Categories
Artefak Literasi Cerpen

Terima Kasih, Andris

Bel tandai usai sekolah berbunyi. Ibu Elis yang mengajar di kelas kami pun berhenti mengajar dan mengakhiri pelajaran.

“Horeeeee…….” kami pun serentak berteriak girang.

Sebelum keluar kelas, bu Elis mengajak kami untuk berdoa bersama.

“Selamat siang bu……”, ucap kami bersama memberi salam kepada bu Elis.

“Selamat siang anak-anak”, balas bu Elis sambil mempersilakan kami untuk keluar kelas. Dengan tertib sesuai deretan bangku paling depan sampai belakang, satu per satu kami bersalaman dengan bu Elis lalu keluar kelas.

Suasana dingin dalam kelas berubah jadi terik menyengat badan. Siang ini cuaca di langit begitu cerah. SMP tempat sekolahku letaknya cukup jauh dari perumahan warga. Mengayuh sepeda yang melewati daerah persawahan memanjakan pemandangan kami setiap hari, baik pergi maupun pulang sekolah.

Bersepeda bersama-sama menjadi kebiasaan kami. Belum pernah saya melihat seorang siswa mengayuh sepeda dan berjalan sendiri. Dengan bersama-sama kami bisa bercerita, tertawa, dan bersenda gurau bersama di jalan, tanpa mengabaikan keselamatan dengan saling mengingatkan untuk hati-hati.

Perjalanan siang ini, aku dan Monci teman kelas SMP  bersepeda santai. Kadang kami dilewati oleh teman-teman yang mengayuh lebih cepat. Asyik bercerita dan tertawa tiba-tiba Monci terjatuh dari sepeda karena melintasi sebuah batu. Aku kaget dan hanya tinggal kami berdua, sedangkan teman-teman lain sudah tak tampak.

Aku menghentikan sepeda dan mengangkat Monci. Lutut dan siku Monci mengalami luka lecet. Ia meringis kesakitan.

“Bagaimana ya sehingga bisa mengobati luka Monci?” tanyaku dalam hati.

Tak jauh dari kami, terlihat empat batang pohon pisang di pinggir jalan dekat sawah. Aku teringat, ayah pernah mengobatiku dengan menggunakan guratan pisang. Memakai penggaris, aku menggurat batang pisang.

“Sekarang guratan pisang akan kutempelkan pada luka siku dan lututmu, tapi kamu harus bisa tahan nyeri ketika ditempelkan ke lukamu,” kataku kepada Monci.

“Aduuhhhh…… stop….. stop…,” teriak Monci.

Aku tak peduli dengan teriakkannya. Kutempelkan terus guratan pisang ke lukanya. Tampak lukanya mulai kering dan tidak mengeluarkan darah lagi.

Kami melanjutkan perjalanan, namun Monci kelihatan susah mengayuh sepedanya. Kami beristirahat sejenak dan menyuruh Monci menggerakan lutut untuk peregangan sakitnya.

“Andris… kamu hebat dan pintar, bisa obati luka dengan guratan pisang. Beruntung memiliki teman sepertimu,” ucap Monci kepadaku.

Tak terasa, kami akan berpisah menuju ke rumah masing-masing.

“Terima kasih banyak Andris, maaf agak merepotkanmu hari ini, sampai mau menemaniku tiba di rumah.”

“Sama-sama Mon, tidak merepotkan. Sebagai teman kita saling membantu,” balasku dan kemudian pulang menuju rumahku.

Keterangan: sumber gambar dari internet

Categories
Artefak Literasi Puisi

Masalah Waktu

Waktunya tiba,

Betapa senangnya hatiku

Terbayang kebersamaan akan dahaganya kami akan bekal dunia tuk seumur hidup

Waktunya tiba,

Semangat aku duduk dibangku merah steanless tepat di tengah aula mini penuh aura semangat menimba ilmu

Waktunya tiba,

Aku termangu, bingung, sendiri

Wakunya tiba sekarang,

Tak ada teman sekarang,

Sepi berteman hening di aula ini,

Waktu dulu,

Sepakat bersama,

Kompak bersama,

Kebersamaan bersama,

Namun saat waktunya tiba,

Semua hanya masalah waktu

Lubuklinggau, 28 Januari 2018

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Putih Abu-abu

Tulisan ini ada untuk aku dan mereka yang akan menjalani perpisahan dengan seragam putih abu-abunya.

