka teki guna merangsang otak saraf dan mampu anak berpikir keras ketika mendapat problem yang dialami.

Nur Hafidz mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Purwokerto-Relawan Pustaka Rumah Kreatif Wadas Kelir.

Categories
Opini

Merespon Anak yang Bermain dengan Mendorong Minat Baca

 

‘‘Sreet…. ngeng,ngeeng, ngeeng’’

‘‘Awaas!!!, Mobil saya mau lewat’’ perintah Anak menuju Ibu.

‘‘Hati-hati Nak,  pelan-pelan mainannya’’ balas Ibu.

‘‘Iya Ibu, Jangan disitu si Bu?’’

‘‘Baiklh, Nak nanti selepas main Ibu punya 2 Buku cerita bagus, nanti dibaca ya?’’

‘‘Ibu, Hari ini sedang asiik bermain besok saja ya Bu !’’ anak tak lepas dengan permainannya karena lebih suka dan nyaman ketika bermain.

Waktu sore saat anak-anak di halaman rumah, mereka lebih suka bermain mobil-mobilan dari start sampai finish membawa pasir. Orangtua saat itu  berpikiran bahwa apakah parmainan yang dimainkan anak hanya sampai situ?. Namun, orang tua tidak menyerah  mencari titik lemah problem ini, dengan aktivitas keseharian anak bermain sehingga lupa belajar tetapi bagaimana agar tertarik  dan suka 2 buku cerita ini dapat tersentuh untuk membaca oleh mereka. Nah, ada salah satu program dari pemerintahan yaitu Gerakan Literasi Sekolah merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Oleh karena itu, Budaya Membaca merupakan keterampilan berbahasa dan faktor yang penting dalam proses pembelajaran, karena dengan membaca anak dapat memperoleh informasi. Membaca merupakan salah satu kegiatan dalam berliterasi. Literasi tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana anak dalam mengenal, memahami, dan menerapkan Ilmu yang didapatkannya di bangku Sekolah maupun Rumah bisa dijadikannya.

Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil penelitian yang dilakukan oleh PISA pada tahun 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara yang turut bertasipasi dalam PISA dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-62. Indonesia memperoleh skor 397 (skor rata-rata OECD 493). Pada penelitian tahun 2015 terdapat 70 negara yang turut berpartisipasi dalam PISA. Sebuah siklus pemaparan teks diatas bahwa  mirisnya negara bangsa kita sudah dilihat minat bacanya rendah. Namun, ada  beberapa cara anak gemar membaca melalui budaya literasi sebagai berikut.

Pertama, tumbuhkan kesadaran membaca dengan melalui permainan, anak kecil lebih suka, senang, nyaman ketika mendapatkan hal baru dari permainan dan ketika ia memperoleh suasana baru maka ia akan mencoba lagi sampai bosan, misal: ketika anak sedang jenuh maka hidangkan buku sebagai obatnya. Seperti ‘‘Ibu punya Buku baru gambarnya bagus anak-anak mau liat?’’, carilah gambar yang menarik dan bacakanlah, jika Ibu punya permainan boleh diterapkan sewaktu membacakannya.

Kedua, Budayakan di sekolah atau rumah membaca (Peran seorang pendidik dalam menerapkan  budaya membaca). Budaya Gerakan Literasi adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik di Sekolah dan Rumah. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.

Ketiga, Biasakan hadiah berupa Buku. Memang anak lebih suka jika diberi hadiah permainan yang mereka inginkan dari sebelumnya meminta. Tetapi dari hadiah tersebut bisa kita rangkai seperti merubah isi hadiah yang biasanya permainan sekarang diganti buku cerita atau buku kekinian artinnya yang terbaru, kemudian bungkusan hadiah harus menarik sehingga anak terkesan meliahatnya. Melalui hadiah anak akan merasakan berbagi keindahan ketika diberikan hadiah buku.

