Categories
Artikel

Anda Termasuk Pada Tipe Humor Yang Mana?

Oleh Heri Maja Kelana

 

“Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah substansi dari kearifan masyarakat.”

Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) menggelar kegiatan Humor Resources Department, Kamis, 8 April 2021. Acara tersebut dihadiri oleh Dr. Jennifer Aaker sebagai penulis buku Humor, Seriously. Pembicara lain pada kegiatan ini adalah Novrita Widiyastuti (CEO of IHIK3, Lecturer, dan Humor Justice Warior) juga Yasser Fikry (CCO of IHIK3, Lecturer, dan comedian). Kegiatan ini berlangsung kurang lebih 3 jam.

Anda termasuk pada tipe humor yang mana?

Apabila dihadapkan pada situasi yang tegang dan kaku, maka yang muncul adalah rasa takut, mandek kreativitas, dan pikiran (kita) akan menjadi kerdil. Ketegangan ini sering terjadi pada sebuah organisiasi, perusahaan, serta instansi lain, di mana terdapat banyak orang dengan struktur hirarki yang harus ditaati. Humor dapat mengubah situasi yang tegang menjadi cair.

Ada beberapa gaya orang berhumor yang disampaikan oleh Dr. Jennifer kemudian disampaikan ulang oleh Novrita yaitu The Magnet (Affiliative – Expressive), The Sweetheart (Affiliative – Subtle), The Stand-up (Aggressive – Expressive), The Sniper (Agressive – Subtle).

The Magnet tipe orang yang gampang menghibur dan terhibur. Kemudian gaya selanjutnya adalah The Sweetheart. Tipe orang dengan gaya The Sweetheart menghindari humor yang menyakiti (kerena orang tersebut tidak mau disakiti). Gaya lain adalah The Stand-up, di mana orang tersebut senang tampil dan ngejoke di depan umum. Tipe orang dengan gaya stand-up, jadi “tatakan” juga tidak masalah. Ia akan berterima dan tidak akan marah. Kemudian tipe yang terakhir adalah The Sniper, orang ini memiliki selera humor yang spesifik, hingga jarang dipahami atau diapresiasi oleh orang lain. Anda termasuk pada tipe humor yang mana?

Humor di perusahaan atau instansi belum begitu berkembang, seperti juga disampaikan oleh Novrita dan Yasser. Namun saya kira, di tengah atmosfir politik, ekonomi, agama, yang tidak menentu humor menjadi penting perannannya. Pentingnya keberadaan humor di instansi sudah dibuktikan oleh Presiden Indonesia ke-4, yaitu Abdurrahman Wahid, atau masyarakat mengenalnya dengan sebutan Gus Dur.

Abdurrahman Wahid memiliki selera humor yang tinggi. Humor-humornya sangat kontekstual dengan situasi yang sedang terjadi, baik di Indonesia maupun di dunia. Misalnya ketika Gus Dur bertemu dengan Fidel Castro di Kuba.

Semua Presiden Indonesia punya penyakit gila.

“Presiden pertama Bung Karno gila wanita” kata Gus Dur.

“Lalu presiden kedua?” tanya Castro.

“Kalau yang itu, gila harta,” kata Gus Dur sambil nyengir.

“Kalau presiden yang ketiga bagaimana?” Castro terus mengejar.

“Wah, dia sih gila ilmu, gila teknologi.”

“Kalau yang keempat,” Castro bertanya sambil tersenyum.

“Itu artinya saya ya…,” kata Gus Dur sambil terkikik. “Kalau presiden keempat sih sering membuat orang gila karena orang yang memilihnya juga orang-orang gila.”

Gus Dur dan Castro ngakak bersama-sama. Sebelum tertawa Castro reda, Gus Dur langsung bertanya.

“Yang mulia Presiden Castro termasuk yang mana?”

“Saya termasuk ketiga dan keempat,” jawab Castro sambil tertawa.

Gus Dur tidak pernah kehilangan joke-joke humornya. Bahkan ketika nyindir Akbar Tandjung, sewaktu Gus Dur pidato di depan DPR. Siapa pada waktu itu yang berani nyindir Akbar Tandjung yang menjadi ketua DPR, selain Gus Dur.

Akbar Tandjung ketika berpidato selalu dimulai dengan “Marilah kita memanjatkan syukur”.

Gus Dur pun membuka pidato dengan “Sukur memang perlu dipanjatkan karena syukur tidak bisa memanjat.” Serentak anggota DPR tertawa.

Humor-humor Gus Dur ini ditulis dan dibukukan oleh Guntur Wiguna dengan judul Koleksi Humor Gus Dur diterbitkan oleh penerbit Narasi tahun 2010.

Kembali pada humor di perusahaan atau di instansi, maka memang perusahaan atau instansi membutuhkan atmosfir humor. Humor disadari atau tidak, sudah ada pada diri (kita). Semua orang suka dengan humor, meski caranya berbeda-beda. Terpenting, dengan humor akan muncul krativitas, persaudaraan yang lebih baik. Seperti yang dikatakan oleh Gus Dur pada pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia yang saya kutip di awal tulisan ini, bahwa humor adalah substansi dari kearifan masyarakat.

