Bel tandai usai sekolah berbunyi. Ibu Elis yang mengajar di kelas kami pun berhenti mengajar dan mengakhiri pelajaran.
“Horeeeee…….” kami pun serentak berteriak girang.
Sebelum keluar kelas, bu Elis mengajak kami untuk berdoa bersama.
“Selamat siang bu……”, ucap kami bersama memberi salam kepada bu Elis.
“Selamat siang anak-anak”, balas bu Elis sambil mempersilakan kami untuk keluar kelas. Dengan tertib sesuai deretan bangku paling depan sampai belakang, satu per satu kami bersalaman dengan bu Elis lalu keluar kelas.
Suasana dingin dalam kelas berubah jadi terik menyengat badan. Siang ini cuaca di langit begitu cerah. SMP tempat sekolahku letaknya cukup jauh dari perumahan warga. Mengayuh sepeda yang melewati daerah persawahan memanjakan pemandangan kami setiap hari, baik pergi maupun pulang sekolah.
Bersepeda bersama-sama menjadi kebiasaan kami. Belum pernah saya melihat seorang siswa mengayuh sepeda dan berjalan sendiri. Dengan bersama-sama kami bisa bercerita, tertawa, dan bersenda gurau bersama di jalan, tanpa mengabaikan keselamatan dengan saling mengingatkan untuk hati-hati.
Perjalanan siang ini, aku dan Monci teman kelas SMP bersepeda santai. Kadang kami dilewati oleh teman-teman yang mengayuh lebih cepat. Asyik bercerita dan tertawa tiba-tiba Monci terjatuh dari sepeda karena melintasi sebuah batu. Aku kaget dan hanya tinggal kami berdua, sedangkan teman-teman lain sudah tak tampak.
Aku menghentikan sepeda dan mengangkat Monci. Lutut dan siku Monci mengalami luka lecet. Ia meringis kesakitan.
“Bagaimana ya sehingga bisa mengobati luka Monci?” tanyaku dalam hati.
Tak jauh dari kami, terlihat empat batang pohon pisang di pinggir jalan dekat sawah. Aku teringat, ayah pernah mengobatiku dengan menggunakan guratan pisang. Memakai penggaris, aku menggurat batang pisang.
“Sekarang guratan pisang akan kutempelkan pada luka siku dan lututmu, tapi kamu harus bisa tahan nyeri ketika ditempelkan ke lukamu,” kataku kepada Monci.
“Aduuhhhh…… stop….. stop…,” teriak Monci.
Aku tak peduli dengan teriakkannya. Kutempelkan terus guratan pisang ke lukanya. Tampak lukanya mulai kering dan tidak mengeluarkan darah lagi.
Kami melanjutkan perjalanan, namun Monci kelihatan susah mengayuh sepedanya. Kami beristirahat sejenak dan menyuruh Monci menggerakan lutut untuk peregangan sakitnya.
“Andris… kamu hebat dan pintar, bisa obati luka dengan guratan pisang. Beruntung memiliki teman sepertimu,” ucap Monci kepadaku.
Tak terasa, kami akan berpisah menuju ke rumah masing-masing.
“Terima kasih banyak Andris, maaf agak merepotkanmu hari ini, sampai mau menemaniku tiba di rumah.”
“Sama-sama Mon, tidak merepotkan. Sebagai teman kita saling membantu,” balasku dan kemudian pulang menuju rumahku.
Keterangan: sumber gambar dari internet