Categories
Literasi Masyarakat

Pak RT yang Luar Biasa

“Hiduplah untuk memberi yang sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima yang sebanyak-banyaknya.” – Andera Hirata, Laskar Pelangi –

Mempercayai bahwa memberi adalah bagian dari kebutuhan manusia membuat gerak dalam memberi itu sendiri menjadi lebih ringan.Tentu saja, sesuatu yang didasari karena pemahaman akan lebih mengakar dan mudah bertunas hingga tuntas menjadi pembiasaan. Memberi semangat dalam membaca juga menjadi hal yang harus dibagikan, itulah kenapa TBM Citra Raya tiada henti mengadakan gelar buku keliling satu kampung ke kampung lainnya.

Kali ini, kami akan bercerita tentang bagaimana kami memberi semangat membaca bagi anak-anak di cluster Puri Asih 2, Serdang, Kecamatan Legok. Hari keempat belas di bulan Januari 2018, tepat di hari Minggu kami berkunjung ke sebuah perumahan yang lumayan jauh dari lokasi TBM Citra Raya. Berkat jasa Kak Devi, salah seorang relawan kami yang asalnya dari sekitaran Kecamatan Legok, kami bisa melakukan gelaran.

Sebelumnya urusan izin dan dialog dengan jajaran pengurus lingkungan sudah dilakukan jauh-jauh hari oleh Kak Devi, jadi di hari yang telah ditentukan ini kami langsung tinggal meluncur ke lokasi. Butuh waktu 30 menit untuk sampai di Cluster Puri Asih 2, kami juga lumayan molor dari waktu yang telah ditentukan. Untungnya Kak Devi sudah siap di lokasi sebelum rombongan relawan TBM Citra Raya datang. Dalam pesan singkatnya, Kak Devi sudah memberi kabar bahwa sambutan dari warga sangat meriah. Saat itu kami bisa mendengar suara yang dikirim Kak Devi berupa musik anak-anak yang telah diputar oleh Pak RT sebagai pemancing anak-anak untuk berkumpul.

Saat sudah sampai di lokasi, kami benar-benar ikut senang atas sambutan yang diberikan warga. Pertama, sudah ada sejenis pos ronda yang lengkap dengan peralatan pengeras suara yang sebelumnya sudah diputarkan lagu-lagu anak. Kedua, kami mengelar alas di lapangan tenis belakang pos ronda yang sangat luas. Ketiga, alas yang kami bawa ditambah oleh Pak RT dengan tiga alas lagi miliknya. Jadilah gelaran kali ini adalah gelaran dengan alas terbanyak, hehe.

Ternyata kenapa sampai Pak RT menambah jumlah alas itu sangat beralasan, beberapa saat setalah buku-buku yang kami bawa di gelar di dua alas yang tersedia, banyak sekali anak-anak komplek yang segera mengerubungi bak ibu-ibu memburu tukang sayur. Anak-anak di Cluster Puri Asih 2 ini sangat mandiri. Mereka melihat buku lalu mengambilnya untuk dibaca. Memang, beberapa anak masih harus dibantu diceritakan oleh kakak relawan karena belum bisa membaca. Anak usia balita mendekat, anak-anak Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, hingga Menengah Pertama pun ikut berkumpul dan memilih buku-buku yang mereka sukai.

Bersamaan dengan gelaran, bapak-bapak sedang melakukan kerja bakti di sekitar tempat kami memasang alas. Pemandangan yang indah: anak-anak membaca buku dan bapak-bapak membersihkan lingkungan, ini adalah salah satu kampung yang patut dicontoh keteladanannya. Nah, dari gelaran ini kami juga melihat betapa murah hatinya warga Cluster Puri Asih 2 dalam memberi, kami disediakan air mineral untuk diminum dan makanan ringan. Bagian ini merupakan suatu bagian yang tidak akan terlupakan: ubi rebus dan sukun goreng yang terhidang, hihi.

Anak-anak yang berdatangan terus bertambah, dari yang belum mandi, sudah mandi, sambil sarapan pagi, hingga yang baru pulang karate juga ikut duduk di jajaran pembaca buku yang budiman. Tiap episode dari gelaran yang kami lakukan selalu dipenuhi dengan lakon anak-anak dengan beragam keadaan. Ini menjadi hal yang membuat kami selalu senang dan semakin bisa memahami dunia anak-anak yang unik.

