Categories
Artikel

Mendekatkan Buku kepada Anak-anak

Oleh. Atep Kurnia* dan Fadilatul Islami**

Sekarang memang banyak peluang sekaligus tantangan kala orang tua dihadapkan pada situasi Covid-19 yang berlarat-larat dan pembelajaran yang sarat dengan media digital. Dua fakta itu menjadi peluang lantaran para orang tua jadi punya banyak kesempatan untuk berdekatan dan berinteraksi dengan anak-anak di rumah.

Barangkali para orang tua yang sebelum wabah global itu menerjang sangat kekurangan waktu untuk lebih mengenal kebiasaan dan kegemaran anak-anak di rumah. Apalagi bila kedua orang tua anak tersebut sama-sama bekerja, sehingga pengasuhannya diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Bahkan bila hanya ayahnya yang bekerja, maka itu juga jadi terbuka kesempatannya bagi seorang ayah untuk lebih mengenali kecenderungan anak-anak saat berada di rumah.

Hadirnya kedua orang tua di rumah dimungkinkan karena adanya kebijakan pembatasan kegiatan di luar rumah karena Pandemi Covid-19. Pembatasan kegiatan tersebut termasuk pembagian kerja antara yang bekerja dari rumah dan bekerja di kantor. Saat gelombang kedua wabah global itu melanda bahkan dapat dikatakan kebanyakan para orang tua diharuskan bekerja dari rumah. Hanya hal-hal yang vital sifatnya yang masih memberlakukan pekerjaan di kantor.

Kami pikir, inilah momentum yang dapat dibilang tepat untuk kembali mendekatkan buku kepada anak-anak di rumah. Dengan tersedianya waktu luang yang banyak, kita sebagai orang tua dapat memanfaatkannya untuk memperhatikan secara lebih saksama kecenderungan anak-anak setiap harinya, terutama dalam kaitannya dengan hobi atau kegemaran mereka. Katakanlah, misalnya, anak-anak perempuan lebih menyukai permainan masak-masakan atau boneka. Sementara anak-anak laki-laki, katakanlah, lebih suka bermain layang-layangan dan sepak bola.

Kami pikir, kesukaan-kesukaan tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi kita sebagai orang tua untuk membeli buku-buku yang sesuai dengan minat anak-anak. Bila memungkinkan, kita dapat berbelanja banyak buku yang sesuai dengan kegemaran anak-anak, sehingga mereka dapat memilih yang mana dulu yang lebih disukai.

Selain itu, dengan banyaknya buku, kita dapat menaruhnya pada tempat-tempat yang kerap dijadikan arena bermain anak-anak. Buku bisa ditaruh di ruang tamu, disimpan di ruang tengah, ditempatkan di kamar, bahkan dapur sekalipun patut dicoba untuk disediakan buku juga. Maksudnya tentu saja agar mata anak-anak jadi lebih banyak terekspos dengan buku. Dengan demikian, atmosfer buku akan tercipta di rumah sekaligus disertai harapan anak-anak tertarik untuk membuka-buka atau bahkan membacanya.

Apalagi bila ditambah dengan kemauan kita untuk membacakan buku-buku bacaan itu kepada anak-anak. Hitung-hitung sebagai pengganti dongeng. Baik saat siang hari atau malam hari, sebagai pengantar tidur.

Bila anak-anak kerap kali menjumpai buku di rumah, kami yakin, besar kemungkinan mereka akan menjadi terbiasa dengan buku. Mereka tidak akan merasa asing terhadap bentuk media literasi tersebut. Bahkan suatu saat nanti kala mereka besar, kenangannya terhadap buku juga akan terbawa serta. Dengan catatan, meskipun itu hanya melihat belaka. Apalagi bila ternyata anak-anak membaca sendiri buku-buku tersebut atau dibacakan oleh orang tuanya, kenangannya akan senantiasa terus membekas di benak mereka. Mereka akan selalu mengingat warna buku, gambar di jilid, judulnya, bahkan baunya kalau buku tersebut baru.

Namun, tantangannya memang demikian dahsyat. Pada masa pandemi sekarang ini anak-anak, terutama yang sudah sekolah, kian terekspos dengan gawai. Sistem pembelajarannya kini banyak yang beralih ke ranah daring, karena kegiatan luring masih sangat dibatasi. Pertemuan tatap mukanya lebih banyak melalui aplikasi daring, demikian pula dengan absensi dan pekerjaan rumah diberikan, diisi, dan diserahkan melalui aplikasi atau grup kelas masing-masing.

