Categories
Cerpen

Guru Ditengah Debu Jalanan

Oleh. Sofian Sauri

 

Ini adalah ceritaku, awal pertemuanku dengan Kak Raka, yang mengubah duniaku. Menuntut ilmu telah menjadi kewajiban bagi setiap umat manusia sebagai upaya melawan kebodohan dan menghormati akal, serta pengamalan merupakan bentuk tanggung jawab atas ilmu yang dipelajarinya. Istilah lelah tidak pernah ada dalam kamus Kak Raka.

Raka merupakan sebutan akrab salah seorang mahasiswa asal STAI Syubbanul Wathon Magelang. Ia mahasiswa yang cukup tenar. Perawakan pemuda berbadan tegap itu begitu ramah, rambutnya ikal, raut wajahnya selalu nampak periang.

Setiap akhir pekan adalah hari libur perkuliahan, keseringan mahasiswa memiliki ragam aktivitas, banyak pula yang memilih untuk malas gerak ‘mager’. Akan tetapi, Sabtu bukan menjadi hari malas-malasan bagi Kak Raka.

Diwaktu senggang kala weekend tiba itu ia pilih menggunakan waktunya memutarkan roda besinya untuk  menyambangi lampu lalulintas di sudut Kota Magelang. Ya,  lokasi itu menjadi tempat favorit anak-anak jalanan, yang merupakan sekawananku. Tak sedikit diantara kami masih dibawah umur. Tak lain, dibawah pal lampu merah itu kami mengais rezeki, mengumpulkan pundi-pundi  receh. Semua anak-anak  bermodal gitar kecil, berpakaian lusuh diiringi sahutan nada sumbang dan vokalnya pun tak beraturan, modal utamanya cukup dengan percaya diri dan terus saja berdendang. Jerenggg… Jrengg… Jrenggg. Kemelut gitar  mereka menderingkan jalanan.

Ya, itu adalah Aku, yang sedang diperhatikan Kak Raka. Nyanyianku ditepian trotoar. Rupanya keras terdengar olehnya.

“Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami, pada mu kami berjanji”

Kemudian, Kak Raka menghampiriku.

“Dek, suara kamu merdu dan lagunya bagus, mengapa bocah seusia kamu harus mengais rupiah di jalanan, seharusnya kamu masih memegang alat tulis dan bermain bersama teman – teman sebaya mu, siapa nama mu?” Sapanya kepada ku yang sedang hanyut dalam lagu yang kunyanyikan.

Aku kemudian menyahut, “Namaku Rian, Kak.”

Akupun menimpalinya dengan pertaynyaan,  “Nama kakak siapa?”

“Raka, oh, iya, huruf depan, nama panggilan kita sama, tos dulu dong, yeah ha ha…Kami pun tertawa bareng, diawal perjumpaan itu.

Kak Raka menceritakan bahwa dirinya sering menyanyikan lagu itu setiap pagi, “sebelum berangkat ke kampus, kakak pasti menyanyikanya, lagu itu penuh impresi sehingga jiwa ini semakin peka dek,” katanya.Sembari aku mengangguk dan manut saja.

“Dek, minum dulu nih, air mineral ini, keringat mu bercucuran dan kau tampak haus, geser kursinya dan duduklah sebentar supaya keringatnya kering terlebih dahulu tersapu hembusan angin siang ini,” nampak perhatianya padaku.

“Iya kak terimakasih banyak ya, aku minum, Kak,” Jawabku.Air itu melegakan rongga mulutku yang kering.

Kamu kenapa tidak sekolah. Apa kamu tidak suka pendidikan?,” tanya Kak Raka.

“Tidak Kak, sebenarnya aku senang bersekolah, terakhir aku duduk dibangku kelas Tiga Sekolah Dasar di kampungku, aku pernah dikatakan “bodoh” oleh salah satu guruku, dan ia berkali kali memanggilku dengan anak bodoh didepan murid-murid yang lain, andai saja aku pandai sejak lahir aku tak kan pernah mendengar sebutan bodoh itu kak,” jawabku.

“Apa kamu membencinya?” tanyanya balik

“Sama sekali tidak, Kak,” tegasku.

