Categories
Artefak Literasi Puisi

Nyanyian Lampau

Aku pernah duduk berdampingan

Di atas nyanyian wadas kelir yang sendu

Amesia tak akan mungkin datang

Walaupun hanya sedetik senyuman

Kala itu untuk sekarang

Memetik gitar usang yang hampir rapuh

Melantunkan irama terbang bersama tarian

Harmoni mencintai sajak sederhana

Ketika kau selembut pasir di pantai

Itulah aku bagian dari ombak

Yang sesekali menemui dikau

Nada berjalan pelan tak bersuara

Menghampiri gadis hampir tertidur

Di Yogyakarta saat ini

 

Purbalingga, 23 Juni 2017

Categories
Artefak Literasi Puisi

Tidur di Bawah Selembar Daun

Aku menguyah usia selama sekian tahun

Manisnya melebihi madu untuk dirasa

Duduk dalam pangkuan cahaya

Memandang kak-kaki memberikan

Pijakan melayang ke angkasa

Menebarkan layang-layang berwarna cinta

Sedikit rangkulan yang tak pernah dibayangkan

Untuk menulis rindu untuk teman tidur

Di bawah selembar daun.

Purbalingga, 11 Juni 201

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Membuka Jendela Dunia

Hal yang pertama kali saya lihat saat berada di perpustakaan adalah ‘Buku adalah jendela dunia’. Tulisan yang tidak pernah saya ambil pusing saat kembali dari sekolah. Saat itu saya masih duduk di kelas 4 dan masih suka sekali bermain layang-layang. Setiap hari saya lebih banyak menghabiskan untuk bermain layang-layang dari pada berada di dalam perpustakaan untuk sekadar membaca buku.

 

“Bercita-citalah setinggi layang-layang Nak” ujaran yang membuat bermain layang-layang semakin seru dan melupakan hal lainnya. Bahkan saya rela tidak makan seharian untuk mengulurkan benang dan meninggikan cita-citaku yang saya taruh di layang-layang.

TIBA-TIBA SAAT SAYA MENGULURKAN BENANG, LAYANG-LAYANG ITU PUTUS SEKETIKA

Hari itu, saya sedih karena layang-layang yang terbang tinggi itu bisa putus. Padahal saya masih menaruh cita-citaku pada layang-layang itu. Saya pun mengadukannya pada Ibuku berharap Ibu mau membelikannya lagi untukku.

 

TERNYATA TIDAK!

“Ibu, saya ingin layang-layang lagi. Ibu saya ingin cita-citaku setinggi layang-layang” Meskipun sebenarnya saya lebih senang bermain dengan layang-layang itu.

Ibuku tidak sedikitpun memperhatikanku. Justru Ibu menyuruhku untuk berhenti menaruh cita-citaku pada layang-layang.

“Bermainlah dengan buku” Ibuku mengalihkanku

 

Saya jadi teringat dengan “buku adalah jendela dunia”. Barang kali itu permainan yang menurutku menyenangkan. Buktinya ibu menyuruhku untuk bermain buku.

Sejak saat itu, saya selalu bermain dengan buku. Sebenarnya saya tidak tahu bagaimana saya memainkannya. Awalnya saya hanya membolak balikkan lembaran demi lembaran. Kemudian saya akan berhenti jika ada gambar yang menarik bagiku.

 

Ternyata saya baru merasakannya. Selama ini saya bermain dengan membuka dan menutup jendela dunia. Apa yang saya lihat di buku adalah kepingan kecil luasnya dunia. Saya jadi tahu, pentingnya membuka jendela dunia melalui membaca.

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Ayahku, Pahlawan dari Ruang Berdebu Penuh Buku

 

Aku masih ingat. Puluhan tahun silam. Saat usiaku sepuluh tahunan. Setiap sore Ayahku membawaku ke sekolah. Sekadar untuk ungkapkan rasa sayangnya padaku, yang bagiku ini sangat menyiksaku. Ayahku tidak mau aku bermain terlalu liar di luar rumah. Jadilah, Ayahku membawaku ke sekolah untuk menemaninya mengajar ekstrakurikuler di sekolah tempatnya bekerja.