Tetapi, di luar atau sebelum dominannya pembelajaran daring pun, anak-anak sudah lebih banyak terekspos ke jagat maya. Mereka yang termasuk pribumi digital (digital natives) itu akan dengan sangat mudah mempelajari cara-cara mengoperasikan aplikasi-aplikasi permainan dalam gawai, misalnya, ketimbang kita sebagai orang tuanya yang merupakan tamu di dunia digital (digital immigrants).
Bagi orang tua yang abai terhadap dampak negatif media digital, barangkali akan membiarkan anak-anaknya terus-menerus kian terekspos ke dunia digital. Misalnya dengan membiarkan mereka membuka dan mencari film-film kartun di YouTube sendirian, tanpa arahan atau bimbingan. Dengan alasan, pembiaran tersebut akan menyebabkan anak-anak anteng, tenang, tidak banyak menganggu orang tua. Padahal, bila dipikirkan lebih jauh, dampak negatif media digital, seperti halnya dampak positif mendekatkan buku sedari kecil, akan membentuk kepribadian anak-anak di masa dewasanya nanti.

Memang media digital dan gawai sebagai pirantinya tidak dapat kita elakkan. Namun, demi kepentingan anak-anak di masa yang akan datang, barangkali alangkah lebih baiknya kita mengarahkan anak-anak agar memanfaatkan media digital seproporsional mungkin. Intinya agar jangan sampai mereka tidak menjadi kecanduan atau terus-terusan menjadi tergantung kepada media digital.
Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan perhatian mereka. Bila kembali ke wacana mendekatkan buku kepada anak, maka buku bisa menjadi salah satu wahana untuk mengalihkan perhatian anak-anak terhadap gawai. Bagaimana caranya? Salah satunya, yang kami pikir dapat dicoba, adalah dengan memberikan “reward” atau hadiah kepada anak-anak yang membuka-membuka serta membaca buku. Maksudnya tentu adalah untuk memicu dan memacu mereka agar menjadi lebih dekat dengan buku.

Bila anak-anak berhasil membaca, katakanlah, sebuah buku, barulah hadiah diberikan. Hadiahnya dapat berupa apa saja, asalkan proporsional, tidak yang muluk-muluk. Dengan cara ini, sebenarnya kita secara tidak langsung memberi pelajaran kepada anak-anak bahwa sebelum kita dapat menuntut hak, maka kewajibanlah yang harus ditunaikan terlebih dulu. Dengan cara ini pula, kita mengajarkan kepada anak-anak bahwa segala sesuatu itu membutuhkan proses. Tidak ada yang terjadi secara simsalabim abrakadabra, semudah membalikkan telapak tangan, tetapi tetap membutuhkan proses yang harus senantiasa kita lalui.

Barangkali, itulah hal-hal yang kami pikir dapat kita tempuh untuk mendekatkan buku kepada anak-anak.***

*Peminat literasi, tinggal di Bandung.
**Guru bahasa Inggris, tinggal di Kabupaten Bogor.

Categories
Artikel

Pendidikan Mahal Yang Tidak Berbayar

Oleh. Wily Ariwiguna

Mengapa pendidikan (formal) menjadi sangat mahal sekarang? Apakah itu tandanya pendidikan tidak lagi ramah pada orang miskin? Apakah artinya negara tidak mampu memastikan hak rakyat atas pendidikan yang layak? Apakah artinya kemiskinan dan kebodohan akan terus bersaudara dan berikrar erat?

Ataukah sebenarnya selama ini kita yang tidak melihat pendidikan seluas makna dirinya yang sebenar? Bahwa pendidikan itu “mahal” namun tidak seharusnya berbayar. Nilai pendidikan adalah tidak terhingga, oleh karena itu harus diupayakan, benar. Hasil pendidikan adalah tidak terukur, oleh karena itu harus diadakan, benar. Dampak pendidikan adalah menghidupkan, oleh karena itu harus disungguhkan, benar.

Jika orang tua “mampu” mengirimkan anak pada (lembaga) pendidikan yang berbayar, maka silahkan. Namun tidak berarti orang tua terlepas dari tanggung jawab mendidik anak. Jika orang tua “hanya mampu” mendidik anak di rumah sendiri, maka silahkan. Karena itu tidak melanggar hak anak, dan juga jelas merupakan tanggung jawab orang tua.

Kalaupun pendidikan (formal) menjadi (sangat) mahal, maka biarkan saja. Anak masih bisa dididik sendiri di rumah. Jika pendidikan (formal) hendak menggeliat sebagai industri di mana anak-anak menjadi komoditas, dan pengajar menjadi faktor produksi, maka biarkan saja.