Lapangan tenis yang kami gunakan untuk gelaran semakin panas ketika matahari mulai tinggi, kami perlu bergeser ke tempat yag lebih rindang. Warga menyarankan kami untuk memindahkan alas baca. Apakah pembaca tahu ke mana kami harus memindahkannya? Kami juga awalnya menolak untuk pindah ke titik itu, tapi warga tetap menyuruh dan mengatakan tidak akan apa-apa. Bisa tebak dimana? Oleh Pak RT, kami diminta memindahkan alas-alasnya ke tengah jalan gang di cCuster Puri Asih 2, wah ini sedikit membahayakan. Tapi, Pak RT bilang tidak apa-apa, sebab sudah ada pemberitahuan dan warga akan dengan senang hati memutar ke jalan lain. Sungguh membuah leleh sikap Pak RT ini.

Geralan kali ini juga kami di bantu oleh mahasiswa magang loh, ada Kak Selvi, Kak Okta, Kak Ivi, dan Kak Rosyida. Terimakasih sudah datang, Kakak-kakak magang!

Dan, di akhir gelaran saat kami sudah berberes dan siap melaju kembali ke TBM, kami dikejutkan dengan selembar kertas di papan pengumuman warga cluster Puri Asih 2. Ternyata jauh-jauh hari Pak RT sudah membuat tulisan disana untuk memberi tahu soal gelaran yang kami lakukan ini. Bukan hanya terkejut, kami juga bahagia sekali atas sikap Pak RT yang sangat luar biasa dalam memberi informasi ke warganya.

Terimakasih banyak Pak RT cluster Puri Asih 2, salam Literasi! (oleh: @magentha_azzahra)

Categories
Opini

Salam Literasi dari Kedai Kopi

 

Menghidupkan budaya membaca bukan hanya tugas pengiat literasi saja, tapi bagian dari kerja bersama semua lapisan masyarakat. Hal ini harusnya bukan sekedar wacana, tapi sudah harus menjadi pemahaman yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Masyarakat harus ikut disadarkan tentang betapa budaya membaca sesungguhnya menggiring pada ilmu kebermanfaat yang akan berbuah manis di kemudian hari. Pentingnya kehadiran buku harus menjadi sebuah kepekaan yang terus dipahamkan pada masyarakat.

Pada saat pengiat-pengiat literasi terjun ke masyarakat sering kali yang menjadi penghalang adalah pemahaman mengenai buku-buku atau budaya membaca pada masyarakat itu sendiri yang belum terbangun. Ada kalanya, kehadiran pengiat literasi dengan berbagai kegiatan yang dibungkus dengan lebih menarik masih menghasilkan skeptis dari masyarakat. Estafet literasi yang diusung bersama ini memang benar-benar bukan tugas pengiat literasi saja.

Menghadirkan sinergi untuk sebuah kesadaran membaca dimulai dengan menanam pondasi yang baik tentang memaknai buku dan menghargai arti membaca. Pada Kamis Malam (27/12) TBM Citra Raya mendapatkan kesempatan berilmu pada sebuah kedai kopi melalui sebuah dialog panjang dan dalam tentang sinergi dan potensi.

Keboendepan merupakan kedai kopi kekinian yang digandrungi dan menjadi tempat nongkrong muda-mudi di Kabupaten Tangerang. Kedai kopi yang berdiri sejak 2015 ini memang menyediakan beberapa buku yang dipajang di sebuah ruangan khusus dan tentu saja ini menjadi tempat nyaman bagi pembaca buku. Menangkap apa yang disediakan oleh Keboendepan, kemudian relawan TBM Citra Raya membuka dialog dengan pemiliknya yang ternayata memang memiliki hobi membaca.

Tanpa ragu-ragu Endi, yang lebih sering disapa Panda yakni pemilik kedai kopi Keboendepan mempersilahkan relawan untuk memilih buku-buku anak yang tertumpuk di ruang penyimpanan buku di salah satu sudut Keboendepan. Ini bagian paling heroik dari sebuah pemahaman baik tentang buku dan membaca, mempersilahkan buku-bukunya berpindah demi asas kebermanfaatan tanpa pikir panjang. Total buku yang didapatkan relawan setelah menyortir dari berbagai jenis buku yang ada mencapai 134 buku-buku anak.

