Categories
Event Kabar TBM

Tanjung Bunga di Mata Para Pewarisnya

 

Mendengar istilah Tosiba pikiran banyak orang langsung tertuju pada merk sebuah alat elektronik yakni Toshiba. Namun pada dasarnya istilah Tosiba dan Toshiba adalah dua istilah yang tergolong dalam kata homofon yakni kata-kata yang memiliki bunyi yang sama tetapi bentuk tulisan dan maknanya berbeda. Istilah TOSIBA (tanpa fonem ‘h’) memiliki cerita unik dan penuh makna bagi warga desa Lamatutu (Turubean), kecamatan Tanjung Bunga, kabupaten Flores Timur. Bagi masyarakat desa Lamatutu pada khususnya dan kecamatan Tanjung Bunga pada umumnya, istilah Tosiba bukanlah istilah yang asing karena sudah sedemikian akrab di telinga masyarakatnya.

Untuk lebih jauh memahami makna Tosiba tentu tidak lepas dari cerita asal usul Tanjung Bunga. Karena Tosiba, Lamatutu dan Tanjung Bunga adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Istilah Tosiba berasal dari Lamatutu, dan Lamatutu adalah bagian dari kecamatan Tanjung Bunga. Asal usul cerita tentang Tosiba dapat dibaca pada cerita tentang “Di Balik Nama Tosiba”. Pada cerita ini kami lebih fokuskan pada cerita tentang nama kecamatan yang terletak di ujung timur pulau Flores yakni Tanjung Bunga.

Kecamatan Tanjung Bunga adalah sebuah kecamatan yang terdapat di kabupaten Flores Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur. Di Kecamatan ini terdapat enam belas desa yakni Desa Aransina, Bahinga, Bandona, Gekeng Deran, Kolaka, Lamanabi, Lamatutu, Laton Liwo, Laton Liwo Dua, Lewobunga, Nusanipa, Patisirawalang, Ratu Lodong, Sina Hadigala, Sinamalaka dan Waibao. Pusat kegiatan pemerintah dan kantor kecamatan Tanjung Bunga terletak di desa Ratu Lodong (Waiklibang). Jarak tempuh untuk mencapai kecamatan ini dari kota Larantuka kurang lebih 30 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Di kecamatan ini banyak pula terdapat tempat-tempat indah yang dapat dijadikan destinasi wisata bagi para wisatawan. Sebut saja Tanjung Batu Payung dan danau Asmara yang terdapat di desa Waibao yang oleh masyarakat setempat di beri nama “Wai Belen” yang artinya air yang besar (luas). Atau Pertapaan Trappist, suatu biara para rahib Katolik dari Ordo Trapis yang terletak di Desa Lamanabi. Namun lebih dari itu ada cerita lain yang tak kalah menarik yakni asal usul nama Tanjung Bunga. Karena banyak orang dari berbagai macam kalangan di luar Flores Timur selalu bertanya mengapa diberi nama Tanjung Bunga. Bahkan lebih dari itu banyak pula yang tak segan-segan bertanya apakah di sana banyak terdapat bunga? Inilah kisahnya.

Kecamatan Tanjung Bunga adalah tempat lahirnya nama Flores. Menurut cerita para peneliti bahwa pada tahun 1512, di ujung tanjung ini, seorang pelaut Portugis bernama Antonio de Abreu konon menjadi orang Eropa yang tiba pertama di pulau ini. Antonio melihat bunga flamboyan merah bermekaran di seantero pulau. Seorang Portugis lain, S.M. Cabot, kemudian menyebut daratan ini dengan nama Cabo das Flores, yang berarti Tanjung Bunga. Pada 1636, Gubernur Hindia Belanda Hendrik Brouwer mensahkan nama Flores untuk pulau ini.