Pada akhirnya industri akan dibentuk oleh pasar, dan selama pasar mau terjebak dengan gagasan anak mengakhiri jenjang pendidikan harus diakhiri dengan pesta seremonial wisuda dan perayaan hedonis rekreasi maka selama itu pula industri akan digdaya dengan kezhaliman yang nyata. Belum lagi instrumen pembelajaran yang diada-adakan padahal anak membutuhkan ilmu sesuai usia, ketimbang ribuan lembaran kerja atau buku yang tiada jelas guna.

Namun bila pasar cerdas dan berdaya, maka industri yang akan mengikuti. Menjaga silaturrahim dengan pengajar dan (lembaga) pendidikan yang setia pada fitrah pendidikan adalah lebih utama. Tidak terjebak pada pemikiran bahwa terdidik selalu harus bergelar. Atau bahkan lebih bahaya, bahwa bergelar pasti terdidik.

Tidak menyerah saat belum ada kesempatan memberi anak seragam sekolah, karena anak memiliki lebih banyak kemuliaan dibanding balutan seragam yang perlu pengakuan.Tidak takut belajar lebih banyak, terutama bagi para Ibu, karena beliau-beliaulah (selalu) pendidik terbaik bagi anak-anaknya. Tidak abai dalam mendampingi anak bertumbuh kembang, terutama bagi para Ayah, karena beliau-beliaulah (selalu) pengelola pendidikan terbaik bagi istri dan anak-anaknya.

Kebaikan membutuhkan upaya, benar. Tapi tidak benar bahwa semua upaya harus dalam bentuk “biaya”. Maka mewujudkan pendidikan yang mahal adalah sebuah keharusan, namun tidak berarti semua yang mahal harus berbayar. Karena lagi-lagi, pendidikan bukan produk dan proses transaksional. Sesungguhnya pendidikan adalah hak bangsa, yang mana artiya pendidikan menjadi tanggung jawab bangsa, tidak hanya negara dan (lembaga) pendidikan (formal) saja. Pendidikan pada asalnya dan akhirnya adalah kewajiban orang tua, serta diri yang beranjak dan sudah dewasa.

Sebuah pemikiran sederhana untuk mengingat hari yang ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional.

 

 

 

Categories
Artikel

Kaki Kanan Pendidikan Indonesia: Literasi Dan Pendidikan Masyarakat

Oleh. Heri Maja Kelana

 

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimat. Tuntutlah ilmu sejak buaian sampai lubang kubur. Tiada amalan umat yang lebih utama daripada belajar.”

Belajar sepanjang hayat sudah dikatakan oleh Rasuallah, Muhammad SAW, kemudian dikatakan kembali oleh Edgar Faure dari The International Council of Education Development (ICED) atau Komisi Internasional Pengembangan Pendidikan, Edgar Faure mengatakan “With its confidence in man’s capacity to perfect himself through education, the Muslim world was among the first to recommended the idea of lifelong education, exhorting Muslim to educate themselves from cradle to the grave.” (Faure, 1972).

Belajar sebagai salah satu aktivitas manusia, tentu lahir sebuah prinsip-prinsip terkat belajar itu sendiri, diterjemahkan lewat teori-teori. Kita semua telah mengenal banyak sekali teori tentang pendidikan, mulai dari teori Koneksionisme yang dikemukakan oleh Thorndike, teori Conditioning yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, teori Medan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, teori Gestalt yang dikembangkan oleh Wertheimer, dan lain sebagainya. Serta tidak lupa teori yang dikembangkan oleh Paulo Freire seorang Brazilian, teori mengenai pendidikan yang membebaskan berpengaruh di dunia.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah teori-teori tersebut sudah menyentuh pendidikan seutuhnya? Pendidikan yang secara ideal adalah “memanusiakan manusia”.

Indonesia konsep pendidikan yang bagus, yaitu Pendidikan Keluarga, Pendidikan Sekolah, dan Pendidikan Masyarakat yang dikemukakan dalam Tripusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Namun selama ini pendidikan masih terfokus pada pendidikan sekolah semata.

Pincangnya Pendidikan di Indonesia

Belakangan ramai membicarakan mengenai Peta Jalan Pendidikan Indonesia, di mana dalam draf tersebut tidak terdapat frasa agama, pendidikan masyarakat, serta literasi di dalamnya. Temen-temen dari organisasi keagamaan turun ke jalan, serta memprotes hilangnya frasa agama dalam peta jalan tersebut. Kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim ikut berbicara dan menyampaikan bahwa peta jalan itu masih draf, masih memungkinkan untuk berubah.