Pada kalimat tersebut ada kata “substansi” maka, seharusnya kita (masyarakat) memiliki selera humor, dan humor sudah melebur menjadi budaya di masyarakat. Sehingga humor dapat dengan mudah masuk di perusahaan atau instansi juga oranisasi.

Apakah humor dapat meningkatkan minat baca?

Indonesia sedang memperbaiki kemampuan literasi di masyarakat. Salah satunya adalah minat baca masyarakat indonesia yang rendah. Lalu, menjadi pertanyaannya adalah “Apakah humor dapat meningkatkan minat baca?”

Yasser mengatakan pada sesi webinar, bahwa Cak Lontong dan Komeng adalah pembaca yang hebat. Mereka mendapatkan bahan humor dari buku-buku serta pembendaharaan kata yang semakin banyak dari membaca.

Membaca memang dibagi menjadi dua bagian, yaitu membaca makro (Kauniyah) dan membaca mikro (Qualiyah). Membaca makro sendiri adalah membaca lingkungan, alam, manusia, dan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan mikro adalah membaca teks buku, koran, majalah, dan lain sebagainya berhubungan dengan aksara. Kedua unsur ini tentu dimiliki oleh manusia. Artinya ketika humor dapat meningkatkan minat baca, maka jawabannya “ya”. Karena humor ada di kedua unsur membaca tadi, mikro dan makro.

Masyarakat Indonesia sangat akrab sekali dengan humor, bahkan dalam kesehariannya humor menjadi gaya hidup di masyarakat. Ketika humor menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia dan masyarakat Indonesia rendah minat bacanya, seharusnya tidak terjadi hal demikian. Karena masyarakat Indonesia menyenangi humor, maka akan membaca makro, dan seirisan dengan itu juga akan membaca mikro atau membaca kauniyah dan qualiyah.

Jadi sebenarnya pertanyaannya berbalik, apakah masyarakat Indonesia masih memiliki selera humor? atau sudah terjadi pergeseran budaya di Indonesia, sehingga masyarakat Indonesia sudah tidak memiliki selera humor? Sehingga muncul indeks minat baca di Indonesia untuk anak, remaja, dan dewasa rendah. Kalau memang sudah terjadi pergeseran budaya, maka wajar ketika situasi politik, ekonomi, agama, di Indonesia begitu tegang.

Ketegangan politik, ekonomi, serta agama yang sedang terjadi di Indonesia tidak akan terjadi apabila masyarakat Indonesia memiliki tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Karena semakin tinggi ilmu seseorang, akan semakin besar hati dan memiliki pandangan yang terbuka, tidak cepat marah dan terbawa emosi. Hal ini sudah dibuktikan oleh Gus Dur.

Kembali pada konteks humor di perusahaan atau instansi, belajar dari sosok Gus Dur yang ketika menjabat sebagai presiden maupun sebagai manusia biasa sisi-sisi humor selalu ada pada diri Gus Dur. Sosok Gus Dur dibuat parodi oleh banyak tokoh humor di Indonesia dia tidak marah, bahkan ketika Gus Dur dipertemukan dengan Gus Pur (A.P. Handojo) pada salah satu acara di televisi, Gus Dur sangat apresiasi terhadap Impersonete Gus Pur. Maka ciptakanlah atmosfir humor di dunia kerja, supaya kreativitas meningkat. Supaya tidak tegang dan stres dengan pekerjaan yang menumpuk.

Terlepas dari rumitnya situasi politik, ekonomi, serta agama di Indonesia, IHIK3 memiliki program yang bagus dan menarik untuk terus diikuti dan diaplikasikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

  

Categories
Artikel

Kuda Putih: Obituari Umbu Landu Paranggi

Oleh Heri Maja Kelana

 

KUDA PUTIH

kuda putih yang meringkik dalam sajaksajakku

merasuki basabisik kantung peluh rahasia

diamdiam kupacu terus ini binatang cinta

dengan cambuk tali anganan dari padangpadangku

 

Umbu Landu Paranggi yang memiliki nama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi, lahir di Waikabubak, Sumba Barat, NTT, 10 Agustus 1943, memandang kuda sebagi representasi tubuh. Kuda dihidupkan oleh gaya personifikasi sehingga menimbulkan efek semangat. Hal ini juga terlihat bagaimana isokronisme subjektif muncul dalam tiap larik puisi Kuda Putih.

“kuda putih yang meringkik dalam sajaksajakku” Larik pertama pada sajak Kuda Putih, terdapat pengulangan diksi sajak. Pengulangan ini tidak memiliki arti signifikan seperti pada diksi sayur-mayur. Namun, apabila disandingkan dengan kalimat sebelumnya akan memiliki arti yang kuat, bahwa “kuda putih yang meringkik dalam sajaksajakku” sesuatu yang dicintai (berharga) terus berbicara pada sajak.