“kamu di sini, apa  orang tua mu tidak melarang, mengamen di lampu merah ini?”

“Aku yatim piyatu sejak kelas satu Sekolah Dasar kak, aku anak tunggal dan tidak ada satu pun keluarga dari Ibuku maupun Ayahku yang peduli kepada ku.”

“Dek, pendidikan ibarat sebuah kapal yang harus kita pakai untuk mengarungi lautan lepas, kau tahu Thomas Alva Edison penemu bolam lampu pijar, ia seorang anak yang disleksia dan ia kesulitan ketika mengikuti mata pelajaran yang diajarkan oleh gurunya di sekolah”

“Jika Edison itu seumuran dengan mu dan sekolah ditempat yang sama,  kemungkinan besar akan ada dua anak yang dipanggil dengan sebutan bodoh oleh guru mu, tetaplah belajar, kakak akan menemanimu belajar, rumah kosong yang lama tidak terpakai di belakang Masjid agung kota , besok kita jadikan tempat belajar.”

Rumah yang disebutkan itu tak jauh dari tempatku mencari rupiah.

Kak Raka bilang padaku, “apabila bangunan bekas rumah yang sudah lama tidak dihuni dan temboknya sudah tidak lagi berdiri tegak, maka, serangga dan hewan pengeratlah yang akan menghuni bangunan itu. Kita manfaatkan saja, ya” tawarnya padaku

Aku mengangguk, kemudian, aku bersama Kak Raka membersihkan bangunan itu. Menutup bagian selatan bangunan dengan seng supaya tidak terlihat dari luar, lalu menghias dinding bagian dalam dengan foto presiden beserta wakilnya kemudian ditengah antara kedua foto tersebut, Kak Raka menambahkan tiruan burung garuda yang terbuat dari kayu sebagai lambang dasar ideologi negara Indonesia, dan tidak lupa menambahkan figura yang ada logonya Nahdlatul Ulama.

“Pikirku, Kak Raka begitu baik padaku, baru kenal saja, aku sudah diajak belajar bersamanya.”

Pembelajaran berlangsung setiap akhir pekan, setiap pukul 07.30 aku bergegas bersemangat belajar, dimana juga hari itu Kak Raka libur kuliah.

Semula hanya aku yang menjadi anak didiknya, kemudian aku berhasil mengajak empat teman ku, meski tempat belajar ini jauh dari layak disebut sebuah sekolah namun aku selalu mengatakan dalam hati,  “Ini sekolah yang aku dambakan selama ini, berlimpah kasih dan sayang, hingga kami merasa sangat teduh, tidak ada lagi sekat kelas sosial, ini lah pendidikan yang sebenarnya” gumamku mengharu bahagia.

“Alhamdulillah, kau tampak sangat bersemangat, Rian?”

Kakak tahu, rasa ingin tahumu itu menggelora, kemarilah mendekat kakak ingin menunjukkan sebuah buku kepadamu. Coba tebak, siapa foto orang ini dan apa hubungannya dengan logo yang ada difigura itu?” selain foto presiden dan awakilnya, ya.

Foto itu nampak tidak asing dimataku, aku jawab sajam “Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri , beliau pendiri Nahdlatul Ulama pada tahun 31 Januari 1926, Kak”

“Lho… Darimana kau tahu semua itu, yan?” ia terkaget.

“Ayah selalu bercerita kepadaku sebelum tidur, ia sering bercerita tentang wali sanga, dan sejarah negeri ini kak”

“Andai saja Ayahmu masih hidup, pasti ia sangat bangga melihatmu, kau anak yang cerdas, Riyan,” ujar Kak Raka sembari mengusap rambut kepalaku.

“Jangan pernah kau menganggap, pagar seng sekolah kita ini akhir perjalananmu dalam mencari ilmu, sebab semesta ini masih luas untuk kau arungi, Rian.”Pesan kak Raka pada ku dengan tatapannya yang meneduhkan.

Sabtu depan, ajak temanmu yang lebih banyak lagi, ya?”.

Iya, siap Pak Guru. “Besok debu jalanan itu akan ku giring kesini. he he” celotehku padanya disambut tawa.

Namun ia mengatakan padaku, “lain waktu, jangan panggil teman-temanmu debu jalanan lagi, ya.”

