Categories
Opini

Atribut Relawan, Sebuah Kepercayaan Untuk Perubahan

Setiap kali mendengar kata “Relawan”, pasti setiap orang punya opini yang hampir sama tentang relawan, yaitu orang yang rela berkorban untuk membantu saat terjadinya bencana. Seperti evakuasi korban atau membantu memberikan dorongan psikologis untuk para korban pasca bencana di penampungan dan kejadian-kejadian bencana yang seringkali terjadi di Indonesia maupun di dunia. Namun, apakah relawan akan datang hanya sebatas pada saat bencana terjadi?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) relawan diartikan ‘sukarelawan’. Sedangkan menurut Duta Baca Indonesia, Najwa Shibab mengatakan bahwa relawan ada di barisan terdepan, jika kepentingan rakyat menjadi tujuan. Ada arti luas dari kata relawan. Relawan bukan hanya pada saat bencana yang nampak terjadi secara kasap mata, namun krisis literasi, krisis moral, krisis kepercayaan dan sebagainya. Keadaan saat ini, bencana tidak dapat diartikan sebagai gejala alam saja, tapi lebih luas pada lingkup karakter manusia. Kalangan generasi millenial yang pada abad 21 ini sudah menjadi generasi produk teknologi mulai tidak minat dengan literasi baca-tulis. Padahal sudah mulai digerakan program GLS (Gerakan Literasi Sekolah). Namun, belum juga menuai dampak untuk anak-anak di sekolah secara masif. Ini menjadi tantangan terbesar bagi para pegiat literasi baik di sekolah maupun masyarakat.

Dari sinilah muncul kata relawan taman bacaan masyarakat yang bertujuan untuk mengembalikan ruh literasi. Dari berbagai pandangan masyarakat tentu kita sudah memahami bahwa seorang relawan bukan hanya dikenal sebagai sebutan orang yang membantu pada saat bencana alam, namun untuk orang yang berjuang dalam bidang sosial di desa-desa, atau yang  mengelola taman bacaan, bahkan saat ini ada relawan dalam bidang politik seperti sebutan relawan pada sebutan calon presiden.

Namun, bagaimana relawan dari kaca mata orang-orang yang menjadi relawan? Saya pernah bertanya ke beberapa orang yang menjadi relawan di beberapa TBM di Banyumas, tidak jauh berbeda dengan pengertian sebelumnya, yaitu orang yang mau berkorban demi orang lain. Ada makna mendalam dari pendapat relawan di beberapa TBM di Banyumas ini. Kita dapat memaknai bahwa seorang relawan akan melakukan apa saja untuk orang lain.

Seperti makna dalam KBBI, menurut saya, relawan di Taman Bacaan Masyarakat Wadas Kelir memaknai relawan sebagai orang yang bahagia dalam menggunakan  waktu, tenaga dan pikirannya untuk belajar bersama orang lain yang akan berdampak positif bagi keduanya. Kami menyebutnya sebagai relawan pustaka yaitu relawan-relawan yang dengan senang hati mengabdikan dirinya untuk meningkatkan budaya baca masyarakat.

Atribut seorang relawan pustaka, bukan seragam yang dipakai setiap hari atau sebuah topi pengaman dan sepatu anti air. Namun, sebuah kepercayaan yang dibangun untuk dirinya dan orang lain untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Bangunan kepercayaan inilah yang memunculkan kesadaran pada masyarakat tentang keberadaan seorang relawan. Melalui berbagai kegiatan literasi yang diadakan oleh relawan pustaka, seperti sekolah literasi, literasi sebelum memulai kegiatan, olimpiade literasi, pemilihan duta literasi, membacakan buku kepada anak-anak dan pengembangan literasi di setiap TPQ membuat masyarakat mulai menyadari pentingnya literasi.

Tapi, seringkali orang mempertanyakan eksistensi dan kondisi sosial-ekonomi seorang relawan. Melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan? Rasanya sangat sulit dibayangkan di zaman sekarang. Memang tidak semua percaya bahwa tidak ada motif di balik sebuah kebaikan. Tentu saja ada motif di balik kebaikan seorang relawan. Bagi seorang relawan pustaka, dapat meliterasikan satu keluarga atau bahkan satu desa akan ada keuntungan yang diperoleh dari seorang relawan.

