Oleh. Darmawati Majid*
Pada satu masa, saya pernah berpikir kalau kita barangkali tidak bisa menghindarkan bahasa ibu1 dari kepunahan. Terdengar pesismistis sekali ya?
Status kepunahan bahasa daerah selalu kembali didengung-dengungkan setiap Hari Perayaan Bahasa Ibu Sedunia digelar. Dari satu konferensi ke konferensi lain, juga dari beragam webinar yang mengundang para pakar bahasa berbicara. Pertanyaan yang mendominasi forum selalu sama: bagaimana caranya agar generasi muda terpanggil dalam upaya pelestarian bahasa daerah? Dan tebak saja hasilnya, jawaban pertanyaan itu menguap selepas acara berlangsung dan jika forum itu digelar secara daring, di kolom chat, pertanyaan itu berganti dengan soalan mengenai kapan sertifikat peserta akan dikirim.
Lalu, satu pertanyaan yang menyentak: apa untungnya menguasai bahasa daerah?
Kita tentu tidak dapat memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak memberi manfaat bagi dirinya sama sekali. Di beberapa daerah saya amati, banyak masyarakat yang memilih bercakap dengan bahasa yang bukan bahasa ibu mereka bukan karena tidak ingin disebut kampungan, melainkan karena alasan “ingin terkesan gaul”, “lebih mudah dimengerti”, dan hal lain yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkara identitas. Pendek kata, ini semata-mata soal pilihan bahasa. Pelan-pelan, tuntutan hidup dan teknologi turut memudarkan kemampuan berbicara dan menulis dalam berbahasa daerah.
Buku K. David Harrison yang berjudul When Languages Die (Oxford University Press, 2007) memberi fakta-fakta menggelisahkan seputar apa yang hilang dari peradaban manusia ketika satu bahasa punah. Harrison bertutur, bahasa yang punah berarti adanya ide yang lenyap. Kepunahan ide itu konon tidak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Sebagian besar bahasa di dunia tetap tidak dapat dijelaskan oleh para ilmuwan bahasa sehingga kita bahkan tidak tahu apa yang akan hilang dari kita. Namun, Harrison mengidentifikasi bahwa punahnya satu bahasa berarti hilangnya pengetahuan manusia tentang waktu, musim, penanggalan, mahluk laut, matematika, lanskap, mitos, siklus, musik dan hal-hal seputar keseharian manusia. Harrison juga mengungkap, ahli bahasa memprediksiskan hanya akan tersisa setengah dari 6.912 bahasa yang dipakai di seluruh dunia pada akhir tahun 2101. Rymer (Suara-Suara yang Sirna, dalam nationalgeographic.grid.id, 2012) menambahkan, punahnya suatu bahasa berarti lenyapnya pengetahuan mengenai tanaman obat, budidaya tanaman pangan, teknik irigasi, sistem navigasi, kalender musiman juga hal-hal perihal warna. Rymer bercerita bagaimana Pario Nimasaw, guru berusia 25 tahun yang ayahnya seorang pendeta. Ia masih menyimpan bungkusan katun putih kotor milih ayahnya yang berisi beberapa azimat: rahang harimau, rahang sanca, rahang bawah ikan sungai bergigi tajam, kristal kuarsa dan barang mistis lain. Nimasow bercerita dengan putus asa betapa iamewarisi peralatan ayahnya tanpa mengetahui mantranya karena sang ayah meninggal sebelum sempat mengajarkan mantra itu kepada Nimasow. Daya magis benda-benda peninggalan ayahnya itu tak berguna tanpa kata-kata dari mantra sang ayah.
Geliat insan perfilman tanah air dalam memproduksi film yang kental bahasa daerah patut diberi apresiasi (Yo Wis Ben, bahasa Malang; Yuni, Jawa -Serang; Liam dan Laila, Minang; Uang Panaik, bahasa Bugis; Turah, bahasa Tegal, dan Ziarah, bahasa Jawa). Upaya ini bisa dijadikan satu pintu masuk untuk mengenalkan dan melestarikan bahasa daerah ke masyarakat yang lebih luas. Film telah terbukti menjadi satu wahana efektif dalam mengenalkan satu paham, juga budaya. Film dan drama Korea telah berbicara banyak perihal ini termasuk meningkatkan antusiasme masyarakat Indonesia untuk belajar bahasa Negeri Ginseng itu. Dualingo mencatat bahasa Korea sebagai bahasa terpopuler kedua setelah bahasa Inggris yang dipelajari masyarakat selama pandemi (Koran Tempo, 13 Juni 2021).
