Categories
Artefak Literasi Cerpen

Balada Muslih

Belum puaskah Kau ambil putra bungsuku!? Kautorehkan asa, pun pupuskan segalanya. Kausuguhkan susu bertuba. Meremehkan hati yang telanjur tertaut darah. Putra bungsuku Kaulenyapkan dalam sekejap. Kini si sulung Kaurebut jua. Seperti inikah cara-Mu menciptakan sandiwara?
“Doorrr  Doorrr ! desing tembakan melesat ke udara. Muslih geram bukan kepalang, wajah sinisnya terus menatap ke langit. Lelaki yang memang dulunya seorang Polisi itu masih meratapi kepergian kedua putranya. Ia sering ngeromet tak karuan, wajahnya mendongak ke atas dengan kegeraman. Orang-orang lalu lalang yang bertemu dengannya tak berani menyapapun menegur. Mereka khawatir, kejadian sepekan yang lalu terulang kembali. Kejadian pilu yang menimpa Ucok saat menegur Muslih untuk tidak mengucapkan kata tak senonoh. Nahas, Ucok malah terbaring di UGD Rumah Sakit Sobirin, kaki kanannya tertembak senpi. Ironis.

Delapan tahun aku menantikan kehadirannya, delapan tahun aku bersabar mendengarkan ledekan orang, delapan tahun aku …. Lidahnya kelu, air mata mengalir dari kedua sudut matanya.

Setelah kepergian kedua putranya, Muslih  tak lagi  berprofesi sebagai polisientah memberhentikan diri atau diberhentikan karena mentalnya tak stabil. Hari-hari dilalui dengan kobaran amarah dan kepedihan yang menyayat. Ia mondar-mandir di sekitar masjid bercat hijau daun di kampungnya, Marga Mulya. Badannya yang berisi; tinggi, kekar, dan berotot, membuat warga sedikit takut berhadapan dengannya. Tak sedikit dari mereka yang rela putar arah jika bertemu dengannya, mungkin karena senpi yang tak lepas dari genggaman tangannya atau karena perawakan yang menyeramkan, atau mungkin karena wajah sinisnya. Arrrrgh, entahlah.

Doorrr  Doorrr  Doorrr …! Muslih kembali menembakkan senpi. kali ini, sikapnya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Pak Mahmud, pengurus masjid, tak mampu menahan diri lagi. Ia sangat geram ketika Muslih menembak atap masjid hingga pecahan genting berangsur jatuh dan mengotori tempat sembahyang.

Cukup!! Teriak Pak Mahmud geram, pun Muslih menatapnya tajam. Orang-orang datang berkerumun, berdesakkan bak melihat sirkuit munahsirkuit yang dimainkan oleh monyet, yang kerap muncul antara bakda dzuhur hingga menjelang magrib.

Kau! Ehhh, si Tua, apa maumu? tukas Muslih dengan wajah memerah.

Apa mauku? Seharusnya aku yang bertanya, apa maumu!? Pak Mahmud berkacak pinggang.

Aku tak ada urusan denganmu, menyingkirlah, atau

Atau kau akan menembakku? Silakan! Jika tembakkan mampu menjernihkan pikiranmu, silakan!! tantang Pak Mahmud.

Sejatinya, Pak Mahmud ingin menasihati secara halus, tetapi ia tahu betul, Muslih enggan mendengarkan petuah siapa pun, tak terkecuali dirinya. Sungguh, Pak Mahmud ingin Muslih melampiaskan amarahnya dan melanjutkan hidup tanpa keterpurukan. Sebab ia sangat tahu rasanya kehilangan orang yang disayangi. Putrinya, Jannah, meninggal tiga tahun yang lalu karena kanker yang menyerang sel darah putih.

Kehilangan buah hati rasanya seperti kehilangan separuh nyawa bahkan lebih. Rasa sedih, kecewa, marah, menyesal, bercampur aduk menjadi satu. Namun kita harus percaya dan yakin bahwa keputusan Allah tidak akan pernah salah. Mengikhlaskan memang sulit, sangat sulit. Namun seiring bergulirnya waktu, rasa yang berkecamuk akan terkikis.

“Doorrr!” Tembakan melayang tepat di kaki kanan Pak Mahmud. Darah segar bercucuran. Dalam keadaan setengah tak sadartertatih, ia berusaha berjalan mendekati Muslih. Entah apa yang akan dilakukannya, sedangkan Muslih masih dalam keadaan yang samakedua tangan menjolor memegang senpi. Orang-orang berlari panik. Ada yang mencoba menghalangi Pak Mahmud, ada yang pulang ke rumah, pun ada yang diam di tempat.

Langkah Pak Mahmud terhenti. Kakinya terasa berat, mati rasa bak orang lumpuh. Raut datarnya tak mampu menyembunyikan rasa sakit. Sesekali ia mengeryitkan kening, mengelap peluh yang mengembun dengan sorban hijau lumut yang menggantung di lehernya. Rustam, salah satu warga yang rumahnya bersebelahan dengan Pak Mahmud berusaha mengangkat dan membawanya ke rumah sakit terdekat dengan dibantu beberapa warga.

Sehari setelah kejadian, Ranti, istri Muslih bertandang ke rumah sakit. Ia meminta maaf atas perbuatan suaminya. Pun menceritakan peliknya hidup usai kepergian putranya. Bungsu yang hanyut di sungai disusul sulung tabrak lari. Di akhir pembicaraan, Ranti memohon pada keluarga Pak Muslih untuk membebaskan suaminya yang telah bermalam di jeruji besi. Keluarga Pak Mahmud tertegun. Tak satu pun dari mereka yang melapor, bagaimana Muslih bisa ditahan!? Tanpa membuang waktu, keluarga Pak Mahmud datang ke penahanan Muslih, namun langkah mereka terhenti karena Muslih tidak ingin bertemu dengan siapa pun.

Biarkan aku berteduh di tempat ini ya Robb, hingga rasa ikhlas benar-benar kuteguk. Maafkan khilafku, kekufuran membutakan kasih-Mu, lirih Muslih sambil meneteskan air mata.(*)

Lubuklinggau, 25 Agustus 2017

Leave a Reply