Ada banyak cerita yang didapatkan, metode yang ditemukan, dan hasil yang dapat dijadikan sebuah penelitian. Dampak inilah yang menjadikan relawan pustaka seringkali gagal move on untuk berhenti menjadi seorang relawan. Seorang relawan pustaka pasti dekat dengan buku. Setiap harinya, hadir dengan buku-buku yang menumpuk banyak ilmu. Walaupun dari berbagai latar belakang yang berbeda, namun saat banyak buku berada di sampingnya dan aktivitas literasi serta membacakan buku, maka wawasan dan pengetahuan seorang relawan pustaka akan bertambah. Dari sinilah, seorang relawan bisa berkuliah tinggi dengan beasiswa, mendapatkan penghasilan dari menulis cerita pengalaman, dan mendapatkan dana penelitian.

Keberadaan relawan yang selalu mempunyai inovasi baru dalam aktivitas literasi yang menjadikan candu pada masyarakat untuk berliterasi secara menyenangkan. Akan selalu ada pertanyaan dan pernyataan,

“Mbak, ada buku baru apa lagi di TBM?” 

“Mbak Nis, buku masakan yang itu bagus, saya suka, diperpanjang boleh, ya!” 

Kak, aku mau baca buku ini! 

Kak, aku mau ikut lomba ini! 

Kak, aku mau pinjam buku yang kemarin dibaca Dini!”

 

Pertanyaan dan pernyataan ibu rumah tangga, bapak-bapak, anak-anak dan remaja di Wadas Kelir ini adalah dampak dari rasa percaya pada hati relawan dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat sehingga dapat tercapai sebuah perubahan. Standar masa depan dan keingintahuan masyarakat tentang literasi menjadi lebih tinggi. Di sinilah peran relawan dapat dirasakan dan diidamkan oleh banyak orang.

Selamat Hari Relawan Sedunia!

Salam Literasi! J

Categories
Kabar TBM

Kalian Memang Sudah Remaja

Sabtu sore, tepatnya sebelum hujan turun, anak-anak seperti biasa ramai untuk Sekolah Literasi di gedung setengah permanen milik kami, TBM Wadas Kelir. Saya melihat banyak anak-anak yang berdatangan. Lebih banyak dari biasanya. Senyum melengkung di bibir saya. saya yang hanya bisa memantau via whatsapp dari kabar relawan dan grup whatsapp merasa begitu bahagia. Foto keceriaan mereka untuk segera berlatih untuk  pentas di Cafe Baca Wadas Kelir. Remaja melatih pantomim, puisi, tari, menyanyi, dan beatbox. Ada tim yang mereka bentuk untuk mengajar anak-anak sd. Dengan penuh semangat dan antusias mereka kompak berlatih bersama. Saya melihat ada sosok relawan dari cara mereka mengajar ke anak-anak SD.

Setelah rapat evaluasi Cafe Baca sebelumnya, kami menunjuk Aisah dan Sri sebagai ketua pelaksana Cafe Baca bulan ini. Yang tak saya sangka Aisah Nur Oktavia, Sri Rahmawati dan Bayu Pamungkas dengan didampingi Kak Khotibul Iman, mereka berkoordinasi intensif sebelum mengumpulkan anak-anak SD yang sering berangkat pembelajaran sore dan jarang berangkat. Mereka menyusun tim pengajar, sosialisasi dan pendampingan tiap anak.

Terkadang guru lupa, muridnya telah bermetamorfosis jadi remaja. Saya pun lupa. Lupa kalau mereka sudah remaja. Saya masih teringat mereka saat masih kelas lima SD. Sekarang mereka sudah SMA. Seperti remaja pada umumnya mereka sudah bisa memilih kegiatan yang menurut mereka baik. Mereka sudah bisa memimpin. Mengorganisasi orang lain. Inikah pendidikan? Terbesit pertanyaan itu dalam hati saya. Saya dan relawan lainnya mengajar mereka sejak kelas lima SD. Sekarang, mereka yang mengajar anak-anak SD. Seperti layaknya kami dulu bahkan mereka lebih bersahabat dengan anak-anak SD.

Mereka sudah menjadi sosok relawan. Relawan remaja yang belajar memimpin, berorganisasi, mengajar, dan mengamalkan apa yang ia punya. Saya berdoa dalam hati semoga remaja Wadas Kelir selalu dilimpahi kebaikan dan selalu ingin belajar.

