Categories
Buku Resensi Resensi Buku

PROBLEMATIKA RUMAH TANGGA MUDA

Judul: Yang Tak Kunjung Usai

Penulis: Awi Chin

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan: ke-2 Oktober 2022

Halaman: 387 hlm

Salah satu episode penting, yang diiceritakan di akhir novel Yang Tak Kunjung Usai karya Awi Chin adalah problematika keluarga yang dijalani Saul dan Mey. Seperti apakah problematikanya? Bagaimana problematika ini diselesaikan?  Inilah yang coba dipaparkan di sini. 

Dalam narasi panjang awal novel ini bercerita tentang kisah cinta sejenis antara Saul dengan Bagas yang mulai diketahui teman-temannya. Untuk menyelematkan hubungan sejenis antara Saul dan Bagas, keduanya sepakat agar Saul memacari Mey. Tapi, saat keduanya berpacaran dan dalam keadaan mabuk, terjadi hubungan antara keduanya yang membuat Mey hamil. 

Kehamilan inilah yang memaksa Bagas dan Saul berpisah. Saul pun bertanggung jawab dengan perbuatannya. Saul pun menikahi Mey. Dari sini terbentuklah keluarga pasangan muda Saul dan Mey yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dari sinilah serangkaian persoalan menerpa Saul dan Mey. 

Pertama, persoalan kecemburuan yang berpangkal pada Bagas mantan kekasih sejenis Saul dan Nando pemuda yang sangat mencintai Mey. Kehadiran Bagas lewat suratnya membuat Mey cemburu dan kehadiran Nando membuat cemburu. Kecemburuan yang membuat keduanya bertengkar hebat dan sampai berpisah beberapa hari. 

Namun demikian, dua persoalan yang berakar dari kecemburuan itu bisa diatasi dengan keterlibatan keluarga Mey dan Saul yang memberikan nasihat untuk menyikapinya dengan sabar. Dalam keberlanjutan waktu, Saul dan Mei pun kembali bersatu kembali dalam ikatan cinta yang semakin kuat. 

Kedua, persoalan ekonomi. Ya, setelah keduanya lulus SMA, maka persoalan ekonomi itu hadir. Saul menyadari bahwa ia harus bisa menafkahi keluarganya dan menyiapkan tabungan untuk kelahiran dan masa depan anaknya. Saul pun memutuskan bekerja sebagai kuli tanbang emas. Tentu saja ini menyita waktu Saul sehingga Mey pun merasa kesepian karena sendirian di rumah. 

Dari sini berbagai riak kecil persoalan keluarga Saul dan Mey berletupan. Mulai dari keharmonisan hubungan suami istri, rasa capek yang menyiksa, dan emosi yang memuncak. Namun, persoalan ini pun bisa diatasi dalam bingkai rekoniliasi keduanya. Alur kehidupan rumah tangga pun berjalan kembali. 

Ketiga, persoalan pengasuhan anak. Saul dan Mey masih terlalu muda. Mey merasa bahwa keduanya tidak akan bisa mengasuh anak dengan baik. Apalagi, setelah melahirkan Mey punya cita-cita melanjutkan perkuliahan. Mey pun mengambil keputusan untuk memberikan hak pengasuhannya pada kakaknya Cece Fey. 

Tentu saja, Saul menolak. Saul dan Mey pun terjadi cek cok karena persoalan ini. Persoalan yang tidak bisa mencapai kata sepakat sehingga membuat kelelahan keduanya. Keduanya pun bersepakat untuk tidak membahasnya kembali. Pembahasan apapun akan menyebabkan keduanya saling menyakit dan tak terselesaikan. Romantika keluarga pun berjalan kembali. 

Keempat, puncak persoalan keluarga Saul dan Bagas adalah kelahiran anak keduanya yang dalam keadaan prematur, baru tujuh bulan. Dalam kondisi bayi yang belum saatnya lahir dan Mey yang kritis, dokter menyampaikan bahwa yang bisa diselematkan atas kelahiran ini adalah pilihan antara ibunya atau anaknya. 

Dalam keadaan yang penuh penderitaan ini, Saul memilih ibunya, Mey yang harus diselematkan. Tapi, ternyata Mey malah meminta bayinya yang harus diselematkan. Mey pun meninggal dunia. Saul sangat menderita dan mencoba bunuh diri juga. Tapi, pamannya menelamatkannya. Saul selamat dan menanggung penyesalan yang termat sangat. Penderitaan yang menjadikan momen terbaik Saul untuk lebih mendekatkan pada Tuhan. 