“Kami yakin akan lebih bermanfaat karena kami sendiri selama menjalankan kedai kopi ini memang merasa kurang maksimal dalam pengelolaan buku-buku anak. Pernah dicoba untuk disediakan ke jajaran pengurus lingkungan tapi memang responnya slow. Jadi semoga dengan dikelola oleh TBM bisa lebih sampai ke anak-anak,” ujar Panda.

Meski belum pernah berkunjung ke TBM Citra Raya tetapi sebelumnya sudah terjalin sapa dan kabar dengan Keboendepan melalui Instagram. “Tentu senang sekali ada yang merespon dengan baik keberadaan buku disini, kami belum ada timing untuk menyortir buku makanya kami persilahkan memilihi sendiri buku-buku anak di dalam,” jelas Panda lebih bersemangat.

“Buku-buku anak sebagian besar koleksi pribadi jadi tidak masalah jika didonasikan, karena anak-anak saya sendiri sudah dewasa, ada yang masih sekolah tapi itu masih bisa diatasi soal buku bacaannya,” tambah Panda sambil meyakinkan para relawaan soal donasinya.

Panda lebih senang mengunakan kata ‘potensi’ untuk mengambarkan sebuah pertalian hubungan yang saling bermanfaat. Menurutnya setiap gerakan yang mengarah pada kebaikan hingga memberi manfaat pada orang lain atau masyarakat merupakan hal yang harus juga didukung dan saling menguatkan. Apa yang diyakini oleh penyuka olahraga panjat tebing ini juga bagian dari yang diyakini oleh TBM Citra Raya. Terlebih untuk sebuah gerakan literasi yang harus digerakankan bersama-sama.

Jadi, TBM Citra Raya pun bisa bersinergi dengan kedai kopi Keboendepan yang sebelumnya pun keluarga pemiliknya sudah memiliki pemahaman baik mengenai pentingnya literasi. Dan kami terus berkeyakinan bahwa buku masih bagian terpenting dari literasi itu sendiri.

Salam Literasi, dari kedai kopi! []

Categories
Berita

Nonton Film Anak Bareng TBM Citra Raya

Tangerang – Memasuki libur panjang semester ganjil untuk anak-anak sekolah menjadi salah satu sasaran yang tepat untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang asik dan bermanfaat. Menjadikan Taman Baca Masyarakat (TBM) sebagai pilihan saat liburan merupakan bagian penting dari proses sosialiasi. Untuk itu pada Sabtu (16/12) tepat pada awal liburan, TBM Citra Raya mengadakan nonton bersama siswa-siswi dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Islamiyah Nalagati. Bukan sekedar menonton, acara ini dikemas relawan-relawan dengan tetap menyisipkan semangat litersi.

Hal membahagiakan bagi para pengiat literasi selain ketika melihat anak-anak berjajar dan sibuk membaca buku-buku, ternyata juga saat melihat rombongan anak-anak datang untuk menyerbu TBM. Hal tersebut dirasakan oleh para relawan TBM Citra Raya ketika menyambut anak-anak dari MI Nalagati. Sebanyak 25 anak yang terdiri dari siswa-siswi kelas 4, 5, dan 6 memenuhi undangan yang sebelumnya telah disampaikan ke sekolah untuk agenda menonton film bersama.

“Denias, Senandung di atas Awan” menjadi film yang dipilih setelah diskusi yang dilakukan oleh para relawan. Salah satu film yang diproduksi untuk layak ditonton anak-anak ini memiliki nilai pendidikan dan lokalitas yang tinggi. Motivasi dan semangat dari pelajar di salah satu pedalam Papua menjadi daya tarik utama dalam film yang tayang di bioskop pada tahun 2006 ini. Relawan TBM Citra Raya bersama beberapa guru dan pengiat film pada minggu sebelumnya sudah mengadakan bedah film.

Rangkaian kegiatan dimulai saat ruang TBM Citra Raya telah dipenuhi oleh anak-anak MI Nalagati. Pada kesempatan awal kedatangan, mereka dipersilahkan membaca buku-buku yang tersedia di TBM Citra Raya selama pemutaran film belum dimulai. Sembari membaca buku, beberapa instruksi yang harus ditaati selama menonton film dijelaskan oleh salah satu relawan.