Ada tawa lepas yang tercipta dari dalam ruang kelas tanpa guru. Entah sambil bermain kartu, curhat tentang mantan/gebetan, sambil membicarakan teman baru jadian hingga masa depan, ada yang tertidur pulas di bangku paling belakang, ada yang masih sibuk dengan mengerjakan tugas, dan bahkan satu dua orang yang masih sibuk membahas soal kemarin siang.

Ada jam pelajaran yang dipakai untuk pergi Ke kantin bahkan tidur di barisan paling belakang sambil menggelar tikar. Izin ke toilet sebentar, kenyataannya kembali ke kelas saat pergantian jam atau bahkan sampai pulang.

Ada rindu yang bergelora tiap kali mengingat upacara hari senin, dimana banyak teman yang berlarian untuk bersembunyi di kelas karena atribut yang tidak lengkap, hingga tertangkap basah dan harus berjemur hingga jam makan siang.

Ada cinta masa muda yang diantara remaja, baik dengan adik kelas, kakak kelas bahkan teman sekelas. Atau bahkan tak sedikit yang menjahili guru-guru muda.

Ada bangku-bangku kosong yang setiap saatnya menunggu untuk ditempati seakan berkata “jangan tinggalkan kami”. Ada air mata yang tumpah saat satu Persatu teman seperjuangan pergi. Semata berpisah untuk saling menggapai mimpi. Sekuat apapun tangan menggenggam, langkah akan selalu mengajak berjalan kedepan. Yang pada akhirnya, jari jemari yang saling terkait mau tak mau harus di lepaskan.

Ingat! Ketika menjadi dewasa terasa sulit.

ketika setiap langkah yang diiringi dengan lara yang membara menjadi saksi bisu perjalanan yang di penuhi dengan keyakinan, walau semesta dan seisinya di masa depan masih tetap menjadi misteri, percayalah! Cangkir antik nan indah yang berharga ratusan juta rupiah awalnya hanya seonggok tanah liat tak berupa. Disodok, ditinju, dibakar di perapian, di dingin kan kembali, lalu di bakar kembali hingga ia di Poles sedemikian menarik sampai menjadi barang berharga.

Ketahuilah.. Kita pun demikian dan aku percaya, semua hal telah terencana dengan begitu sempurna pada waktunya.

Teruntuk aku dan teman-teman ku yang akan segera meninggalkan keriangan masa SMA, yang akan berkuliah, bekerja hingga memutuskan untuk langsung menikah, berbahagialah. Semoga pilihan mu itu akan menuntunmu pada cita-cita yang selama ini kau impikan.

“Coming together is a beginning, keping together is progress, working together is success.” -Henry Ford

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Aku Memilih Kuliah

Meski kulia bukan satu-satunya jalan melanjutkan kehidupan setelah SMA, aku tetap memilih untuk kuliah. Meski ada “kamu” yang menantikan ku selepaa wisuda, aku tetap memilih kuliah..

Aku memilih kuliah karena aku ingin bekerja dan mendapat uang dengan cara yang ku mau. Tunggu, apakah kuliah menjamin uang dan pekerjaan? Sebenarnya tidak, namun ada titik dimana kita harus berkuliah untuk bisa naik ke level selanjutnya dan pekerjaan kita. Yang kuliah jamin adalah pilihan, kemampuan dan pengetahuan yang lebih dari pada hanya sekedar lulus SMA. Karena semakin banyak ilmu yang kita punya, maka semakin bebas kita memilih untuk menjadi apa kita nanti.

Aku memilih kuliah dari pada langsung menikah setelah lulus SMA, meski aku tau bahwa setelah menikah mungkin saja aku masih bisa berkuliah. Tapi aku juga tau bahwa setelah nikah nanti semua urusan rumah tangga akan mengalihkan niatku kesana. Lagipula aku ingin memberi kesempatan kepada diri ku dan juga pasanganku nanti untuk terus mencari ilmu seluas-luasnya untuk kemudian kami bertemu dan menceritakan semuanya disela-sela meributkan isi rumah tangga hehe…. kemudian kami akan mempraktikan ilmu yang kami punya supaya bermanfaat bagi orang-orang ditempat kami kelak. Tentunya hidup kami akan lebih berwarna bukan?