Keempat, Bentuk komunitas membaca. Anak boleh bergabung di luar untuk merasakan berbagai keterampilan membaca dan diskusi tentang budaya membaca. Boleh, anak diajak ke Perpustakaan, TBM, Toko Buku dan lain-lain.  Sehingga dari situlah dampak gemar baca anak  muncul merasakan ketertarikan membaca sampai masa selanjutnya.

Kelima, Biasakan menulis buku harian (literasi buku hanya baca tetapi juga menulis). Apabila anak usia dini belum bisa menulis maka dalam konteks ini harus mengikuti pertumbuhan perkembangan anak, orangtua yang melayani, mendidik, merawat, dan mengasuhnya ketika anak belum bisa menulis. Lakukan dengan kegiatan sehari-hari untuk memproses pertimbangan anak membaca dan menulis dengan baik.

Permainan  bisa dialihkan sebagai media belajar melalui buku. Kepedulian pendidik terhadap anak sangat penting untuk di korbankan, lalu pengalaman membaca bisa membuka cakrawala budaya anak gemar baca ketika kesehariannya tidak membaca maka akan merasakan  rugi seketika tidak membacanya, budaya membaca dapat menumbuhkan pengetahuan dan menambah kata bahasa serta aspek tumbuh kembang bisa di dapat. Positif  yang diharapkan yaitu menuju masa depan dengan gemar membaca untuk meraih cita-cita setinggi langit.[]

Categories
Opini

Bermain Membuat Si Kecil Jago Tari

 

Manusia memiliki sekian banyak predikat, salah satuya disebut sebagai homo ludens. Yaitu mahluk penghuni bumi yang senang bermain. Sejak kecil sampai besar, apa pun asal-usul etnis dan bangsanya, pasti mencintai permainan. Oleh karena itu, tak berhitung jenis permainan yang telah diciptakan oleh manusia. Kini ada seorang anak pandai ketika mendengarkan musik seluruh badan ikut  memainkannya dengan bagus, walaupun gerakannya tak seperti penari yang terkenal di indonesia, Bagong Kussudiardjo, Sujana Arja, Sasminta Mardawa. Beliau menduduki penari hebat dengan cara yang berbeda.

Nah, perkenalkan Salwa Qudwata Idris identitas panjangnya, sebut saja Salwa. Anak usia 5 th setengah sudah di bilang pemberani oleh bunda PAUD Wadas Kelir,  PAUD berdiri tahun 2016 dapat mendoberak kebutaan anak-anak Wadas Kelir enggan belajar, bisa dibilang bunda-bunda pantang menyerah menggali potensi integritas anak-anak yang saat ini muncul salah satu dari mereka tampil asik menari dengan keren. Keyakinan Salwa dengan begitu  mengeluarkan aura keberaniannya ini sudah diman-mana tampil baik di lokal maupun di luar kota. Apalagi kegiatan sehari-hari dirumah yaitu menulis, mewarnai dan nonton flm, ketika bagun pagi yang di ambil pertama adalah HP. ‘‘Loh ko kamu ambil hp saya?’’, ucap kaka dengan sedikit menarik hpnya.

‘‘Ia ka, saya ingin lihat tari yang kemarin ditampilakan di Andhang Pangrenan’’ balas Salwa dengan mencet hp.

‘‘Sini tek kasih tahu vidionya?’’

‘‘Ini kak’’

Vidio diputar 3x lebih tidak bosan, dengan menatap vidio tangan dan seluruh anggota badan bergerak meniru tari yang kemarin ditayangkan. Hingga saya senyum manisnya tidak pudar berhenti-henti sampai selesai.

Dari tingkah laku itu, saya berharap ada harapan anak sekecil tak kalah dengan penari di Indonesia. Saya sendiri sebagi saudara kandungnya menangis bangga sebab umur 5 th lebih sudah menyalonkan artis bintang kelas di depan panggung, ketika ia tampil didepan saya, imajinasi berubah total. Membuka lembaran dulu, saya takut seketika dipanggil untuk tampil serasa itu panggilan untuk menerima hadiah saya jagonya, hehe. Ya itu sebagian problem mental.