Durasi film yang memakan waktu kurang lebih dua jam, memunculkan inisiatif memberi jeda waktu untuk berhenti sejenak saat menonton. Film yang memang memiliki durasi panjang tanpa iklan membuat anak-anak membutuhkan fokus yang lebih banyak. Pada sesi pertama saat menonton anak-anak masih terlihat fokus dan serius, beberapa kali pada adegan lucu secara serentak suara tawa memenuhi ruangan di TM Citra Raya. Kesempatan untuk jeda setelah satu jam menonton digunakan untuk mengulas adegan dalam film. Setiap anak diberi kertas untuk mereka tulisakan hal baik dan hal buruk dalam film.

Pada kegiatan ini, berkesempatan hadir Aiptu Joko Sutomo, salah satu tokoh Polsek Panongan. Disela-sela kesibukannya, ia hadir untuk menonton bersama di TBM Citra Raya dengan seragam polisi lengkap, membuat anak-anak semakin antusias. Aiptu Joko Sutomo ikut memberi pendapat setelah ikut menonton di sesi pertama setelah anak-anak menuliskan apa yang didapat selama film diputar.

“Untuk kalian yang ingin mengapai cita-cita, harus punya semangat yang besar seperti Denias. Hindari perkelahian dengan teman, sebagaimana yang juga dilakukan Denias. Tidak boleh lupa, kalian harus gemar membaca. Dengan membaca kalian bisa jadi apapun yang kalian inginkan, tetap dengan usaha yang gigih. Ada yang ingin jadi polisi?” jelas Aiptu Joko Sutomo di antara anak-anak yang menyimak dan ikut angkat tangan.

Setelah selesai menulis apa yang didapatkan dari film di sesi pertama dan mendengarkan petuah dari Aiptu Joko Sutomo, menonton film dilanjutkan. Berkesempatan juga Kak Panjul dan Kak Fadli dari TBM Ratu Cerdas serta Bu Iin selaku Guru dari MI Nalagati hadir untuk meramaikan acara. Keseruan semakin terlihat saat film yang digarap pasangan suami-istri Arie Sihasale dan Nia Zulkarnaen memasuki akhir. Anak-anak ikut larut dalam semangat yang ditampilkan oleh pemeran utama. Sesi akhir dari kegiatan ini adalah mengemukakan pendapat dari apa yang tadi sudah ditulis di pemutaran film sesi pertama dan dari yang ditonton di sesi kedua pemutaran.

“Aku suka adegan saat Denias dibantu Maleo dan teman-teman sekolah untuk membetulkan pagar, itu artinya Denias disayang teman-teman,” ujar Fadli, siswa MI Nalagati.

“Di sesi pertama aku sedih saat rumah dan ibu Denias terbakar, harusnya baju Denias tidak digantung di dekat api,” jelas Siti saat ditanya komentar mengenai adegan film yang ia tonton.

Kegaiatan menonton bersama ini bukan hanya sekedar menghadirkan hiburan untuk anak-anak saja, tetapi juga memberi contoh bahwa pada usia sekolah mendampingi mereka saat menerima informasi dari tayangan film atau televisi merupakan hal yang juga penting. Selian mendampingi juga harus adanya peran pendampingan, sebab tenyata literasi bukan hanya soal membaca atau menulis tetapi juga pada kegaiatan penerimaan dan penyaringan informasi. Selesai acara ditutup dengan poto bersama, baik relawan dengan Aiptu Joko Sutomo maupun dengan siswa-siswi MI Nalagati. Semoga Menginspirasi, Salam Literasi!

http://Foto%20Bersama
Categories
Kabar TBM

TBM Citra Raya Selenggarakan Workshop Re-cycle

Keberadaan sampah di sekitar kita lebih sulit disadari daripada kehilangan barang kecil. Penyebabnya bukan karena kesadaran yang tidak ada tapi karena kebiasaan mengenai buang sampah hingga mengelolah sampah yang masih sangat kurang ditanamkan. Sampah menjadi hal yang lumrah untuk diabaikan, padahal sumber segala penyakit ada di dalamnya. Sampah bahkan bisa menjadi ukuran kelayakan suatu lingkungan.