Di sisi lain ada juga cerita asal usul nama Tanjung Bunga menurut cerita para tetua di Desa Lamatutu yang terus diwariskan kepada kami generasi muda. Kebetulan di desa kami terdapat sebuah tanjung yang diberi nama Tanjung Bunga. Di ujung tanjung ini terdapat cadas yang berdiri kokoh menjulang bak benteng para penjajah. Di bagian bawahnya terdapat tiga kawah (lubang) yang menjadi sumber munculnya badai arus bawa laut yang sangat dahsyat. Selain itu menurut cerita para tetua, bahwa di ujung cadas tanjung ini, tumbuh sebatang pohon bunga yang oleh masyarakat setempat diberi nama “Bunga Tia”. Pohon ini memiliki bunga dan buah yang dalam bahasa setempat (bahasa Lamaholot) disebut “wua bala, lolon ketipa” artinya pohon yang berbuah gading dan berdaun permadani. Menurut cerita, bunga Tia ini memiliki cahaya kemilau nan indah yang dapat dilihat dari jarak yang jauh. Suatu saat pada zaman penjajahan Portugis, ada sebuah kapal Portugis yang berlayar melintasi perairan bagian utara Tanjung Bunga, dan dari kejauhan mereka melihat cahaya bunga Tia. Mereka mendekati cahaya itu dan ternyata mereka melihat sebuah pohon bunga yang amat indah. Mereka pun mengambil keputusan memanjat tebing cadas dan mengambil pohon bunga Tia itu hingga akarnya. Sesudahnya apa yang terjadi. Badai besar berupa arus dan gelombang dasyat menghempas kapal tersebut sehingga kapal beserta seluruh awaknya tenggelam ke dasar laut. Kenangan akan keberadaan bunga Tia dan adanya peristiwa nas itulah, akhirnya masyarakat desa Lamatutu mengabadikan nama tanjung itu menjadi Tanjung Bunga. Terlepas dari benar tidaknya cerita ini namun bagi kami masyarakat Lamatutu, cerita ini diyakini sebagai suatu kebenaran yang terus diwariskan dari generasi ke generasi hingga sekarang.

Soal keindahan pantai, Tanjung Bunga jangan ditanya. Daratan ini memiliki deretan pantai perawan yang menawan. Selain Teluk Hading, yang merupakan salah satu teluk terindah di utara Flores, terdapat juga beberapa deretan pantai yang tak kalah mempesona. Pantai Painghaka dengan Tanjung Batu Payung-nya, Pantai Kewuta, Pantai Kaba, Pantai Nipa, Pantai Sira Paji dan Waiwulo dengan Tanjung Bunga-nya, hingga Teluk Kelambu dengan Kopong Dei-nya adalah surga yang menunggu di ujung utara Flores. Keindahan ini menjadi magnet bagi wisatawan dan nelayan dari penjuru Nusantara. Nelayan Bugis, Buton, hingga Madura acap kali melemparkan sauh di tengah laut lalu menepi dengan perahu kecil. Bahkan tak sedikit yang menetap dan berbaur dengan penduduk setempat. Tapi itu cerita lama. Setelah badai tsunami, tak ada lagi yang datang kemari.

Pada Sabtu, 12 Desember 1992, petaka diawali dengan gempa berkekuatan 7,5 skala Richter yang memicu longsor bawah laut. Yoshinobu Tsuji dan timnya dalam publikasi berjudul Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami mengatakan tinggi gelombang mencapai 26,2 meter. Gulungan ombak mengempaskan rumah, pohon kelapa, hingga ratusan nyawa orang-orang terkasih. Sebanyak 138 orang warga desa Lamatutu tewas akibat tsunami ini. Ombak besar ini menghantam tebing-tebing cadas sepanjang pantai antara Tanjung Batu Payung dan Tanjung Bunga, dan menggusur hilang sebagian keindahan pantai sekitarnya. Meskipun demikian keindahan alam tanjung ini tetap tak luntur diterpa badai. Tebing-tebing cadas nan kokoh menjulang, hempasan bunyi ombak yang menderu, buih ombak yang putih bersih,derasnya arus bawah laut yang maha dahsyat dan gulungan gelombang yang silih berganti menuju tepi pantai adalah sebuah panorama indah yang tak lekang ditelan waktu. Selain itu bentangan laut lepas dengan ujung tak bertepi, tetap menggoda siapapun yang ingin menikmati sunset indahnya di kala senja. Kami sangat berbangga memiliki alam nan indah ini, suatu anugerah Tuhan yang tak ternilai. Tanjung Bunga tetap menjadi kenangan dan cerita sejarah nan indah bagi kami generasi pewarisnya dan menorehkan kebanggaan di tanah tercinta leluhur Lamatutu. Salam dari kami semua di ujung Tanjung Nusa Bunga, Larantuka – Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Editor: Fr. M. Raymundus, BHK