 GURU KENCING BERDIRI MURID KENCING BERLARI 

Pepatah ini begitu akrab dengan dunia pendidikan. Mungkin ini yang sedang terjadi di Wadas Kelir. Remaja sudah lebih pintar untuk bisa menjadi sosok guru bagi anak-anak SD. Sekolah Literasi Wadas Kelir saat ini diajar oleh remaja. Relawan yang terjadwal mengajar hanya duduk mengikuti dan terpesona dengan remaja.

“Bagaimana latihan sore ini, lancar?” “Alhamdulillah Kak Anis, lancar terkendali.” “Bagaimana remaja mengajarnya,” “Keren, Kak. Sudah mirip seperti relawan, malah lebih bagus dari relawan sepertinya, hahaha!” “Wah, jadi ingin lihat langsung”

Percakapan saya ditelepon saat latihan untuk pentas anak-anak yang dipimpin remaja telah usai. Saya yakin, mereka belajar dari cara relawan mengajar. Kids zaman now, ya banyak orang menyebutnya demikian memang lebih pandai dari gurunya. Apalagi mereka generasi milenial yang tahu banyak tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam buku filsafat ilmu yang saya baca saat awal kuliah S2, ada empat asal muasal pengetahuan manusia: wahyu, intuisi, rasio dan pengalaman. Praktiknya, sumber pengetahuan lebih banyak berasal dari rasio dan pengalaman. Hanya segelintir manusia yang menggunakan intuisi mereka dalam pemerolehan pengetahuan. Apabila disaring lagi, hampir sebagian besar pengetahuan manusia berasal dari pengalaman atau empiris.

Pengalaman ini yang diperoleh dari remaja di Wadas Kelir. Pengalaman ia mendengar dan melihat perilaku gurunya, gambar, tulisan, atau apa saja yang ia jumpai saat bertemu dengan gurunya. Pengalaman pun tak berkiblat pada apa yang ia temui, tapi apa yang mereka baca dari buku, website, atau film. Ataupun dari orang-orang di sekitarnya. Pertemuan Sekolah Literasi di Wadas Kelir setiap kamis hingga minggu membuat mereka banyak berubah. Relawan yang selalu mendampingi mereka memberikan mereka pengetahuan tentang cara mengajar anak-anak. setidaknya mereka ingat gaya saya mengajar dan kawan-kawan relawan yang mengajar. Alhasil, mereka punya gaya mengajar mix dari beberapa relawan. Inilah BELAJAR DARI GURU. Guru menjadi sosok teladan yang akan memberi inspirasi untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bahkan lebih baik dari gurunya. 

Karena itu, Pegiat literasi, guru, ataupun pemimpin harus lebih cerdas dalam menyampaikan sesuatu, menggali ide-ide kreatif peserta didik atau anggotanya, dan memberi teladan untuk gemar membaca. saat mereka mulai remaja atau dewasa, ada cerminan diri kita (guru) dalam dirinya. Kita melihat sosok diri kita saat dia menyampaikan pendapat, mengajar, berbicara di depan umum dan memimpin teman-temannya serta ada rasa kagum tentang dirinya yang lebih dari kita.[]

Categories
Opini

Sekolah Literasi Sekolah Masa Depan (1)

 

Mendengar kata ‘sekolah’, pada umumnya akan membayangkan suatu tempat yang  melewatkan masa hidupnya untuk belajar. Namun, istilah ‘sekolah’ umumnya mengacu pada suatu sistem, suatu lembaga dengan segala kelengkapannya, sederet administrasi, serangkaian jadwal yang mengikat dan selingkup aturan.

Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Waktu senggang yang digunakan untuk belajar (Topatimasang, 2013). Istilah ‘sekolah’ menjadi begitu sakral saat ini. Hanya lembaga formal yang diakui sebagai sekolah. Padahal dari pengertian sekolah tersebut, pondok pesantren, Taman Pendidikan Al-Quran, berkumpulnya para pakar, dan komunitas yang mempunyai visi yang jelas juga termasuk dalam kategori sekolah. Kenyataan, sekolah formal yang mempunyai jenjang yang jelas dan berujung pada ijazah yang dinamakan sebagai sekolah.

Dari buku Sekolah adalah Candu yang telah saya baca, ada sekolah yang tak punya daftar mata pelajaran, tak punya jadwal jam pelajaran resmi, tak punya kelas-kelas yang dibagi pertingkat, atau jurusan, tak menyelenggarakan ulangan harian atau ujian kolektif seperti saat ini. Yang terpenting muridnya bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan dengan cara bagaimana yang mereka anggap paling tepat dan sesuai dengan diri mereka. Itulah Universitas Reckefeller di kota New York. Ini sekolah yang bukan sembarang sekolah. Di sini tempat berkumpulnya para pendekar dan jago-jago penemu kelas dunia. Tak kurang dari dua mahasiswanya dan enam belas pengajarnya adalah pemegang Hadiah Nobel. Namun, sekolah ini kalah terkenal dengan Cambrige, Yale, Harvard di Amerika karena keadaan ijazah yang tidak dikeluarkan. Sampai akhirnya sekolah ini tak diminati karena tak ada kelegalan.