Adapun tari yang di tancapkan yaitu tari kupu-kupu, tari semut, tari achi-achi maho dan lain-lain. Itupun sudah dikuasainya. Pandangan dari Orangtua sangat mendukung positif karena didikan dari orang tua tidak ada potensi untuk menyalurkan bakatnya, sementara ia beruntung sekolah di PAUD Wadas Kelir dengan jarak dekat dan biaya yang begitu tidak memberatkan Orangtua.

‘‘KEBIJAKSANAAN DARI YANG BIJAK, DAN PENGALAMAN DARI USIA, MUNGKIN DAPAT DIPERTAHANKAN DIDALAM KUTIPAN’’ 

SALAM INTEGRASI.

Categories
Opini

Bijak Menghadapi “Kids Zaman Now”

 

Anak Jaman Now adalah sebuah istilah dengan makna yang luas dan tiap pengguna mempunyai presepsi masing-masing. Kalimat ini menjadi topik pembicaraan di jejaring sosial Instagram dan facebook. Tetapi apa arti anak jaman now? kalimat ini diungkapkan untuk menunjukkan tingkah laku remaja masa kini yang tingkah lakunya super gencar keterlaluan menurut kacamata elek dan terkadang membuat kita sebagai orang tua mengelus dada melihat tingkah laku mereka, fenomena yang saat ini semakin memarak dengan dunia sosmed. Saya menyimpan kata-kata dari teman, beliau berkata  ‘‘Mili tapi ora keli’’ maksud makna dari bahasa tersebut adalah kita mengikuti zaman keren, mengikuti zaman gaul, mengikuti zaman yang segalanya mudah tetapi kewajiban dirinya harus ditaati dan dipatuhi meski zaman mulai bergencar dan bertenar, ucap kata temanku.

Berbicara mengenai dunia parenting dari jaman dulu, hingga sekarang itu tidak pernah mudah, jangan dikira jaman sebelum millenia itu mudah, sebelum-sebelumnya itu pasti susah. Dan selalu menjadi issu disetiap generasi yang setiap kurun waktu. Kita selalu ingin menjadi orang tua yang lebih baik karna pendidikan itu nomer satu dimulai dari keluarga. Bagaimana menjadi orang tua yang baik di jaman now ini, ala saya?. Menjadi keluarga jaman now itu adalah harus ekstra cerdas, melindungi dan sabar ketika menghadapi anak meniru-niru gaya dari teman sebaya ataupun teman lingkungannya. Berikut ini  cara bijak menghadapi  ‘‘Kids Zaman Now’’ sebagai berikut.

Pertaman, Harus lebih cerdas, artinya kita boleh terlahir di jaman jadul, tapi pola pikir kita diatas anak jaman now, dengan cara terus menambah literasi, buku-buku yang baik disaring untuk pengetahuan  ataupun pengetahuan parenting. Dalam mendidik anak kita harus pandai menempatkan emosi, dimana ketika kita harus mempertahankan aturan, dan pada saat mana kita harus mengikuti keinginan anak. Ibarat dalam bermain layang-layang, kapan kita harus mengulur, kapan harus disentakkan dan kapan harus ditarik kencang.

Kedua, Harus selalu melindungi anak-anaknya dari intimidasi dan krisis percaya diri karena kekurangan yang dimiliki anak tersebut, dengan cara terus memotifasi untuk menggali kemampuan potensi anak dan dapat digolkan untuk prestasi baik akademik maupun non akademik yang dimilikinya.

Ketiga, Harus Eksrta Sabar, sebagai orang tua jaman now kita dituntut untuk ekstra sabar dalam memahami keinginan anak, kita tidak boleh memaksakan kehendak selagi anak tidak memberlakukan diri melakukan hal yang belum sampai ke tingat penyiksaan, ajari anak yang mampu menggerakan hal yang tau untuk dikembangkan dalam zaman now saat ini. Peristiwa kids zaman now  harus memilah-memilih mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya maupun orang lain. Salam Literasi.