Kemudian pada larik selanjutnya ”merasuki basabisik kantung peluh rahasia”, larik ini terdapat kemajemukan basa dengan bisik. Basa adalah zat kimia yang mengikat hidrogen, lawan dari asam. Sedangkan bisik adalah suara desis perlahan yang apabila disandingkan menjadi basabisik akan memiliki arti yang berlainan. Apabila menengok pada bahasa lokal, basa itu adalah bahasa. Penulis lebih melihat diksi basa dari bahasa lokal, sehingga kalau diartikan basabisik adalah bahasa suara yang mendesis perlahan. Larik yang utuh dapat diartikan menjadi bahasa yang mendesis perlahan masuk lewat embrio keringat pada sesuatu yang disembunyikan.

Larik ketiga pada puisi “Kuda Putih” terdapat pengulangan yaitu diamdiam. Diksi diam mempunyai arti tidak bersuara, tidak bergerak dan tidak berbuat. Namun, apabila diulang menjadi diamdiam akan mengandung arti mengendap-endap atau bergerak secara perlahan. Pada larik ”diamdiam kupacu terus ini binatang cinta”, diksi pacu mengandung arti benda tajam atau roda bergigi yang dipasang pada tumit sepatu (dipakai oleh penunggang kuda), untuk menggertak kuda supaya berlari kencang. Secara keseluruhan larik mengandung makna kerja, bahwa secara mengendap-endap akan kusuruh terus berlari binatang cinta ini (kuda).

Larik terakhir pada puisi “Kuda Putih” terdapat pengulangan diksi padang menjadi padangpadangku. Padang secara harfiah adalah tanah yang luas dan tidak memiliki pohon-pohon yang besar. Ketika diksi padang menjadi padangpadangku terkesan ingin menunjukkan bahwa lahan dalam diri aku lirik luas atau banyak.

“dengan cambuk tali anganan dari padangpadangku” Larik terakhir kemudian dapat diartikan menggunakan cambuk tali impian dari lahan yang ada pada diri aku lirik. Apabila diartikan keseluruhan, puisi “Kuda Putih” bercerita tentang kecintaan aku lirik terhadap binatang kesayangannya, yaitu kuda yang kemudian menjadi inspirasi untuk puisi-puisinya. Untuk aku lirik sendiri, puisi serta kuda adalah darah pada tubuhnya. Puisi dan kuda adalah dua hal yang selalu dicintainya.

Puisi “Kuda Putih” secara eksplisit menceritakan aku lirik yang mencintai binatang kesayangannya, yaitu kuda. Namun, kuda yang diceritakan oleh aku lirik kemudian dikaitkan dengan sajak dan tubuh. Tubuh yang terdapat pada puisi ini merupakan subjek sekaligus objek. Begitu pula dengan sajak. Pada puisi ini tidak ada orang kedua atau ketiga.

Kuda merupakan energi aku lirik untuk sajak-sajaknya. Kuda dan sajak sama-sama memiliki persamaan yaitu menyimpan misteri, dalam bahasa aku lirik dikatakan dengan rahasia. Fenomena ini kemudian menjadi menarik kerena bersinggungan dengan tubuh. Kuda, sajak dan tubuh kemudian menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kuda menginspirasi aku lirik, sedangkan sajak adalah kuda yang terus berontak pada tubuh.

Lesapnya subjek dan objek pada puisi ini mengakibatkan misteri jarak antara benda di luar tubuh terhadap tubuh. Jarak ini menjadi samar, bisa dikatakan lebur karena otoritas yang berada di luar tubuh adalah visual yang sudah disistematiskan. Seperti ketika melihat pemandangan yang indah, atau melihat perempuan cantik, semua itu sudah diset dalam pikiran manusia yang sudah menerima masukan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Fenomena ini tidak dapat lepas dari wawasan aku lirik.

Secara garis besar puisi “Kuda Putih” menceritakan kecintaan aku lirik terhadap sesuatu yang dapat membangkitkan inspirasinya, dalam hal ini yaitu kuda putih. Kecintaan terhadap kuda sama dengan kecintaan terhadap puisi. Dua hal tersebut tidak dapat terpisahkan dari tubuh aku lirik.

Tubuh adalah potensi yang luar biasa. Tubuh juga bisa berada di titik realis dan di titik lain (imaji atau gaib). Dengan demikian, tubuh juga bisa dikatakan berada di ruang antara atau dengan kata lain ada potensi imaji dalam tubuh yang akan mengajak ke alam lain di luar realitas.

Inspirasi kuda adalah semangat karena kuda adalah binatang yang tangguh dan pekerja keras. Sedangkan puisi adalah buah intelektual dan padang-padangku adalah metafora dari tubuh.