Problematikan hdup keluarga muda dalam novel ini menggambarkan potret dinamika kehidupan sosial anak-anak muda sekrang. Anak-anak muda yang terjebak dalam perilaku menyinpang dalam proses pencarian hidup yang berujung pada pernikahan muda, penderitaan, perpisahan, dan kematian. 

Inilah realitas yang dipotret, dikreasikan, dan disajikan dalam narasi di novel ini. Novel yang diberi judul Yang Tak Kunjung Usai karena dalam pernikahan mudah selalu mengintai berbagai oersoalan yang tak akan ada habisnya. Inilah yang harus kita renungkan dan maknai narasi dalam novel ini. 

 

Infokom dan litbang Forum TBM

Categories
Buku Resensi Resensi Buku

Konflik dalam Tiga Latar Sosial Politik

Judul : Pulang

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Halaman: 460 hlm

Tahun: 2022 Cetakan ke-21

 

Novel Pulang adalah novel kelima karya Leila S. Chudori yang saya baca. Seperti dalam novel lainnya, terutama novel Laut Bercerita dan Namaku Alam, novel ini menarik karena melibatkan bingkai pergolakan sosial politik dalam konteks serangkain konflik antartokoh dengan lingkungan sosialnya. Setidaknya, jika dipetakan, maka ada tiga latar sosial politik yang membingkai terjadinya konflik dalam novel Pulang karya Leila s. Chudori.

 

Pertama, latar politik tahun 1960. Kisaran tahun 1960-an adalah tahun peralihan dari pemerintahan orde lama ke orde baru. Tahun dengan suasana sosial politik yang mencekam karena adanya pergolakan pluralitas ideologi yang mendominasi. Konstelasi sosial politik dengan pilar nasional, agama, dan komunis yang ramai berkumandang dan hilir-mudik di masyarakat. Tidak heran jika, pada tahun 1960-an, konflik soail-politik dengan sumbu tiga ideologi kerap bermunculan di kehidupan masyarakat.

 

Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori, konteks sosial politik pada tahun 1960-an dibingkai oleh tokoh utama Dimas Suryo, Hananto Prawiro, Nugroho Dewantoro, Tjai Sin Soe, dan Risjaf. Tokoh-tokoh yang bersahabat dan sedang berapi-api dalam mempelanari ideologi berhaluan komunis. Agen-agen intelektual yang terlibat dalam dinamika pergeralan politik di negeri yang kemudian menjalani kehidupannya dalam serangkai konflik yang bersumber pada idelogi komunis yang diperjuangkannya.

 

Melalui surat kabar yang dikelola oleh Dimas Suryo, Hananto Prawiro, Nugroho Dewantoro, Tjai Sin Soe, dan Risjaf, suara suara bernada ideologi komunis dididengungkan dan diperjuangkan. Sekalipun, dalam keseharian mereka juga terjadi berbagai perdebatan ideologi, persahabatan, pendidikan, hingga percintaan. Semuanya dibingkai dalam resistensi dan konflik yang bernada intelektualitas dengan dominasi faham komunis di dalamnya.

 

Reaistensi dalam konflik inilah yang bisa kita nikmati dalam latar sosial politik tahun 1960-an. Latar sosial politik yang membingkai tokoh-tokoh Dimas Suryo, Hananto Prawiro, Nugroho Dewantoro, Tjai Sin Soe, dan Risjaf yang bergelut dengan cinta, keluarga, persahatan, dan perjuangan yang tidak pernah lepas dalam kontek sosial politih saat itu.

 

Kedua, latar sosial politik tahun 1965 sebagai puncak konflik sosial politik yang ditandai dengan penculikan yang dilakukan oleh organisasi yang dicap berfaham komunis terhadap dewan jendral. Peristiwa yang menandai peubahan pemerintahan dari orde lama ke orde baru. Gerakan organisasi komunis yang digagalkan ini membawa pergolakan yang laur biasa, terutama setelah orde baru berkuasa di bawah pemerintahan Preseiden Soeharto.

