Antara Rela dan Melawan
Bukan suatu hal yang mudah untuk menjadi relawan. Terlebih relawan pustaka. Tanggung jawab dan kewajiban harus selalu dihadirkan. Mulai dari kegiatan membaca buku. Mengisi tas yang selalu dibawa pergi dengan buku. Bercerita kepada orang disekitar tentang buku. Selalu ada di setiap kerumunan anak-anak, remaja dan orang tua yang tidak lain untuk membicarakan dan menceritakan tentang buku. Membangun komunikasi yang bagus terhadap orang lain dengan media buku. Menulis sebagai bentuk eksplorasi hasil pengalaman membaca buku. Mempublikasikan tulisannya ke media massa dan penerbit buku. Dan, mengajak orang disekitar untuk gemar membaca buku.
Menjadi relawan tidak seindah apa yang dibicarakan bukan? Begitulah pengalaman menjadi seorang relawan. Mungkin begitu juga teman-teman relawan lainnya. Melaksanakan kewajiban dan banyak hal di atas keterbatasan. Menebar kebaikan sebagai media investasi masa depan. Oleh sebabnya, relawan itu setidaknya memiliki dua sisi. Terkadang rela dan terkadang melawan.
Rela. Rela untuk berjuang memikirkan masa depan orang disekitar. Rela mengeluarkan tenaga untuk mencangkul tanah yang dipenuhi pepohonan lebat. Yang kemudian disulap sebagai tempat bermain dan belajar masyarakat. Rela setiap hari mengumpulkan pundi-pundi rupiah (sistem jimpitan 500-1000 rupiah per relawan) untuk membuat kegiatan masyarakat yang meriah. Rela menghutang untuk pengadaan barang penunjang.
Melawan. Melawan ketentuan yang telah disepakati diri sendiri dan teman-teman. Melawan untuk memenangkan ego sendiri dalam memenuhi kebutuhan. Dan melawan dengan segala bentuk perlawanan yang menyakitkan. Meski sampai saat ini tak berani diucapkan.
Diantara dua sisi yang dimiliki relawan, Pak Guru selalu menyampaikan beberapa hal. Lampaui keterbatasan dan tebarlah kebaikan. Keterbatasan. Keterbatasan bukan menjadi alasan. Alasan yang dijadikan untuk tidak melakukan banyak hal. Oleh sebabnya, keterbatasan harus dilawan. Meski tidak memiliki sesuatu (terbatas), akan tetapi kita masih bisa berpikir untuk mendapatkan (sesuatu yang diinginkan).
Kemudian menebar kebaikan. Menebar kebaikan itu sama dengan menebar harapan. Meskipun kita tidak berharap untuk mendapatkan imbalan atas kebaikan yang dilakukan namun barangkali setidaknya anak-anak keturunan kitalah yang nantinya akan mendapatkan keberkahan.