“Dalam Peta Jalan Pendidikan menyebut pentingnya nilai-nilai kebudayaan, namun kalau kita lihat bahwa nilai-nilai kebudayaan lebih bisa hidup di masyarakat daripada di sekolah.” Maman Suherman mengomentari draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia pada kesempatan sebagai narasumber Energi Literasi dari Rumah, Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM), Jumat 30/04/21.

Selain Kang Maman sapaan akrab dari Maman Suherman, hadir pula Sofie Dewayani, Ph.D, serta Prof. Djoko Saryono pada kegiatan Energi Literasi dari Rumah.

Sofie Dewayani juga turut mengomentari draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia “Seperti yang dikatakan Freire, bahwa literasi kritis tidak lahir dari ruang kelas, melainkan lahir dari masyarakat.”

Kemudian kritik juga disampaikan oleh Prof. Djoko Saryono “Peta Jalan Pendidikan belum memberikan tempat pada Pendidikan Masyarakat dan Literasi.”

Pendidikan yang dimaksud dengan Tripusat Ki Hajar Dewantara belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Ditambah tidak adanya pendidikan masyarakat dan literasi dalam draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia, semakin jauh orientasi pendidikan yang dicita-citakan itu, yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia.

Kang Maman juga menyebutkan bahwa pendidikan lebih beroriantasi pada Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Terutama ketika menyesuaikan dengan revolusi industri 4.0 yang kemudian sekarang mengarah pada Society 5.0.

Ketika pendidikan hanya berorientasi pada DUDI, maka pendidikan akan berada dalam bayang-bayang kapitalis. Serta pendidikan yang memanusiakan manusia akan semakin jauh dicapai. Selama itu pula pendidikan di Indonesia akan terus pincang.

Pendidikan Masyarakat dan Literasi

Literasi dapat menjadi solusi dalam kepincangan pendidikan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Dr. Samto, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika memberikan pengantar pada Energi Literasi dari Rumah “Literasi itu sebagai petunjuk arahnya dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Jadi literasi adalah cara untuk mencapai tujuan dalam peta jalan tersebut.”

6 keterampilan literasi dasar harus betul-betul dimiliki oleh setiap individu manusia Indonesia. Taman Bacaan Masyarakat (TBM) melalui program-programnya sebenarnya sedang menanamkan 6 keterampilan literasi dasar tersebut. Teman-teman pengelola TBM dan komunitas literasi lainnya berjibaku di akar rumput, turut mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mengambil peran pendidikan sesuai dengan kapasitasnya.

Teman-teman pegiat literasi bergerak tanpa tahu dia bergerak menggunakan metode atau teori pendidikan. Yang mereka ketahui bahwa pendidikan harus sampai pada masyarakat. Pendidikan harus merata.

Literasi serta pendidikan masyarakat penting peranannya. Apabila saya meminjam konsep pendidikan humanis dari Landman, maka konsep ini lebih tepat diaplikasikan pada pendidikan masyarakat. Sebab konsep humanisme lebih menekankan pada objek kognitif dan afektif individu, juga kondisi lingkungan sekitar. Kemudian muncul pengalaman yang akan menjadi kebutuhan warga pembelajar secara empirik. Apa yang dibutuhkan serta dirasakan oleh warga belajar.

Teman-teman pegiat literasi sebenarnya sedang mempraktikan konsep humanisme. Sebab masyarakat (warga belajar) aktif dalam merumuskan strategi pendidikan yang kemudian menjadi program di Taman Bacaan Masyarakat serta Komunitas Literasi lainnya.

Kepincangan pendidikan di Indonesia, dapat disembuhkan dengan konsep humanisme pendidikan. Konsep humanisme pendidikan hanya terdapat pada pendidikan masyarakat, dan literasi seperti yang dikatakan Dr. Samto sebagai petunjuk arahnya atau rambu-rambunya.

Ketika draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia tidak memasukan literasi dan pendidikan masyarakat, maka aneh dan heran. Apa yang sedang terjadi dengan pendidikan? Apa sebenarnya yang sedang dirumuskan terkait pendidikan di Indonesia?

Saya jadi teringat dengan joke joke Warkop DKI ketika masih ngocol di Radio Prambors yang diberi judul “Belajar” yang selalu saya dengarkan ketika masih kuliah. Indro bertindak sebagai guru dengan murid Kasino dan Dono.

Guru: Anak-anak saya absen dulu ya, tolong yang disebut namanya tunjuk tangan.