 

Dalam pemerintahan orde baru inilah bersih-bersih lingkungan atas kehadiran dan keterlibatan orang-orang yang beraliansi dengan komunis dilakukan. Kenyataan inilah yang membuat Dimas Suryo, Hananto Prawiro, Nugroho Dewantoro, Tjai Sin Soe, dan Risjaf terseret. Mereka masuk dalam daftar orang yang dicari karena telah dicap sebagai orang yang terlibat dalam organisasi komunis.

 

Dari sinilah, pada latar sosial politik tahun 1965 ini, novel Pulang karya Leila S. Chudori ini menarasikan berbagai resistensi dalam konflik perjuangan tokoh-tokoh untuk bisa meloloskan dari dari perburuan yang dilakukan oleh aparatur negara. Dalam perburuan itulah, Hananto Prawiro tertangkap dan disiksa dan dieksekusi mati, sedangkan Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Tjai Sin Soe, dan Risjaf meloloskan diri ke luar negeri dan menetap di Prancis.

 

Narasi novel kemudian membahas kehidupan mereka sebagai eks tapol di luar negeri, Perancis yang hidup dalam ketertekanan dan kerinduan pada tanah air yang menyiksa. Orang-orang eks tapol itu hidup dalam keluarga, persahabatan, pekerjaan, dan romantika cinta. Kehidupan problematik yang dilalui dengan penuh perjuangan karena latar sosial politk yang tidak berpihak padanya.

 

Berbagai drama dan konflik antartokoh terjadi dalam konteks sosial politik di orde baru ini. Konflik yang memberikan pengetahuan sejarah penting dalam dinamika bangsa kita. Dinamika sosial politik yang telah mendeskreditkan keluarga eks tapol yang membawa beban sejarah pada anak-anak mereka.

 

Ketiga, latar sosial politik tahun 1998 sebagai puncak atas konstelasi konflik sosial politik dalam novel ini. Pada konteks tahun ini ada perubahan dan pepindahan tokoh. Tokoh yang terlibat konflik sosial adalah Lintang Utara, Bimo Nugroho, Segara Alam, dan lainnya. Mereka adalah anak-anak muda yang meneruskan perjuangan politik ayahnya Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, dan Hananto Prawiro.

 

Konflik sosial dan politik tokoh-tokohnya menjadi puncak atas konflik poliitik dan sosial yang telah dibangun oleh orang tuanya, yaitu lengsernya Presiden Soeharto sebagai pemimpin pemerintahan orde baru. Latar sosial dan politik pada navel ini ditandai dengan keterlibatan langsung Segara Alam, Lintang Utara, Bimo Nigroho, dan lain-lain dalam gerakan demontrasi yang mencekam dan penuh dengan tragedi. Puncaknya adalah lengsernya Presiden Soeharto yang menandai berakhirnya pemerintahan orde baru.

 

Dalam konteks sosial politik tahun 1998 inilah menjadi momentum hasi perjuangan yang menderitakan oleh para pejuang eks gapol seperi Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Tjai Sin Soe, dan Risjaf, yang perjuangannya diteruskan oleh putra-putra mereka. Putra-putra yang pernah merasakan diskriminasi sosial politik karena warisan perjuangan orang tuanya yang dicap sebagai kes tapol pada pemerintahan orde baru.

 

*Tim Infokom dan Litbang Forum TBM

Categories
Buku Resensi Resensi Buku

KEBEBASAN DAN KEMANDIRIAN NADIRA

Judul               : Nadira

Penulis            : Leila S. Chudori

Penerbit          : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun              : Cetakan ke-6 September 2022

Halaman         : 300 halaman

 

Pilihan membaca minggu ini jatuh pada novel Nadira karya Leila S. Chudori. Novel ini dipilih karena memang sebelumnya sudah membaca novel karya Leila D. Chudori lainnya: Laut Betcerita, Namaku Alam, dan Malam Terakhir. Tinggal Pulang yang novelnya masih tersimpan. Rencananya selepas membaca novel Nadira, maka akan dilanjutkan dengan membaca novel Pulang.

Pertanyaan pertama yang muncul saat belum membaca novel Nadira, dan memang belum diulik ulasannya adalah siapakah Nadira? Apa yang akan diperjuangkan Nadira sebagai sosok yang begitu istimewa sampai djadikan judul novel.