Selamat Jalan Umbu

Di Jogja Umbu berproses dan tumbuh. Di Jogja pula Umbu banyak melahirkan karya-karya puisi serta banyak melahirkan penyair besar seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Iman Budhi Santosa lewat Persada Studi Klub (PSK). Umbu waktu itu menjadi redaktur puisi di Pelopor Yogya

Umbu yang tidak pernah habis energinya, mendedikasikan hidupnya untuk puisi, berpindah ke Tanah Dewata, Bali. Seperti di Jogja, ia kembali melahirkan banyak penyair hebat seperti Wayan Sunarta, Raudal Tanjung Banua, Nur Wahida Idris, Muda Wijaya, dll. Bali Umbu menjadi redaktur puisi di Bali Post. Bali juga sebagai tempat persinggahan yang kedua dan terakhir.

Saya mendapat kabar dari seorang kawan di Bali, bahwa Umbu wafat pukul 03.55 Wita, di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur. Sosok Umbu telah pergi selama-lamanya, namun karya Umbu abadi. Begitu pula apa yang telah dilakukan oleh Umbu terhadap sastra Indonesia akan selalu diingat. Umbu adalah sosok yang bersahaja, selamat jalan Maha Guru Umbu Landu Paranggi.

 

Categories
Artikel

Film TENET dan Koneksi Literasi Indonesia Dengan Masa Depan

Siapa yang tidak kenal dengan Cristopher Nolan? Sutradara yang bertangan dingin, mampu mengangkat film-film science fiction jadi menarik di mata penonton. Film-film Nolan tidak membosankan, justru membuat penonton berpikir setelah menonton film tersebut. Sebut saja film yang dibuatnya pada tahun 2014, Interstellar. Film yang berdurasi 2 jam 49 menit ini mampu mengangkat hukum waktu, lubang hitam,  serta gravitasi menjadi tidak membosankan ditonton.

Mundur ke tahun 2010, Inception mengangkat waktu juga. Waktu maju dan mundur secara drastis dan ekstrim diperagakan lewat sinematografi yang menarik dan bagus. Kemudian mundur lagi ke belakang ada film yang mengantarkannya mendapatkan Piala Oscar tahun 2001, yaitu film yang berjudul Memento.

Belakangan, ketika Pandemi COVID-19, Nolan kembali merilis filmnya yang masih bermain dengan waktu, yaitu Tenet (2020). Tenet menceritakan dua agen mata-mata, Protagonist (John David Washington) dan Neil (Robert Pattinson) pada misi yang akan menyelamatkan Perang Dunia III, dengan cara mengembalikan waktu (time invertion).

Konsep dari time invertion lebih kompleks daripada time travel. Tokoh-tokoh pada film Tenet, mengalami peristiwa secara berbalik. Di sana terdapat efek dari peristiwa itu sendiri, yang kemudian menjadikan tokoh utama John David Washington mempelajari alur waktu dari peristiwa yang dialaminya. Waktu pada film Tenet tidak berjalan seperti biasa.

Konsep Waktu

Konsep waktu pada film-film karya Cristopher Nolan memang tidak muncul secara serta merta, Nolan sudah memikirkan serta menggarapnya sejak lama. Penulis akan bahas mengenai waktu secara bahasa terlebih dahulu.

Menurut KBBI, waktu adalah “seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung: tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi pada — yang akan datang.” Sementara secara etimologi waktu adalah “jangka masa tertentu yang terdapat permulaan dan batasannya.” Einstein berbicara waktu lewat teorinya yang sangat terkenal pada tahun 1916, theory of relativity. Teori Relativitas ini menjadi lompatan besar mengenai gravitasi, yang dulu digagas oleh Sir Isaac Newton pada tahun 1687.

Pemikir muslim Mulla Sadra berpendapat mengenai waktu bahwa, “Waktu adalah kadar gerak dan ukuran hal-hal yang bergerak sebagaimana dirinya bergerak.” Keberadaan waktu sangat misterius, apabila meminjam bahasa Slavoj Zizek, waktu berada pada wilayah realisme magis.

Waktu memang sangat misteri, namun hal tersebut justru membuat Cristopher Nolan sebagai sutradara (pekerja seni) banyak mengeksporasi waktu. Terbukti dari karya-karyanya yang mengangkat waktu mendaptkan respon yang baik dari penonton. Bahkan tidak sedikit film-film karya Nolan mendapatkan penghargaan serta pujian.

Nolan memainkan waktu menjadi tidak biasa, tidak pasif, bahkan tidak menjadi kata benda. Waktu di tangannya menjadi sesuatu yang aktif, beriringan dengan gerak aktor, bahkan memutar balik secara ekstrim. Namun, apa yang sudah dilakukan oleh Nolan jutru membuat banyak pertanyaan mengenai waktu itu sendiri. Jadi sebenarnya apa itu waktu? Seperti apa konsep waktu?

Dalam Film Tenet sebenarnya ada beberapa konsep waktu yang dibuat oleh Nolan. Seperti adanya koneksi antara hari ini dan masa depan, serta hari ini dan masa lalu. Siklus konektivitas waktu ini sekarang sudah semakin terang, bahkan dalam beberapa adegan percakapan dalam film Tenet mengatakan bahwa “Kita terkoneksi dengan masa depan lewat mesin, melalui kartu kredit dan paylater.

