Oleh. Atep Kurnia*
Marcia Davidson dalam Books that Children can Read: Decodable Books and Book Leveling (2013) menulis begini: “In many countries, children often have little or no exposure to print prior to entering school. They are eager to learn, but they may have limited vocabulary and the language of instruction frequently is not their mother tongue. For these children, learning to read is an enormous challenge. They will learn to read only if the instruction and materials are designed for their level of skills upon entry”.
Pasase itu dalam Peraturan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 030/P/2022 Tentang Pedoman Perjenjangan Buku diterjemahkan menjadi begini: “Di banyak negara, anak-anak sering kali hanya mendapatkan sedikit paparan atau tidak sama sekali oleh buku cetak sebelum masuk sekolah. Mereka ingin sekali belajar, tetapi kosakata mereka mungkin terbatas, dan bahasa pengantar sering kali bukan bahasa ibu mereka. Bagi anak-anak ini, belajar membaca adalah tantangan besar. Mereka hanya akan belajar membaca jika instruksi dan materi pembelajaran disesuaikan dengan tingkat kemampuan mereka saat ini.”
Saya tak meragukan ungkapan Marcia Davidson di atas, mengingat dia memang pakarnya soal membaca. Karena sebagaimana yang saya baca dari ies.ed.gov dan internationalmtss.com, Marcia adalah seorang dengan taraf pendidikan pascadoktoral di The Georgia State University Postdoctoral Training on Adult Literacy (G-PAL) dan penasihat teknis senior dalam membaca (Senior Technical Advisor in Reading) di The Global Education Division of FHI360.
Dari ungkapan Marcia di atas, saya menyoroti kalimat “Mereka ingin sekali belajar, tetapi kosakata mereka mungkin terbatas, dan bahasa pengantar sering kali bukan bahasa ibu mereka”. Kalimat-kalimat tersebut dengan tegas menghubungkan keterkaitan erat antara kegiatan membaca anak, buku bacaan anak, bahasa pengantar dan bahasa ibu.
Artinya, dapat dibilang Marcia Davidson mau mengatakan bahwa bila seorang anak yang hendak atau punya minat belajar membaca sebaiknya diberi buku bacaan anak dalam bahasa ibunya sebagai bahasa pertamanya. Bukan dalam bahasa kedua atau bahkan bahasa asing, yang agar bisa membacanya mengisyaratkan upaya-upaya untuk menguasai dan mempelajari terlebih dahulu. Dengan demikian, bila sejak awal anak-anak diberikan buku bacaan dalam bahasa ibu, kemungkinan besar mereka akan cepat memahaminya, karena tidak terkendala bahasa yang digunakan dalam buku tersebut.
Tetapi apabila anak-anak tersebut sejak lahir hidup dalam situasi dwibahasa atau lebih, barangkali lain soalnya. Mereka tidak akan begitu terkendala dengan urusan kosakata dan sudah terbiasa berpikir dengan logika bahasa yang berbeda-beda saat menghadapi buku bacaan dalam bahasa kedua atau bahkan bahasa asing yang digunakan di lingkungan rumah dan sekitarnya saat mereka lahir dan tumbuh.
Situasi kedwibahasaan atau lebih itu mengingatkan saya pada tema yang diusung UNESCO dalam kerangka merayakan International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional ke-24 yang jatuh pada 21 Februari 2023. Tema yang diangkat adalah “multilingual education-a necessity to transform education” (pendidikan multibahasa: kebutuhan untuk mengubah pendidikan).
Sementara Audrey Azoulay, direktur jenderal UNESCO, sebagaimana yang saya baca dari unesco.org, menyampaikan pesan: “This is also the aim of this International Day: celebrating these ways of expressing the world in its multiplicity, committing to the preservation of the diversity of languages as a common heritage, and working for quality education – in mother tongues – for all” (Ini juga tujuan hari internasional ini: Merayakan cara-cara mengungkapkan dunia dalam keserbaragamannya, meneguhkan pemeliharaan keragaman bahasa sebagai warisan bersama, dan bekerja untuk mutu pendidikan – dalam bahasa ibu – untuk semuanya).
Pada awal pesan perayaan ke-24 juga, bahkan, Audrey menegaskan mengenai sangat pentingnya pendidikan berbasis bahasa ibu. Katanya, “While mother-tongue-based education is essential to the full development of individuals and to the transmission of linguistic heritage, 40% of the world’s students do not have access to education in the language they speak or understand best” (Meski pendidikan berbasis bahasa ibu itu esensial bagi perkembangan individu-individu secara utuh dan bagi penyebaran warisan bahasa, tapi 40% para siswa di dunia tidak punya akses kepada pendidikan dalam bahasa yang mereka ucapkan atau pahami dengan sangat baik).
Dengan demikian, apa yang disampaikan Marcia Davidson dan yang dipesankan oleh Audrey Azoulay, mengajak kita untuk bersama-sama menengok, mempertimbangkan, dan memilih bahasa ibu sebagai bahasa pengantar untuk buku-buku yang akan diperkenalkan kepada anak-anak. Karena sebagaimana yang sudah saya ungkapkan, bila sejak awal anak-anak diberikan buku bacaan dalam bahasa ibu, mereka akan cepat memahaminya, karena bahasa tersebut terbiasa mereka ucapkan dan mereka pun terbiasa berpikir dalam kerangka bahasa tersebut. Mereka tidak usah mempelajari dulu bahasa baru agar dapat membaca sebuah buku.
*Divisi Litbang, Pengurus Pusat Forum TBM