Setelah selesai membaca selama satu minggu, ddapat gambaran sosok Nadira. Tapi, gambaran real Nadira dijelaskan juga oleh penulisnya, Leila S. Chudori dalam epilognya: Nadira adalah sosok yang merepresentasikan resistensi atas budaya masyarakat yang memosisikan perempuan untuk cenderung menahan diri, mengerem lidah, dan mengikat nafas pada budaya yang ada. Budaya yang memosisikan perempuan untuk menurut, tidak bersuara, dan tunduk.

Leila S. Chudori pun kemudian menyebut Nadira sebagai sosok perempuan yang berdiri dan mengucapkan apa yang diturunkan dan dialami. Perempuan yang memperjuangkan pendirian dan hidupnya sesuai dengan nurani dan pilihan hidupnya.

Inilah Nadira yang dinarasikan dalam novel ini. Perjuangan pendirian Nadira dimulai dengan peristiwa kematian bunuh diri ibunya yang mengguncang hidup Nadira. Dalam proses kematian yang memilukan, Nadira melakukan penolakan kalau bunga melati dijadikan bunga prosesi ritual kematian ibunya.

Nadira memilih menggunakan bunga seruni, bunga yang punya sejarah panjang atas keluarga, rasa cinta, dan pernikhan ibunya saat di Belanda. Bunga yang sangat disukai oleh ibunya. Untuk mendapatkan bunga seruni ini, Nadira harus menghentikan prosesi pemkaman beberapa waktu, dan Nadira harus berjuang mendapatkan bunga seruni dengan perjalanan yang heroik.

Dari kejadian awal ini, kehidupan Nadira kemudian bergulir mengikuti dinamika hidup keluarganya yang penuh dengan problematika. Problematika yang dihadapi Nadira dengan penuh ekspresifitas dan aktualisasi personal yang nenunjukkan eksistensinya yang bebas dalam bersuara dan bergerak, menyuarakan dirinya sebagai perempuan yang merdeka.

Suara yang dikumandangjan kemudian adalah suara masa kecil Nadira bersama keluarganya. Bersama saudara-saudaranya. Suara perjuangan hidup Nadira yang sejak kecil sudah berani dan mandiri. Memilih jalur sunyi dengan banyak membaca buku dan menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Nadira yang cerdas dan berani berkonflik dengan kakak-kakaknya jika terjadi perbedaan pendapat. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip hidupnya, Nadira berani bersuara dan melawan. Nadira adalah perempuan berpendirian kuat dan berani.

Keberanian yang dipertunjukkan kemudian adalah mengambil jalur kesedihan setelah ibunya meninggal. Nadira memilih hidup bertahun-tahun dalam kesedihan. Hidup dalam mimpi-mimpi buruk yang dijalaninya dengan penuh duka. Namun, keadaannya yang memprihatinkan tak menyurutkannya untuk mengabaikan tanggung jawabnya sebagai wartawan. Nadira menyelesaikan tugas pekerjaannya dengan baik dalam keadaan kedirian yang memprihatinkan.

Jenuh dengan keprihatinan atas kematian ibunya, Nadira kemudian memilih cinta pada Niko Yuliar, lelaki yang telah meninggalkan banyak perempuan. Nadira bertanggung awab dengan pilihannya. Menikah dengan Niko Yuliar dan memiliki anak, Jodi.

Saat mengetahui Niko banyak melakukan skandal dengan banyak perempuan, Nadira berani menceraikam suaminya. Nadira meninggalkan Niko dengan harta gono-gininya. Nadira hanya ingin dengan anaknya, Jodi. Perceraian itu membawa pilihan Nadira untuk hidup di Amerika Serikat.

Dari sinilah, dalam keberaniannya, Nadira mengabaiakan cinta terbaik dari teman kerjanya, Tara, yang selama ini membantu kehidupannya. Nadira ingin kembali pada Tara, tapi Tara sudah menikah dengan Vena. Nadira pun menerima nasibnya tanpa penyesalan. Semua dihadapi dengan penuh dedikasi sebagai perempuan yang berani memperjuangkan pendiriannya.

Dengan membaca novel Nadira karya Leila S. Chidori kita banyak belajar untuk jadi perempuan atau individu yang menerima dan berani dalam menyikapi hidup apapun bentuknya.

