Di Bangku SMA Menemukan Jati Diri
Ketika menjadi pelajar SMA, saya mulai bertransformasi menjadi remaja yang berbeda. Pertama, setelah menemukan bahwa di depan sekolah ada toko kecil tempat persewaan buku. Meski mencekik uang saku yang tidak seberapa itu, buku-buku di sana sangat mengobati kehausan saya pada bacaan yang asyik.
Karena harus ekstra perhitungan, maka setiap novel yang saya sewa pasti saya target supaya selesai dalam 24 jam. Saya membacanya kapanpun dan di manapun: di kantin sambil jajan, di halte sambil menunggu bus, di perjalanan pulang dalam bus, tapi tidak di rumah. Simbah melarang saya membaca buku selain buku-buku pelajaran sekolah. Kurang kerjaan, tidak ada faedahnya, dan segudang nasihat lain.
Dari toko persewaan kecili itulah saya mengenal Raditya Dika, Andrea Hirata, sampai Donny Dirgantara (penulis novel ‘5 cm’). Lagi-lagi perpustakaan sekolah menjadi tempat yang mengecewakan. Tidak ada buku bacaan menarik –selain buku pelajaran, tentu saja—kecuali majalah sastra Horison. Itupun sering sekali telat kirim. Sang kurir tidak pernah mendapat teguran berarti dari pihak sekolah, sehingga drama telat itu terus saja berlanjut.
Karena sering melihat saya baca buku di mana-mana, beberapa teman dan guru ramai-ramai menjuluki saya ‘kutu-buku’. Ditambah saya yang kala itu berkaca mata besar dan tebal. Saya hanya tertawa saja disandangi julukan itu. Sebab, nyatanya saya memang suka baca, tapi hanya baca novel dan komik. Buku pelajaran hampir tidak pernah saya baca, kecuali buku bahasa Indonesia. Bahkan, ketika itu, saya sangat ingat, cita-cita besar saya adalah membeli KBBI aseli dan membawanya ketika pelajaran Bahasa Indonesia. Bukan apa-apa sih, agar terlihat keren saja.
Kedua, kedatangan mahasiswa magang di sekolah yang sekaligus membawa masuk sebuah komunitas sastra. Komunitas Sastra Bunga Pustaka (KS Bupus) namanya. KS Bupus membuka cabang di sekolah saya. Betapa bangga ketika saya ditunjuk menjadi ketua cabangnya. Lebih bahagia lagi ketika para mahasiswa itu bersedia meminjami novel-novel mereka secara cuma-cuma.
Sejak saat itu saya dapat julukan sastrawan sekolah. Bangga sekali. Suatu kali, karya saya dimuat majalah nasional, hal itu seperti semakin melegitimasi saya yang memang sastrawan sekolah. Sayang, baru seumur jagung KS Bupus bubar. Tidak ada yang menaruh minat padanya kecuali saya.

Menjadi Relawan Pustaka
Disadari atau tidak, beberapa potongan kisah di atas menuntun saya memilih jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kampus menjadi tempat saya menyibukan diri dengan buku-buku yang memang saya cintai: buku-buku sastra. Sampai pada akhirnya tahun 2012 saya bertemu sebuah komunitas penulis dongeng: Komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK).
Setelah pertemuan itu, kehidupan saya seolah  seperti dalam dongeng: menulis dongeng yang hidup dalam kepala saya serta berbagi cinta pada anak-anak di sanggar RKWK. Berbagi tentang hal-hal yang pernah saya alami dan hal-hal yang saya pelajari. Akhirnya, saya menjadi relawan. Sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya.
Sejak saat itu, sebagian hati saya telah terisi dengan kegiatan berbagi cinta pada anak-anak di RKWK. Namun, di awal tergabung dengan komunitas ini, kadar semangat saya masih fluktuatif. Kadang saya berpikir, “Apa sih gunanya saya selalu datang ke mari?” kebetulan jarak antara kos yang dekat kampus dengan sanggar tempat kami berbagi cukup jauh.
Sekali waktu saya pernah juga berpikir begini, “Kami cuma main-main seperti ini. Menghabiskan waktu, tenaga, dan kadang pikiran,”. Tapi saya tetap datang juga. Sebab, seletih apapun keadaannya, ketika datang ke sanggar, kemudian disambut antusias oleh anak-anak, rasanya ajaib: letih itu tiba-tiba hilang. Yang tersisa hanya rasa puas dan berarti. Kalau Chairil pernah mengatakan “Sekali berarti setelah itu mati!”, saya sungguh tidak ingin mengamininya. Seharusnya, “Sekali berarti, setelah itu lagi, lagi, dan lagi!”. Saya ingin hidup menjadi orang yang berarti untuk orang lain. Selalu.
Tidak hanya itu, kadang, saya juga berpikir, “Kenapa saya menulis dongeng untuk anak-anak? Nggak keren sekali sih, nulis esai kek, nulis karya ilmiah kek, atau apalah yang susah dikit bahasanya,”. Meski nyatanya menulis dongeng juga tidak mudah –sungguh banyak pertimbangan yang harus kita pikirkan, baik segi konten maupun bahasanya. Sebab, segmen pembaca kita adalah anak.
Tapi tetap, pada akhirnya, saya tetap menulis dongeng. Membayangkan anak-anak yang membaca dongeng itu tersenyum, matanya berbinar, imajinasinya tumbuh melesat, saya bahagia! Bahkan, bukan tidak mungkin saya hidup dari menulis dongeng. Banyak penulis senior yang produktif dan mampu menata hidupnya dengan baik.[]