Oleh. Atep Kurnia*
Dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indië No.2 (Eerste deel, Jaargang 4, 1870) ada surat singkat yang dibuat J. Hageman J.Czn bertautan dengan pajak-pajak yang dikenakan kepada rakyat kebanyakan (“somahan”) di Kabupaten Bandung pada tahun 1812. Keterangannya bersumber dari Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II (Dalem Kaum I, 1794-1829) dan di antaranya memuat istilah “Bras poewassa” (beras puasa) dan “Bras pitra” (beras fitrah).
Pada awal tulisan, redaksi Tijdschrift voor Neerland’s Indië menyatakan bahwa meskipun di parlemen Belanda (“Tweede Kamer”) telah dibahas usulan untuk meningkatkan harga kopi di Keresidenan Priangan, penting untuk mengungkap beban yang harus dipikul oleh rakyat kebanyakan di daerah tersebut. Hal ini terungkap dari surat J. Hageman J.Czn.
Kata Hageman, ia menemukan dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indië deel 1, 1869, yang diterimanya pada 20 September 1869 mengenai pajak lahan di kalangan orang Sunda di Priangan. Buktinya bisa dilihat dari buku De Preanger karya Andries de Wilde, yang disusun tahun 1805-1821 dan terbit tahun 1830 serta dari catatan perjalanan Dr. van Hoëvel. Katanya, hal tersebut mendorong pada asumsi kurangnya kesadaran mengenai kasus itu di Belanda.
Oleh karena itu, dia membagikan tiga sumbernya, yaitu jawaban berbahasa Melayu dari para bupati Sunda di Priangan atas pertanyaan dalam bahasa Inggris tahun 1812; catatan dari Residen Priangan Overhand pada 6 Februari 1849 mengenai sistem Priangan; dan catatan Residen C. P. C. Steinmetz untuk menjawab surat Menteri Pransen van de Putte bertitimangsa 25 April 1864 kepada gubernur jenderal.
Dalam tulisan ini, saya memfokuskan perhatian pada yang berkaitan dengan “Bras poewassa” dan “Bras pitra” di atas. Kedua kata tersebut muncul dalam “Lasten A°. 1812, op te brengen door do landbouwende bevolking: Per somahan — huisgezin was de belasting in natura” (Dibebankan A°. 1812, yang harus dibayar oleh para petani: Per somahan – rumah tangga, pajak dalam bentuk).
Jenis pajaknya ada sembilan macam. Pertama, “Padi dzakat”, yaitu sepersepuluh dari total padi yang produksinya lebih dari 2,5 caeng atau 25 pikul. Persepuluh padi itu dibagi lagi dua pertiga bagi bupati, keluarganya, dan pendukungnya dan sepertiganya bagi penghulu. Kedua, “Padi Sedekah” yaitu dari dua hasil produksi sebagai derma kepada kalangan agamawan, sesuai kehendak. Ketiga, “Bras poewassa” yang dibayarkan pada tanggal 10 bulan Puasa sebanyak sepuluh takar untuk kalangan agamawan.
Keempat, “Bras pitra” yang dipungut pada bulan Rajagong, Moeloed, Ruwah, dan disebarkan seperti nomoer pertama bagi orang miskin, yatim, para tahanan, sekendak hatinya. Kelima, “Sedekah” yang biasanya dilakukan setiap tanggal 10 kepada kalangan agamawan yang membawakan bacaan bagi orang yang meninggal, jumlahnya suka rela. Keenam, “Moeloed” yang dikeluarkan pada tanggal 12 bulan tersebut, dengan perlakuan seperti sebelumnya. Ketujuh, “Nabi Adam” yang dikeluarkan pada tanggal 14 bulan Ruwah. Kedelapan, “Soegoebowo” atau “Soegoehbowo” yang dikenakan kepada orang asing. Kesembilan, kepada bupati, setiap cutak atau distrik per tahunnya harus menyerahkan seekor kerbau seharga 2,5 keton arga, 15-20 pikulan beras, ayam, sayuran, dan buah-buahan. Di bawah uraian tersebut dibubuhi keterangan “Opgave van den Bopati van Bandong, 1812” (pernyataan dari bupati Bandung tahun 1812).
Kewajiban-kewajiban dan kesukarelaan-kesukarelaan itu harus ditanggung oleh setiap rumah tangga rakyat kebanyakan Bandung, selain kewajiban-kewajiban lainnya. Dua kewajiban yang harus ditanggung rakyat Bandung, dan umumnya Priangan, adalah kewajiban dinas mengurus kopi (“koffiedienst”) dan kewajiban umum untuk pemerintah negeri dan gupernemen (“algemeenen dienst, – Negri, Goepermen”). Kewajiban umum rakyat Bandung adalah “Toegoer toendan” (menjaga atau memelihara jalan), memotong rumput di kantor pos (“Grassnijden op de posterijen”), dan menjadi bagian dari tim kerbau yang harus berjaga di jalan yang curam (“Buffelspannen bij steile wegen”).
Berbagai kewajiban di atas setengah abad lebih kemudian direformasi dengan dihapuskannya Sistem Priangan (Preangerstelsel) pada 1870. Pada dasarnya reformasi itu membebaskan penduduk dari beban kerja pengabdian kepada penguasa pribumi dan memecah Priangan dan melibatkan lebih banyak pegawai bangsa Eropa (Keuntungan kolonial dari Kerja Paksa: sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870, 2014: 295). Dengan terbitnya aturan baru, terutama Stbl. No. 122, maka hak para bupati Priangan untuk memungut pajak dalam bentuk uang, barang, dan bakti (ngawula) kepada para kepala dan pemuka negeri atau yang lainnya dihapuskan.
*Pengurus pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM).
Keterangan foto:
Pernyataan Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II tahun 1812. Sumber: Tijdschrift voor Neerland’s Indië No.2 (Eerste deel, Jaargang 4, 1870).