 

Infokom & Litbang Forum TBM

Categories
Buku Resensi Resensi Buku

Menceritakan Mitos secara Modern

Oleh. Thobroni*

Judul: Anak Bulan Terjun ke Sungai Kayan
Penulis: Rendy Aditya Paraja
Penerbit: Baloy Aksara, Tarakan
Tahun: 2021

Ide menulis cerita dalam bentuk cerpen dapat ditemukan dari beragam sumber. Bisa dari kebudayaan modern ataupun khazanah kebudayaan tradisional. Rendy Aditya Paraja seorang sastrawan muda dari Kota Tarakan memilih kemungkinan kedua. Yakni menulis berdasarkan ide dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat tradisional yakni mitos.

Mitos merupakan bagian dari sistem pengetahuan folklore yang berkembang dan mewarnai peradaban masa lalu masyarakat nusantara. Banyak sekali mitos muncul dan berkembang. Di pulau Jawa maupun luar Jawa. Pada banyak suku dan kelompok masyarakat juga. Padahal Indonesia memiliki ribuan pulau dan suku bangsa. Tidak heran Indonesia memiliki khazanah mitos yang luar biasa. Dan tak pernah habis digali sebagai pengetahuan maupun pelajaran hidup masa kini.

Buku Anak Bulan Turun ke Sungai Kayan karya Rendy Aditya Paraja merupakan karya sastra yang memilih berbeda dibandingkan karya lain khususnya yang pernah terbit dari tanah Borneo atau Kalimantan. Rendy Aditya Paraja menjadi generasi kekinian yang mewakili karakter budaya Borneo semenjak kepergian sastrawan besar Korrie Layun Rampan.

Hal yang sama dengan Korrie Layun Rampan pada diri Rendy Aditya Paraja ialah keberaniannya menggali mitos sebagai sumber ide kreatif. Menggali, membaca, memberi makna dan menafsirkannya dalam bentuk karya sastra cerpen. Jadilah cerpen di dalamnya merupakan mitos yang ditulis sebagai cerita modern dengan ciri khas estetikanya.

 

*Ketua Forum TBM Kalimantan Utara

Categories
Artikel Buku Opini Resensi Resensi Buku

Ean, Tentang Rindu dan Pulang

Pemuda Desa Tabbinjai, Kec. Tombolopao, Kab. Gowa, Akbar G atau yang lebih akrab disapa Emil telah menyelesaikan penulisan buku yang berjudul “Een, Tentang Rindu & Pulang”. Minggu (26/12/2022). 

Buku ini mendapatkan begitu banyak apresiasi dari berbagai pihak, salah satunya adalah Tri Wahyu Zainuddin, Ketua Umum Komunitas TurunTangan  Kabupaten Gowa sekaligus Mahasiswa Sastra Arab UIN Alauddin Makassar. 

“Kehadiran buku ini tentunya bermanfaat sebagai bahan bacaan dan rujukan sekaligus untuk menambah wawasan bagi pembacanya”,ujarnya. 

Lebih lanjut ia mengatakan, karya  tulisan  yang berjudul, “Een, Tentang Rindu & Pulang” ini memuat 100-an catatan kecil  dan puisi mampu menjadi pemicu semangat untuk pemuda/i lainnya yang kelak akan diikuti dengan lahirnya buku-buku lain dari tangan cerdas pemuda desa. 

“Kepada penulis, saya menyimpan kebanggaan tersendiri, sebab sungguh tidak banyak, kalau bisa disebut ‘langka’ seorang pemuda desa dapat menuangkan ide serta gagasan-gagasan dan diwujudkan dalam sebuah literasi yang apik.”,katanya. 

Terakhir, Tri mengungkapkan bahwa buku ini adalah pertanda keintelektualan seorang pemuda desa yang punya rasa empati begitu besar untuk kemajuan bangsanya terkhusus dibidang literasi itu sendiri.

Categories
Buku

Menyelaraskan Pikiran, Menghasilkan Karya

Pada 25 Juli 2017, saya ke Menturo. Itu desa di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, di Jawa Timur. Lokasinya lumayan jauh dari kota. Dari kota Jombang, sekitar 14 kilometer ke arah timur sedikit ke utara. Dari kota Mojokerto, sekitar 18 kilometer ke arah barat. Dari kota besar Surabaya, sekitar 70 kilometer ke arah barat sedikit ke selatan. Lumayan, seperti ‘berlibur ke rumah nenek.’