Konektivitas hari ini dengan masa depan ini perlu kita renungkan, bahkan akan menjadi satu konsep yang sangat bagus, apabila memang dikonsep dengan baik. Sehingga masa depan sudah dapat diprediksi, bahkan disiapkan hari ini.

Literasi Manusia Indonesia

Saya tidak menghubungkan film Tenet karya Cristopher Nolan dengan keadaan literasi di Indonesia. Namun paling tidak dapat mengambil spirit konektivitas masa depan yang dipersiapkan hari ini. Manusia Indonesia sebenarnya sekarang sedang dibombardir oleh koneksi hari ini dengan masa depan, lewat aplikasi-aplikasi yang menyediakan paylater seperti portal-portal belanja online, selain itu, bank juga menyediakan kartu kredit yang membuat orang terkoneksi dengan masa depan. Apabila ditinjau lebih jauh lagi, konektivitas yang terjadi sekarang adalah konektivitas “utang” (maksud penulis adalah konektivitas dengan masa depan itu kebanyakan utang. Dinikmati sekarang, masa depan membayar dan terus membayar).

Percaya atau tidak percaya, bahwa kita terkoneksi dengan masa depan. Hal ini sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh para pegiat literasi dalam membangun literasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Membangun literasi di Indonesia tidak datang secara serta merta, tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan. Sebab literasi bukan produk instan, melainkan produk budaya yang mengakar. Menjadikan manusia Indonesia lebih baik lagi, manusia Indonesia lebih literat, manusia Indonesia lebih cakap dan tanggap dalam memecahkan masalah.

Perlu disadari, bahwa dalam melakukan koneksi dengan masa depan, kita di hadapkan dengan kapitalis-kapitalis yang menyediakan layanan atau konten-konten “utang”. Akan tetapi, dengan banyaknya geliat literasi di berbagai daerah (lewat Taman Bacaan Msayarakat), penulis memiliki keyakinan bahwa kapitalis-kapitalis itu bukan sebagai halangan, melainkan sebagai amunisi (peluru) untuk kembali ditembakkan padanya.

Kembali pada film Tenet karya Cristopher Nolan, bahwa film ini bagi penulis salah satu film bagus yang rilis pada masa Pandemi COVID-19. Yang belum menonton silakan menonton, yang sudah menonton, mari mempersiapkan masa depan.

Categories
Artikel

Memaksimalkan Keuntungan Berliterasi Di Era Digital

Seiring kemajuan teknologi, tidak bisa dimungkiri, kebutuhan akan internet telah menjadi bagian dari kebutuhan primer manusia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna akses internet di Indonesia pada kuartal II tahun 2020 telah mencapai angka 196,7 juta atau 73,7% dari jumlah penduduk Indonesia. Angka ini meningkat sebesar 8,9% dibanding kuartal II tahun 2019 lalu.

 

Hal ini menunjukkan tingginya kebutuhan akses internet oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tentunya, penggunaan internet haruslah didukung kemampuan literasi digital sehingga bisa membawa kemajuan. Pentingnya literasi digital utamanya bagi usia produktif bahkan telah menjadi fokus dunia. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya literasi digital ke dalam 6 (enam) literasi dasar pada Forum Ekonomi Dunia 2015.

 

Tentunya, dengan kemampuan literasi digital yang baik, akan terlahir generasi melek teknologi yang mampu menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas. Sejalan dengan hal ini, dunia literasi sangat diuntungkan dengan adanya aktivitas literasi di era digital. Banyaknya pengembangan kreativitas yang semakin meningkat juga memberikan peluang-peluang yang sebelumnya belum pernah terbayangkan. Misalnya, munculnya profesi konten kreator seperti podcaster, youtuber, blogger, penulis di portal berbayar, dan masih banyak lagi.

 

Jika sebelumnya sarana untuk menyebarkan informasi masih terbatas melalui media cetak, kini kita bisa menikmati karya para konten kreator melalui banyak pilihan media. Kita juga bisa menjadi konten kreator, dan bersaing tidak hanya dengan para konten kreator di dalam negeri. Era ini mendorong kita untuk makin kreatif sekaligus juga kritis untuk bisa bertahan.

Di sisi lain, agar bisa memperoleh keuntungan dengan kemajuan teknologi ini, ada sejumlah hal yang seyogyanya kita lakukan. Jangan sampai, teknologi ini hanya menjadikan kita sebagai konsumen konten dan informasi yang beredar di jagad maya. Untuk itu, dibutuhkan peningkatan pemahaman penggunaan teknologi yang tepat guna.

 

Berdasarkan temuan yang dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) selama tahun 2019, dan dilakukan di 18 kota serta melibatkan 2.280 responden, didapatkan hasil yang cukup baik. Temuan tersebut mengungkapkan bahwasanya terdapat kelompok masyarakat yang telah mampu berpikir kritis saat mengonsumsi dan memproduksi informasi. Walaupun skor tertinggi tetap terdapat pada keterampilan mengonsumsi secara fungsional. Yang artinya masyarakat baru menggunakan media sosial sebatas mencari informasi saja.

