Oleh. Atep Kurnia*
Tradisi membeli baju baru untuk merayakan lebaran Idul Fitri sudah berurat berakar dalam kebudayaan Sunda, dan barangkali demikian pula pada budaya-budaya suku bangsa lainnya di Indonesia. Untuk menggambarkan betapa sudah lama tradisi tersebut berlangsung, saya hanya dapat menyandarkan diri pada pembacaan atas buku-buku Sunda dan koran Sipatahoenan.
Sepanjang yang berhasil saya telusuri, buku Sunda paling lama yang menyebut-nyebut pakaian untuk lebaran adalah Dongeng-dongeng Pieunteungeun (1867: 83) karya Penghulu Garut R. Hadji Moehamad Moesa. Kutipannya adalah sebagai berikut: “Isoekan rek gempoengan, ari maneh make badjoe ges boeroek, lamoen tatjan nepi ka oesoem lebaran dei, mowal wara di pangnjijenken dei badjoe-takwa!” (Besok akan ada pertemuan, sementara kau memakai baju yang sudah rusak, bila belum tiba pada musim lebaran lagi, kau takkan dibuatkan lagi baju takwa!).
Buku lainnya Boekoe Batjaan Sesela pikeun Moerid-Moerid Pangkat Ka Doewa (1907: 28) karya Mas Among Pradja. Di situ ditemukan kutipan berikut ini: “Dina powe lebaran, menak2 ngaranggona, kawas hadji” (Pada hari lebaran, bangsawan-bangsawan berpakaian seperti haji).
Selain karya Mas Among Pradja ada Roesdji djeung Misnem (1911, 1930: 65) karya A.C. Deenik dan Raden Djajadiredja. Dalam buku ini ada percakapan anak-anak pada tanggal 27 Ramadan mengenai apa saja yang sudah dibeli untuk keperluan berlebaran.
“Baroedak teh silih tanja djeung batoerna: ‘Geus boga naon, euj, keur lëbaran?’” (anak-anak saling tanya dengan kawannya: ‘Sudah punya apa kau untuk lebaran?)
“’Wah, dewek mah kakara dipangmeulikeun samping bae koe ema teh,’ tembal si Tahir” (“Wah, aku baru dibelikan kain sarung saja oleh emak,” jawab si Tahir).
Sementara mengenai Roesdi dan Misnem dibilang, “’Wah, Oedjang Roesdi djeung Nji Misnem mah përtjaja, euj, meureun geus sadia papakeanana,’ tjeuk baroedak” (“Wah, Ujang Roesdi dan Nyi Misnem tentu saja kayaknya sudah tersedia pakaiannya,” kata anak-anak).
Adapun dari sisi sejarahnya, sebagaimana yang dapat kita ikuti dari tulisan “Lebaran” (Poesaka Soenda No. 12, Juni 1924; dan Sipatahoenan, 6 Januari 1934) dikatakan bahwa kebiasaan membeli baju baru untuk berlebaran bukanlah tradisi yang berasal dari Arab, melainkan warisan dari kebiasaan pada masa Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, raja Majapahit mempunyai kebiasaan untuk membagi-bagi uang kepada segenap penduduk kerajaan. Setelah Majapahit runtuh, tradisi tersebut terus dilanjutkan.
Sebagai gambaran riil membeli baju baru untuk lebaran, antara lain, dapat kita lihat dari tulisan-tulisan dalam Sipatahoenan. AN menulis artikel “Ngeureut Mitjeun” (Sipatahoenan, 2 Januari 1935). Di situ antara lain AN menulis, “Di kampoeng mah geus djadi kabiasaan pisan dina poean Lebaran teh koedoe ganti pakean koe anoe wareuteuh, lamoen nepikeun ka henteu salin teh estoe hidji kahinaan anoe gede pisan. Erana teh saroea bae djeung henteu Rewah Moeloed” (Di kampung sudah menjadi kebiasaan pada hari lebaran harus berganti pakaian dengan yang baru-baru, bila tidak sampai tidak berganti itu sungguh suatu kehinaan yang besar sekali. Malunya sama dengan tidak Rewah dan Mulud).