“iya kak, maaf cuma bercanda kok” sahutku masih tersenyum.

Sepekan kemudian aku berhasil mengajak empat temanku untuk belajar bersama kak Raka di tempat itu, meski kehidupanku di jalanan namun aku dan teman-teman yang lain mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan seperti mereka, para anak-anak yang dilahirkan dari orang tua yang berduit tebal.

Dan aku berharap terdapat sosok-sosok seperti Kak Raka di bumi pertiwi ini, agar, anak-anak ingusan yang tak terawat dijalanan juga memiliki kesempatan belajar, meskipun di ruang-ruang terbuka. Ya, aku Rian si bocah trotoar yang mengharapkan kebaikan dari orang yang perhatian kepada pendidikan di jalanan. Kak Raka, engkau guruku ditengah debu jalanan. Selamat belajar!.

 

*Pengelola TBM Petung Ombo, Kab. Magelang

 

 

Categories
Artikel Cerpen Opini

Dia Anak Malam

Cerpen

Karya Hajat, S.Pd.,Gr*

 

Aku selalu menatap bulan di malam hari dan aku sering berlari bersama bintang- bintang andromeda. Begitu indah malam itu tak bisa kulukis dengan hanya tutur kata.

Aku punya teman namanya Theo. Dia selalu menemaniku bermain di malam hari dan anehnya bila pagi akan datang dia bergegas pulang berlari dan kadang tanpa jejak.

“Anak aneh.” Gumamku.

Dia Anak yang riang tapi seperti ada hal rahasia dalam hidupnya.

Theo adalah anak yang cukup menarik. Dia selalu bercerita tentang bulan, bintang-bintang dan planet-planet asing yang belum pernah kubaca. Dia sangat ahli akan hal itu. Tapi dia Tak pernah sedikitpun bercerita tentang matahari, pagi hari dan cerita-cerita tentang kota di siang Hari. Sungguh aku bingung, apakah dia hanya mengenal malam.

Suatu malam Aku bersama Theo, dia begitu antusias bercerita tentang gugusan bintang andromeda. Aku sangat tertarik dan saking kagumnya Aku memegang lengannya hanya ingin memberikan semangat kepada dia bahwa Aku benar-benar menikmati ceritanya. Tapi hal aneh kurasakan ketika lengannya kuraba. Seperti bisul-bisul kecil ada di lengannya.

Aku bertanya kepadanya, tapi dia lalu mengalihkan ceritanya dengan hal-hal yang lebih menarik. Aku sungguh terkesan sehingga lupa sebentar lagi akan datang pagi. Mungkin dia juga lupa sehingga dia asyik bercerita hingga matahari pagi menyilaukan pandangannya.

Aduh… “Aku harus pergi kawan,” ucap Theo dengan nada resah.”

Kenapa, Theo?” Balasku.

Tidak perlu kujelaskan. Balas Theo lagi.
Dia berlari kencang seperti ketakutan. Dia lalu menghilang di balik pintu rumahnya.

Malam demi malam kujalani tanpa kedatangan Theo. Aku tidak tahu di mana anak ini.

Setelah kejadian malam itu Aku tak pernah melihat dia lagi. Lalu esok paginya, Aku beranikan diri mencari di rumahnya.

Di situlah aku sadar Theo Ada di rumah sakit.

Dia sakit keras. Dia adalah anak yang terkena penyakit xeroderma pigmentosun. Penyakit yang langka yang menyebabkan penderitanya hanya boleh keluar di malam hari karena matahari akan menyebabkan kanker kulit itu bertambah parah.

Begitulah ibunya bercerita.

Kasihan Theo, gumamku.Dia benar hanya anak malam.

Tiga bulan kemudian, Aku datang ke rumah Theo. Kulihat ibunya memeluk foto Theo sangat erat.

Dia begitu menyayangi Theo. Dia sepertinya mengucapkan beberapa doa dalam hati. Tangisnya pecah ketika melihatku. Dia berkata Theo telah meninggalkan kita minggu lalu.

Aku lalu tak kuasa menahan tangis. Sungguh hebat ibu dan ayahnya mencintai sepenuh hati kepada Theo walaupun dia anak spesial. Dia anak malam.

