Membaca, adalah seharusnya menjadi kebutuhan manusia. Sebab dengan membaca, manusia mampu menjelajah banyak tempat dimana dompet kita kadang tak mampu menjangkau satu tempat saja :-D
Bahkan membaca adalah sebuah perintah awal Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya Muhammad dalam surat Al-‘Alaq ayat pertama “Iqro’ bismirobbikal ladzii kholaq” – Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”. Nah, jelas sudah seharusnya bagi yang tidak atheis bahwa membaca itu penting.
Sayang, begitu banyak manusia yang masih suka lalai dalam melakukan hal indah ini. Dimanapun tempatnya entah di kota, apalagi di desa. Sedang pemerintah rupanya abai terhadap hal membaca yang mungkin dianggapnya remeh ini. Lalu buku-buku yang terbit makin banyak, dan makin banyak juga yang hanya mampir sejenak di toko buku sebelum akhirnya pindah rak yang “terkucil” sampai pindah masuk dalam gudang. Masih untung kalau masuk ke buku-buku obral.
Ini bukan salah penulisnya, bukan salah bukunya yang berkualitas buruk dan penerbit tidak bisa disalahkan atas sekejapnya buku beredar di toko buku. Dan buku masuk harga obral itu tidak lantas menurunkan kualitas buku tersebut. Tidak menurunkan kualitas penulis yang rela 3 – 4 bulan menuliskan ide-idenya demi menjadi sebuah buku yang kelak beredar di banyak tempat dengan harapan banyak masyarakat yang membaca.
Ini bukankah salah satu sebabnya adalah minat baca masyarakat Indonesia yang masih lemah? Sementara banyak para pejabat pemerintah asyik bergumul dengan kemewahannya – beberapa dengan harta hasil korupsinya tanpa peduli kualitas masyarakatnya. Para penerbit dan orang-orang yang peduli dengan buku dan membaca bergerilya membudayakan membaca.
Ada Penerbit Diva Press Jogja yang memberikan buku-buku gratis yang sampai kini sudah lebih dari jutaan buku yang digratiskan. Juga Asma Nadia Publishing House yang banyak mendirikan perpustakaan di banyak tempat. Juga beberapa komunitas, seperti FLP yang sudah memiliki banyak sekali anggota dan pelatihan menulis. Sastra Pawon Solo yang sering mengadakan bincang sastra di Solopos FM dan Balai Soedjatmoko, Solo. Komunitas Sastra Alit Solo yang kontinue dengan bahas karyanya meski beranggotakan tak lebih dari selusin orang-orang yang peduli.
Cukupkah usaha segelintir orang ini untuk mencerdaskan bangsa dengan membaca?
Belum!
Butuh banyak tangan-tangan yang terulur, butuh hati yang peka dan butuh kerja nyata orang-orang yang peduli seperti mereka – Abaikan saja para pejabat yang menganggap dirinya terhormat itu.
Kita tahu minat baca Indonesia berapa di peringkat bawah di banding negara-negara lain. Sementara banyak negara lain yang menjadikan buku sebagai kebutuhan primer, kita yang di Indonesia ini masih menjadikan buku sebagai daftar belanjaan yang kesekian.
Saya telah membuktikannya tentang hal ini.
Berusaha memasyarakatkan buku dan membudayakan membaca di desa melalui taman baca dan kios buku di sebuah pasar tradisional, saya berjalan perlahan. Mempersilahkan orang yang datang untuk membaca, memberikan sebuah buku secara cuma-cuma pada pelanggan yang masuk dalam kategori mendapatkan buku gratis adalah salah satu usaha yang saya coba. Remeh, kecil, tak seberapa memang, tapi kalau tidak saya lakukan, saya akan makin malas untuk bersedekah.
Salah satu contoh, suatu ketika datanglah seorang anak kecil yang menarik tangan ibunya mendekat ke kios buku saya – yang saya kasih brand Natural Media. Ia, anak kecil itu meminta dibelikan buku belajar membaca pada ibunya. Begitu gigih anak itu ingin membaca terlihat dari raut mukanya yang serius membuka buku belajar membaca itu.
Datar saja muka ibunya melihat keinginan baik sang anak bahkan nampak judes, tak suka dengan kelakuan anaknya. Sang ibu yang memiliki surga di telapak kakinya ini memandang remeh sebuah buku yang ditunjuk si anak, beliau cuek dengan minat anaknya.
“Bu, aku mau buku ini,” ujar sang anak.
“Nggak usah, buat apa buku mewarnai!” tegas ibunya menolak.
Ada keganjilan dari kalimat yang diucapkan ibu itu. Pertama, buat apa buku. Ibu ini rupanya belum dapat hidayah betapa pentingnya sebuah buku bagi kehidupan. Beliau perlu dirukyah. Halah :-D
Keganjilan yang kedua, ibu ini entah buka huruf atau gimana, jelas bahwa yang diinginkan sang anak adalah buku belajar membaca, sebab dilihat dari usianya anak itu memang saatnya belajar untuk membaca. Juga judul buku tersebut adalah Belajar Membaca. Namun sang ibu mengatakan bahwa itu buku mewarnai. Lagipula kalaupun buku mewarnai, itu juga buku penunjang perkembangan anak. Semoga Allah membuka hati sang ibu ini.
Rengekan sang anak tidak dipedulikan sang ibu. Saya ingin sekali memberikan secara cuma-cuma pada anak ini buku yang dimaksudkan. Harganya tak seberapa, tapi ini penting buat anak itu. Namun sang ibu dengan cepat menarik tangan anaknya itu, pergi dari kios buku kecil ini.
“Sudah nggak usah buku. Ayo jajan saja!” kata sang ibu sambil berjalan menarik tangan anaknya dengan cepat.
Kalimat terakhir sang ibu ini yang membuat saya tertegun, buku masih kalah dengan sekedar jajan. Hingga lupa pada niat saya untuk memberikan buku gratis pada anak itu. Ah, sayang.. maafkan…
Nah, dari kejadian itu keinginan saya untuk memasyarakatkan buku dan membudayakan membaca di desa semakin naik level.
Bahwa perintah membaca dalam Al Qur’an itu belum masuk ke sanubari banyak orang. Bahwa kebutuhan buku – meski berharga murah, belum dipedulikan.
Saat itu, mimpi yang terus menerus menyembul tidak dalam tidur saya sejak dulu : Mendirikan perpustakaan atau taman baca di desa, semakin menggebu. Dan kini perlahan, mimpi itu mulai mewujud.