 

Untuk itu, agar bisa memaksimalkan keuntungan berliterasi di zaman digital ini, berikut beberapa upaya yang bisa kita lakukan :

 

  • Memperbanyak referensi

Referensi dibutuhkan untuk memperkaya wawasan berpikir kita. Semakin banyak referensi, kita tak akan gampang terpengaruh oleh satu jenis pandangan saja. Hal ini juga membantu kita agar tak tergesa-gesa dalam bertindak atau melakukan hal-hal gegabah.

Misalnya saja saat mendapat sebuah informasi tertentu. Dengan referensi yang luas, kita bisa mempertimbangkan apakah informasi tersebut bermanfaat atau tidak. Referensi yang luas bisa didapat dengan mengakses media informasi yang tepat.

 

  • Memperluas cakrawala berpikir

Sejalan dengan poin pertama, memperluas cakrawala berpikir juga bisa kita dapatkan dengan memperluas referensi. Hal ini juga mendorong kita untuk lebih berpikir terbuka untuk ide-ide baru yang bisa melahirkan kreativitas dan produktivitas dalam menghasilkan karya atau produk.

 

  • Bergabung dengan komunitas yang positif

Kita juga bisa bergabung dengan komunitas positif untuk mendapatkan lingkungan positif yang mendorong kita untuk selalu berpikir positif pula. Ditambah kemudahan menciptakan komunitasyang tak terhalang jarak, kini kita bisa masuk ke berbagai komunitas. Kita juga bisa mengikuti banyak seminar online untuk meningkatkan kemampuan kita.

 

  • Meningkatkan keterampilan mengolah informasi

Menerima informasi haruslah diikuti dengan keterampilam mengolahnya. Karena informasi yang tidak diolah lebih lanjut hanya akan mengendap dan tak menghasilkan hal produktif. Biasakan diri berpikir lebih lanjut setelah mendapatkan informasi. Dan tak berhenti sampai di situ. Biasakan pula agar hal ini diikuti oleh kemampuan berpikir kritis, yang merupakan salah satu ciri kecakapan abad 21. Kita seyogyanya tidak menerima secara gamblang sebuah informasi. Tetapi mengolah informasi tersebut menjadi hal yang bermanfaat.

 

Generasi dengan keterampilan literasi digital yang baik adalah sebuah jalan untuk bisa menyelaraskan diri dengan kemajuan yang ada. Untuk itu, tidak cukup menjadi konsumen yang hanya mampu menerima informasi saja.Dibutuhkan banyak upaya positif agar bisa mendapatkan keuntungan maksimal di era teknologi yang memiliki kecepatan luar biasa ini. Sehingga kemajuan zaman menjadi sebuah hal yang harus disyukuri dan berkontribusi pada peningkatan peradaban. Bukannya malah menghancurkan.

 

Sumber :

teknologi.bisnis.com

literasinusantara.com

wartaekonomi.co.id

ugm.ac.id

Categories
Artikel

Tumpang Tindih Informasi

Sebelum internet datang dari kota lalu merasuk masuk ke kampung-kampung bahkan hingga pelosok-pelosok, orang Indonesia, termasuk saya, masih menggunakan cara-cara konvensional untuk memperoleh informasi. Cara-cara konvensional tersebut erat kaitannya dengan tradisi cetak berikut hasil-hasil produksinya, terutama buku, koran dan majalah, dan teknologi audio-visual berupa saluran radio dan televisi.

Namun, baik cara konvensional maupun audio-visual tidak semua orang kampung mampu mendapatkan aksesnya. Hanya orang-orang yang berlebih saja yang dapat menikmati “kemewahan” seperti itu, jadi informasi hanya menjangkau segelintir orang belaka. Atau bila ada orang yang tidak punya tapi ngebet hendak memiliki informasi, hendak tahu ihwal dunia di luar lingkungan sekitarnya, terpaksa harus berjuang “menduakan” bahkan “mentigakan” kemampuan keuangannya dengan kebutuhan yang mendesak benak. Atau bisa pula “mendekati” orang yang mempunyai aksesnya, dengan mengorbankan rasa malu.

Untuk menjadi tahu saat internet belum umum di kampung berarti informasi kebanyakannya saling dibagikan dari mulut ke mulut melalui mekanisme tradisi lisan yang memang merupakan kemampuan bawaan setiap orang sejak lahir. Artinya informasi yang berasal dari luar sana itu tidak banyak yang beredar di masyarakat, sehingga bila ada informasi baru yang diterbitkan oleh orang atau pihak punya aksesnya akan segera menyebar di tengah-tengah masyarakat. Demikian terus bertahan di benak dan mulut orang, hingga pada saatnya dengan informasi lainnya yang baru.