Lewat pesan WhatsApp, saya tahu saya tidak dijemput. Jadi, saya ikuti saja pesan yang memberi petunjuk. “Dari Bandara Juanda, naik Bus Damri ke Terminal Bungurasih. Di terminal Bungurasih, naik bus jurusan Yogyakarta. Berhenti di Terminal Mojoagung. Naik ojek ke Menturo sekitar Rp 20 ribu.” Karena saya orang Surabaya, saya abaikan pesan terkait Bandara.

Singkat cerita, saya berhenti di Mojoagung. Lapar, saya jalan kaki sebentar ke warung soto ‘dok’ di pinggir jalan. Disebut soto ‘dok’ karena si penjual memukulkan pantat botol kecap ke meja setiap kali hendak menyajikan soto. Pukulannya keras sehingga keluar suara ‘dok’ yang bikin kaget. Meski suka gebrak meja, penjual soto itu sangat menolong. Setidaknya, ia bersedia jalan kaki meninggalkan warung memanggil tukang ojek untuk saya. Si tukang ojek, menyebut ongkos Rp 50.000 untuk mengantar ke Menturo. Loh, koq jauh beda dengan petunjuk di WhatsApp? Maka, saya menawar separonya. Setelah mikir-mikir sejenak, akhirnyadealdi angka Rp 30.000.

Tanpa helm, saya nangkring di sadel motor ojek. Setelah melewati jalan rusak, kebun tebu, sawah, tegalan, kebun jagung, hingga kandang-kandang ayam, sampailah saya di lokasi tujuan. Desa Menturo. Di gerbang pagar, saya lihat spanduk ucapan selamat datang pada relawan TBM Nusantara. Nah, lega rasanya. Saya ucapkan terima kasih pada tukang ojek yang mengantar saya. Namun, setelah menembus medan pedesaan, saya menyesal menawar ongkos ojek. Ia layak mendapat tambahan Rp 20.000.

Saya memasuki properti yang lumayan luas. Kalau di Surabaya, luasnya ini bisa dipakai untuk mendirikan hotel sekaligus kawasan parkirnya. Namun, di Menturo, tanah ini dibangun masjid, sekolah, makam keluarga, dan tiga couple pondokan. Lahan sisanya ditanami jati, mangga, dan pohon lain, serta lahan kosong yang dilapisi paving stone. Di depan salah satu pondokan, ada panggung setinggi setengah meter. Di panggung itu tiap bulan keluarga Emha Ainun Nadjib menggelar pengajian ‘Padhangmbulan’.

Saya berjalan menuju pondokan utama di sudut kiri-jauh dari lahan. Tuan rumah, yakni Yusron Aminulloh, menyambut saya dan menawari makan siang rasa pedesaan. Kalau tak salah, ada sayur lodheh. Tapi, karena baru makan soto, saya tidak makan. Saya cukup menaruh ransel di dalam ruang, lalu mengobrol dengan sejumlah tamu lain yang lesehan di teras.

Jujur, saya tidak kenal satu pun. Yusron mengenalkan tamu lain pada saya dan memperkenalkan saya pada para tamu lain. Dari situ, saya tahu ada Pak Dr Kastum, Kasubdit Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI,juga ada Bu Nurul dan Mbak Ila panitia dari Kemendikbud, dan sejumlah relawan TBM dari berbagai penjuru Indonesia. Saya sendiri kebetulan mendapat tugas mengisi acara pelatihan menulis.

Saya juga diberi tahu tempat pembagian dan fasilitas menginap. Untuk keluarga tuan rumah dan panitia,tidurnya di pondokan utama tempa saat itu kami mengobrol. Peserta putri ditempatkan di pondokan sebelahnya dekat masjid. Peserta putra tidur di pondokan agak terpisah di belakang panggung Padhangmbulan. Makan di pondokan utama. Mandi dan sejenisnya ada di pondokan masing-masing. Sholat, tinggal jalan kaki ke masjid di dekat pintu gerbang. Nah, saya ambil inisiatif untuk tidur di pondokan peserta putra.

Setelah ngobrol sana-sini, saya langsung mendapatkan kesan gemblengan kerelawanan dalam acara ini. Pesan di WhatsApp yang berisi ‘tidak ada jemputan’, ternyata bagian dari ‘ujian’ kerelawanan ini. Transportasi yang lumayan rumit itu bagian dari upaya menguji seberapa tangguh para relawan mencapai tujuan. Ini seperti cermin realita upaya pelayanan relawan untuk para pembaca buku di pelosok daerah.

