Categories
Artikel Opini

Menertawakan Akal Menghitung Bintang #9

Nashruddin Khoujah, ya, nama itu kembali kehadapan pembaca. Setelah beberapa hari tidak muncul karena ada beberapa halangan, sekarang kembali lagi dengan cerita-cerita satirenya. Cerita satire dari Nashruddin Khoujah sendiri hidup hidup di semua kalangan, bahkan lintas budaya, serta masuk dan diterima oleh masyarakat.

Seperti cerita Nashruddin Khoujah yang satu ini, berjudul ANDAIKATA SEMUA HARI ITU ADALAH HARI RAYA

Nashruddin pergi ke sebuah kota pada saat daerahnya mengalami musim paceklik. Di sana ia melihat penduduknya bersukaria dan hidup mapan. Mereka menyuguhkan manisan termahal dan makanan paling enak. Dengan perasaan heran Nashruddin bertanya, “Mengapa daerah ini berekonomi tinggi dan mapan? Sedangkan penduduk di daerahku sedang mengalami krisis pangan?” Salah seorang hadirin menjawab, “Tahukah Anda bahwa kami sedang berhari raya?” Semua orang menghidangkan manisan dan makanan paling enak, lebih enak daripada makanan dan minuman dalam setahun.” Sejenak Nashruddin berpikir, lalu berkata, “Andaikata setiap hari adalah hari raya, maka penduduk di daerahku selamat dari kekurangan makanan.”

Cerita Nashruddin Khoujah yang satu ini sederhana namun sangat ngena. Terkolerasi dengan realitas sekarang. Apabila diperluas konteks dari cerita di atas, maka akan ketemu dengan kata kaya dan miskin, bersyukur, sedekah, dll. Akan tetapi, apabila dilihat dari sudut pandang logika, cerita dari Nashruddin Khoujah ini akan bertemu dengan struktur, baik struktur manusia, psikologi, bahkan mungkin bertemu dengan struktur musim.

Pada tulisan kali ini, penulis tidak menelisik lebih jauh dari cerita ANDAIKATA SEMUA HARI ITU ADALAH HARI RAYA hanya memberika beberapa kisi-kisi supaya pembaca yang menelisik dan berpikir lebih jauh tentang cerita ini.

Yang jelas, cerita Nashruddin Khoujah dapat dilihat dari kata mata apa saja, dan oleh karena itu pula ceritanya bertahan hingga sekarang serta kontekstual.

Categories
Artikel Opini

Menertawakan Akal Menghitung Bintang #8

Sepertinya cerita yang satu ini lebih populer dikalangan pembaca, pasalnya ceritanya banyak dimodifikasi di setiap negara, termasuk di Indonesia. Cerita Nashruddin Khoujah yang populer ini berjudul AYAM JANTAN TIDAK TAHU JALAN.

Nashruddin meletakan ayam jantan miliknya ke sebuah kurungan. Ia membawanya dari suatu kota ke kota lain untuk menjualnya. Ketika tiba di tengah perjalanan, sedangkan Nashruddin berat membawa kurungan tersebut, ia mulai berpikir, “Hewan ini nyaris mati karena kepanasan dan terkurung, satu ayam menumpuk yang lainnya. Mengapa aku tidak melepaskan dan membiarkannya berjalan sendiri menuju tempat yang aku maksud?”

Demikianlah, Nashruddin akhirnya membuka kurungannya dan melepaskan ayam-ayamnya. Maka masing-masing ayam jantan beterbangan ke arah yang berbeda. Nashruddin mengambil tongkat dan mengejar seekor seraya berkata “Keparat kamu, kamu tahu perbedaan waktu subuh dan tengah malam, namun tidak tahu jalanmu di siang hari!”

Bagaimana pembaca dengan cerita Nashruddin Khoujah yang satu ini? Bagaimana dengan cerita ini menurut pendapat Anda?

Meskipun populer, namun cerita ini sangat mendalam maknanya. Selain itu juga menghibur yang sedang stres. Pasalnya, siapa yang tidak tersenyum dan bahkan tertawa membaca cerita ini. Cerita ini juga dapat dijadikan jokes ketika ngumpul bareng dengan kawan-kawan atau ketika sedang stand up comedy.

Terkadang penulis berpikir, di balik tertawa atau menertawakan selalu ada makna lain. Makna yang lebih mendalam, mungkin juga mendalam banget. Atau juga sedang menertawakan diri sendiri karena pernah mengalami hal-hal seperti dalam cerita Nashruddin Khoujah. Ya mungkin itulah kehidupan dengan segala dinamikanya dan segala rahasia yang belum terungkap.