Dari fakta tersebut, Taman Baca Masyakat (TBM) Citra Raya berinisiatif untuk menyelenggarakan kegiatan tentang penyadaran sampah. Bertempat di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Nalagati pada Sabtu (25/11) TBM Citra Raya melakukan workshop yang melibatkan lebih dari 40 siswa. Dalam rangkaian kegiatan tersebut setiap siswa dilibatkan aktif, seperti saat pemungutan sampah di sekitar sekolah.

Bermodalkan beberapa karung, para siswa antusias untuk memunguti sampah-sampah yang terlihat. Pada kegiatan awal ini, siswa ditemani oleh Monster Sampah. Ada siswa yang ketakutan saat melihat tampilan Monster Sampah saat pertama muncul di hadapan mereka. Monster Sampah adalah ilustrasi tentang betapa bahayanya jika sampah yang diproduksi terus bertambah dan tersebar di sembarangan tempat. Monster Sampah merupakan kostum yang dibuat dari jas hujan yang ditempel dengan sampah hingga penuh, lengkap juga dengan celana dan topi yang juga berasal dari sampah plastik kemasan makanan dan minuman plastik, kaleng juga botol-botol yang umum dijumpai di sekitar kita.

“Semoga dengan ini anak-anak bisa paham bahwa sampah yang tidak dikelola dengan baik bisa sangat berbahaya. Itu kenapa kostumnya harus benar-benar sampah,” jelas Bang Buyung, Aktivis Lingkungan Hidup asal Jakarta.

Bang Buyung yang aktif berkampanye soal lingkungan berkesempatan hadir untuk meramaikan rangkaian kegiatan TBM Citra Raya. Aksinya memakai kostum Monster Sampah menjadi salah satu daya tarik dalam rangkaian kegiatan kali ini. Membawakan puisi tentang sampah dengan kostum yang ia kenakan sangat membius para siswa. Banyak dari anak-anak yang ikut tercekam dalam  raut wajah ngeri dan takut. Hadirnya kepekaan terhadap sampah pada anak usia sekolah dasar menjadi hal yang penting, sebab usia sekolah dasar menjadi pondasi kuat untuk kepedulian terhadap lingkungan di kemudian hari.

Setelah selesai memenuhi karung dengan sampah temuan, para siswa diajak berkumpul di lapangan sekolah. Sampah-sampah yang didapat kemudian menjadi media untuk pemaparan jenis-jenis sampah. Klasifikasi sampah menjadi salah satu tujuan rangkaian acara yang nantinya akan menjadi program rutin TBM Citra Raya ini. Ada harapan besar agar para siswa mampu memiliki pemahaman bahwa tidak semua sampah hanya akan berakhir di pembuangan.

Pada sesi pemaparan jenis sampah ini, Kak Kris, relawan TBM Citra Raya mengambil beberapa contoh sampah dan menjelasannya. Sampah organik misalnya yang ditemukan siswa berupa dedaunan kering, jenis sampah ini dapat diolah menjadi pupuk untuk digunakan untuk tumbuhan lagi. Sampah anorganik yang banyak ditemukan hingga banyak dibuang oleh para siswa di kesehariannya, seperti botol air mineral, gelas air mineral, dan bungkus-bungkus plastik bekas makanan ringan. Jenis sampah yang paling banyak ditemukan inilah yang selanjutnya akan dipraktekkan bersama untuk diolah.

Bersama para relawan TBM Citra Raya yang berjumlah tujuh orang, kegiatan puncak melakukan pengolahan sampah temuan berupa botol dan gelas air mineral bekas, jenis sampah yang sulit diurai tanah. Para siswa siap berkreasi. Pengulangan anjuran untuk tidak membuang sampah juga disampaikan setiap kesempatan kepada para siswa. Proses pengolahan sampah menjadi sangat menarik karena telah disediakan bermacam-macam hasil karya sampah yang telah disiapkan dan dibuat oleh para relawan.

Untuk memudahkan pengawasan saat pengolahan sampah, para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, pembagian dilakukan berdasarkan kelompok laki-laki dan perempuan.

Kelompok siswa perempuan berkreasi membuat olahan sampah anorganik menjadi tempat penyimpanan pensil, bunga plastik, hingga vas bunga.