 

*Guru SMPN 4 Arso Papua

Categories
Cerpen Kolom

Pemulung Cilik

Pemulung Cilik

            Cuaca tampak agak cerah. Di langit sedikit dibayangi mendung menyelimuti angkasa sekitar kota Malang. Bocah cilik itu memikul sebuah karung berukuran sedang. Bekas karung beras yang berukuran 20 kg nampak pada tulisan karung itu. Dengan semangat ia berjalan menghampiri kotak sampah yang berada dekat bangsal SDK Mardi Wiyata 1 Malang. Dilihat dan diambilnya beberapa botol dan gelas plastik dari kotak sampah berwarna hijau dan menyimpan dalam karungnya sambil dipikul. Dihampirinya kembali kotak sampah berwarna kuning berada sekitar 15 m dari kotak sampah hijau. Namun ia tak menemukan sesuatu dari kotak kuning itu karena hanya melihat lalu meninggalkan tanpa mengambil sesuatu.

              Dari jauh mataku memandang dan mengamati. Perlahan mengikuti dan mendekatinya yang bergegas hendak meninggalkan kotak sampah itu. Hallo dek, ku coba menyapanya. Iya kak, jawabnya singkat. Kami melanjutkan percakapan. Saya pun bertanya tentang dirinya. Namamu siapa ya …? Fio, ia menjawab sambil memandang ke arahku. Truussss, kamu sudah sekolah…? jawabnya: sudah…. di mana kamu sekolah…? TK Bina Putra. Saya pun kaget. Tempat Fio mengenyam pendidikan sebelum ke tingkat SD hampir setiap hari saya lewati dan lihat. Dalam hatiku bergumam, anak seumur Fio tapi memulung mengadu nasib untuk hidupnya. Apakah ia disuruh orang tuanya atau melakukan sendiri untuk memulung? Semua penuh tanda tanya dalam hatiku.

             Saya pun membatasi diri untuk bertanya tentang hidup Fio. Kebetulan di tanganku sedang memegang salad buah dan sepotong kue (kue itu seperti pizza) yang tadi dibelikan teman di kantin sekolah tempat ia bertugas. Kebetulan kami bertemu ketika saya hendak ke sekolah di seberang yang melewati jembatan kecil kali Brantas. Saya coba menawarkan salad dan kue kepada Fio dan menyuruh Fio untuk memilih mana yang dia mau. Ia pun menunjukkan ke tanganku yang memegang kue. Kue itupun saya berikan kepadanya. Ia mengambilnya. Raut wajahnya kelihatan senang dan gembira. Fio asyik memakan kuenya itu. Saya pun pamit dan meninggalkan Fio yang sedang menghabiskan kuenya. “Syukur dan terima kasih Tuhan atas pengalaman ini yang telah mengajarkanku untuk selalu mensyukuri hidup ini, atas anugerah rezeki yang Tuhan berikan. Berikanlah jalan, kekuatan, dan kebahagiaan bagi semua orang yang mengalami kesusahan, penderitaan, dan kemalangan dalam hidup mereka” pintaku dalam hati sambil berjalan melewati jembatan besi menuju tempat kerjaku.

Categories
Cerpen

Pacarku Menyapu Halaman (Bag. 2)

Tidak ada seorangpun di dalam rumah. Pintu sudah kupastikan terkunci rapat. Jendela sudah aku tutup dan gorden pun kurapatkan hingga sudutnya. Hanya ada binatang yang mengeluarkan suara nyaring. Aku memastikan di dalam rumah tidak ada yang menggangguku dan pacarku. Secepat kilat aku membawa tumpangan kucing di tanganku dan melemparkannya keluar rumah. Kubiarkan ia meringis dan pergi sejauh mungkin.

“Kira-kira begitu yang aku lakukan di rumah” kataku kepada kucing yang pernah aku lempar. Aku menyesal melemparnya, dan sekarang kubiarkan ia bertanya sesukanya kepadaku.

“Sekarang kau temanku, kau tidak pantas bercerita rahasia ini kepada Ayah, Ibu dan Kakakku” Aku memohon kepada seekor kucing dan dari golongan binatang. Rasanya turun martabatku sebagai manusia.