Film Tilik yang telah ditonton sebanyak 24 juta kali juga memperkuat fakta bahwa bahasa daerah masih berterima dan mendapat tempat di hati orang Indonesia. Terlepas dari narasi film yang berbahasa Jawa dan fakta bahwa lebih dari 40% penduduk Indonesia adalah bersuku Jawa, film ini menunjukkan betapa kampanye mengenai bahasa daerah masih memungkinkan untuk dilakukan. Di beberapa daerah lain, film-film pendek yang pemerannya berdialog dalam bahasa daerah juga semakin tumbuh subur dan menimbulkan melankoli tersendiri bagi penutur yang tidak lagi bermukim di daerah asalnya. Demikian pula dalam konten TikTok dan Reels Instagram, serta Yotube Short, semakin banyak anak muda yang tergerak untuk membuat konten seputar bahasa daerah.
Selain film, ada satu fenomena menggembirakan perihal pelestarian bahasa daerah dalam ranah perkembangan buku anak. Selain adanya upaya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pada tahun 2022, merangkum sepuluh cerita anak Indonesia dan menerbitkannya ke dalam enam bahasa PBB (Inggris, Rusia, Spanyol, Mandarin, Perancis, dan Arab)—selengkapnya dapat dibaca melalui laman penerjemahan.kemdikbud.go.id—ada pula upaya Let’s Read Indonesia yang patut diberi acungan jempol. Dalam beberapa cerita anak yang saya baca (dan sangat disukai anak-anak saya), saya menemukan kearifan lokal Indonesia diperkenalkan dengan begitu baik (ilustrasinya juga keren) oleh Let’s Read.
Let’s Read merupakan satu platform buku anak digital yang saya percaya memberikan kontribusi besar dalam pengenalan kembali perihal bahasa daerah nusantara ke anak-anak Indonesia. Dari platform yang dikembangkan oleh The Asia Foundation dan bekerja sama dengan Yayasan Litara, dengan dukungan Estee Lauder, saya menemukan banyak sekali cerita anak yang telah diupayakan dikisahkan dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia: bahasa Jawa, Sunda, Bali, Batak Toba, dan Minangkabau, sebut saja cerita “Ikan Tipis” (penulis S. Titik Widya, ilustrator Devi Wulandari) yang mengangkat latar Kabupaten Juata Laut di Tarakan Utara, Kalimantan Utara; cerita “Bukan Anak Ikan” dari Sumatera Barat, tersedia dalam sepuluh bahasa termasuk bahasa Inggris, Indonesia, Minangkabau, dan Batak Toba (penulis Novi Erwida, ilustrator Al Nurul Gheulia); “Naning Ingin Seperti Ibu”, tersedia dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Tetum (penulis Witaru Emi, ilustrator Maria Arum); “Taman Terapung”, tersedia dalam 20 bahasa (penulis dan ilustrator Iem Tithseiha); dan Kolam Ikan Kakek (penulis Ammy Ramdhania, ilustrator Mel Darmawan).
Upaya Let’s Read ini sangat sesuai dengan tema perayaan Hari Bahasa Ibu Sedunia yang dicanangkan PBB tahun ini, Pendidikan Multibahasa: Kebutuhan untuk Mengubah Pendidikan, terutama seputar akses pendidikan untuk anak-anak dengan bahasa yang mereka kenali. Memang belum semua bahasa daerah nusantara terjaring dalam buku-buku Let’s Read. Akan tetapi, saya yakin, apa yang telah diinisiasi Let’s Read berdampak positif bagi pemerkayaan buku anak di Indonesia dan pemahaman mengenai keragaman budaya Indonesia. Cerita anak yang dapat diakses langsung melalui ponsel juga itu sangat digemari anak-anak juga orang tua (ini cerita kawan-kawan pengelola Forum Taman Bacaan Masyarakat di berbagai wilayah Nusantara yang menjadikan buku-buku cerita Let’s Read sebagai bahan mendongeng dan membaca nyaring). Let’s Read pun memungkinkan pengguna mencetak cerita-cerita yang termuat dalam aplikasi (untuk keperluan nonkomersial) sehingga kawan-kawan yang tinggal di daerah dengan akses internet yang belum stabil tetap dapat menikmati cerita-ceritanya.
Dari dunia perfilman dan buku cerita anak kita bisa belajar bahwa bahasa daerah Nusantara masih memiliki harapan besar untuk tetap hidup di hati penutur yang memilih untuk terus memakainya, bukan semata alasan sikap, melainkan ada kebanggaan yang menyelinap pelan-pelan, dan kerinduan terhadap kampung halaman yang terobati sedikit-demi sedikit.
Catatan:
- Bahasa ibu dalam tulisan ini dimaksudkan pada bahasa daerah pertama yang diperoleh di rumah.
*Pengurus Pusat Forum TBM