Sedangkan kelompok siswa laki-laki membuat celengan, mainan berbentuk kapal dan pesawat serta kincir angin. Hasil kreasi para siswa menjadi barang yang bisa dipakai dan bernilai seni.

“Aku bisa bikin lagi di rumah, sampahnya juga dari jajanan yang selesai aku makan. Aku mau bikin yang lebih rapi lagi di rumah,” ujar salah satu siswa perempuan kelas VI SDN Nalagati.

Seusai menyelesaikan hasil karya, masing-masing siswa memamerkan olahan sampah  mereka di tengah lapangan sekolah. Semua karya menjadi barang fungsional bagi pembuatnya, mereka bahkan tidak segan-segan membawa pulang untuk ditunjukkan kepada orangtua mereka.  Kegiatan akhir dengan penuh kegembiraan para siswa berfoto bersama hasil karya dan relawan TBM Citra Raya, juga dengan Monster Sampah.[]

 

 

Categories
Opini

Majukan Kota dengan Buku

Kenalkan, nama saya Kristanto, pegiat literasi di TBM Citra Raya, Kel. Mekarbakti, Kec. Panongan, Kab. Tangerang. Mungkin teman-teman pembaca sudah bisa menebak bahwa nama orang dengan suku kata terakhir “to” biasanya adalah orang Jawa, misalnya “Joko”, “Tono”,  dan “Retno”. Ya, saya di sini adalah seorang perantau dari Jawa Tengah, dari sebuah kota kecil bernama Salatiga. Latar belakang saya menggiatkan literasi di tanah perantauan ini adalah adanya kesenjangan yang saya rasakan antara pendidikan dan kebudayaan di Kabupaten ini dengan Kota Salatiga.

Bukan, tulisan ini bukan bermaksud untuk menyombongkan Kota Salatiga ataupun merendahkan Kabupaten Tangerang. Saya percaya bahwa masing-masing kota/ kabupaten mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri, dan dalam beberapa hal – apabila saya boleh sedikit lagi, ya hanya sedikit lagi, menyampaikan kelebihan kota asal saya – Kota Salatiga lebih maju dibandingkan dengan Kabupaten Tangerang.

Mengapa bisa demikian?

1. Kondisi Jalan Raya

a. Saya sering melihat pengendara sepeda motor yang melaju di Jalan Raya Serang tanpa memakai helm. Kalaupun pengendara/ penumpang sepeda motor ini membawa helm, alat pelindung diri yang satu ini seringkali hanya dipakai untuk melindungi siku tangan dari kecelakaan, bukan untuk melindungi kepala.

b. Di sepanjang ruas jalan raya Serang antara Pasar Cikupa hingga Swalayan Sabar Subur, setiap hari selalu saja saya temui pengendara sepeda motor yang melawan arus di rush hour. Anehnya, pengendara sepeda motor ini “ngotot” untuk terus melaju, sekalipun ada kendaraan yang melaju dengan arus yang benar.

c. Budaya tidak mau mengantre juga dapat kita temui ketika menjumpai pengendara kendaraan bermotor di lampu merah, misalnya lampu merah Tigaraksa. Saya sering temui bahwa pengendara ini berhenti di kanan jalan, di luar garis lajur jalan yang ditetapkan, hanya untuk mendapatkan “pole position” ketika lampu menyala hijau. Ini jelas membahayakan bagi pengendara arah sebaliknya dan kerap kali menjadi sumber kemacetan di jalan raya.

2. Integrasi/ Toleransi Warga

Sebagai kabupaten industri, Kabupaten Tangerang ini memang memiliki tantangan berat dalam hal integrasi karena kemajemukan warganya. Pemerintah daerah benar-benar dituntut untuk lebih cerdas dalam memainkan instrumen-instrumen yang dimilikinya untuk mencapai stabilitas kerukunan di sini

a. Hal berbeda pertama yang saya rasakan di sini adalah masalah suku. orang keturunan Tionghoa di kabupaten ini belum bisa berintegrasi 100%. Mereka masih berbicara dengan aksen yang kental, sebuah tanda bahwa orang-orang ini jarang bergaul dengan orang-orang di luar kelompok mereka. Mengapa mereka jarang bergaul pada waktu itu dan sampai sekarang?