“Untuk Adikku, kau boleh menceritakannya sesukamu. Ia sudah kuberi uang jajan yang cukup untuk membungkamnya selama beberapa hari”. Kataku menambahkannya lagi.

Cukup kali ini aku berbincang dengan binatang. Memangnya apa salahku sampai harus memohon pada binatang rumahan ini. Bukankah ia setiap hari yang mencuri ikan makanan pagiku. Aku sering menangkap basah kucing ini mengambil makanan yang bukan haknya. Ia selalu bernafsu saat melihat ikan segar dihadapannya. Yang menyebalkan adalah caranya menatap ikan itu. Ia terlebih dahulu mengawasi bola mata ikan hingga kepada kaki. Ia akan memastikan di sekelilingnya tidak ada kucing lain selain dirinya sendiri. Ekor pendeknya akan memberitahunya saat ada sinyal bahaya. Jadi, ia sudah bersiap lari dan sembunyi saat pemilik ikan datang.

“Sial, aku tak pernah mendapatkan kucing ini mencakar dan mencabik ikan yang ia dapatkan” Pikirku

“Barangkali aku akan melihatnya menjilat-jilat ikan segar yang sudah tidak berdaya itu. Ah, seharusnya aku dapat melihatnya sesekali.” Pikirku lagi.

Seharusnya ikan segar tidak ditaruh sembarang tempat. Tentulah kucing-kucing akan beringas dan mendengusnya. Kalau aku jadi pemilik ikan segar itu, pastilah kutampar dengan cepat kucing-kucing yang sesekali mengendusnya. Tak sudi aku melihat kucing-kucing menatap penuh nafsu. Kecuali kalau ikan itu memang sengaja merayu kucing-kucing agar menjilatnya. Tentulah aku akan lebih jijik kepada ikan tersebut.

Belum aku ceritakan semuanya, kucing itu pergi dari hadapanku. Ekornya mengejekku dan menuduhku. Sekarang giliran ia yang tidak sudi berbicara denganku. Barangkali ia tahu juga perbuatanku. Tapi aku sungguh belum memberitahu hal ini kepada siapapun, seluruhnya termasuk kepada kucing brengsek itu.

Sekarang aku bingung bercampur malu. Rasanya semua semesta telah tahu perbuatan kejiku. Entah siapa yang memberitahunya, aku akan memohon kepadanya untuk menghentikan keasinganku. Tidakkah ini semua di luar kendaliku, benar!. Aku harus membela diri. Ini bukan perbuatanku seutuhnya, ini adalah fitrah manusia.

“Ayah, Ibu. Sungguh aku tidak melakukan apa-apa” aku memelas.

Aku hanya melakukan apa yang biasa dilakukan kucing itu. Ikan segar itu yang merayu dan mengajaknya bicara ke mana-mana. Ia membiarkan dirinya tidak terjaga dan membuat birahi kucing semakin menggila.

“Kau tahukan, Kakak. Adikmu ini hanya terpancing oleh ikan itu”

“Adik, lihatlah. Kakakmu ini tidak melakukan apa-apa. Percayalah.”

Ia hanya pacarku yang kuperlakukan seperti ikan segar itu. Sungguh, aku melihat kucing itu yang menjilat-jilat ikan dan mencabik lalu memakannya sampai kenyang.

“Itu dia, kucingnya” teriak diriku dan terpancing keluar rumah. Kemudian aku mendapati pacarku tengah menyapu halaman.

Categories
Cerpen

Pacarku Menyapu Halaman (Bag. 1)

“Kau tahu?” Perempuan bernama Ibu mencurigaiku atas kelakuanku yang setiap hari meresahkan. Sebenarnya aku tidak menyembunyikan apa-apa. Apalagi Ayah, ia selalu menatapku dengan tidak menyenangkan. Ia akan melototkan bola matamya seperti hampir jatuh. Kakakku juga melakukan hal yang sama. Pernah diriku tengah duduk di halaman rumah. Aku yang setiap pagi meletakkan kopi di meja, kopi yang saat itu terasa manis. Entah apa yang dilakukan Kakakku. Kopi buatanku sendiri menjadi pahit. Tapi aku bersyukur, adikku tidak melakukan apa-apa. Bahkan ia selalu menaruh senyum kepadaku.