Koordinator Taman Baca Tosiba

#TBMStory2017 #SahabatLiterasi #relawanliterasi #forumtbm #gerakanliterasinasional #gerakanliterasilokal

 

Categories
Event Kabar TBM

Di Balik Nama Tosiba

Kami warga desa Lamatutu familiar dengan sebutan “Tosiba”. Tidak hanya kami, bagi warga desa tetangga ataupun sekecamatan dengan kami umumnya juga tahu tentang Tosiba, ataupun siapa saja yang mengerti sebutan Tosiba bagi kami yang bukan bermakna nama merek laptop itu. Asal mula sebutan Tosiba untuk kami warga desa Lamatutu memang sedikit unik.

Namun mungkin bagi kebanyakan orang, menyebutkan kata tosiba yang lebih dikenal adalah merek sebuah laptop begitupun apabila mendengar sebutan tosiba. Orang akan lebih memaknai atau mengartikan dengan laptop. Sehinggga ketika menyebutkan tosiba, yang mendengar bisa menyambung dengan acer, azuz, dell, ataupun merek laptop lainnya. Kita perlu ingat tentang“homofon” dalam ilmu bahasa di mana pengucapan bisa sama tetapi tulisan dan maknanya bisa berbeda . “Toshiba” sebagai merek laptop terdapat huruf “h”, sedangkan tosiba sebutan bagi kami tidak ada huruf ”h”. Sama pengucapan tetapi beda tulisan dan maknanya. Begitulah kira – kira maksud dibalik “toshiba” dan “tosiba”. Penasaran ya dengan kisah tentang tosiba sebutan kami… ayo dibaca ya……

Pada tahun 1992, Pulau Flores diguncang bencana alam dan tsunami yang hebat. Beberapa kota dan desa yang terletak di pantai utara pulau Flores lebih mengalami dan merasakan kedahsyatan guncangan gempa dan hempasan ombak tsunami. Tak luput desa kami yang bernama Lamatutu. Kala itu, Desa Lamatutu terdiri dari 3 dusun yaitu Turubean, Tanabelen, dan Bou/ Wulokolong. Jarak dusun Tanahbelen dan Bou/ Wulokolong lebih dekat, kurang lebih 30  menit perjalanan lamanya dengan berjalan kaki, sedangkan menuju dusun Turubean yang agak jauh, bisa memakan waktu perjalanan 1,5 jam dengan berjalan kaki bila ditempuh dari Tanahbelen atau Bou/ Wulokolong. Di tempat kami inilah ada sebuah tanjung yang disebut Tanjung Bunga yang dipakai sebagai nama kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Bunga.

Waktu itu, tepatnya 12 Desember 1992, kurang lebih pukul 14.00 WITA di siang yang terik desa kami yang berada dekat pantai diguncang gempa bumi dan tsunami hebat. Waktu anak – anak sekolah telah pulang. Para orang tua yang bekerja sebagai petani masih belum pulang bertani yang lahannya terletak di daerah perbukitan yang jauh dari desa. Peristiwa ini menelan korban jiwa 138 orang baik itu bayi, anak – anak umumnya berumur pelajar PAUD/ TK, maupun SD, remaja, orang dewasa, dan lansia. Peristiwa ini sangat tragis bagi kami, rumah – rumah penduduk dan bangunan lain sekuat apapun luluh lantak runtuh dan roboh oleh guncangan gempa, hilang bersih tanpa bekas diterjang oleh gelombang tsunami. Tinggal sedikit puing dan beberapa tumbuhan tertampak setelah air tsunami surut. Semuanya hanya tinggal cerita dan kenangan.

Setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami, kami mengungsi ke daerah yang jauh dari pantai. Semua warga tinggal bersama di dusun Turubean. Warga dusun Tanahbelen dan Bou/Wulokolong bergabung dengan Turubean tetapi selang beberapa  tahun warga Tanahbelen dan Wulokolong kembali ke tempat lama sebelum gempa dan tsunami yang agak jauh dari pantai, tinggal di daerah perbukitan . Kami mendapat perhatian dari pemerintah dan donatur lainnya untuk membangun kembali desa kami seperti membangun rumah warga per kepala keluarga, membangun sekolah yang terdiri dari 2 sekolah yaitu SD Katolik Tanahbelen dan SD Inpres Bou, dan membangun tempat ibadah (gereja).

Setelah adanya peristiwa gempa dan tsunami 2 Desember 1992, kami menamakan klub sepak bola dari desa kami dengan sebutan “Tosiba”. Akronim tosiba ini memiliki arti yang bagi kami sangat bermakna dan mengenang kisah kedahsyatan gempa bumi dan tsunami yang kami alami waktu itu. “Tosiba” memiliki arti TORAN SISA BENCANA ALAM”. Toran dalam bahasa nagi untuk orang Larantuka – Flores Timur artinya kami. Sehingga Toran sisa bencana alam bisa berarti kami sisa bencana. Kami adalah orang-orang yang selamat dari peristiwa bencana alam dan tsunami dahsyat itu. Ketika menyebutkan Tosiba bagi kami yang mengalami menjadi suatu kenangan peristiwanya dan juga menjadi kisah yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi sampai sekarang.

Untuk mengenang peristiwa gempa bumi dan tsunami ini, kami mendirikan sebuah tuguh kenangan, di mana pada bagian atas tuguh itu terdapat tangan yang mengatup tanda sikap orang sedang berdoa sebagai permohonan untuk perlindungan Tuhan bagi kami yang masih berziarah di dunia serta untuk semua orang yang telah meninggal khususnya para korban bencana alam dan tsunami. Pada bagian dasar tuguh itu ada sebuah prasasti yang mengisahkan secara singkat kisah kejadian bencana alam dan tsunami tersebut serta ungkapan doa memohon keselamatan dan kebahagiaan kekal bagi semua korban dalam peristiwa ini, tertulis dalam bahasa daerah Lamaholot dan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya. Prasasti itu ditandatangani oleh Ketua DPRD dan Bupati Kabupaten Flores Timur waktu itu yaitu Bapak Drs. Hendrikus Hengki Mukin, SH sebagai Ketua DPRD dan Bapak H. Iskandar Munthe sebagai Bupati. Pada prasasti itu juga terdapat gambar buku yang bertuliskan ayat Kitab Suci.

Berikut tulisan pada prasasti tersebut:

MEMORI BENCANA ALAM

12 DESEMBER 1992

(berikut dalam bahasa daerah Lamaholot)

BLERO REDO LEWO TURUBEAN

TANAH HEPAK IA BAO WOLO SUBAN

BLEBO LEBO TANAH NAMANAKEN

EKAN PEAK PI TOBI PEHAN BAREK

OLE MEAN GOLO LALI HAKA,

HAKA TADAK GAN ANA IHE IA AI SIRAPAJI

WURA MITEN BURA HETI HAU

HAU HELI NENU BAI BERA PI WATAN LAGADONI

O, AMA TETI KELEN TUKAN, SORON RAE TOBO SENAN

TETI LANGO MOEN BELEN

NEIN RAE PAE MAE WELI ULI MOEN BLOLON

(terjemahan dalam Bahasa Indonesia)

GUNCANGAN GEMPA GELEGAR

MEMBELA RETAK BUKIT BATU TURUBEAN

AIR PASANG FATAL SETINGGI 26 METER

MENGHANYUT HANCUR PADANG LADANG NAMANAKE

AMUKAN ARUS GARANG,

MENELAN KORBAN MANUSIA SEPANJANG PANTAI SIRAPAJI.

