Categories
Artefak Literasi Cerpen

Kenangan dan Cinta Baru yang Bisu

Sejak awal mataku sudah dirampas kilau jelitamu. Ini bukan suatu yang mengada-ada tapi fakta. Memasuki kelas pertama dan kau duduk dibelakangku. Bola mata ini selalu ingin tertuju padamu. Awalnya aku mengira ini imajinasi, tapi ini nyata! Parasmu mengingatkan aku pada seseorang di masa lampau.

P

enasaran tentangmu berlanjut pada minggu ke minggu. Aku seperti Bumi gersang yang siap dibasahi hujan, pasrah! Pada perasaan yang timbu ltanpa adanya alur. Dan sunyi tiba-tiba hinggap, lalu bayangmu hadir bersama cahaya, tenggelamkan aku pada dirimu. Bagai dewi malam menjelma bulan. Wajahmu menancap pada tahta hati dan aku terkubur pada cinta. Di pertemuan kedelapan aku baru tahu namamu, juga puisi malammu, Shafira Amellya!

Malam

Kelam mengatar malam

Gelap melepas sunyi

Sinar bulan terang menyelimuti

Apakah kau melihatnya?

Ada rinduku bersinar di atas langit

Wajah bulan

Biaskan hitam

Jarak tak mematahkan rindu

Lihatlah sinar itu

Apakah kau melihatnya?

Ada rinduku bersinar di atas langit

Bulan semakin lelah

Kini sinarnya rebah

Berbaring pada kelam

Malam pada rindu

Rindu pada dirimu

Seorang wanita dengan puisi adalah romantis, bagiku seperti itu. Sekarang  aku akan menjadi pengagummu, puisi-puisimu. Kuharap kau akan terus memetik kata-kata. Mengubah aksara menjadi hujan yang membasahi resah, menjadikannya palu pemecah gundah. Remukkanlah kebencianmu, jadikan ia partikel yang melayang, hingga kau sampai pada inginmu. Kau tahu, Shafira? Kamu seperti wanita masa laluku itu, Nadia. epertinya Tuhan sengaja mempertemukan kita. Entah apa maksudnya, kau benar-benar mengingatkan aku padanya.

Pagi berlalu, siang berganti. Saat kelas berakhir, kata-kata untuk jawaban puisimu hadir dalam otakku. Kusiapkan kertas, menulisnya sambil menunggu azan zuhur di pelataran Masjid Agung. Menenggelamkan diri pada mega, menculik diksi lewat putihnya.

Tak lama kumandang azan berbunyi. Saatnya menuju Tuhan dan berdoa. Awan-awan putih kutinggalkan. Kusalin ia menjadi aksara, agar cinta itu berbahasa. Usai salat dan pikiran menjadi tenang, kenangan indah itu muncul ke permukaan, Nadia Ameli. Nadia wanita masa  laluku yang diberkati dengan paket komplit. Berhati emas, pikiran jenius, penampilan menawan. Siapa pun pertama kali melihatnya akan jatuh cinta. Itulah dia, sama sepertimu, Shafira.

D

iskusi karya sekelompok denganmu pada pertemuan ke delapan menjadi komunikasi perdana kita.

“Puisimu bagus, cuma perlu belajar diksi lagi, serta ritme, kataku memberi masukan padamu. Kau tersenyum. Andai aku bisa melihat senyum itu lebih banyak, pasti aku sangat bahagia.

Sejak diskusi itu komunikasi kita jadi cukup cair. Aku tidak canggung untuk bertanya dan sekedar menyapa hello padamu.

Kamu sekolah kelas berapa Shafira? tanyaku ketika kamu sedang menyaksikan anak-anak acting melakukan monolog.

Aku kelas 11 kak jawabmu tersenyum. Jawabanmu selalu singkat dan tidak ada komunikasi balik. Sikap itu selalu membuat penasaran dan diammu entah kenapa aku suka. Aku kembali bertanya mencoba melakukan komunikasi lagi.