Benar! Ada relawan menyebut tantangan ini kecil. Mereka menyebut desa di Jawa cukup mudah diakses. Relawan dari Poso bilang, “Kalau di Sulawesi, yang disebut ‘desa’ itu ya ‘desa betulan.’ Susah diakses, jauh dari mana-mana. Saya kalau ke desa terdekat harus menyeberang danau. Menturo ini gampang sekali buat saya.” Begitu pula kesan peserta dari Ogan Komering Ulu Selatan. “Desa saya dikelilingi kebun cokelat. Untuk ke desa lain, harus lewat hutan.” Meski demikian, ada peserta yang tersesat. Misalnya, kelewat sampai Jombang. Nah, ketika terpaksa, panitia mengerahkan penjemput.

Acara ‘Peningkatan Kapasitas Pengelola TBM 2017’ ini diikuti total 20 aktivis TBM. Acara dibuka setelah Ashar oleh Pak Kastum. Pembukaan berlangsung santai di panggung Padhangmbulan.Dalam pesannya, Pak Kastum menekankan peningkatan kapasitas itu di bidang; 1. manajemen, 2. kerelawanan, 3. kemitraan, dan 4. penulisan. Masing-masing bidang peningkatan itu dibimbing nara sumber praktisi berpengalaman.

Nah, saya kebagian jadi nara sumber penulisan. Karena targetnya peserta bisa menulis buku, tugas saya lebih panjang dibanding nara sumber lain. Jika nara sumber lain memberi materi satu sesi dalam dua jam, saya harus memberi pelatihan beberapa sesi hingga akhir acara 28 Juli. Bahkan saya dan Yusron harus mengawal tulisan ini menjadi buku hingga Agustus.

Harusnya, sesi pertama saya sore 25 Juli. Namun, ada pergeseran jadwal. Acara awal diisi perkenalan peserta yang waktunya mulur hingga malam. Perkenalan ini menarik sehingga menimbulkan gelak tawa sekaligus memakan waktu banyak. Dua puluh peserta, dibagi menjadi sepuluh pasangan yang terdiri dari dua orang. Masing-masing pasangan dipersilahkan saling berkenalan kemudian memperkenalkan diri pada seluruh peserta. Uniknya, peserta memperkenalkan diri atas nama pasangannya. Misalnya, dalam pasangan Sugeng-Prawangsa, Sugeng memperkenalkan diri sebagai Prawangsa dan Prawangsa memperkenalkan diri sebagai Sugeng. Tak pelak, muncul berbagai kelucuan yang mencairkan suasana. Misalnya, Sugeng berkata, “Perkenalkan, nama saya Angsa.” Whalah…manusia koq bernama Angsa???

Meski sesi saya urung berlangsung di hari pertama, antusias peserta untuk menulis cukup tinggi. Saat sebagian peserta beristirahat setelah perjalanan panjang dari tempat tinggal masing-masing, sebagian lainnya justru lanjut berdiskusi dengan saya di panggung Padhangmbulan sampai larut malam. Isi diskusinya bermacam-macam. Mulai dari soal tulis-menulis hingga cerita kondisi daerah masing-masing peserta. Saking gayengnya diskusi, dinginnya udara pedesaan dan galaknya gigitan nyamuk agak terlupakan. Hingga akhirnya kami memutuskan mengambil kasur ke panggung untuk dijadikan bantal bersama setelah kami tak lagi mampu menahan kantuk.

Pada 26 Juli, setelah sarapan lagi, sesi resmi pelatihan penulisan dimulai. Peserta saya motivasi untuk suka menulis. Saya contohkan beberapa hal baik yang diakibatkan dari menulis atau tulisan. Respon peserta cukup positif. Salah satu alasannya, karena mereka relawan baca maka akan lebih afdhol jika mereka juga bisa menulis. Beberapa peserta, lewat tulisan media sosial, sudah cukup aktif mengkampanyekan gerakan membaca. Namun, ada beberapa yang belum bisa menulis serius. Keinginan ada dan besar, namun menulisnya nyaris tak tersalurkan. Ada banyak hal yang ingin dituliskan, namun semuanya hilang bahkan saat sebelum jemari ada di atas keyboard.

