KAMPOENG KAMI
kampung kami adalah literasi. ditepi ladang diantara rimbun rerumput. ditepinya air kali mengalirkan sunyi.rumah kami dikapung literasi tempat kami merajut benang menjadi pepohon yang rimba. atapnya disusun dari ilalang tempat para nabi melepas sauh.di kampung literasi. rumah kami berlantai kelam tempat anak kami menangis disitu sambil menjambak bumi tempat para kiyay dikuburkan dan tempat para pujangga menayakan malam.seperti biasa kami menuliskan mimpi disiturumah kami dikampung ditepi ayat-ayat dibelakang surau tempat kami belajar agama tempat tuhan menitipkan kata
Rangkasbitung, 2017
PENYAIR DAN AYAT YANG TERCECER
seperti para penyair yang dulu menanam usia di ladangladang tanpa air dan sajadah. kita menuliskannya kembalikedalam sebuah kisah dan menjadi ceritalalu anak-anak memungut serpihan tuliasan itu dikit demi sedikit lalu menjadi doa yang tercecer di tepi jalan menuju pasar milik orang lainlalu kemudian langit satu persatu turun menjadi kabut di ujung jalanpara penyair berjalan menelusuri kertaskertas dan kata dengan sekeranjang makna
bulungan jaksel. 5 feruari 2017
SEKOLAH. MATAHARI DAN REMBULAN
besok atau lusa matahari tak terbit dari jendela kelas yang retak dimakan usia lalu dibuatnya sebuah cerita dituliskan seperti kitab tentang sekolah tak berjendela matahari. sekolah berubah menjadi pembrontak mengajarkan kami cara membuat pencakar langit dan nuklir dengan waktu yang tidak tepat
sedangkan di kampung anak-anak petani menebar benih padi memikat burung pipit yang berbagai rupa dan sebagian bermain bola dibawah hujan berpakaian matahari. anak-anak dikampung belajar membaca , menulis dan menari. belajar terbang untuk melihat bumi dari atas. dan menggambar bulan.
besok atau luasa ia akan bercerita bahwa dikampung ia belajar segala hal. sebab matahairi tak terbit dari bangku sekolah, diatas meja guru atau di papan tulis. ia hanya bercerita bahwa di surau ada matematika, fisika, pendidikan moral, agama dan biologi
dibangku sekolah ia tak menemukan nafas tuhan.
AKHIR TAHUN 2017
MENATAPKU DENGAN PUISI
Di perpustakaan aku menyelinap diantara musyafir yang akan ku bunuh hanya dengan menggunakan mantra para kaoolotan adat yang sebanarnya tak ingin kita gunakan untuk saling membunuh.
seperti dikejar waktu. dengan menyeret usia yang terjepit diatara meja makan dan piring-piring di dapur yang berserakan lalu untuk dimaknai bersama sebagai sebuah simbol bahwa kita tak pernah hadir dalam ruangan itu. Padahal ia seolah menunggu diruaangan perpustakaan itu sambil menulis pesan kepada sanak saudara untuk mereka tak meninggalkan ku
Lantas hilang untuk beberapa lama. Lagu yang kubuat dinyanyikan gadis kecil sambil mengitari kuburan tanpa pohon kamboja. Matanya menagis mengalir sambil membakar sebuah kitab kosong tanpa doa ataupun bait mantra didalamnya.
Matanya yang sendu seperti sebuah roman didalamnya, matanya yang sendu menatap langit dengan puisi yang dipungut di belakang perpustakaan
Orang-orang lalu membakar rumah kita yang tanpa pondasi dan tanpa jendela. Membakar semua pakaian yang pernah kita kenakan hanya sekedar menghapus jejak perlarian
AKHIR TAHUN 2017