b. Hal berbeda kedua adalah masalah toleransi kehidupan beragama. Tidak, di sini tidak terjadi konflik yang berlebihan antarpemeluk agama yang berbeda. Saya melihat bahwa di sini masih sedikit kegiatan yang terlahir atau merupakan kerjasama dari kelompok-kelompok agama yang berbeda ini. Tentu, ini bukan berarti bahwa kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok yang homogen ini kurang baik. Hanya saja perlu disadari, bahwa anak-anak generasi penerus bangsa ini tidak boleh dibiarkan hidup berlarut-larut dalam sekat-sekat kesukuan dan keagamaan seperti ini. Akan sangat disayangkan apabila kita sebagai orang dewasa tidak memberikan ruang publik kepada mereka untuk mengeksplorasi negara Indonesia ini dengan segenap kemajemukannya. Sebuah tempat di mana orang bisa bertemu, mengenal, belajar, dan berdiskusi dengan orang lain yang “berbeda” dengan kelompoknya selama ini.

Atas dasar kedua poin inilah saya menilai arti penting sebuah tempat yang bernama Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Buku adalah gudang ilmu. Informasi dan ilmu pengetahuan yang kita dapatkan dari sebuah buku sudah divalidasi oleh seseorang bernama editor, sehingga tulisan di dalam buku bukanlah sebuah hoax/ berita kebohongan. Seperti ilmu padi “makin berisi makin merunduk”, orang dewasa dituntut untuk bisa mengalahkan ego diri mereka sendiri, seperti contoh “tidak merasa salah ketika melawan arus” dan “tidak mau mengantre, ingin selalu duluan hingga tidak merasa salah melanggar peraturan”.

Pun demikianlah arti penting sebuah buku dalam mengajarkan toleransi ke-Bhinneka-an. Orang Indonesia secara umum selalu memiliki budaya “kepo” atau selalu ingin tahu atau ikut mengurusi orang lain – padahal kata Cak Lontong “buat apa mengurusi orang lain, karena orang itu belum tentu mau kurus” :D – . Ketika kita bertanya kepada orang lain mengenai kebudayaan sukunya, atau ritual kepercayaan agamanya, seringkali kita akan dihadapkan pada 2 situasi berikut

a. Kamu mau berdebat soal ini? Kamu terganggu dengan itu?

b. Kamu sudah sadar, sehingga kamu mau pindah ke agamaku?

Kedua situasi ini bukanlah situasi di mana orang akhirnya akan mendapatkan jawaban yang dicarinya, sehingga sekat-sekat yang saya sebutkan di atas akan cukup sulit untuk dibongkar. Berbeda dengan orang, buku adalah sahabat yang paling baik. Di TBM yang menyediakan buku-buku yang majemuk dalam konteks politik, kebudayaan, dan agama, niscaya akan sangat membantu proses integrasi di dalam masyarakat. Berbeda dengan orang, buku tidak akan “kepo” ketika kita menanyakan sesuatu, tidak akan protes ketika kita membacanya di ruang belajar ataupun di toilet, dan tidak akan marah ketika kita di hari pertama langsung menyobek-menyobek atau menginjak buku itu karena isinya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita miliki saat itu.

 

Dari sinilah akhirnya saya ingin menghubungkan buku, TBM, dan maju/ tidaknya sebuah kota/ kabupaten. Sebuah TBM berperan penting untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsanya, menjadi tempat pertemuan antara pertanyaan dan jawaban – tanpa mengadili orang yang bertanya itu dengan jawaban yang “kepo” dan pikiran-pikiran yang negatif -. Sebuah perumpamaan “otak manusia itu berfungsi layaknya parasut” agaknya benar adanya, karena tanpa keterbukaan pikiran/ mindset terhadap kemajemukan orang-orang di negeri ini, agaknya cita-cita persatuan bangsa yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini hanyalah akan menjadi impian belaka. Yang terjadi adalah kita masih saja belum selesai dengan perbedaan yang bangsa ini miliki, di saat kota/ kabupaten di negara lain sudah melesat maju mengisi kehidupan mereka dengan hal-hal yang jauh lebih bermanfaat bagi dunia ini (teknologi, kemanusiaan).

Selamat membaca buku, salam literasi. Semangat terus para pegiat literasi, TBM bukan hanya mencerdaskan anak bangsa, melainkan dapat memajukan kota/ kabupaten kita! []