Oleh. Atep Kurnia* dan Fadilatul Islami**
Sekarang memang banyak peluang sekaligus tantangan kala orang tua dihadapkan pada situasi Covid-19 yang berlarat-larat dan pembelajaran yang sarat dengan media digital. Dua fakta itu menjadi peluang lantaran para orang tua jadi punya banyak kesempatan untuk berdekatan dan berinteraksi dengan anak-anak di rumah.
Barangkali para orang tua yang sebelum wabah global itu menerjang sangat kekurangan waktu untuk lebih mengenal kebiasaan dan kegemaran anak-anak di rumah. Apalagi bila kedua orang tua anak tersebut sama-sama bekerja, sehingga pengasuhannya diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Bahkan bila hanya ayahnya yang bekerja, maka itu juga jadi terbuka kesempatannya bagi seorang ayah untuk lebih mengenali kecenderungan anak-anak saat berada di rumah.
Hadirnya kedua orang tua di rumah dimungkinkan karena adanya kebijakan pembatasan kegiatan di luar rumah karena Pandemi Covid-19. Pembatasan kegiatan tersebut termasuk pembagian kerja antara yang bekerja dari rumah dan bekerja di kantor. Saat gelombang kedua wabah global itu melanda bahkan dapat dikatakan kebanyakan para orang tua diharuskan bekerja dari rumah. Hanya hal-hal yang vital sifatnya yang masih memberlakukan pekerjaan di kantor.
Kami pikir, inilah momentum yang dapat dibilang tepat untuk kembali mendekatkan buku kepada anak-anak di rumah. Dengan tersedianya waktu luang yang banyak, kita sebagai orang tua dapat memanfaatkannya untuk memperhatikan secara lebih saksama kecenderungan anak-anak setiap harinya, terutama dalam kaitannya dengan hobi atau kegemaran mereka. Katakanlah, misalnya, anak-anak perempuan lebih menyukai permainan masak-masakan atau boneka. Sementara anak-anak laki-laki, katakanlah, lebih suka bermain layang-layangan dan sepak bola.
Kami pikir, kesukaan-kesukaan tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi kita sebagai orang tua untuk membeli buku-buku yang sesuai dengan minat anak-anak. Bila memungkinkan, kita dapat berbelanja banyak buku yang sesuai dengan kegemaran anak-anak, sehingga mereka dapat memilih yang mana dulu yang lebih disukai.
Selain itu, dengan banyaknya buku, kita dapat menaruhnya pada tempat-tempat yang kerap dijadikan arena bermain anak-anak. Buku bisa ditaruh di ruang tamu, disimpan di ruang tengah, ditempatkan di kamar, bahkan dapur sekalipun patut dicoba untuk disediakan buku juga. Maksudnya tentu saja agar mata anak-anak jadi lebih banyak terekspos dengan buku. Dengan demikian, atmosfer buku akan tercipta di rumah sekaligus disertai harapan anak-anak tertarik untuk membuka-buka atau bahkan membacanya.
Apalagi bila ditambah dengan kemauan kita untuk membacakan buku-buku bacaan itu kepada anak-anak. Hitung-hitung sebagai pengganti dongeng. Baik saat siang hari atau malam hari, sebagai pengantar tidur.
Bila anak-anak kerap kali menjumpai buku di rumah, kami yakin, besar kemungkinan mereka akan menjadi terbiasa dengan buku. Mereka tidak akan merasa asing terhadap bentuk media literasi tersebut. Bahkan suatu saat nanti kala mereka besar, kenangannya terhadap buku juga akan terbawa serta. Dengan catatan, meskipun itu hanya melihat belaka. Apalagi bila ternyata anak-anak membaca sendiri buku-buku tersebut atau dibacakan oleh orang tuanya, kenangannya akan senantiasa terus membekas di benak mereka. Mereka akan selalu mengingat warna buku, gambar di jilid, judulnya, bahkan baunya kalau buku tersebut baru.
Namun, tantangannya memang demikian dahsyat. Pada masa pandemi sekarang ini anak-anak, terutama yang sudah sekolah, kian terekspos dengan gawai. Sistem pembelajarannya kini banyak yang beralih ke ranah daring, karena kegiatan luring masih sangat dibatasi. Pertemuan tatap mukanya lebih banyak melalui aplikasi daring, demikian pula dengan absensi dan pekerjaan rumah diberikan, diisi, dan diserahkan melalui aplikasi atau grup kelas masing-masing.
Tetapi, di luar atau sebelum dominannya pembelajaran daring pun, anak-anak sudah lebih banyak terekspos ke jagat maya. Mereka yang termasuk pribumi digital (digital natives) itu akan dengan sangat mudah mempelajari cara-cara mengoperasikan aplikasi-aplikasi permainan dalam gawai, misalnya, ketimbang kita sebagai orang tuanya yang merupakan tamu di dunia digital (digital immigrants).
Bagi orang tua yang abai terhadap dampak negatif media digital, barangkali akan membiarkan anak-anaknya terus-menerus kian terekspos ke dunia digital. Misalnya dengan membiarkan mereka membuka dan mencari film-film kartun di YouTube sendirian, tanpa arahan atau bimbingan. Dengan alasan, pembiaran tersebut akan menyebabkan anak-anak anteng, tenang, tidak banyak menganggu orang tua. Padahal, bila dipikirkan lebih jauh, dampak negatif media digital, seperti halnya dampak positif mendekatkan buku sedari kecil, akan membentuk kepribadian anak-anak di masa dewasanya nanti.
Memang media digital dan gawai sebagai pirantinya tidak dapat kita elakkan. Namun, demi kepentingan anak-anak di masa yang akan datang, barangkali alangkah lebih baiknya kita mengarahkan anak-anak agar memanfaatkan media digital seproporsional mungkin. Intinya agar jangan sampai mereka tidak menjadi kecanduan atau terus-terusan menjadi tergantung kepada media digital.
Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan perhatian mereka. Bila kembali ke wacana mendekatkan buku kepada anak, maka buku bisa menjadi salah satu wahana untuk mengalihkan perhatian anak-anak terhadap gawai. Bagaimana caranya? Salah satunya, yang kami pikir dapat dicoba, adalah dengan memberikan “reward” atau hadiah kepada anak-anak yang membuka-membuka serta membaca buku. Maksudnya tentu adalah untuk memicu dan memacu mereka agar menjadi lebih dekat dengan buku.
Bila anak-anak berhasil membaca, katakanlah, sebuah buku, barulah hadiah diberikan. Hadiahnya dapat berupa apa saja, asalkan proporsional, tidak yang muluk-muluk. Dengan cara ini, sebenarnya kita secara tidak langsung memberi pelajaran kepada anak-anak bahwa sebelum kita dapat menuntut hak, maka kewajibanlah yang harus ditunaikan terlebih dulu. Dengan cara ini pula, kita mengajarkan kepada anak-anak bahwa segala sesuatu itu membutuhkan proses. Tidak ada yang terjadi secara simsalabim abrakadabra, semudah membalikkan telapak tangan, tetapi tetap membutuhkan proses yang harus senantiasa kita lalui.
Barangkali, itulah hal-hal yang kami pikir dapat kita tempuh untuk mendekatkan buku kepada anak-anak.***
*Peminat literasi, tinggal di Bandung.
**Guru bahasa Inggris, tinggal di Kabupaten Bogor.