Sekolah di mana

MAN 1 kak, jawabmu pendek.

Aku mengangguk-angguk Kalau Kakak udah tamat kuliah, Shafira.

Komunikasi itu hanya satu arah, tapi bahagianya tak terhingga. Walau singkat dan sebentar, hatiku bergetar dapat melihat senyummu itu. Shafira Amellya, dapatkah kau merasakan hatiku?

H

ujan turun bersama puisi yang kamu kirim melalui Whatsapp. Pikiranku jadi tenggelam. Dua wanita jadi satu, dalam rindu yang melaju. Aku berdoa untuk ingatan dan cinta, semoga Nadia bahagia di sana, amiin.

K

ehampaan tak kasat mata, doa menghilangkan lara dan duka. Ingatanku masih jelas merekam mimpi tentang Nadia tadi malam.Wanita masa lalu yang telah Tuhan panggil dalam rahmat-Nya. Dia benar mirip denganmu, Shafira. Cantik, berhidung mancung, dan misterius. Dia juga mahir merangkai kata, hingga aku menjulukinya dewi puisi.

Pagi ini, saat sinar surya mulai menyisir pori. Rutinitas kelas menulis memaksaku bergelut dengan cepat. Berhenti dari mimpi, membuang selimut, dan pergi menuju kamar mandi, aku terlambat! Sudah pukul 08.15 WIB, aku bergerak cepat mempersiapkan sesuatunya. Dan berangkat pukul 08.30 WIB,  melajukan motor dengan cepat.

Aku sampai di gedung Dewan Kesenian LubukLinggau tepat waktu. Kelas menulis akan segera mulai. Kamu juga baru datang diboncengi ibumu. Sebuah senyum kau lempar padaku, aku membalasnya dengan senyum terbaik. Kak, sapamu. Di pertemuan kali ini,  ingin sekali aku dapat mengenalmu lebih dekat, seperti rapatnya awan dengan langit.

Aku mendapatkan puisi malammu yang telah kau edit. Kau cepat belajar, kulihat ada tujuh baris puisi dari tiga baris sebelumnya. Diksinya juga seksi dan aku suka. Seperti kata-kata memeluk resah. Aku seolah ditarik pada puisi Nadia, mengapa kalian begitu sama? Kepenasarananku sekarang berada di puncaknya, sepertinya asmara tlah menjangkitiku, Shafira.

Sejak mengenalmu di kelas menulis, alam bawah sadarku tentang Nadia kembali kuat.Setiap malam selalu bermimpi tentangnnya. Entah kenapa Tuhan hadirkan Nadia lewat dirimu,Shafira. Mungkin karena kalian mirip atau Tuhan punya rencana ajaib lain, aku tak tahu.Minggu esok, usai kelas menulis aku berencana akan mengunjungi Nadia. Untuk melepas rindu yang bergelombang ini.

H

ari terakhir kelas menulis terasa mengesankan. Rasanya ingin kuberlama-lama berada di antara teman-teman, termasuk kamu, Shafira. Apakah kamu nanti akan mengingatku? Aku tak berharap banyak, bagiku dapat mengenalmu sudah menjadi kebahagiaan.

Sebuah senyum terpancar di wajahmu. “Jangan sombong ya, Kak, bila ketemu lagi. Dan, tetap komunikasi di Whatsapp, katamu diakhir kelas. Lalu kita berjabat tangan seolah baru pertama kali berkenalan. Kita saling tersenyum, berpandangan untuk sesaat.

Kau perlahan meninggalkan gedung Dewan Kesenian Lubuklinggau dengan senyum indahmu. Kubiarkan mata ini memandang sampai bayangmu hilang, dan wujudmu menjauh dalam penglihatan. Rasanya aku melihat dua orang dalam satu, Shafira dalam Nadia, Nadia dalam Shafira.(*)