Apa boleh buat, inilah dilema tragis sekolah yang mencoba menyimpang dari kebiasaan umum. Tidak diminati, tidak populer, dan tidak dimengerti orang banyak. Persoalannya hanya karena sekolah menjadi suatu stereotip bahkan suatu stigma kental masyarakat. Seolah-olah menjadi membatasi ruang gerak, wawasa dan dinamikanya. Pada akhirnya, sekolah menjadi sebuah sebutan atau istilah yang diberikan pada lembaga yang beratribut resmi dan mapan, mempunyai sejumlah aturan, ada seragam, mengeluarkan ijazah. Itu yang dipahami masyarakat yang sebenarnya tak sesuai dengan wadah lahirnya dan wujud dari istilah maknanya.

Berbeda dengan lembaga sekolah pada umumnya,  ‘Sekolah Literasi’ yang kami gagas tentu jauh dari kelegalan pemerintah. Kami tidak mengikat, seadanya, apa adanya, dan tidak ada apa-apanya. Sekolah yang lahir dari buku-buku di Taman Bacaan Masyarajar Wadas Kelir.

SEKOLAH LITERASI 

Seragamnya adalah KEBERSAMAAN

Pembelajarannya  adalah KEINGINTAHUAN 

Alat tulisnya adalah ALAM

Jadwal pelajarannya adalah HARAPAN 

Dan gurunya adalah RELAWAN 

 

Kami mempunyai tujuan yang sama pada pertengahan tahun 2013, mungkin ini yang disebut sebagai awal berdirinya sekolah. Kami tidak pernah menamai itu sebagai tanda kami diresmikan. Karena itu hanya komitmen kami, Relawan [Guru] dan Anak-anak [Siswa]. Kami lahir dari MIMPI. Cita-cita sebagai bekal awal kami untuk belajar. Bermain menjadi pertemuan rutin kami untuk meraih masa depan. Dan alam menjadi media kami untuk mengenal kehidupan. Kami belajar dari buku-buku yang berserakan,  dari fantasi, dari imajinasi, dongeng-dongeng menjadi oleh-oleh kami setiap hari.

Kami tak selayak sekolah formal yang punya seragam. Seragam kami adalah KEBERSAMAAN. Hati kita sudah seragam. Bagi kami kebersamaan menjadi seragam kami. Saling membantu, gotongroyong, bahu-membahu dalam mengejar cita-cita menjadi seragam kami. Kami juga punya pembelajaran,  belajar dari rasa INGIN TAHU. Ini yang mengantarkan kami untuk selalu bersungguh-sungguh.  Ingin tahu dari sebuah BUKU. BUKU yang setiap hari kami baca menjadi topik bermain dalam pembelajaran. Alat tulis kami adalah ALAM. Kami membuat karya [produk] menggunakan ALAM. Fenomena kehidupan menjadi inspirasi dalam menulis dan membuat kreativitas. Kami punya jadwal pelajaran. Jadwal itu yang kami pilih sesuai dengan HARAPAN kami, setiap KAMIS-MINGGU menjadi jadwal kami untuk sekolah. Berkumpul dan menentukan harapan apa yang hendak dicapai. Kami hanya ingin bisa LITERASI dan SENI. Ini yang menjadikan SEKOLAH LITERASI sebagai pusat pendidikan LITERASI dan SENI. Gurunya, tentu ada. Mereka orang-orang yang mau berkomitmen untuk belajar bersama. Meniatkan diri untuk tulus mengabdi. Kami seperti layaknya sekolah biasa yang mempunyai PR dan tugas untuk selalu membaca setiap hari.

SEKOLAH LITERASI tidak akan memberikan ijazah pada siapapun. Karena bagi kami belajar tak ada akhirnya, bagi kami belajar tak memandang usia, dan bagi kami belajar tak memandang seberapa lama, TAPI belajar itu tiada henti.

