Categories
Opini

Ayahku Malaikatku, Guruku Pustakaku #2

Begitulah kisah tentang aku dan Ayahku. Tapi aku masih saja ingin menenalkan berbicara perihal ayah. Aku teringat ayahku. Ayahku adalah malaikat yang suka bermain, bercanda, dan tertawa lepas bersama anak-anak kecil di sekelilingnya. Bukan denganku. Mengesalkan! Siapa yang tidak kesal diperlakukan seperti itu. Namun tanpa disengaja kemarin saya baru saja menemukan sebuah buku. Buku yang sederhana. Berisi kisah nyata dan penuh makna. Buku itu berjudul “Cara Terbaik Mendidik Anak Sendiri Adalah Dengan Cara Mendidik Anak Orang Lain”. Seketika itu aku tersadar. Barangkali itu pula cara yang paling baik yang dilakukan ayahku. Mendidikku dengan mendidik anak-anak disekitarku.

Kecintaan ayahku pada anak-anak mengalir dalam diriku. Itulah yang membuatku sampai saat ini suka bermain dan belajar dengan anak-anak. Saat aku sudah kuliah semester tiga takdir mempertemukanku dengan dosen Bahasa Indonesia. Pak Heru Kurniawan namanya. Namun ia lebih akrab ditelinga dengan sebutan Pak Guru. Saat orang-orang memanggil pak guru ya itulah Heru.

Saat itu pak guru menampilkan film kegiatan bersama anak-anak komunitasnya, Rumah Kreatif Wadas Kelir. Selesai memutar film, dosen tersebut menawarkan teman-teman mahasiswa di untuk menjadi relawan di tempatnya. Namun, tidak satu pun mahasiswa mengacungkan jarinya.

Sehari setelah itu, temanku mengajak untuk bermain ke tempat Pak Guru. Saya pun terdiam. Menghela nafas panjang. Dan berpikir tidak terlalu dalam. Sore itu juga saya sampai di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Tampak anak-anak kecil sedang duduk melingkar. Mata berbinar penuh semangat belajar. Membaca selembar kertas kecil. Lalu mulai bermain bersama salah satu relawan yang belum kukenal. Betapa bahagiannya melihat anak-anak generasi bangsa yang sejak kecil belajar dan buku sebagai media bermain bersama.

Saat itu pula saya bertemu dengan Pak Guru. Meminta bergabung untuk menjadi relawan. Seketika itu beliau memandangku dengan tajam dan menampakkan kedua bola mata yang seolah-olah mempertanyakan keseriusanku menjadi relawan.

“Besok kau harus sudah ada di sini. Saya hanya beri waktu satu hari. Atau tidak menjadi relawan sama sekali!”

Demikian kata-kata yang sontak membuat hatiku terkejut dan mengutuk pikiran hingga harus berpikir panjang.

“Ki Hajar Dewantara tidak suka dengan orang yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan”

Begitu tambahan kata yang menyempitkan pikiran sekaligus membulatkan tekadku. Tanpa ragu. Malam harinya aku meninggalkan Ayah dan keluargaku. Ibu hanya mengantarkanku sampai depan pintu. Aku pun pamit mencari ilmu. Sesak tangis terdengar merdu dari bilik pintu. Kupalingkan wajahku dan berjanji untuk menghapus air mata itu dengan ilmu.

Semenjak itulah saya mejadi relawan pustaka di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Bergabung untuk mencapai visi misi bersama. Mengabdi dan mengabadikan ilmu semata. Mengabdikan diri dengan belajar mengelola dan memfasilitasi masyarakat. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Tujuannya menjadikan masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Selanjutnya, mengabadikan ilmu dengan membaca. Membaca buku, membacakan buku ke anak-anak, membaca untuk mengkampanyekan buku pada masyarakat, membaca untuk belajar, membaca untuk berkarya, hingga membaca agar hidup sejahtera.

Leave a Reply