Siang tadi, tanpa sengaja, saya bertemu dengan salah satu kepala sekolah Madrasah Aliyah yang ada di wilayah Purwokerto. Beliau pun bercerita tentang keresahannnya. Ada seorang anak yang biasa ranking satu di sekolahnya dan belum lama juga si anak itu mendapatkan beberapa penghargaan yang membuat bangga seluruh warga sekolahnya. Namun, tidak dengan si anak itu. Sebab setelah mendapatkan penghargaan, ia tidak lagi mendapatkan ranking satu perihal beberapa guru tidak memberikan nilai yang sepadan dengan alasan beberapa kali tidak mengikuti pelajarannya. Padahal ketidakikutsertaan dalam pelajaran itu si anak tengah mempersiapkan diri untuk perlombaan agar mendapatkan hasil maksimal.

Di sinilah, terkadang membuat saya merasa sedih. Melihat seorang guru terlalu saklek dalam menilai hasil belajar siswa. Padahal dengan cara seperti itu, seorang guru dapat mengutuk semangat belajar dan perkembangan potensi siswa. Selebihnya siswa tidak lagi bisa bergerak bebas untuk mengekspresikan kemampuannya yang barangkali dengan cara seperti ini bisa mengharumkan nama sekolahnya. Sayangnya seorang guru terkadang tidak berpikir sampai sejauh itu. Lebih memperhatikan nilai hasil ulangan dan kurang memperhatikan keterampilan siswa dan masa depannya.

Harapannya cara pandang seperti inilah yang seharusnya tidak ada lagi dalam mindsite seorang guru. Guru setidaknya objektif dalam menilai dan memahami karakteristik tiap individu siswa yang berbeda. Sebab saat di kehidupan siswa nantinya, yang ditanyakan masyarakat bukan sekadar seberapa besar nilai yang diperoleh saat sekolah, namun seberapa besar keterampilan yang dimilikinya yang bisa memberikan manfaat dan keberkahan bagi orang-orang di sekelilingnya. Sekilas cerita ini semoga bisa mengantarkan pendidikan di Indonesia menjadi lebih indah.

Di sisi lain, dari peristiwa ini saya pun menjadi belajar dan tahu. Setidaknya ada tiga hal yang akan kita dapatkan saat berjumpa dengan orang dalam keadaan resah. Yakni pengalaman, ilmu pengetahuan, dan harapan.