Categories
Opini

Retorika Pegiat Literasi Masa Kini: Menjawab Sebuah Tanda Tanya

Hari itu adalah hari libur nasional. Saya menyempatkan diri untuk mudik ke rumah. Saya bisa menikmati kebebasan menghirup udara rumah, menikmati suasana ramai keponakan-keponakan saya, kakak saya yang bercerita kesana kemari  dan suara bising kesibukan ibu saya. ini adalah suasana yang paling saya rindukan ketika saya disibukkan dengan berbagai aktivitas di luar rumah. Namun semua yang ada di rumah kini, sangat berbeda dengan yang terjadi sepuluh tahun lalu saat saya masih anak-anak.

Keponakan pertama saya asyik seharian menikmati permainan yang ada di laptop, keponakan kedua saya asyik dengan playstasion. Kakak saya sibuk dengan telepon genggamnya. Di ruang belakang, ibu saya menunggui nasi yang hampir matang sambil menghancurkan bumbu dengan blender. Di depan rumah, bapak asyik dengan mobil yang sedang menikmati musik dan mencoba AC baru di mobilnya. Atas dasar situasi ini, dalam benak saya terbesit pemikiran bahwa dunia telah berkembang, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi telah mengubah sendi kehidupan.

Sepenggal aktivitas keluarga saya saat ini membuat saya menyimpullkan bahwa dalam jangka waktu tertentu terdapat kehidupan yang sangat berbeda. Tiga perbedaan perbedaan yang saya alami sendiri saat ini yakni perbedaan dalam hal informasi, transportasi, dan teknologi komunikasi. Rupanya tiga hal ini yang kemudian  menjadi pembeda seluruh dimensi kehidupan dulu, saat ini, dan masa depan. Perbedaan yang terjadi dalam keluarga saya, tentu saya kira sama seperti yang terjadi dimasyarakat.

Berbagai perubahan yang terjadi saat ini dalam kehidupan sehari-hari seyogyanya mengubah pula pola pendidikan kita. Konsep pendidikan masyarakat seharusnya mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan masa kini, agar masyarakat dapat adaptif dan kompetitif di masa yang akan datang. Namun, untuk mewujudkannya tentu tidak hanya dengan satu tangan, yaitu seorang pendidik. Akan tetapi, komponen yang ada di dalam masyarakat harus sepenuhnya terlibat dan mendukung kegiatan yang disandingkan untuk masyarakat.

Pegiat literasi pada umumnya, merasa ingin semua masyarakat di sekelilingnya pintar dengan buku. berbagai usaha mencari buku pun dilakukan agar buku-buku yang tersedia menarik minat masyarakat. Apakah benar itu yang masyarakat harapkan? Apakah buku yang banyak akan membuat masyarakat menjadi literet? Ada yang menjawab ya atau tidak. Itu pasti. Seorang pegiat literasi adalah pendidik. Maka, tentu saja pegiat literasi harus tahu tentang pendidikan. Menurut Yunus Abidin, seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia, ada empat kompetensi utama yang perlu dimiliki oleh generasi muda dan masyarakat pada umumnya, yakni kompetensi berpikir, kompetensi bekerja, kompetensi berkehidupan, dan kompetensi menguasai alat untuk bekerja.

Sebagai pegiat literasi yang berkecimpung dalam pendidikan masyarakat tentunya perlu mengetahui empat hal ini agar mengetahui tujuan yang akan dicapai dalam menggerakkan literasi di masyarakat. Bukan hanya soal buku yang banyak, administrasi yang lengkap, perizinan yang bernotaris, itu hanya sebagai bagian dari mempermudah dalam bergiat. Namun, hal yang terpenting adalah bagaimana buku sebagai media literasi para pegiat literasi dapat menjadi sumber yang menyenangkan bagi masyarakat. Media tentu memerlukan seseorang yang menggunakan dan objeknya. Pegiat literasi harus bisa bertanggungjawab dengan media [buku] yang disandingkan dan berjajar rapi di rak buku. mempertanggungjawabkan dari konteks pengetahuan dan konteks budaya. Pegiat literasi dituntut untuk bisa mempunyai kemampuan berbicara. Itu pasti. Berbicara yang imajinatif, kritis dan berpikir kreatif dengan nilai-nilai etika dan estetika yang dapat membunyikan bahasa.