*Redaksi Forum TBM

Categories
Artikel Opini

Utusan Sultan Agung ke Mekah Tahun 1642

Oleh. Atep Kurnia*

Mekah dipandang sangat penting bagi raja Mataram sebelum bergelar Sultan Agung (1613-1645). Tempat di Jazirah Arabia itu tidak hanya dianggap tempat keramat dalam Islam yang dianut sang raja, melainkan menjadi tempat untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya di Pulau Jawa.

Fakta ini saya simak dari buku Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Cet. 2, Pustaka Utama Grafiti, 1990) karya H.J. De Graaf. Aslinya, buku itu bertajuk De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) sebagaiVerhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde jilid ke-23 dan diterbitkan tahun 1958.

Sekilas, Prof. Dr. Soedarsono, dalam “Sepatah Sambutan” (1990: vi), menyebutkan raja Mataram itu mula-mula bergelar Panembahan saat naik takhta pada 1613, kemudian Susuhunan tahun 1624, dan menggunakan gelar Sultan sejak 1641 sebagai anugerah dari Mekah.

H.J. De Graaf sendiri membahasnya dalam satu bab khusus, “Bab XVII. Penerimaan Gelar Sultan, 1641-1642”. Menurutnya, Panembahan Cirebon mengusulkan gelar Ratu Mataram kepada junjungannya dalam Sidang Raya Kerajaan tahun 1636, tetapi raja tidak menerimanya. Namun, karena raja Banten mendapatkan gelar sultan dan panji dari ulama besar di Mekah tahun 1638, hal itu menimbulkan iri hati raja Mataram.

Untuk mewujudkan keinginannya, raja Mataram mendekati orang Inggris yang tinggal di Jepara, sebagai perantara untuk menuntut orang Inggris di Banten agar meminta gelar sultan dari raja Banten. Raja Mataram mengirim utusan pada 20 Oktober 1638 kepada orang Inggris di Banten dengan hadiah sebilah pedang dan keris. Sebagai jawabannya, orang Inggris bersama seorang Portugis menyampaikan jawaban ke Mataram pada awal 1639. Kunjungan itu tak luput dari amatan orang Belanda.

Sebagaimana ditemukan De Graaf dari Daghregister tanggal 20 November 1640, setiap hari orang Inggris mengunggu kedatangan utusan Jawa yang dikirimkan ke Mekah melalui India. Utusan Jawa itu diperkirakan berangkat pada pertengahan 1639, setelah perjanjian dengan utusan tanggal 20 Oktober 1638. Pada 27 Januari 1641, duta Jawa dibawa orang Inggris ke Banten. Dari Banten, utusan itu dikawal Kiai Narantaka atas perintah Sultan Banten. Si utusan dari Jazirah Arabia membawa “sebuah gelar baru dari tanah Arab dan disebut Sultan Abdul Mahomet Moulana Mataram (sebenarnya-mungkin Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani (Daghregister, 30 Okt. 1641)”. Akhirnya, sejak 1 Juli 1641, seperti tertulis dalam Daghregister, 1 Juli 1641, namanya sudah disebut “Sultan Mataram”.

Ternyata, pihak Belanda juga berhasrat membantu raja Mataram mendapatkan gelar sultan dari Mekah, dengan syarat sebagai imbalannya tawanan Belanda dilepaskan. Ini terungkap dari surat tanggal 24 April 1640 dan 21 Agustus 1640 yang menyatakan Belanda mau membawa utusan raja ke Mocha, Aceh atau Dabul. Tapi pihak Mataram tidak menanggapinya. Di sisi lain, Ralph Cartwright dan kawan-kawan yang mengantarkan pembawa gelar sultan dari Mekah ke Mataram, menyanggupi untuk mengantarkan lagi “utusan raja Mataram, yaitu ulama Arab beserta 18 orang Jawa yang pandai dan kurang lebih 6.000 rial logam untuk disedekahkan di makam Mahometh” dengan menumpang Kapal Reformation.

Menurut perkiraan De Graaf, pengiriman itu berikut uangnya demi kepentingan sultan Mataram menunaikan ibadah haji. Sekaligus mengejar momentum berpuasa di Tanah Suci selama bulan Ramadan, yang jatuh pada November-Desember 1642. Karena sultan tidak bisa berangkat, maka ia menugaskan para penggantinya untuk menunaikan ibadah haji, dengan biaya ditanggungnya semua.