Murid: Siap Pak Guru.

Guru: Fatonah?

(guru memanggil nama Fatonah hingga 3 kali)

Murid: Tidak ada pak.

Guru: Aminah?

Murid: Tidak ada pak?

Guru: Zamilah?

Murid: Tidak ada pak.

Guru: Suradi?

Murid: Tidak ada pak. Pak rasa-rasanya itu bukan murid sini, pak?

Guru: Rizki Rizki?

Murid: Gak ada pak.

Guru: Oh salah, ini absesnsi Majelis Taklim.

(Singkat cerita guru sudah berhasil mengabsen murid-muridnya. Kemudian memberikan pelajaran Ilmu Bumi, kalau sekarang Geografi)

Guru: Kalau kita berbicara bumi, maka kita akan dihadapkan dengan asal muasal bumi. Dengan kata lain, kapan terciptanya atau lahirnya bumi? Di buku saya ini dikatakan bahwa bumi lahirnya itu 4500 juta tahun yang lalu.

Murid: Ah bohong pak, 3 tahun yang lalu kakak saya sekolah di sini. Umur bumi masih tetap sama 4500 juta tahun. Kenapa gak nambah-nambah?

Guru: Bumi itu, anak-anak, konon katanya bulat.

Murid: lah katanya, guru kok gak yakin?

Guru: Saya akan yakin kalau saya sudah membuktikan. Selama ini saya belum membuktikan. Jadi harus pake kata “konon”.

(terjadi keriuhan ketika guru sedang menerangkan konon bumi itu bulat)

Guru: Kemudian bumi itu selalu berputar anak-anak. Menurut apa anak-anak bumi itu selalu berputar?

Murid: (serempak) menurut kehendak yang kuasa.

Guru: Pinter ya anak-anak. Sebagai penganut aliran Utha Likumahuwa. Memang semuanya harus menurut kehendak yang kuasa, ya.

Joke Joke tentang pendidikan hingga sekarang masih menarik untuk diangkat. Karena memang berbicara pendidikan, tidak ada batasnya. Seperti juga ketika menuntut ilmu, tidak ada batasnya, “Belajar sepanjang hayat”.

Categories
Artikel

23 April Hari Buku Sedunia

Jalan Panjang 379 Tahun dan Tantangan Kita di Era 4.0

 Oleh. Ahmad Sofyan 

Hari Buku Sedunia atau World Book Day (WBD) dirayakan pertama sekali pada tanggal 23 April 1995. Jalan yang  panjang membentang hingga 379 tahun. Dari tahun 1616, hingga akhirnya ditahun 1995 UNESCO memilih dan menetapkan tanggal 23 April sebagai hari Buku Sedunia. Jalan yang sangat panjang juga bagi kita untuk bukan hanya mengetahui atau memperingatinya Namun,  mengisi dan memaknainya.

 

Sejarah mencatat.  Ide Awalnya dari Vicente Clavel Andrés (1888-1967), seorang penulis dari Valencia, Spanyol.  Untuk menghormati Miguel de Cervantes Saavedra (Henares 1547Madrid 1616). Seorang novelis dan penyair, yang namanya paling dikenal  lewat novel Don Quixote de la Mancha (Don Kisot), salah satu karya terbesar dalam Sastra Barat dan dianggap oleh sebagai novel modern pertama. Bahkan Fyodor Dostoyevsky  (Moskow, 1821-1881) menyebutnya “kata yang paling puncak dan paling luhur dari pemikiran manusia”

Tanggal 23 April sebagai hari kematian Miguel de Cervantes diperingati dengan buku pertama dibuat oleh toko buku di Catalonia, Spanyol pada tahun 1923. Kemudian menyebar ke banyak  tempat dan belahan dunia lainnya. Dimasing-masing juga memilki ciri khasnya. Semarak peringatan yang hampir menyeluruh kemudian ditahun 1995 UNESCO menetapkan 23 April sebagai Hari Buku Sedunia.

 

Ibukota Buku Sedunia/ World Book Capital.

Setiap tahunnya UNESCO juga memilih, menobatkan satu kota sebagai Ibu Kota Buku Dunia. Dengan semboyan“Kota Yang Gemar Membaca Adalah Kota Yang Peduli.” Selama satu tahun penuh di kota terpilih mengadakan kegiatan-kegiatan perayaan buku dan membaca. Untuk membangkitkan minat baca, memperluas akses buku, juga tentunya memberdayakan masyarakat.