GERANG GELOMBANG BENGIS

MENERJANG WARGA REBAH TERSERAK DI PESISIR LAGADONI.

YA, BAPA SURGAWI GANJARI MEREKA TEMPAT YANG BAIK

DAN LAYAK DI RUMAH – MU

AGUNG DAN BAHAGIA DALAM RANGKULAN KASIH – MU

Pada prasasti tersebut, di sisi kiri tulisan dalam bahasa daerah Lamaholot dan kanan terjemahan dalam Bahasa Indonesia baris per baris. Sesudahnya pada bagian bawah adalah gambar buku di bagian tengah bertuliskan:

betapa berharga kasih – Mu

Anak – anak manusia berlindung dalam naungan sayap – Mu (Mazmur, 36:8)

Kemudian bagian paling akhir adalah tanda tangan dan nama Ketua DPRD di sebelah kiri dan Bupati pada sebelah kanan.

Walaupun tuguh itu dibuat tidak tepat pada tanggal 12 Desember 1992, namun untuk mengenang peristiwa itu terjadi maka sebelum bagian yang ditanda tangan oleh Ketua DPRD dan Bupati, di sebelah kanan tertulis tempat dan tanggal yang bertuliskan: Turubean, 12 Desember 1992.

Itulah cerita kami dari pelosok ujung tanjung Nusa Bunga (Flores).

Antonius Sani & Carol fr, dkk (Pengelola Taman Baca Tosiba)

#TBM Story2017 #SahabatLiterasi # relawanliterasi #forumtbm #gerakanliterasinasional #gerakanliterasilokal

Categories
Kabar TBM

Perkenalkan: Taman Baca Tosiba

Adanya informasi dari para penggerak literasi buku bagi NTT, mendorong niat dan keinginan kami untuk membuka taman baca di desa kami. Letak desa Lamatutu yang jauh dari kota Larantuka sebagai ibukota kabupaten Flores Timur, NTT. Perjalanan dapat ditempuh selama 3 – 4 jam dengan kondisi jalan yang kurang baik untuk sampai di kota Larantuka. Dengan upaya yang kami lakukan seperti menyampaikan ke pihak pemerintah desa (kepala desa) dengan rencana ini. Sambutan dan dukungan dari pihak pemerintah desa semakin memantapkan kami untuk mendirikan Taman Baca Tosiba sebagai wadah untuk menggerakan dan mengembangkan minat baca masyarakat desa Lamatutu baik dari kalangan anak – anak, remaja, dan dewasa (orang tua). Melalui waktu dan proses, Taman Baca Tosiba dapat terdaftar di website KEMDIKBUD per 17 Oktober 2017 dengan mengirimkan data email ke donasi buku Kemdikbud. Dengan media sosial facebook, kami dapat bergabung dan terdaftar di Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) per 7 November 2017. Taman Baca Tosiba baru terbentuk sehingga membutuhkan donasi buku untuk mendukung kegiatan agar dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan diharapkan. Kami sebagai pengelola mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung kami dalam proses mendirikan Taman Baca Tosiba dari rencana awal sampai bisa terdaftar di KEMDIKBUD dan PBI.

Berikut biodata Taman Bacaan Masyarakat yang kami miliki:

NAMA : TAMAN BACA TOSIBA; ALAMAT : DESA LAMATUTU, KECAMATAN TANJUNG BUNGA, KABUPATEN FLORES TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR; KETUA PENGELOLA : ANTONIUS SANI (+62 822 3731 7090 / +62 813 3734 6932); KODE POS : 86252

Salam kenal semuanya. []