Namun, Kompeni Belanda menyerang Kapal Reformation dengan empat kapal di Pulau Onrust pada 11 Juli 1642. Akibatnya, seorang Inggris tewas, 3-4 luka-luka, ulama Arab (Haji Gusarath) ditangkap beserta dua ulama Jawa dan uang 5740 real dirampas. Sedangkan 15 orang Jawa lainnya dibunuh.

Selain penumpang Kapal Reformation, orang Jawa yang menumpang kapal milik seorang ’Chilj Poutj’ dan di bawah lindungan Inggris dipaksa menyerah kepada Belanda. Ada 38 orang Jawa yang menyerah. Setelah penangkapan-penangkapan itu, Haji Gusarath ditahan, diinterogasi, dan diharuskan menulis surat kepada sultan Mataram. Isi suratnya berkisar di sekitar kabar bahwa tawanan Jawa akan dibebaskan bila tawanan Belanda dibebaskan pihak Mataram. Suratnya dititipkan pada 12 Juli 1642 kepada orang Jawa bernama Patra Hita yang akan berlayar dengan kapal ’Chilj Poutj’ yang sudah dibebaskan.

*Pengurus pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Categories
Artikel Opini

Menertawakan Akal Menghitung Bintang #7

Berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya, pada cerita yang satu ini Nashruddin Khoujah memainkan sebuah psikologi perasaan. Namun tetap memainkannya melalui akal. Cerita tersebut berjudul BELUM TERKENA APA-APA.

Nashruddin keluar untuk mencari kayu bakar di gunung. Ia berbekal beberapa semangka untuk melepas rasa dahaga di gunung yang tandus itu. Setiap kali merasa haus, Nashruddin memecah sebuah dan memakan sebagian kecil, lalu membuang sisanya karena dianggap belum masak. Hal itu terjadi berulang-ulang sampai semangkanya habis; ia pecah sebuah lagi, memakan Sebagian kecil dan melempar sisanya ke onggokan sampah.

Ketika terik matahari sangat menyengat, Nashruddin menjadi kehausan. Ia merasa harus memungut kembali semangka yang dilemparkannya ke tumpukan sampah. Maka dipungutnya kembali sisa potongan-potongan semangka tersebut sambil berkata, “Semangka ini tetap suci, semangka ini belum terkena apa pun.” Sampai ia berhasil mengumpulkan semua semua sisa semangkanya.

Pembaca dapat menapsirkan sendiri cerita Nashruddin Khoujah di atas. Yang jelas, dalam cerita tersbut terdapat pemikiran yang mendalam terhadap kehidupan. Nashruddin mengikatkan satu hal tentang perbekalan dan sebuah kemungkinan yang akan terjadi.

Cerita Nashruddin Khoujah di atas betul-betul satire. Cerita tersebut dapat dirasakan oleh pembaca, dan mungkin pernah dialami kejadian yang serupa atau mirip seperti itu. Bukan perjalanan ke gunung dan semangkanya, namun sebuah proses yang dilakukan oleh Nashruddin Khoujah.

Perjalanan ke gunung, semangka, serta terik matahari yang menyengat sehingga Nashrudin kehausan adalah sebuah personifikasi atas kehidupan yang sedang dijalani. Setiap orang memiliki pengalaman spiritual yang berbeda.

Lagi-lagi, dengan akal Nashruddin Khoujah menggambarkan sebuah kehidupan.

*Redaksi Forum TBM

Categories
Artikel Opini

Cerita yang Menyatukan

Oleh. Aris Munandar*

World Storytelling Day tahun ini mengambil tema Building Bridges. Mengingat banyak konflik dan perpecahan yang terjadi di dunia belakangan ini. Cerita dan komunikasi diyakini dapat membantu meredakan konflik dan menyembuhkan perpecahan tersebut. Pada akhirnya cerita akan menjadi jembatan yang menyatukan kita semua.

Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) melalui Bidang Program dan Kemitraan menjadikan tema Cerita yang Menyatukan sebagai benang merah dari beberapa program yang telah diagendakan. Sesuai dengan fokus rencana kerja 2024, yaitu: (1) peningkatan ketersediaan bahan pustaka; (2) mengamplifikasi kegiatan literasi yang dilakukan oleh TBM; (3) optimalisasi peran TBM; serta (4) menjalin kemitraan secara pentahelix. Program kerja ini bertujuan menciptakan ekosistem literasi yang partisipatif dan berkelanjutan.

Ketersediaan buku bermutu dan kemampuan kita untuk bisa mengaksesnya masih menjadi tantangan dalam gerakan literasi, khususnya di masyarakat. Forum TBM melihat ini, selain sebagai tantangan, sekaligus menjadi peluang. Kuncinya terletak pada bagaimana kapasitas pengiat TBM, baik pengelola maupun relawan, bisa mumpuni untuk melakukannya. Sebuah mimpi besar yang dijajaki oleh kerja-kerja besar. Kerja-kerja yang konsisten dan berkelanjutan.