Ibu Kota Buku Dunia, digelar pertama kali pada tahun 2001. Kota Madrid di  Spanyol menjadi ibukota Buku Dunia pertama. Dilanjutkan kemudian pada  2002, di  Alexandria, Mesir. 2003, DI New Delhi, India. 2004, Antwerp, Belgia. 2005, Montreal, Kanada. 2006, di Turin, Italia. 2007, Bogota, Kolombia. 2008, Amsterdam, Belanda. 2009, Beirut, Lebanon. 2010, di Ljubljana, Slovenia. 2011, Buenos Aires, Argentina. 2012, Yerevan, Armenia. 2013, Bangkok, Thailand. 2014, Port Harcourt, Nigeria.   2015, Incheon, Korea Selatan.2016,Wroclaw,Polandia. 2017, ada di Conakry, Republik Guinea. 2018, di Athena, Yunani. 2019, Sharjah, Uni Emirat Arab. 2020, Kuala Lumpur, Malaysia. Serta 2021 ini, di Tbilisi, Georgia.

Bagaimana Indonesia ?  Untuk  tahun 2022, Jakarta seyogyanya masuk daftar kandidat sebagai  Ibu Kota Buku Dunia, bersaing salah satunya dengan Tashkent, Uzbekistan. Namun, pandemi Covid-19 yang masih menyelimuti mengakibatkan pemilihan Ibu Kota Buku Dunia ditunda.

Hari Buku Sedunia, dikenal pula dengan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia.  Ada tiga kata penting yang selalu menyertai makna  perayaan hari buku sedunia ini. Pertama, mempromosikan peran membaca, Kedua, Penerbitan, dan Ketiga, hak cipta.

 

 

Refleksi Buku

Dari peringatan hari Buku sedunia. Kemudian perlu untuk kita merefleksikan kembali. Makna Apa Itu Buku?? Untuk Apa Ia Ada dan Disediakan?

Apakah sebenarnya buku, bergantung pada cara kita melihatnya. Apakah dilihat dari karakteristik fiskal ataukah dari karakteristik fungsionalnya. Secara karakteristik fiskal, buku terdiri dari lembaran kertas tercetak, disatukan menurut urutan tertentu, ditutupkan dan beralaskan karton tebal yang tercetak pula. Secara fungsional, buku adalah sarana komunikasi tercetak, tersusun di dalam satu atau lebih dan penyajiannya mengikuti suatu sistematika yang wajar. Buku dikatakan sebagai alat penyampaian informasi, sebagai sumber dan tempat penyimpanan informasi sejak dahulu sampai sekarang.

Lalu, apakah keberadaan buku digerakkan oleh kepentingan yang kekal atau tentatif. Jika bergerak dalam kepentingan yang kekal, keberadaan buku haruslah mengutamakan satu transfer of knowledge. Yang terkait dengan proses pendistribusian pengetahuan. Transformasi dari ilmu pengetahuan, pelestarian nilai-nilai luhur intelektual, pemikiran, karya-karsa dan proses generousity. Beserta transfer of values (perpindahan nilai) yang lebih dekat dengan internalisasi ukuran manusia.

Akan tetapi, bila hanya berpijak pada kebutuhan tentatif, maka buku [penerbitan buku, pergerakan buku dll] dipastikan di dorong oleh motif  mencari untung. Ada euforia di dalamnya.

Jika demikian, keberadaan, buku mempunyai potensi membangun humanisme, sekaligus juga mengandung bahaya yang digerakkan oleh kekuasaan pasar. Jika demikian keberadaan buku yang diterbitkan, dibeli, didistribusikan mempunyai potensi membangun humanisme, sekaligus juga mengandung bahaya yang digerakkan oleh kekuasan pasar. Jika demikian lupakan apa yang dikatakan Louis L ’Amour ’bahwa buku adalah kemenangan terbesar yang diraih manusia’. Karena, jika demikian waktu sudah memasuki injury time, dimana, buku adalah penakluk terbesar dari pasar.

Selamat hari Buku Sedunia. Semoga Kita semua masuk kedalam golongan orang-orang yang mencintai buku. Walau selalu dihujat oleh golongan orang-orang yang mencari keuntungan melalui buku. Salam Literasi (Ahmad Sofian).

Categories
Artikel

Ibu Kota Buku Sedunia

Oleh. Atep Kurnia

 

Dengan berhasilnya perayaan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia setiap tanggal 23 April, UNESCO kemudian menambahkan konsep promosi dan perlindungan hak kekayaan intelektual dengan projek baru yang disebut dengan Ibu Kota Buku Sedunia (World Book Capital).