“Hei, kenapa Ibumu?” Zaeni menunjuk Ibuku yang menatap tidak senang kepadaku. Tapi aku tidak mendapatkannya. Saat aku menoleh, Ibuku masuk ke dalam rumah dan hilang.

“Biarlah, lebih baik kita pergi dari sini” Aku mengajak Zaeni pergi dari rumah. Rumah yang kau anggap surga, tidak akan kau temui di sini. Setiap hari aku di pojokkan oleh Ibu, Ayah dan Kakakku sendiri. Terakhir adikku, kalau aku tidak memberinya uang jajan. Ia tidak berhenti memasang wajah cemberut. Kau bisa membayangkannya, rumahku penuh dengan tuduhan dan prasangka.

Aku tidak pernah tidur nyenyak di sana. Bayangkan aku selalu terbangun dengan suara yang sangat keras. Ayah melantunkan ayat-ayat suci hingga membuatku terbangun. Ia sengaja membacanya lebih keras bahkan saat telinga aku tutup dengan bantal. Pun dengan Ibuku, saat aku mencari tempat tidur yang nyaman. Ibu mengeraskan volume suara ceramah, hingga aku tidak dapat tidur lagi.

“Apa Kakak akan berulah kepadaku?” Aku tuduh Kakakku yang tengah duduk di meja dan memegang buku. Sepertinya ia baru mencoret-coret buku dengan spidol.

Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Wajahku sudah tercoreng dan tidak layak untuk bertatap muka dengan siapapun. Aku bahkan menuduh Zaeni “Apa kau hendak memperlakukanku seperti mereka, kalau betul segeralah cerca aku!”.

“Tidak, tidak. Bukan begitu, justru aku yang akan berada di sampingmu” Zaeni menenangkanku.

“Baiklah, aku percaya denganmu Zaeni” kataku menatapnya dengan dalam. Kemudian aku membiarkannya duduk. Sedangkan aku tetap berdiri dihadapannya.

Kini tinggal kita berdua, Aku hendak menceritakan banyak hal kepada Zaeni. Termasuk tentang perempuan yang tidak lama masuk ke dalam rumahku. Aku percaya dia akan merahasiakannya dari siapapun. Ayah, Ibu, Kakak dan Adik tidak seorang pun yang mereka tahu.

“Zaeni, perempuan masuk ke dalam rumahku. Ia lalu keluar dan menyapu halaman rumahku.” Kataku lembut berharap Zaeni bersimpati kepadaku.

“Iya, aku mendengarkanmu” Zaeni bersimpuh mendengarkan.

“Siapa dia?” Zaeni bangkit dan menepuk bahuku.

Aku diam berharap ia akan duduk kembali. Aku tidak berani mengatakan bahwa perempuan itu adalah pacarku. Aku selalu membawanya ke dalam rumah dan membiarkannya menyapu halaman rumahku. Aku urungkan untuk menceritakannya kepada Zaeni. Kubiarkan Zaeni melambat pergi dan aku masih saja berdiri. Kemudian ia menghilang.

Sekarang aku tidak tahu apa yang dapat aku lakukan. Bahkan Zaeni lebih dulu pergi sebelum segalanya kuceritakan. Sekarang aku berpulang kembali kepada rumah. Cuma itu satu-satunya jalan. Aku sudah siap dengan ketidaktenangan, kebisingan dan keasingan di dalam rumah sendiri. Yah!, rumahku sendiri. Maksudku rumah kedua Orangtuaku.

Memangnya salah membiarkan pacar sendiri masuk ke dalam rumah. Bukankah ia juga mengiyakan, dan aku mengajaknya. Aku membiarkannya duduk di meja kosong. Aku mengawasi bola matanya sampai kepada kaki. Aku merasakan kecantikannya lebih baik dari ibuku. Aku akan menuruti permintaannya sama seperti aku menuruti permintaan ibuku. Bahkan aku mendahulukannya.

“Di sini tidak ada orang! Rumah ini aman, tidak siapapun yang dapat melihat kita, percayalah!” kataku membuatnya percaya.