Categories
Opini

Jadi Penulis Hebat

 

Dalam suatu lingkup pembelajaran pendidikan formal maupun nonformal terutama sebagai guru pernahkah kita mencermati suatu kondisi dan keadaan saat anak-anak peserta didik mendapat tugas untuk menulis. Sebagian dari mereka menunjukkan kemalasan atau ketidaksukaannya bahkan kadang kala mereka mengerjakan tugas itu disertai dengan keluhan atau mengernyitkan dahi. Menandakan sedikit sekali di antara anak yang menyenangi kegiatan menulis.

Tragisnya ada beberapa anak yang mengatakan bahwa kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan yang sangat membosankan dan tidak menarik sama sekali. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah ketidaksukaan anak pada kegiatan menulis merupakan kesalahan anak itu sendiri yang sulit diarahkan ? Tentu sebelumnya kita harus lebih berpikir secara bijaksana.

Di dalam menganalisa sesuatu hal maka kita harus mau dan berusaha untuk memetakan dan mencari sumber kesalahan tersebut, tidak boleh secara pragmatis kita menimpakan sebuah kesalahan itu pada diri anak. Ingat, ketika jari telunjuk kita mengarah pada seorang anak, empat jari yang lain justru mengarah pada diri kita. Jadi, alangkah baiknya bila kita harus berupaya melakukan introspeksi didahulukan sebelum menjatuhkan vonis. Kesulitan anak pada kegiatan menulis tidak sepenuhnya sebagai kesalahan anak. Bisa saja kesalahan itu justru bisa terjadi pada gurunya. Apabila kita mau jujur, kesulitan menulis ini juga terjadi pada guru, yang notabene selama ini sering memberi tugas menulis kepada anak. Kelemahan guru dalam kegiatan tulis-menulis akan tampak ketika guru-guru tadi diminta menunjukkan hasil karya tulisan yang pernah mereka buat selama ini.

Tulisan itu akan memberikan sebuah apresiasi dan pengembangan ide kreatifitas kepada anak tentang bagaimana cara menentukan tema atau judul, menyusun kerangka tulisan, merangkai kalimat agar menjadi paragraf yang baik. Seberapa mereka akan terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir tidak pernah membuat tulisan itu, kecuali menulis soal atau memberikan ringkasan materi yang akan diajarkan. Lantas, pantaskah guru mengeluhkan kemampuan siswa dalam kegiatan tulis menulis, dan sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh bagi anak ? Bagaimanapun juga, anak akan berkaca pada gurunya. Mereka akan tertarik untuk menulis bila gurunya mampu menunjukkan betapa hebatnya dan sungguh mengasyikkannya kegiatan tulis menulis tersebut.

Di samping itu, dengan melakukan sendiri kegiatan menulis, guru akan memiliki empati terhadap anak, merasakan kesulitan sebagaimana yang dialami anak. Sebagian besar guru bahasa atau guru lain kita memang seringkali bisa menyampaikan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu. Misalnya, para guru sangat ahli menyampaikan teori tentang menulis deskripsi, eksposisi, argumentasi, menyusun karya ilmiah yang baik, juga bagaimana cara menulis puisi atau cerpen yang bagus dan membuat cernak keren. Namun, yang sering dilupakan adalah guru kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif tersebut secara konsisten dan terus menerus. Bila guru senang menulis, tentu akan memotivasi siswa untuk senang menulis pula. Apalagi tulisan dari ide-ide anak dipublikasikan di media sosial ataupun dikoran sehingga dari mereka akan tahu dan anak meras senang apalagi bisa terkenal melalui tulisannya, bahkan ada honorarium juga sebagai hadiah menjadi penulis.

Mungkinkah seorang guru tidak mempunyai pengalaman-pengalaman yang dapat dituliskan? Jawabannya, tentu saja punya namun untuk menuliskannya yang sulit! Kalau begitu, pernahkah kita menceritakan pengalaman kita kepada orang lain secara lisan? Kalau pernah, barangkali dapat dicoba dengan menceritakan kembali pengalaman yang telah dilisankan itu ke dalam bahasa sendiri.