Menulis Cerita Anak di TBM merupakan suatu kerja awal. Tujuannya: (1) meningkatkan motivasi pengelola dan relawan TBM untuk belajar menulis cerita anak yang menarik dan edukatif; (2) mendukung pengembangan TBM sebagai pusat literasi dan sastra anak; serta (3) mendorong lahirnya penulis-penulis cerita anak baru dari pengelola dan relawan TBM. Diharapkan hasilnya dapat memperkaya ketersediaan buku bermutu dan mudah diperoleh. Selanjutnya, bagaimana bahan bacaan bermutu yang telah tersedia tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal.

Desain program kerja 2024 menempatkan 3 kegiatan utama dalam pemanfaatan bahan bacaan, yaitu: membaca, mendongeng, dan membaca nyaring. Program Membaca di TBM adalah salah satu program yang diselenggarakan oleh Forum TBM. Program ini sebagai kampanye gerakan membaca, serta ajakan kepada pegiat dan relawan TBM untuk selalu membaca buku. Membaca merupakan substansi dari gerakan literasi masyarakat yang dimotori oleh TBM. Selanjutnya, kegiatan mendongeng diwadahi dalam Muhibah Dongeng. Muhibah Dongeng adalah program yang terdiri dari pagelaran mendongeng dan peningkatan kapasitas pegiat TBM, pengelola dan relawan, dalam mendongeng. Sedangkan membaca nyaring di TBM adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca anak-anak dan menumbuhkan kecintaan mereka terhadap buku.

Momentum Ramadan dianggap sebagai saat yang tepat untuk memperbaharui semangat literasi kita. Pada bulan Ramadan wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Wahyu yang berupa perintah: “Iqra!” Perintah membaca sebagai penanda dimulainya era pencerahan yang menerangi abad kegelapan. Sebuah momentum yang bisa kita maknai untuk meneguhkan niat kita sebagai pegiat TBM untuk terus bergerak di jalan literasi.

Untuk itu, sepanjang Ramadan ini, Forum TBM menyelenggarakan kegiatan Ngabuburit di TBM. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai kegiatan untuk mengisi waktu menjelang waktu berbuka dengan hal yang bernilai literasi. Tahun lalu, Ngabuburit di TBM diisi dengan kegiatan mendongeng. Tahun ini diisi oleh kegiatan membacakan buku cerita anak. Pengisi kegiatan Ngabuburit di TBM terdiri dari: Pengurus Pusat, Wilayah, dan Daerah Forum TBM, serta pengelola dan relawan TBM. Ngabuburit di TBM digelar melalui tayangan live-delayed di akun youtube Forum TBM pukul 17.00 WIB setiap harinya.

Kegiatan Ngabuburit ini dirangkai dengan kegiatan Kurma Ramadan, Kupas Cerita Anak Sepanjang Bulan Ramadan. Dalam Kurma Ramadan, cerita yang dibacakan saat Ngabuburit di TBM dikupas dengan pendekatan tertentu. Ada 2 pendekatan utama yang digunakan, yaitu: 7 model komunikasi dan aspek perkembangan anak. Pendekatan ini diterapkan agar para pegiat dan pengelola TBM dapat lebih memahami kegiatan membacakan cerita pada anak dapat menciptakan pengalaman yang kaya dan mendalam. Tidak hanya memperkaya keterampilan berbahasa dan keterampilan literasi anak, tetapi juga mendukung perkembangan mereka dalam berbagai aspek lainnya.

Keberadaan pegiat TBM sebagai fasilitator dalam membacakan cerita untuk anak sangatlah vital. Semakin mumpuni kapasitasnya, maka akan semakin tinggi dukungan terhadap perkembangan anak-anak yang menjadi auidensnya. Ini berlaku juga dalam kegiatan mendongeng. Untuk itu, bertepatan dengan World Storytelling Day dan ulang tahun ke-4 Muhibah Dongeng tanggal 20 Maret 2024, Forum TBM kembali mengadakan lokakarya peningkatan kapasitas pendongeng di TBM. Melalui lokakarya ini diharapkan para peserta dapat tergugah kesadarannya terhadap keberadaan cerita rakyat yang ada disekitarnya. Sebagai keluaran dari lokakarya ini dicanangkan dapat menghimpun cerita-cerita yang ada disekitar kita. Sehingga, melalui lokakarya ini, para peserta akan dibekali keterampilan untuk melestarikan cerita rakyat tersebut dalam berbagai bentuk.