Akibat mekanisme penyebaran informasi melalui tradisi lisan itu akan membentuk kemampuan benak untuk dapat menyimpannya lebih lama. Dengan kata lain, otak yang jarang menerima informasi baru atau pergantiannya berselang-seling menyambangi kepala jadi mempunyai jeda untuk terus mengingat-ngingatnya. Sehingga wajar belaka, bila dulu zaman sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, saya punya kebiasaan untuk menghapal di luar kepala fakta-fakta yang berkisar di sekitar nama-nama ibu kota provinsi dan negara-negara lain, nama mata-mata uang, presiden-presiden, perdana menteri, peristiwa-peristiwa bersejarah baik yang terjadi di tanah air maupun di luar negeri. Atau konon, dulu pernah ada orang yang mampu mengingat ratusan nomor telepon. Itu semua karena informasinya masih terbatas.

Dalam pengalaman saya, itu semua terjadi hingga pertengahan tahun 2000-an. Setelah berkenalan dengan internet sekaligus teknologi era digital itu masuk ke kampung-kampung, mula-mula dalam bentuk warung internet, informasi menjadi deras sekali datangnya hingga kita sama-sama kewalahan. Kewalahan dalam arti informasi itu jadi menyebabkan agak sukar untuk menerimanya, membacanya, dan meresapkannya. Informasi yang awalnya hanya dalam bahasa daerah dan bahasa nasional menjadi pelbagai bahasa sedunia. Gencarnya informasi juga menyita waktu untuk mengumpulkannya, ketimbang membacanya. Apalagi kesempatan untuk mempertalikannya dengan konteks yang membarenginya dan jarak untuk meresapkannya di dalam benak.

Banjir informasi dari internet tersebut menyebabkan orang meninggalkan atau secara sengaja atau tidak terkurangi waktunya dari menimbanya dengan jalan konvensional. Misalnya, saya, meski tidak meninggalkan kebiasaan membaca buku dan majalah serta produk tradisi cetak lainnya, mulai mengunduh dan mengumpulkan pelbagai informasi dari internet itu sejak paruh kedua tahun 2000-an. Ya, dengan teknologi informasi yang baru itu kita semua dipermudah untuk mengaksesnya. Namun, paradoksnya juga tidak kurang-kurang, karena keluasan informasi itu nyatanya tetap saja berada di luar sana, tidak masuk, tidak terbaca, dan tidak diresapkan di dalam benak. Sehingga yang ada tetap saja ketidaktahuan seperti ketika internet belum ada, saat informasi masih langka. Dengan banjir informasi itu tetap saja membuat kita bodoh.

Untuk mewadahi informasi dari internet, awalnya saya hanya mengandalkan disket besar dan kecil yang hanya punya kapasitas ratusan kilobyte. Sehingga yang terwadahi hanya berupa file teks saja, tidak audio apalagi video. Namun, teknologi penyimpanan itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Selang beberapa lama, saya dapat menggunakan compact disk (CD) dan flashdisk yang dapat mewadahi hingga ratusan megabyte. Dengan teknologi ini, selain teks, saya juga jadinya dapat mengumpulkan file audio meskipun tidak banyak, sekaligus mencoba mengumpulkan file video. Apalagi setelah mampu membeli hardisk eksternal yang mula-mula kapasitasnya ratusan gigabyte dan sekarang mencapai terabyte. Demikian pula, flashdisk kian berkembang teknologinya, hingga setara dengan hardisk eksternal.

Di sisi lain, telepon genggam yang awalnya hanya digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan singkat, seperti yang pernah saya miliki pada awal tahun 2000-an, berkembang menjadi perkakas untuk mengakses informasi sekaligus mewadahinya. Ini saya rasakan sekali, setelah terpaksa keadaan “harus” memilikinya sejak akhir tahun 2016. Pasti saya termasuk orang “terbelakang” yang menggunakan telepon pintar. Karena sebelumnya saya tetap bersikeras bertahan untuk tidak memilikinya. Karena saya tidak mau terlalu ribet dengan berbagai godaan untuk terus terkoneksi ke dunia maya. Namun, karena desakan pekerjaan yang banyak dibagikan melalui dan hanya dapat diakses di media sosial, saya mengalah.

Akhirnya, kini saya merasa bahwa informasi sudah bertumpang-tindih sedemikian rupa, dan masih tetap berada di luar sana, tidak hadir di dalam diri saya. Informasi itu hanya tersimpan dalam rekaman sekian banyak disket, CD, flashdisk, hardisk eksternal, ditambah dalam telepon pintar yang setiap beberapa hari sekali saya kosongkan memorinya dan dipindahkan ke dalam hardisk laptop.

Dengan kekayaan informasi yang demikian berlimpah tersebut, seharusnya saya jadi banyak tahu kan? Tidak, saya tetap tidak tahu banyak. Karena informasi baru terus datang bertubi-tubi setiap saat, mustahil bagi saya untuk mengetahui semuanya. Untuk  menjadi tahu, saya tetap mengulang lagi pencarian informasi melalui cara-cara konvensional dan mengakses internet. Jadi, informasi yang bertumpang-tindih terus terjadi setiap hari dan yang penting terus saya simpan dalam perkakas memori eksternal, dan barangkali sedikit yang menyangkut di ingatan. Jadi, dibandingkan dengan dulu, sekarang kemampuan mengingat saya dan anda sekalian barangkali terus diperlemah dengan meruyaknya informasi yang tidak membedakan asal-usul, apakah dari kota atau dari kampung.***

 

*Peminat literasi, tinggal di Bandung.

