“Bacalah!”
Demikian kata perintah pertama yang melandai Nabi Muhammad. Kata yang sederhana. Penuh makna.
Hatinya dipenuhi rasa gemetar mengutuk pikiran. Bibirnya pun tidak mampu berucap. Hawa dingin menjulur menyelimuti tubuh Nabi Muhammad.
“Ma ana bi qari”
(Saya tidak bisa membaca)
Kata demikian diulang tiga kali olehnya untuk menjawab perintah membaca yang diperantarai Malaikat Jibril. Ya, Nabi Muhammad saat itu tidak bisa membaca dan tidak tahu apa yang harus dibaca. Setelah dipeluk oleh malaikat Jibril dan dibisikkan kata perintah membaca yang terakhir, barulah beliau paham dan mengerti.
Demikian pula kata perintah yang melandai pada diriku.
“Diwacani bukune! Ngko dadi teyeng!”
(Bukunya dibaca! Nanti jadi bisa!)
Begitu kalimat perintah yang sampai di daun telingaku setiap di penghujung maghrib. Kata-kata itu berasal dari lelaki berkepala empat dengan bibir merah kehitam-hitaman. Ya, Ayahku. Malaikat pembaca ulung yang berteman baik dengan secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok Djarum.
Saat itu aku hanyalah anak kecil yang duduk di kelas satu SD. Layaknya anak kecil yang lainnya lebih suka bermain dari pada membaca. Jika disuruh untuk membaca, aku pun bingung. Mengapa harus membaca? Buku apa yang harus kubaca? Dan satu pertanyaan lagi. Setelah membaca, jadi bisa apa?
Ketegasan dan sikap keseriusan malaikatku, selalu membuatku takut dan memaksaku untuk masuk ke ruang tidur sekaligus ruang belajar kecilku. Tidak lebih sekadar untuk membaca beberapa lembar buku. Meskipun pada akhirnya kepalaku jatuh dan tersangga oleh kedua tanganku yang melipat di atas meja persegi.
Malaikat tidak pernah bosan. Selalu saja memerintahku untuk membaca. Sejak aku masih duduk di bangku SD hingga lulus SMA. Entah apa yang diinginkan olehnya. Namun setidaknya saya menjadi tahu, dari hasil pengalaman membaca saya telah mengantarkan saya sebagai anak yang selalu ranking sepuluh besar dalam kelasnya. Baik saat SD maupun SMA. Satu hal lagi yang saya juga tidak tahu sebabnya secara pasti, setiap kali ada kegiatan, teman-teman selalu menunjukku untuk memimpinnya. Untuk berbicara di didepannya.
Ingat. Ini bukan berarti saya sedang mengagungkan diri pribadi, akan tetapi barangkali itulah sebagian kecil yang saya rasakan manfaatnya dari hasil pengalaman membaca. Mungkin itu pula yang diinginkan oleh malaikatku. Agar aku bisa suka dengan buku. Agar aku bisa gemar membaca buku. Agar aku bisa berprestasi. Dan, agar aku mampu memberi lebih manfaat kebaikan kepada orang lain.*