Sesi berikutnya, saya memberikan teknis penulisan. Sedikit teori, banyak aksi. Saya sampaikan beberapa rumus menulis, lalu saya beri sejumlah bahan untuk latihan. Saya pancing peserta untuk menuliskan apa-apa yang bisa diindera. Sesuatu di lingkungan sekitar, ditangkap oleh panca indera, diolah oleh otak, disalurkan ke jemari, untuk dituliskan di laptop. Ini untuk melatih penulisan realis. Lalu, saya juga pancing peserta untuk menuliskan sesuatu yang tidak bisa diindera, sesuatu yang benar-benar abstrak, sesuatu yang tidak ada bentuk nyatanya sebelumnya. Ini untuk melatih penulisan surrealis.

Tanpa banyak teori lagi, para peserta pun langsung praktik. Masing-masing menuliskan objek. Saat peserta menuliskan bahan latihan ini, saya terus ingatkan bahwa targetnya membuat buku. Pelatihan hanya tiga hari, langsung bikin buku. Tak pelak, sesi ini berlangsung seru. Pelatihan menulis sejak pagi, diselingi beberapa acara lain, berlangsung terus hingga petang hari. Bahkan, sambil sesekali ambil sate di dapur pondokan utama, kami berdiskusi hingga lewat tengah malam. Kalau tak salah, saya baru beranjak tidur pukul 1.30 di panggung Padhangmbulan dengan bantal kasur.

Pada 27 Juli sore, karena siangnya diisi acara lain termasuk jalan-jalan ke Makam Gus Dur dan Patung Budha tidur, peserta memulai penulisan bahan buku. Setiap peserta saya minta menuliskan pengalaman dan kondisi riil sehari-hari terkait TBM masing-masing. Saat menulis soal manajemen, ya ungkapkan manajemen TBM seperti apa adanya. Begitu juga saat menuliskan kerelawanan dan kemitraan. Saya selalu tekankan, “Tuliskan apa adanya.”

Maka, panggung Padangmbulan pun berubah menjadi seperti warnet. Para peserta mengambil inisiatif untuk berjejer menduduki tikar di atas paving stone dan menggunakan panggung sebagai meja. Saya tinggal berkeliling untuk bertanya apakah ada kesulitan. Sesekali terjadi diskusi agak panjang, karena ada peserta yang sebenarnya bisa menulis tapi butuh diyakinkan untuk benar-benar bisa menulis.

Ada beberapa peserta yang tuntas menulis malam itu juga, ada yang harus meminjam colokan listrik untuk melanjutkan tulisan di kamar tidurnya sendiri. Namun, ada juga yang menulis dengan tangan karena laptopnya bermasalah. Saat rangkaian acara ditutup resmi oleh Pak Alipi Muhammad pada siang 28 Juli, sebagian besar naskah selesai. Namun, ada beberapa yang berjanji mengirim naskah via email karena belum rampung menulis atau karena kala itu menulisnyapakai pena.

Setelah naskah terkirim dan terkumpul, adalah tugas Yusron dan saya untuk menyunting, mengedit lalu menjadikannya buku. Nah, ini proses tak kalah rumit. Seorang peserta bisa menggunakan waktu sehari untuk berkontribusi pada buku itu. Namun editor butuh waktu lebih banyak. Editor harus menyelaraskan otaknya dengan otak masing-masing kontributor buku. Belum lagi harus mengoreksi kesalahan besar maupun kecil dalam penulisan. Bahkan, editor harus berhubungan dengan pihak percetakan dan distribusi.

Menulis itu tidak gampang. Bagi non-penulis, menulis itu bahkan sangat sulit. Jarang sekali ada, atau bahkan mungkin tidak ada, buku yang rampung ditulis hanya dalam semalam. Pelatihan di Menturo ini membuktikan para peserta bisa menciptakan keajaiban. Andai jumlah penulis dibatasi, mungkin malam itu juga sudah tercipta naskah buku hampir jadi. Namun, karena acara ‘Peningkatan Kapasitas Pengelola TBM 2017’ ini bernafaskan kolaborasi, ya kami harus sabar menunggu rampungnya naskah yang lain.

Nah, apa pun susah dan senangnya, yang penting ini lah hasilnya; buku kolaborasi para aktivis TBM.

Selamat menikmati.

Teguh W. Utomo (editor)

cilukbha@gmail.com