Keterampilan berbicara yang dimiliki oleh pegiat literasi inilah yang nantinya dapat memberikan kesan positif dalam setiap ajakannya. Membuat program kegiatan yang kekinian yang dapat menggali potensi masyarakat. Memang tidak mudah mempunyai keterampilan berbicara tapi semua butuh proses yaitu dengan belajar [membaca]. Inilah yang sedang saya dan kawan-kawan relawan pustaka lakukan di Wadas Kelir. TBM harus selalu mampu menjadi bunglon. Menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat.

Pada dasarnya, abad 21 memang sudah mempermudah kegiatan masyarakat, namun mempermudah bukan berarti meremehkan komunikasi langsung. Ada rasa saling menghargai dan menghormati yang masih membudaya di negeri ini yang perlu kita syukuri. Kegiatan yang dilakukan oleh TBM yang mengundang masyarakat dengan proses ajakan [lisan] akan memberikan kesan lebih dihargai dan merasa diharapkan kedatangannya. Masyarakat pun akan senang dengan kegiatan yang dilakukan oleh pegiat literasi.

Salam Literasi! J

Semoga Bermanfaat!

Categories
Opini

Literasi Itu Seperti Membatik dengan Canting Kesabaran

Kita tidak pernah tahu hasil membatik yang dari kain putih, malam yang dilelehkan dan canting yang dipegang dilumuri dengan kesabaran para pembatik tradisional. Mahakarya orang-orang penuh kesabaran di Indonesia.

Pembatik Indonesia, hari ini tanggal 2 Oktober mereka sedang merasakan bahagia. Batik dipakai di mana-mana. Banyak instansi pemerintah yang mewajibkan menggunakan batik. Artis, guru, karyawan, dan orang-orang yang ikut merayakan hari ini terlihat mengenakan pakaian batik. Pemandangan yang indah hari ini. Saya merasa ini Indonesia. Rasa haru bukan hanya saya saja yang merasakan, namun mereka [pembatik] dan pecinta batik sangat senang dengan perubahan iklim yang sekilas ini.

Mengetahui batik, seperti kita mengetahui literasi. Batik yang mempunyai pesan adiluhung para leluhur dan pesan moral orang masa kini, dicanting dengan penuh kesabaran. Batik sebagai warisan leluhur kita perlu perhatian untuk memperkenalkan batik ke panggung dunia. Misalnya lewat beragam peragaan busana di luar negeri atau upaya kreatif lainnya.

Begitu pun literasi sebagai budaya mencerdaskan bangsa. Tak ada yang lebih hebat dari literasi. Akselerasi pengetahuan dapat sangat mudah tercapai. Tak mengenal golongan ras, agama, miskin, kaya, dapat berliterasi. Semua orang bebas mengungkapkan gagasan, ide, khayalan dengan tujuan-tujuan yang literet. Oleh karenanya, kesabaran sebagai seorang pegiat literasi sangat dibutuhkan. Literasi yang mencerdaskan perlu ada perhatian yang lebih untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang melek literasi.

Pada dasarnya, gelombang literasi sebagai suatu gerakan pemberdayaan. Begitu pun dengan definisi literasi sendiri. Literasi bukan hanya pada kemampuan baca tulis, namun kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya.

Namun perlu ada kesabaran untuk menuai hasilnya. Literasi bukan produk instan yang dapat dinikmati sekarang juga. Seperti kopi instan yang siap diseduh dan dinikmati aromanya. Ada banyak hal yang perlu diperjuangkan. Sudah saatnya kita,  para pegiat literasi tak boleh kenal lelah untuk menjadi marketing literasi. Mengenalkan literasi di tengah zaman now. Mempublikasikan seperti produk yang paling tren di televisi. Dimana-mana yang terdengar literasi. Betapa indahnya banyak melihat orang membincangkan tentang literasi, membacakan buku cerita, berdiskusi buku bacaan, mengkritisi opini dan banyak hal yang bisa dilakukan melalui literasi.

Bersabarlah untuk menjadi seorang pegiat literasi. Membuat pembelajaran bermakna bagi setiap orang yang ditemuinya. Marilah menggalakan semangat literasi, mendukung gerakan literasi, mengarahkannya pada hal-hal positif. dan satu hal yang tak kalah penting, mencari generasi penerus pegiat literasi. Ini bukan pekerjaan yang menarik dan menjanjikan bagi anak muda karena tolak ukur dan upahnya yang entah. Kita perlu usaha yang lebih keras untuk   meyakini diri kita, menjadi pegiat literasi akan membawa kesejahteraan bagi diri kita dan orang di sekitar kita.

SELAMAT HARI BATIK NASIONAL! SALAM LITERASI!