Menurut UNESCO (en.unesco.org/world-book-capital-city), ibu kota buku sedunia adalah kota yang ditunjuk oleh UNESCO untuk menjalankan berbagai aktvitas yang ditujukan untuk mendorong budaya membaca dan menyebarkan nilai-nilainya pada setiap tahapan umur dan kelompok orang baik di dalam atau di luar batas negara. Melalui program tersebut, UNESCO mengakui komitmen kota-kota untuk mempromosikan buku dan mengembangkan kegiatan membaca selama 12 bulan antara satu perayaan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia ke perayaan tahun selanjutnya. Dengan kata lain, dari 23 April hingga bertemu dengan 23 April tahun mendatang.

Komite penasihat untuk program Ibu Kota Buku Sedunia terdiri atas perwakilan dari the International Authors Forum (IAF),  the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA), the International Publishers Association (IPA), dan satu perwakilan UNESCO yang bertugas memeriksa dan menyeleksi berkas-berkas lamaran dari negara-negara anggota UNESCO. Agar menyeluruh ke seantero dunia, UNESCO menerapkan prinsip perimbangan geografis, dan mengikuti kriteria mutu yang berbeda-beda. Komite pencalonan bertemu sekali setiap tahun.

Lebih jauh, dalam situs tersebut disebutkan bahwa direktur jenderal UNESCO bertanggungjawab bagi penunjukkan kota-kota dengan mengikuti baik konsultasi internal dan eksternal dengan anggota-anggota lain komite penasihat.           Pencalonan tersebut tidak akan diberi hadiah uang oleh UNESCO, melainkan bersaing mendapatkan gelar Ibu Kota Buku Sedunia yang merepresentasikan pengakuan simbolik yang penting, juga sangat efektif bagi kota pemenang dalam kerangka komunikasi dan promosi kotanya.

Tetapi bagaimana konsep Ibu Kota Buku Sedunia diluncurkan? Mengenai hal ini, kita dapat menengok “Draft resolution on the ‘World Book Capital’” yang dihasilkan selama sesi ke-31 pertemuan umum UNESCO (31st Session of the General Conference) pada 2 November 2001. Saya akan menerjemahkan konsep tersebutnya seluruhnya, di bawah ini:

Mengingat 28 C/Resolution 3.18, yang diputuskan untuk memproklamasikan tanggal 23 April setiap tahun sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia;

Menyatakan kembali pentingnya sejarah buku sebagai perkakas paling ampuh untuk menyebarkan pengetahuan dan alat paling efektif untuk melestarikannya, dan keyakinannya bahwa semua inisiatif yang ditujukan untuk memperkuat dampak buku dapat mengangkat kekayaan budaya bagi semua orang yang mengaksesnya, dan lebih jauhnya, dan dapat mengungkit kesadaran masyarakat umum mengenai kekayaan warisan budaya dunia dan mengembangkan pemahaman, toleransi, dan dialog;

Menekankan bahwa Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia sejak 1996 menuai hasil yang terus meningkat di antara negara-negara anggota dan masyarakat sipilnya, khususnya dari insiatif para professional yang bergerak di bidang buku dan asosiasi yang ada di negara-negara tersebut;

Menyambut insentif awal yang disediakan oleh UNESCO;

Meyakini bahwa yang diinginkan untuk acara sehari tersebut terus berlanjut sepanjang tahun di kota kandidat yang dipilih oleh asosiasi professional berskala internasional berkonsultasi dengan UNESCO, dan untuk kota tersebut ditetapkan sebagai Ibu Kota Buku Sedunia dari satu Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia hingga ke perayaan mendatang;

Menekankan bahwa kota terpilih dan asosiasi profesi berskala internasional yang terlibat akan mengusahakan secara khusus upaya-upaya sepanjang tahun untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan signifikan di tempat tersebut;

Juga menekankan pentingnya pelibatan semua bagian dunia;

Menimbang aktivitas-aktivitas di Madrid menjadi pengalaman positif yang bisa direplikasi di tempat lainnya dengan jumlah mitra yang lebih besar;

Mengadopsi gagasan tersebut dan mengundang asosiasi profesi berskala internasional untuk bersama-sama bekerja mempraktikkannya;

Mendesak direktur jenderal agar mendukung secara moral dan intelektual bagi perancangan dan implementasi projek ini.

Dengan 31 C/Resolution 29 tersebut, Madrid yang merupakan ibu kota Spanyol ditetapkan sebagai ibu kota buku sedunia yang pertama pada 2001. Selanjutnya, para mitra di UNESCO bersepakat bahwa setelah Madrid, ibu kota buku selanjutnya yang terpilih adalah Alexandria (Mesir) pada  2002 dan New Delhi (India) pada 2003. Selanjutnya, yang berlaku adalah pencalonan yang melibatkan komite penasihat sebagaimana yang diungkapkan pada awal tulisan.