Semua itu memerlukan proses, bila serius melakukan proses latihan, tentu akan terbentang jalan. Ingat, di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, sangatlah tidak beralasan bila masih ada guru bahasa atau guru lain yang dalam sejarah keguruannya tidak pernah mampu menghasilkan tulisan, baik karya tulis ilmiah maupun karya sastra seperti puisi, cerpen dan drama dan lain-lain. Namun, bila yang seperti ini tetap bisa percaya diri mengajar di hadapan para anak-anak tanpa merasa punya beban moral atau tanpa punya keinginan untuk mengasah keterampilan menulisnya, sungguh ‘‘luar biasa’’. Akhirnya, mari kita bangkitkan semangat untuk belajar menulis agar kita mampu mengajarkan bagaimana cara menulis itu. Kita adalah Sang Penulis Hebat!!!.

Categories
Opini

Menjadi Pengubah, Menjadi Pahlawan

 

Apa itu pahlawan? Menurut KBBI, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Bagi saya, pahlawan adalah orang yang bisa menginspirasi orang di sekitarnya, atau bahkan orang lain yang hanya sekadar memperhatikan kehidupannya dari kejauhan. Pahlawan adalah orang yang, melalui hal-hal yang dia tak hanya katakan tetapi juga lakukan, dapat mendorong orang, memotivasi orang untuk terus maju dan berkembang – terus menggali potensi yang ada dalam dirinya. Siapapun bisa menjadi pahlawan. Entah itu anak remaja yang baru berusia 13 tahun ataupun seorang kakek berusia 89 tahun. Karena pahlawan tak kenal usia. Pahlawan adalah orang-orang yang berani menerobos batasan-batasan yang ada, dan bagi saya sosok tersebut adalah Malala Yousafzai.

Saya tidak kenal Malala Yousafzai. Saya bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Bagaimana Malala bisa menjadi salah satu pahlawan dalam kehidupan saya? Sekilas mengenai Malala, ia adalah seorang remaja biasa seusia saya (19 tahun). Malala lahir di sebuah kota bernama Mingora di Distrik Swat, Pakistan. Ia tumbuh besar dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan. Ayahnya, Ziauddin Yousafzai, merupakan aktivis pendidikan dan pendiri beberapa sekolah swasta. Kepedulian yang besar terhadap pendidikan inilah yang mendorong Malala untuk juga ikut peduli terhadap pendidikan.

Sejak umur 11, Malala mulai menulis dan berbicara di depan publik untuk memperjuangkan hak pendidikan. Taliban, yang saat itu sudah mulai menguasai Lembah Swat, melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah. Malala tak rela hak pendidikannya dirampas begitu saja. Hal ini ia tulis dalam blog pribadinya. Tulisan-tulisannya mulai mendapatkan sorotan dari berbagai media, baik nasional maupun internasional. Pada tahun 2012, ia ditembak di kepala oleh seorang penembak Taliban saat pulang dari sekolah dan selamat dari tembakan tersebut. Usianya baru menginjak 15 tahun saat itu.

Adapun Ayah dan kedua adik menjenguk Malala Yousafzai di Queen Elizabeth Hospital Brimingham, setelah sebelumnya dirawat di Pakistan akibat peluru yang menembus kepalanya. Pada usianya yang ke-16, ia berpidato mengenai hak perempuan, perlawanan terhadap terorisme, dan hak pendidikan di Markas Besar PBB, New York. Setahun setelahnya, Malala dianugrahi Nobel perdamaian atas perjuangannya melawan penindasan anak-anak dan pemuda serta untuk mendapatkan pendidikan. Ia merupakan penerima hadiah Nobel termuda.

Bagi saya, Malala Yousafzai adalah seorang pahlawan. Ia berani mendobrak rintangan dan tantangan yang ada demi mendapatkan pendidikan. Ia tidak hanya duduk merana dan pasrah hak pendidikannya diambil. Ia berani mengambil tindakan. Ia tidak sekadar bereaksi tetapi juga beraksi. Tidak sekadar reaktif tetapi proaktif. Ia membuktikan bahwa dalam tiap masalah, ada jalan keluar.