Di sekolah, Ayahku tentu tidak tega melihat anaknya sendirian di kantor. Atau duduk bengong dengan anak-anak lain yang tak kukenal dan usianya di atasku. Terus, sebuah tindakan tak berperasaan kemudian dilakukan Ayahku.

Aku dimasukan di sebuah ruangan penuh debu dan kotor. Ruangan yang sepertinya sudah bertahun tahun dibiarkan. Di ruangan itu buku-buku berserak tidak terawat.

“Di ruangan ini banyak bukunya. Baca di situ. Sambil menunggu Ayah selesai mengajar!” inilah kata yang diulang berkali-kali oleh Ayahku saat meninggalkanku begitu saja di ruang kotor itu.

Saat pertama kali tersungkur di ruangan itu, saku bingung sangat. Aku duduk mengutuk kenapa Ayahku tega sekali. Ingin menangis dan berteriak. Memanggil teman-temanku yang sedang asyik bermain di sawah dan lapangan sepeak bola.

 

Tapi, terasa semua percuma. Tak mungkin ada temanku yang berani ke sini. Menyelamatkanku dari penjara penuh debu dan buku ini.

Aku hanya bisa diam. Memperhatikan setiap benda yang ada di ruangan ini. Yang kujumpai hanya buku-buku bertumpuk. Sebuah papan tulisan tergeletak bertuliskan, “PERPUSTAKAAN”. Saya tahu. Ruangan ini bukan penjara, tetapi perpustakaan.

Daripada duduk berjam-jam tidak mengerjakan apapun, aku pun mulai berdiri melangkah. Mendekati buku-buku yang bertumpuk. Aku membuka-buka buku yang bagiku menarik. Jika menemukan buku bergambar bagus, aku mengambilnya. Aku duduk di tempat semula. Aku membukanya. Aku membacanya pelan-pelan.

Dari sinilah, duniaku berubah! Aku tidak tahu mendadak aku suka suntuk membaca.

Dan seiring berjalannya waktu, seringnya saya diajak Ayahku ke ruang penjara itu. Aku perlahan bermetamorfosis menjadi orang yang mencintai buku. Aku suka membaca buku. Aku pun memberanikan diri untuk bilang pada Ayahku, “Aku mau pinjam buku untuk kubawa ke rumah”. Dengan mata berbinar, Ayahku mengizinkan seraya memelukku dengan erat.

Aku pun meyakini,Ayahku sengaja memenjaraku di perpustakaan sekolah karena keinginannya agar anaknya untuk rajin membaca. Dan Ayahku berhasil.

Kegilaanku pada buku semakin parah. Aku suka membaca buku. Hampir tiap malam aku habiskan untuk membaca buku-buku cerita yang diterbitkan pemerintah.

Sesudah itu saya sudah tidak tahu lagi. Tapi yang jelas, sejak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, banyak waktu yang saya habiskan untuk membaca. Saya menjadi anak panah kata-kata dan dunia imajinasi.

Dan saya pun meminta maaf pada Ayahku karena telah berburuk sangka bahwa Ayahku jahat. Telah tega memenjarakanku dalam ruangan yang menyebalkan. Dan kini saya berterima kasih, sebab ruangan yang bernama Perpustakaan ini telah membuatku jatuh cinta pada buku.

Dari sinilah kemudian mimpiku melesat jauh: aku ingin seperti Soekarno yang cerdasm ingin seperti Hatta yang bijaksana. Ingin sepeerti sosok tokoh hebat yang say abaca biografinya dalam buku.Tapi, dalam hatiku, aku ingin seperti Ayahku, menjadi guru hebat yang berhasil membuatku jatuh cinta pada buku.