Aku memilih kuliah meskipun aku seoranng perempuan yang katanya akan berlabuh di dapur saja. Hai kamu kaum sanguinis. Catat ini; meski kelak aku berkerja di dapur dan hanya sekedar sebagai ibu rumah tangga, setidaknya aku tidak perlu mengeluarkan biaya berpuluh puluh juta hanya demi memasukan anak-anakku kursus menjelang ujian nasional. Aku akan menjadi dosen di keluargaku sendiri dan ilmu ku takan sia-sia.

Sederhananya aku memilih kuliah karena aku ingin bercerita ketika orang tuaku penasaran, aku mampu mencari tau. Ketika anak-anakku banyak bertanya, aku suka untuk menjawabnya. Ketika aku diskusi, aku tidak diam saja karena aku tau sakitnya ketidaktahuan.

Jika sekali lagi aku melihat keluar jendela, sepertinya memang aku wajib berkuliah untuk meninggi setinggi-tingginya. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk melindungi karena hari ini sudah lupa pada bumi. Pada akhirnya semua akan tiba pada alasan sesungguhnya; aku memilih untuk kuliah karena tuhanku menyuruhku. Tuhan ingin meninggikan derajat orang-orang yang menuntut ilmu. Lalu apalagi alasanku untuk takut dan tidak melanjutkan perjuangan?

Raihlah mimpi dari tidur didalam bangunmu. Jadikan ia nyata dalam mata dan hatimu. Karena mimpimu akan lahir dimana saja tanpa kau minta. Jadikan tidurmu dalam tempat lain melahirkan mimpi-mimpi baru untuk kelak kau bawa pulang. Karena sejatinya kau selalu tau ilmu adalah kekuatan dan kerinduan yang pasti mengantarkanmu pulang kembali.

Jangan pernah takut untuk pergi karena mimpimu berhak untuk diperhatikan layaknya kau menghampiri kebahagiaan yang entah datangnya dari mana. Pergilah… maka kau akan tau jawabannya.[]

Categories
Artefak Literasi Puisi

MENYATU (Puisi-puisi Saunichi Agus Sauchi)

KAUKAH CINTA ITU??

Aku berhenti dari cinta dalam waktu yang tak kuketahui

Sampai ada satu tangan yang tulus menyambut

Dalam gelap yang selama ini mengurung

Kaukah cinta itu??? (Tanjung Aur, 11 Desember  2017)

 

MENYATU

Aku hanyalah angin yang memintal rindu

Selanjutnya senja yang mengantar sunyi

Dalam dimensi-dimensi aku ada

Berubah untukmu, hadir untukmu

Sampai kau tiada dan

Aku, kita, menyatu

Dalam nirwana. (Tanjung Aur, 23 Desember 2017)

CINTA TAK BERBALAS

Aku tak bisa mengurai rasaku lebih jauh lagi

Karena sekat yang kau buat begitu rupa

Kenapa? Kau cinta tapi meluka

Membohongi perasaanmu

Membakar gelisah, api dalam sekam

Lihatlah mata ini

Jika benar yang kau ucap

Tentang  perasaan fiksi

Maya cinta yang kau hindari

Kau bohong,

Matamu berbicara beda

Kulihat resah begitu nyata

Jujur.. Aku mulai jatuh cinta padamu

Tapi aku hanyalah hujan, bukan awan yang meneduhmu saat panas

Aku hanyalah gelisahmu sesaat

Yang hadir menutup luka

Aku akan berubah menjadi gerimis, menarik fragmen rasaku

Memutar waktu kita

Menghapus memori  maya

Meninggalkan embun sebagai tanda

Bahwa cintaku begitu sempurna.

(Tanjung Aur, 26 Desember 2017)

Categories
Artefak Literasi Puisi

Gelisah

Malam hadir membawa sunyi

Khayalan menerawang jauh di angkasa

Membukakan jendela – jendela harapan

Menyisihkan tirai kegundahan jiwa

Bias kegelapan memudarkan rasa

Memudarkan beribu warna sinar

Menghembus jauh dari penjuru arah angin

Memutar jiwa menguak makna ilusi

Rintik merrengek ikut meresah

Menggugah hati saat gelisah

Air hujan menetes tanpa jeda

Membasahi bumi seolah menduka

Gema kegalauan kian berlalu

Gemercik air terdengar mengalun

Hembusan angin membelai halus

Membangkit menggugah kalbu