Ada seribu jalan menuju Roma, dan ia menempuh banyak jalan tersebut. Suaranya ia sampaikan mulai dari menulis kritik terhadap Taliban yang merampas hak pendidikan anak perempuan dan merusak gedung-gedung sekolah dalam blog-nya, yang kemudian sampai ke telinga media internasional, salah satunya BBC. Kemudian ia juga berorasi di depan umum mengenai hal yang sama.

“Berani-beraninya Taliban merampas hak saya atas pendidikan!” ungkapnya dalam salah satu orasinya di sebuah Press Club di Peshawar yang dimuat oleh siaran televisi dan surat kabar.

Berbagai gertakan dan ancaman yang ia terima tidak membuatnya surut, malah menyulut api semangatnya. Malala menyadarkan dunia bahwa sebenarnya masih banyak ‘PR’ yang harus dikerjakan, termasuk oleh generasi muda, walaupun sekilas kelihatannya ketidaksetaraan gender, terutama dalam hal memperoleh pendidikan, sudah berada jauh di belakang dan hanya merupakan catatan dalam buku sejarah. Identitas sebagai perempuan tidak membuatnya pasrah. Di Indonesia Kita lihat RA Kartini, KH Dewantara, Pangeran Diponegoro dan lain-lain, ini yang begitu agung perjuangannya sampai tertidas-tindas untuk mengorbankan bangsa Indonesia. Peristiwa ini bagaikan sebuah ‘wake-up call’ bagi ribuan anak muda yang sejak lahir dapat dengan mudah mencicipi bangku sekolah.

Seringkali, kita sudah terlalu terbiasa dengan ‘kemewahan’ yang disuguhkan di depan mata sehingga akhirnya menganggap bahwa apa yang kita terima memang sudah selayaknya. Sedangkan ada anak-anak lain di luar sana yang rela mati untuk memperjuangkan hak mereka atas apa yang kita terima setiap harinya, atau bahkan kita keluhkan. Senjata terkuat bukanlah senapan ataupun kekerasan, melainkan pendidikan. “Ketika dunia diam, satu suara pun menjadi kekuatan yang besar.” Itulah ungkapan yang disampaikan Malala dalam bukunya, I Am Malala. Ia ‘menggebrak’ pemikiran bahwa ‘perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi’, ‘perempuan pada akhirnya akan kembali ke dapur’, atau ‘anak muda tidak tahu apa-apa’. Bagaimana mungkin perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi sedangkan nantinya perempuan akan menjadi ibu atas anak-anak penerus bangsa? Sampai kapan anak muda mau terus dianggap tidak tahu apa-apa sedangkan nasib bangsa ada di genggaman para pemuda pemudinya? Ini adalah yang menjadi urgensi Generation Of Change.

Untuk itu, sebagai Generation Of Change, kitalah yang harus mendobrak pemikiran-pemikiran lama tersebut dan menyajikan bukti nyata bahwa anak muda bisa membawa perubahan yang signifikan. Teknologi yang dikatakan hanya memanjakan generasi muda, dapat menjadi sarana untuk itu. Kita harus membuktikan bahwa bukan kita yang ‘dikendalikan’, tapi kita yang mengendalikan. Bahwa kita bukan generasi yang lemah dan mudah menyerah. Kita bukan generasi pasrah. Kita bukan generasi pasif, tapi generasi aktif yang terus dinamis dan inovatif, tidak menyerah pada status quo. Menggunakan segala potensi yang ada dalam diri kita untuk terus berkarya dan membawa perubahan positif. Malala menginspirasi saya dan juga, saya yakin, ribuan bahkan jutaan anak muda di luar sana untuk tidak patah semangat dan terus mengembangkan diri untuk membuktikan bahwa kita bisa. Karena, sesuai dengan perkataan yang tak asing lagi di telinga, ‘Kalau bukan kita, siapa lagi?’ []