Keragaman cerita yang nantinya terhimpun akan menjadi jembatan agar anak-anak kita dari berbagai daerah saling mengenal satu dengan lainnya. Pertama, cerita-cerita tersebut akan dihimpun dalam bentuk video mendongeng yang dibawakan oleh para peserta. Kedua, cerita rakyat yang berasal dari daerah sekitar TBM peserta berasal akan ditransformasikan menjadi teks dongeng. Ketiga, agar teks dongeng ini bisa dimanfaatkan secara lebih optimal, maka akan dibutuhkan sejenis panduan penggunaannya. Keempat, layanan mendongeng yang ada pada TBM peserta bisa juga dijadikan sebagai contoh praktik baik. Kelima, praktik mendongeng di TBM pada dasarnya merupakan model pembelajaran alternatif yang bisa kita kembangkan.

Kumpulan teks dongeng yang berhasil dikumpulkan, bukan hanya bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk para pendongeng di TBM. Teks dongeng bisa dimanfaatkan juga untuk layanan lainnya di TBM, salah satunya membaca nyaring. Membaca nyaring perlu kita dorong sebagai layanan unggulan di TBM. Mempromosikan membaca nyaring di TBM sebagai salah satu cara ampuh membangun keterampilan literasi. Sepertihalnya mendongeng di TBM ada Muhibah Dongeng, demikian pula dengan membaca nyaring perlu dibangun juga komunitasnya. Tidak kalah penting perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan membaca nyaring untuk pengelola dan relawan TBM.

Sepertihalnya gugusan kepulauan yang merangkai Nusantara serupa jamrud di khatulistiwa, demikian didalamnya tersimpan kekayaan cerita-cerita yang menyatukan kita sebagai bangsa Indonesia. Literasi untuk semua sebagai semangat bagi kita untuk terus tumbuh dan berkembang bersama. TBM-TBM yang tersebar di seluruh penjuru negeri harus menjadi motor utama gerakan literasi di masyarakat. Forum TBM hadir melalui berbagai programnya, adalah rumah besar bagi para anggotanya.

*Ketua Bidang Program dan Kemitraan
Pengurus Pusat Forum TBM

Categories
Artikel Opini

Menertawakan Akal Menghitung Bintang #6

Tingkah dan perkataan Nashruddin Khoujah tidak dapat diprediksi. Seperti dalam cerita MAKAMKAN AKU DALAM MAKAM TUA. Nashruddin Khoujah sedang mempermainkan akal dan nalar dalam cerita tersebut.

Nashruddin berpesan kepada keluarganya agar setelah meninggal ia di makamkan di sebuah makam tua. Keluarganya bertanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Bila dua malaikat maut datang kepadaku untuk bertanya, aku jawab ‘Aku sudah lama dalam makam ini dan sudah pernah ditanya.’ Ketika mereka melihat makamku, maka mereka membenarkan perkataanku, sehingga mereka pun meninggalkanku. Demikianlah agar aku terhindar dari dasyatnya pertanyaan mereka dengan cara termudah.”

Dari cerita tersebut dapat kita cermati bagaimana Nashruddin Khoujah memainkan akal dan nalar untuk mengatasi sesuatu. Dalam konteks cerita adalah menghindari pertanyaan dua malaikat maut. Akan tetapi, membuat mudah perkara (atau membuat perkara menjadi mudah) sering juga terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia.

Namun yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah akal ini dan bagaimana akal ini bermain?. Akal banyak sekali disebutkan dalam Al-Quran. Akal sendiri berasal dari kata Arab al-‘Aql merupakan kata benda. “Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه (dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون (24 ayat, na’qil (نعـقـل (1 ayat, ya’qiluha (یعـقـلھا (1 ayat dan ya’qiluun (یعـقـلون (22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.” Dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Ade Jamarudin, SS, MA, yang berjudul Existensi Fungsi Akal Manusia Perspektif Al-Quran.

Dalam Al-Quran sendiri Allah memperikan petunjuk mengenai akal dalam firmannya. Salah satunya melalui ayat di bawah ini:

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. Al-Israa’ ; 70).

Al-Quran mengajak manusia untuk berpikir, dan hal ini tertuang dalam surat Al Anfal ayat 22 dan surat Yunus ayat 100. Maka ketika membaca cerita dari Nashruddin Khoujah, kita tidak begitu kaget dengan permainan akal yang dimainkan olehnya. Hal tersebut dapat mengajak manusia berpikir dalam konteks yang benar.

*Redaksi Forum TBM