Selengkapnya ibu kota-ibu kota buku sedunia selanjutnya adalah sebagai berikut: Antwerp (Belgia) pada 2004; Montreal (Kanada), 2005; Turin (Italia), 2006; Bogota (Kolombia), 2007; Amsterdam (Belanda), 2008; Beirut (Lebanon), 2009; Ljubljana (Slovenia), 2010; Buenos Aires (Argentina), 2011; Yerevan (Armenia), 2012; Bangkok (Thailand), 2013; Port Harcourt (Nigeria), 2014; Incheon (Korea Selatan), 2015; Wroclaw (Polandia) pada 2016; Conakry (Republic of Guinea), 2017; Athena (Yunani), 2018; Sharjah (Uni Emirat Arab), 2019; Kuala Lumpur (Malaysia), 2020; Tbilisi (Georgia), 2021; dan Guadalajara (Meksiko), 2022.

Dari daftar tersebut, kini sudah ada dua kota di Asia Tenggara yang menjadi ibu kota buku sedunia, yakni Bangkok dan Kuala Lumpur. Nah, bagaimana dengan kota-kota yang ada di Indonesia? Barangkali sejak lama sudah diupayakan mengajukan lamaran kepada UNESCO, tetapi belum bertemu dengan peruntungannya. Semoga beberapa tahun mendatang ada kota di Indonesia yang menjadi ibu kota buku sedunia.***

Categories
Artikel

Proklamasi Hari Buku Sedunia

Oleh. Atep Kurnia

 

 

Pada 15 November 1995, komisi IV the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) bertemu dalam rapat pleno ke-22. Hasil dari rapat tersebut adalah apa yang sekarang dikenal sebagai Hari Buku Sedunia (World Book Day), atau Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia (World Book and Copyright Day), atau Hari Buku Internasional (International Day of the Book).

Soalnya yang menarik adalah bagaimana kelahiran hari memuliakan buku tersebut? Apa saja yang menjadi pertimbangan atau landasan sehingga lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut berinisiatif meluncurkan gagasan tersebut? Untuk menjawabnya, kita dapat menyimak “Proclamation of 23 April ‘World Book and Copyright Day’” atau proklamasi tanggal 23 April sebagai hari buku dan hak cipta sedunia yang dimuat dalam Records of the General Conference: Twenty-eighth Session Paris, 25 October to 16 November 1995: Volume 1 Resolutions (1996: 51).

Agar lebih mendapatkan gambarannya secara menyeluruh, kayaknya ada baiknya saya terjemahkan keseluruhan isi dari proklamasi tersebut. Berikut ini adalah hasilnya:

Menimbang bahwa secara sejarah buku merupakan faktor paling ampuh dalam menyebarkan pengetahuan dan perkakas paling efektif untuk melestarikannya;

Menimbang sebagai konsekuensinya bahwa semua gerakan untuk mempromosikan penyebaran buku-buku tidak saja hanya akan mencerahkan semua orang yang mengakes buku, tetapi juga mengembangkan secara penuh kesadaran kolektif terhadap tradisi budaya di seluruh dunia dan menginspirasi perilaku berdasarkan pemahaman, toleransi, dan dialog;

Menimbang bahwa salah satu jalan paling efektif untuk mempromosikan dan menyebarkan buku – sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengalaman beberapa negara anggota UNESCO – adalah  penentuan “hari buku” dan pengorganisasian pelbagai perhelatan seperti bazar-bazar buku dan pameran-pameran pada hari yang sama;

Mengingat lebih jauhnya bahwa gagasan ini belum diadopsi pada level internasional;

Mengadopsi gagasan yang sudah disebutkan di atas dan memproklamasikan tanggal 23 April setiap tahunnya sebagai ‘Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia’, karena pada tanggal tersebut pada 1616 Miguel de Cervantes, William Shakespeare dan Inca Garcilaso de la Vega meninggal dunia.”

Pada praktiknya, Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia mulai diumumkan oleh UNESCO pada 23 April 1996 atau beberapa bulan setelah diproklamasikan pada           15 November 1995. Dengan pengumuman tersebut beberapa negara menunjukkan perhatian yang lebih sekaligus memahami mengenai arti penting membaca. Demikianlah asal-usul di balik lahirnya Hari Buku Sedunia yang setiap tahun dirayakan pada 23 April.***