Aku seringkali mengajaknya ke manapun yang ia sukai. Ia terlihat senang dan aku semakin tergila-gila kepadanya. Seandainya ia bersama pria lain, aku takkan percaya. Bukankah aku sudah menggilainya.

“Percintaan orang kota adalah bersetubuh, perut di atas perut yang lain. Sedangkan percintaan orang pedalaman adalah berciuman dan berbincang-bincang” Pikirku sambil mengingat kalimat sederhana yang kudapat dari kitab karangan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.

Saat mengajak pacarku ke dalam rumah. Aku menyuguhkannya makanan dan minuman seadanya. Kemudian, televisi itu kubiarkan menyala dan mempertontonkan sepasang pemuda yang tengah bercinta. Persis seperti adegan orang timur dan orang barat saat bercengkerama.

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Terima Kasih, Andris

Bel tandai usai sekolah berbunyi. Ibu Elis yang mengajar di kelas kami pun berhenti mengajar dan mengakhiri pelajaran.

“Horeeeee…….” kami pun serentak berteriak girang.

Sebelum keluar kelas, bu Elis mengajak kami untuk berdoa bersama.

“Selamat siang bu……”, ucap kami bersama memberi salam kepada bu Elis.

“Selamat siang anak-anak”, balas bu Elis sambil mempersilakan kami untuk keluar kelas. Dengan tertib sesuai deretan bangku paling depan sampai belakang, satu per satu kami bersalaman dengan bu Elis lalu keluar kelas.

Suasana dingin dalam kelas berubah jadi terik menyengat badan. Siang ini cuaca di langit begitu cerah. SMP tempat sekolahku letaknya cukup jauh dari perumahan warga. Mengayuh sepeda yang melewati daerah persawahan memanjakan pemandangan kami setiap hari, baik pergi maupun pulang sekolah.

Bersepeda bersama-sama menjadi kebiasaan kami. Belum pernah saya melihat seorang siswa mengayuh sepeda dan berjalan sendiri. Dengan bersama-sama kami bisa bercerita, tertawa, dan bersenda gurau bersama di jalan, tanpa mengabaikan keselamatan dengan saling mengingatkan untuk hati-hati.

Perjalanan siang ini, aku dan Monci teman kelas SMP  bersepeda santai. Kadang kami dilewati oleh teman-teman yang mengayuh lebih cepat. Asyik bercerita dan tertawa tiba-tiba Monci terjatuh dari sepeda karena melintasi sebuah batu. Aku kaget dan hanya tinggal kami berdua, sedangkan teman-teman lain sudah tak tampak.

Aku menghentikan sepeda dan mengangkat Monci. Lutut dan siku Monci mengalami luka lecet. Ia meringis kesakitan.

“Bagaimana ya sehingga bisa mengobati luka Monci?” tanyaku dalam hati.

Tak jauh dari kami, terlihat empat batang pohon pisang di pinggir jalan dekat sawah. Aku teringat, ayah pernah mengobatiku dengan menggunakan guratan pisang. Memakai penggaris, aku menggurat batang pisang.

“Sekarang guratan pisang akan kutempelkan pada luka siku dan lututmu, tapi kamu harus bisa tahan nyeri ketika ditempelkan ke lukamu,” kataku kepada Monci.

“Aduuhhhh…… stop….. stop…,” teriak Monci.

Aku tak peduli dengan teriakkannya. Kutempelkan terus guratan pisang ke lukanya. Tampak lukanya mulai kering dan tidak mengeluarkan darah lagi.

Kami melanjutkan perjalanan, namun Monci kelihatan susah mengayuh sepedanya. Kami beristirahat sejenak dan menyuruh Monci menggerakan lutut untuk peregangan sakitnya.

“Andris… kamu hebat dan pintar, bisa obati luka dengan guratan pisang. Beruntung memiliki teman sepertimu,” ucap Monci kepadaku.

Tak terasa, kami akan berpisah menuju ke rumah masing-masing.

“Terima kasih banyak Andris, maaf agak merepotkanmu hari ini, sampai mau menemaniku tiba di rumah.”

“Sama-sama Mon, tidak merepotkan. Sebagai teman kita saling membantu,” balasku dan kemudian pulang menuju rumahku.

Keterangan: sumber gambar dari internet