 

 

Ciawi, 19 Januari 2021

Categories
Artikel

Tantangan TBM di Tahun 2021

Ada prediksi bahwa pada tahun 2021 akan terjadi rebound pertumbumbuhan ekonomi. Namun tak dapat dimungkiri, ketidakpastian masih relatif tinggi di tahun 2021 terkait perkembangan pandemi Covid-19.

Ketidakpastian, kebingungan dan keadaan darurat yang diakibatkan oleh virus corona dapat menjadi stressor bagi banyak orang. Ketidakpastian kapan wabah akan berakhir berdampak pada hampir semua sektor, termasuk pendidikan dan aktivitas masyarakat terutama anak-anak di area publik dan tempat ibadah.

Salah satu imbasnya adalah aktivitas literasi di TBM (Taman Bacaan Mayarakat) yang pastinya menimbulkan tantangan tersendiri bagi pengelolanya untuk tetap beraktivitas. Memasuki tahun 2021 tantangan terbesar bagi TBM adalah bagaimana tetap beroperasi menghadirkan tempat membaca dan aktivitas literasi lainnya yang menyenangkan, aman dan nyaman bagi masyarakat dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Berkaitan dengan wabah pandemi Covid yang tampaknya belum kelar di tahun 2021 mengharuskan pengelola berpikir ulang, mengatur strategi bagaimana menghadirkan TBM sebagai alternatif mengisi waktu terutama bagi anak-anak untuk tetap berliterasi.

Mampukah pengelola dan pegiat literasi untuk beradaptasi, berkolaborasi dan menghadirkan banyak inovasi. Menggali dan merevitalisasi sumber bacaan dan nilai budaya lokal lewat aktivitas literasi yang aman dan menyenangkan. Menyediakan layanan yang inovatif, bukan hanya membaca saja, tapi kegiatan interaktif lainnya dengan tetap meperhatikan protokol kesehatan.

Kesadaran bahwa berdasarkan riset Kemendikbud Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) pada tahun 2019 di Indonesia masih tergolong rendah dengaan angka 37,32%. Dari 16 indikator untuk menghitung hasil riset ini, masyarakat yang memiliki budaya untuk memanfaatkan taman bacaan masih tergolong rendah (1,03).

Belum lagi tantangan pengelola TBM untuk upaya sinergi dan kolaborasi, mencari dukungan dunia usaha dan industri (DUDI) membantu penambahan koleksi buku dan pemenuhan akses terhadap bahan-bahan literasi melalui dana tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR). Tak dapat dipungkiri, ketersediaan bahan bacaan yang baik dan bermutu tentu menjadi prioritas penting dalam meningkatkan mutu taman bacaan yang dikelola.

Segala upaya menghadirkan program-program inovatif yang diinisiasi penggiat literasi dengan dibantu banyak pihak termasuk pemerintah. Mengembangkan potensi dan kapasitas pengelola dan penggiat dalam membuat TBM yang dikelola tetap menarik dan menjadi alternatif kegiatan literasi mengasyikkan sesuai sumber daya yang dimiliki saat ini. Memfasilitasi anak-anak yang lebih asyik menggunakan gawai dan berinternet ria dibandingkan dengan membaca buku cetak. Memperkenalkan tokoh sastra, membaca karya sastra yang ada, mencoba berbagai aktivitas membaca dan menulis yang lebih mengasyikkan untuk mengimbangi aktivitas game online dan asyik sendiri dengan media sosial.

Tantangan TBM di tahun 2021 masih berkutat dalam upaya mengajak setiap orang, siswa, masyarakat dan keluarga untuk menjadikan aktivitas membaca, menulis dan berliterasi sebagai perilaku positif dan diharapkan kedepannya menjadi budaya bagi setiap warga Indonesia. Upaya menjadikan TBM yang dikelola sebagai TBM kreatif-rekreatif. Sebagai pusat kegiatan literasi yang edukatif, kreatif, inovatif dan menyenangkan serta melibatkan masyarakat secara aktif dan memberikan dampak positif bagi masyarakat secara lebih luas.

Memberikan layanan atau aktivitas pengembangan budaya baca dan literasi dasar lainnya dengan tetap memperhatikan potensi daerah, budaya dan kemampuan pegiat literasi. Untuk memenuhi hal ini, dibutuhkan penyegaran, pembimbingan dan pendampingan bagi lebih banyak pegiat literasi yang kreatif dan peduli. Bahkan tantangan pandemi bukan dianggap sebagai kendala, justru memicu semangat memberikan layanan dan memperluas jangkauan pengabdian, melakukan aksi di berbagai bidang pengembangan 6 literasi dasar (literasi baca tulis, literasi numerik, literasi sains, literasi finansial, literasi digital serta literasi budaya dan kewargaan)

 

Semoga bermanfaat

Salam