Sebelumnya dia menyatakan bahwa kebiasaan membeli baju baru untuk lebaran bukan saja berlaku bagi orang yang berada, bahkan yang miskin sekalipun akan berusaha mengadakan baju baru. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi demi anak-anak dan istrinya (“Soemawonna anoe baroga, dalah anoe kaseboet henteu boga oge kapan merloekeun ngajakeun pakeeun dina poean eta teh. Lain bae keur manehna sorangan tapi keur saanak bodjona”).
Hal tersebut antara lain dipertegas oleh DS melalui artikelnya yang bertajuk “Tanggal sabaraha powe Lebaran?” (Sipatahoenan, 28 November 1935). DS menyebutkan paling tidak enam keperluan untuk menyambut lebaran, berdasarkan kebiasaan yang berlaku (“Noe enggeus2 noeroetkeun adat kabiasaan teh, ari Lebaran bangsa oerang perloe pisan koe”). Ia menempatkan keperluan yang yang pertama adalah baju baru baik dengan atau tanpa perhiasan baru (“a. pakean wareuteuh [alanjar] met en zonder perhiasan”).
Kebutuhan lainnya adalah kue-kue, minuman, nasi atau apa saja untuk sedekah (“b. koeweh-koeweh, inoemeun katoet sangoe atawa naon bae keur sidekah); zakat fitrah (“c. pitrah”); membersihkan rumah dan perabotan (“d. imah saparabotna katoet pakarangna dibersiban [gerepareerd]”); berkumpul bersama sekeluarga, termasuk anak dan cucu dari jauh (“e. koempoel ngarioeng safamilie [anak intjoe noe ti djaraoehna]”); petasan untuk orang tua atau anak-anak (“f. Pepetasan [kolot of boedak]”); uang untuk berbagai keperluan, seperti untuk bepergian dan lain-lain (“g. Roepa doeit keur roepa2 kaperloean, sapertina indit2an enz”).
BKS dengan berfalsafah mengatakan dalam tulisan “Lebaran” (Sipatahoenan, 24 November 1938): “Aja lebaran hade pamake, soetji dosa perdosa, asal ge AING mah AING, euweuh koeta euweuh kitoe. Ribrib soteh kadieuna oesoem badjoe, badjoean deui, djaman sembah sembahan deui” (Ada lebaran bagus berpakaian, suci dari dosa-dosa, asalnya AKU ya AKU, tidak ada yang begini dan begitu. Kehibukan lebaran ya pada zaman kemudian, musim baju berbaju lagi, zaman sembah-sembahan lagi).
Untuk keperluan baju atau pakaian lebaran, sejak lama toko-toko bahan pakaian atau toko pakaian berlomba-lomba mengiklankan barang dagangannya. Misalnya Toko De Maan di Pasar Baroe 60, Bandoeng, yang mengadakan obral khusus untuk bulan Puasa (Sipatahoenan, 28 November 1935). Kemudian ada Toko Padang di Groote Postweg Oost 245F-245G, Bandoeng (Sipatahoenan, 4 Desember 1937), Toko Halim di Wester Passar Straat No. 14-16 yang menyediakan berbagai kain batik (Sipatahoenan, 2 November 1939), berbagai jenis kain di Toko Europa, Pasar Baroe 67-69, Bandoeng (Sipatahoenan, 1 Oktober 1941) dan De Nieuwe Bazaar di Pasar Baroe No. 102, Bandoeng (Sipatahoenan, 8 Oktober 1941).
Dalam masa-masa demikian, tentu saja bagi orang yang tidak punya mengharapkan uluran tangan para dermawan seperti dr. Soehodo dan nyonya yang membagi-bagikan baju, zakat fitrah, berbagai makanan di Armenhuis Pasoendan, Tasikmalaya, dalam berita “Lebaran djeung noe Mariskin” (Sipatahoenan, 29 November 1938). Dan umumnya orang tidak mengharapkan kenaikan harga bahan baku baju untuk berlebaran seperti dalam suasan Perang Dunia Kedua (“Oendakna harga barang2”, Sipatahoenan, 6 Oktober 1941).
Keterangan foto:
Toko De Maan mengadakan obral khusus untuk bulan Puasa sejak 25 November 1935. Sumber: Sipatahoenan, 28 November 1935.
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang