Categories
Cerpen

Pendidikan Terbaik Untuk Anak

Tersenyum manis saat melihat Ibu dan Ayah dari Jauh ya itulah hal yang paling merindukan setelah lama hidup di perantauan. Akhirnya bisa kembali pulang segera aku lemparkan tas jinjing ku dan bergegas untuk menghampiri Ibu dan Ayah segera memeluknya, 6 bulan lamanya aku tidak pulang kampung karena disibukan dengan aktivitas kuliah, menunggu libur semester untuk pulang.

Apalagi saat ini adalah liburan panjang karen Libur genap lebih dari sebulan lamanya, masa liburan itu ku gunakan untuk bersenda gurau bersama keluarga terutama orang tua, orang tua ku selalu antusias menanyakan perilahal kuliah, selama satu semeter apa saja yang aku lakukan dan kegiatan apa saja yang sudah dilakukan. Mereka nampak mendengarkan semua cerita ku meski aku tidak berhenti-henti mengoceh.

Itulah yang dilakukan orang tua ku selain menanyakan kabar jika bersama ia selalu melakukan komunikasi, tidak pernah sekalipun wajah mereka terlihat tidak menyukai cerita ku, selalu saja mereka mendengarkan dengan antusias meski terkadang cerita ku tidak penting namun itulah yang membuat aku bahagia saat bertemu dengan orang tua bisa berbagi cerita, kita sebagai anak juga perlakukan baik orang tua membuat kita didengarkan.

Aku hidup diera yang serba maju dimana anak muda saat ini disibukan dengan gadget, banyak orang lebih memilih gadget ketimbang bersenda gurau bersama keluarga. Namun itu tidak terjadi pada keluarga kami, orang tua ku tidak pernah melarang ku menggunakan ponsel kapan pun dan dimana pun mereka tidak pernah membatasi kami sebagai anak untuk menggunakan ponsel.

Namun jika sudah berkumpul bersama keluarga dirumah gadget ditangan lepas dengan sendirinya akibat kepiawaian orang tua kami dalam mendidik kami, mereka selalu bisa menciptakan suasna yang hangat, bahkan saat kami bersama lebih asyik ngobrol bersama ketimbang bermain ponsel atau asyik sendiri, beliau tidak pernah marah saat kami bersama bermain ponsel.

Beliau selalu bisa membuat kami merasa didengarkan atas semua cerita yang kami punya entah itu cerita penting atau hanya guyonan semata saja, tidak hanya orang tua aku memiliki satu orang kakak dan satu orang adik perempuan, tetap saja kalau sudah ngumpul semua gadget lepas dengan sendirinya dan asyik dengan obrolan kami. Itulah yang saya cermati dari orang tua saya.

Berbeda dengan kehidupan sekarang dimana anak lebih suka bermain gadget sendiri ketimbang melakukan interaksi bersama keluarga, mereka lebih suka chating dan membuka medsos ketimbang kumpul keluarga. Sebenarnya tidak ada yang salah, bahkan kehidupan modern tidak akan mempu merubah secara keseluruhan hidup kita jika orang tua mengerti bagaiman cara untuk melakukan kegiatan bersama.

Anak bukan tidak mau mengobrol tetapi, tidak hanya anak orang tua jaman sekarang cenderung kaku dan sulit menciptakan suasana hangan, anak selalui ingin mereka didengarkan, kemudian perlu topik hangat untuk sekedar mengobrol, itulah sebabnya mereka lebih menyukai medsos dari pada konsisi sosial keuarga. karena dari Mendsos mereka merasa lebih didengar dan dihargai dengan banyak mendapatkan like atau hati atau komen membuat anda merasa lebih diakui oleh orang lain ketimbang interaksi langsung.

Tidak jangan anak jaman sekarang jika sudah lepas gadget dan disuruh ngobrol pasti akan bingung dan hanya diam saja, padahal jika kita sadiri bersama tidak hanya anak yang harus berperan aktiv tetapi orang tua juga harus mempu menciptakan suasana bersama lebih menarik dari sekedar media sosial. Beruntung aku hidup dengan orang tua yang selalu bisa membuat kami bercerita ketimbang chat mendoses. Membuat semua obrolan menjadi menarik.*)

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Putih Abu-abu

Tulisan ini ada untuk aku dan mereka yang akan menjalani perpisahan dengan seragam putih abu-abunya.

Ada tawa lepas yang tercipta dari dalam ruang kelas tanpa guru. Entah sambil bermain kartu, curhat tentang mantan/gebetan, sambil membicarakan teman baru jadian hingga masa depan, ada yang tertidur pulas di bangku paling belakang, ada yang masih sibuk dengan mengerjakan tugas, dan bahkan satu dua orang yang masih sibuk membahas soal kemarin siang.

Ada jam pelajaran yang dipakai untuk pergi Ke kantin bahkan tidur di barisan paling belakang sambil menggelar tikar. Izin ke toilet sebentar, kenyataannya kembali ke kelas saat pergantian jam atau bahkan sampai pulang.

Ada rindu yang bergelora tiap kali mengingat upacara hari senin, dimana banyak teman yang berlarian untuk bersembunyi di kelas karena atribut yang tidak lengkap, hingga tertangkap basah dan harus berjemur hingga jam makan siang.

Ada cinta masa muda yang diantara remaja, baik dengan adik kelas, kakak kelas bahkan teman sekelas. Atau bahkan tak sedikit yang menjahili guru-guru muda.

Ada bangku-bangku kosong yang setiap saatnya menunggu untuk ditempati seakan berkata “jangan tinggalkan kami”. Ada air mata yang tumpah saat satu Persatu teman seperjuangan pergi. Semata berpisah untuk saling menggapai mimpi. Sekuat apapun tangan menggenggam, langkah akan selalu mengajak berjalan kedepan. Yang pada akhirnya, jari jemari yang saling terkait mau tak mau harus di lepaskan.

Ingat! Ketika menjadi dewasa terasa sulit.

ketika setiap langkah yang diiringi dengan lara yang membara menjadi saksi bisu perjalanan yang di penuhi dengan keyakinan, walau semesta dan seisinya di masa depan masih tetap menjadi misteri, percayalah! Cangkir antik nan indah yang berharga ratusan juta rupiah awalnya hanya seonggok tanah liat tak berupa. Disodok, ditinju, dibakar di perapian, di dingin kan kembali, lalu di bakar kembali hingga ia di Poles sedemikian menarik sampai menjadi barang berharga.

Ketahuilah.. Kita pun demikian dan aku percaya, semua hal telah terencana dengan begitu sempurna pada waktunya.

Teruntuk aku dan teman-teman ku yang akan segera meninggalkan keriangan masa SMA, yang akan berkuliah, bekerja hingga memutuskan untuk langsung menikah, berbahagialah. Semoga pilihan mu itu akan menuntunmu pada cita-cita yang selama ini kau impikan.

“Coming together is a beginning, keping together is progress, working together is success.” -Henry Ford

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Aku Memilih Kuliah

Meski kulia bukan satu-satunya jalan melanjutkan kehidupan setelah SMA, aku tetap memilih untuk kuliah. Meski ada “kamu” yang menantikan ku selepaa wisuda, aku tetap memilih kuliah..

Aku memilih kuliah karena aku ingin bekerja dan mendapat uang dengan cara yang ku mau. Tunggu, apakah kuliah menjamin uang dan pekerjaan? Sebenarnya tidak, namun ada titik dimana kita harus berkuliah untuk bisa naik ke level selanjutnya dan pekerjaan kita. Yang kuliah jamin adalah pilihan, kemampuan dan pengetahuan yang lebih dari pada hanya sekedar lulus SMA. Karena semakin banyak ilmu yang kita punya, maka semakin bebas kita memilih untuk menjadi apa kita nanti.

Aku memilih kuliah dari pada langsung menikah setelah lulus SMA, meski aku tau bahwa setelah menikah mungkin saja aku masih bisa berkuliah. Tapi aku juga tau bahwa setelah nikah nanti semua urusan rumah tangga akan mengalihkan niatku kesana. Lagipula aku ingin memberi kesempatan kepada diri ku dan juga pasanganku nanti untuk terus mencari ilmu seluas-luasnya untuk kemudian kami bertemu dan menceritakan semuanya disela-sela meributkan isi rumah tangga hehe…. kemudian kami akan mempraktikan ilmu yang kami punya supaya bermanfaat bagi orang-orang ditempat kami kelak. Tentunya hidup kami akan lebih berwarna bukan?

Aku memilih kuliah meskipun aku seoranng perempuan yang katanya akan berlabuh di dapur saja. Hai kamu kaum sanguinis. Catat ini; meski kelak aku berkerja di dapur dan hanya sekedar sebagai ibu rumah tangga, setidaknya aku tidak perlu mengeluarkan biaya berpuluh puluh juta hanya demi memasukan anak-anakku kursus menjelang ujian nasional. Aku akan menjadi dosen di keluargaku sendiri dan ilmu ku takan sia-sia.

Sederhananya aku memilih kuliah karena aku ingin bercerita ketika orang tuaku penasaran, aku mampu mencari tau. Ketika anak-anakku banyak bertanya, aku suka untuk menjawabnya. Ketika aku diskusi, aku tidak diam saja karena aku tau sakitnya ketidaktahuan.

Jika sekali lagi aku melihat keluar jendela, sepertinya memang aku wajib berkuliah untuk meninggi setinggi-tingginya. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk melindungi karena hari ini sudah lupa pada bumi. Pada akhirnya semua akan tiba pada alasan sesungguhnya; aku memilih untuk kuliah karena tuhanku menyuruhku. Tuhan ingin meninggikan derajat orang-orang yang menuntut ilmu. Lalu apalagi alasanku untuk takut dan tidak melanjutkan perjuangan?

Raihlah mimpi dari tidur didalam bangunmu. Jadikan ia nyata dalam mata dan hatimu. Karena mimpimu akan lahir dimana saja tanpa kau minta. Jadikan tidurmu dalam tempat lain melahirkan mimpi-mimpi baru untuk kelak kau bawa pulang. Karena sejatinya kau selalu tau ilmu adalah kekuatan dan kerinduan yang pasti mengantarkanmu pulang kembali.

Jangan pernah takut untuk pergi karena mimpimu berhak untuk diperhatikan layaknya kau menghampiri kebahagiaan yang entah datangnya dari mana. Pergilah… maka kau akan tau jawabannya.[]

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Chef Sisca

 

Sejak kecil Sisca sering bermain bersama dengan teman – teman seperti memasak. Ketika memasuki bangku sekolah jenjang tingkat atas, ia menyampaikan kepada kedua orang tuanya untuk menyekolahkannya di sekolah yang bisa memasak. “Saya mau jadi chef kok”, ketus Sisca ketika berbicara dengan orang tuanya. Bapak dan ibunya kaget mendengar apa yang disampaikan Sisca kepada mereka karena selama ini Sisca tidak pernah berbicara tentang rencananya untuk sekolah menjadi seorang chef.

Dengan bahagia Sisca menjalani masa sekolah tingkat atasnya bersama teman – temannya yang lain dari berbagai SMP. Mereka hanya berjumlah 30 peserta didik dalam satu kelas ketika awal masuk sekolah. Kekompakan, kebersamaan, menghargai perbedaan seperti agama, dan persaudaraan di antara mereka sekelas maupun dengan kelas yang lain sangat terasa. Walaupun sekolah itu milik swasta katolik, namun menerima peserta didik tanpa memandang perbedaan, entah apapun  perbedaan itu. Yayasan yang mengelola SMK tempat Sisca bersekolah adalah tarekat religius yang dalam gereja katolik disebut biarawati. Niat dan tekad mereka adalah bisa belajar dan lulus serta bisa mengharumkan nama sekolah. Memasuki kelas XII di SMK itu, teman Sisca yang bernama Robby pindah sekolah ke kota lain karena mengikuti perpindahan tugas ayahnya. Ayahnya adalah seorang perwira TNI. Sisca dan temannya yang lain merasa sangat kehilangan Robby. Robby adalah salah satu dari sembilan teman laki – laki yang ada dalam kelas mereka. Dengan berat hati mereka merelakan Robby untuk pindah sekolah mengikuti ayahnya. Mendekat hari perpindahan Rooby, bersama dengan kedua orang tuanya, Robby berpamitan dengan Kepala Sekolah, para guru, dan teman sekelasnya. Sisca dan teman – temannya tak dapat menahan rasa sedih dalam hati, air mata pun menetes perlahan ketika bersalaman dengan Robby.

Waktu Ujian Nasional (UN) tinggal dua bulan. Sisca dan teman – teman sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi UN. Setelah selesai UN, tibalah waktu yang ditunggu – tunggu, pikiraan dan perasaan diliputi dengan rasa bimbang dan ragu, antara lulus atau tidak. Pengumuman kelulusan pun dilaksanakan, Sisca dan teman – teman dinyatakan LULUS 100 %. Semua menyambut dengan gembira hasil kelulusan ini. “Hore…….. kita lulus semua…” teriak mereka setelah keluar dari ruang pengumuman dan berada di halaman.

Setelah dinyatakan lulu, Sisca mengurus semua administrasi ijazahnya dan menyerahkan ijazah kepada orang tuanya. Melihat kondisi kehidupan keluarganya yang pas – pasan, Sisca pun tidak berniat untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi. Ayahnya sebagai seorang buruh bangunan dan ibunya hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Penghasilan kedua orang tuanya hanya mencukupi kebutuhan untuk hidup sehari – hari.  Sedikit membantu untuk membayar uang sekolah Sisca dan kedua adiknya. Ketika masih sekolah, Sisca dan kedua adiknya memperoleh bantuan dana pendidikan untuk orang tua kurang mampu sehingga dapat meringankan  beban orang tuanya. Agar bisa membantu kedua orang tuanya, Sisca memutuskan untuk bekerja. Sisca pun melamar pekerjaan ke sebuah restoran berbekal membawa ijazah SMK yang dimiliki. Setelah dua minggu menunggu, Sisca dipanggil pihak restoran untuk bekerja. Ia sangat bersyukur telah memperoleh pekerjaan yang dapat membantu ekonomi keluarganya. Walaupun telah memiliki pekerjaan, namun Sisca tetap hidup sederhana. Menggunakan uang yang dimiliki sesuai kebutuhannya ataupun kebutuhan dalam keluarga. Sisca bahagia menjalani hari – hari hidupnya bersama keluarga dalam kesederhanaan.

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Pemulung Cilik

 

Cuaca tampak agak cerah. Di langit sedikit dibayangi mendung menyelimuti angkasa sekitar kota Malang. Bocah cilik itu memikul sebuah karung berukuran sedang. Bekas karung beras yang berukuran 20 kg nampak pada tulisan karung itu. Dengan semangat ia berjalan menghampiri kotak sampah yang berada dekat bangsal SDK Mardi Wiyata 1 Malang. Dilihat dan diambilnya beberapa botol dan gelas plastik bekas dari kotak sampah berwarna hijau dan menyimpan dalam karungnya sambil dipikul. Dihampirinya kembali kotak sampah berwarna kuning berada sekitar 15 m dari kotak sampah hijau. Namun ia tak menemukan sesuatu dari kotak kuning. Hanya melihat lalu meninggalkan tanpa mengambil sesuatu.

Dari jauh mataku memandang dan mengamati. Perlahan mengikuti dan mendekatinya yang bergegas hendak meninggalkan kotak sampah itu. Hallo dek, ku coba menyapanya. Iya kak, jawabnya singkat. Kami melanjutkan percakapan. Saya pun bertanya tentang dirinya. Namamu siapa ya …? Fio, ia menjawab sambil memandang ke arahku. Truussss, kamu sudah sekolah…? jawabnya: sudah…. di mana …? TK Bina Putra, ia pun menjawab. Aku pun kaget. Tempat Fio mengenyam pendidikan sebelum ke tingkat SD hampir setiap hari saya lewati dan lihat. Dalam hatiku bergumam, anak seumur Fio tapi memulung mengadu nasib untuk hidupnya. Apakah ia disuruh orang tuanya atau melakukan sendiri untuk memulung? Semua penuh tanda tanya dalam hatiku.

Saya pun membatasi diri untuk bertanya tentang hidup Fio. Kebetulan di tanganku sedang memegang salad buah dan sepotong kue (kue itu seperti pizza) yang tadi dibelikan teman di kantin sekolah tempat ia bertugas. Kebetulan kami bertemu ketika saya hendak ke sekolah di seberang yang melewati jembatan kecil kali Brantas. Saya coba menawarkan salad dan kue kepada Fio dan menyuruh Fio untuk memilih mana yang dia mau. Ia pun menunjukkan ke tanganku yang memegang kue. Kue itupun saya berikan kepadanya. Ia mengambilnya. Raut wajahnya kelihatan senang dan gembira. Fio asyik memakan kuenya itu. Saya pun pamit dan meninggalkan Fio yang sedang menghabiskan kuenya. “Syukur dan terima kasih Tuhan atas pengalaman ini yang telah mengajarkanku untuk mensyukuri hidup ini, atas anugerah rezeki Tuhan berikan. Berikanlah jalan bagi semua orang yang mengalami kesusahan, penderitaan, dan kemalangan dalam hidup mereka” pintaku dalam hati sambil berjalan melewati jembatan besi menuju tempat kerjaku. []

 

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Balada Muslih

Belum puaskah Kau ambil putra bungsuku!? Kautorehkan asa, pun pupuskan segalanya. Kausuguhkan susu bertuba. Meremehkan hati yang telanjur tertaut darah. Putra bungsuku Kaulenyapkan dalam sekejap. Kini si sulung Kaurebut jua. Seperti inikah cara-Mu menciptakan sandiwara?
“Doorrr  Doorrr ! desing tembakan melesat ke udara. Muslih geram bukan kepalang, wajah sinisnya terus menatap ke langit. Lelaki yang memang dulunya seorang Polisi itu masih meratapi kepergian kedua putranya. Ia sering ngeromet tak karuan, wajahnya mendongak ke atas dengan kegeraman. Orang-orang lalu lalang yang bertemu dengannya tak berani menyapapun menegur. Mereka khawatir, kejadian sepekan yang lalu terulang kembali. Kejadian pilu yang menimpa Ucok saat menegur Muslih untuk tidak mengucapkan kata tak senonoh. Nahas, Ucok malah terbaring di UGD Rumah Sakit Sobirin, kaki kanannya tertembak senpi. Ironis.

Delapan tahun aku menantikan kehadirannya, delapan tahun aku bersabar mendengarkan ledekan orang, delapan tahun aku …. Lidahnya kelu, air mata mengalir dari kedua sudut matanya.

Setelah kepergian kedua putranya, Muslih  tak lagi  berprofesi sebagai polisientah memberhentikan diri atau diberhentikan karena mentalnya tak stabil. Hari-hari dilalui dengan kobaran amarah dan kepedihan yang menyayat. Ia mondar-mandir di sekitar masjid bercat hijau daun di kampungnya, Marga Mulya. Badannya yang berisi; tinggi, kekar, dan berotot, membuat warga sedikit takut berhadapan dengannya. Tak sedikit dari mereka yang rela putar arah jika bertemu dengannya, mungkin karena senpi yang tak lepas dari genggaman tangannya atau karena perawakan yang menyeramkan, atau mungkin karena wajah sinisnya. Arrrrgh, entahlah.

Doorrr  Doorrr  Doorrr …! Muslih kembali menembakkan senpi. kali ini, sikapnya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Pak Mahmud, pengurus masjid, tak mampu menahan diri lagi. Ia sangat geram ketika Muslih menembak atap masjid hingga pecahan genting berangsur jatuh dan mengotori tempat sembahyang.

Cukup!! Teriak Pak Mahmud geram, pun Muslih menatapnya tajam. Orang-orang datang berkerumun, berdesakkan bak melihat sirkuit munahsirkuit yang dimainkan oleh monyet, yang kerap muncul antara bakda dzuhur hingga menjelang magrib.

Kau! Ehhh, si Tua, apa maumu? tukas Muslih dengan wajah memerah.

Apa mauku? Seharusnya aku yang bertanya, apa maumu!? Pak Mahmud berkacak pinggang.

Aku tak ada urusan denganmu, menyingkirlah, atau

Atau kau akan menembakku? Silakan! Jika tembakkan mampu menjernihkan pikiranmu, silakan!! tantang Pak Mahmud.

Sejatinya, Pak Mahmud ingin menasihati secara halus, tetapi ia tahu betul, Muslih enggan mendengarkan petuah siapa pun, tak terkecuali dirinya. Sungguh, Pak Mahmud ingin Muslih melampiaskan amarahnya dan melanjutkan hidup tanpa keterpurukan. Sebab ia sangat tahu rasanya kehilangan orang yang disayangi. Putrinya, Jannah, meninggal tiga tahun yang lalu karena kanker yang menyerang sel darah putih.

Kehilangan buah hati rasanya seperti kehilangan separuh nyawa bahkan lebih. Rasa sedih, kecewa, marah, menyesal, bercampur aduk menjadi satu. Namun kita harus percaya dan yakin bahwa keputusan Allah tidak akan pernah salah. Mengikhlaskan memang sulit, sangat sulit. Namun seiring bergulirnya waktu, rasa yang berkecamuk akan terkikis.

“Doorrr!” Tembakan melayang tepat di kaki kanan Pak Mahmud. Darah segar bercucuran. Dalam keadaan setengah tak sadartertatih, ia berusaha berjalan mendekati Muslih. Entah apa yang akan dilakukannya, sedangkan Muslih masih dalam keadaan yang samakedua tangan menjolor memegang senpi. Orang-orang berlari panik. Ada yang mencoba menghalangi Pak Mahmud, ada yang pulang ke rumah, pun ada yang diam di tempat.

Langkah Pak Mahmud terhenti. Kakinya terasa berat, mati rasa bak orang lumpuh. Raut datarnya tak mampu menyembunyikan rasa sakit. Sesekali ia mengeryitkan kening, mengelap peluh yang mengembun dengan sorban hijau lumut yang menggantung di lehernya. Rustam, salah satu warga yang rumahnya bersebelahan dengan Pak Mahmud berusaha mengangkat dan membawanya ke rumah sakit terdekat dengan dibantu beberapa warga.

Sehari setelah kejadian, Ranti, istri Muslih bertandang ke rumah sakit. Ia meminta maaf atas perbuatan suaminya. Pun menceritakan peliknya hidup usai kepergian putranya. Bungsu yang hanyut di sungai disusul sulung tabrak lari. Di akhir pembicaraan, Ranti memohon pada keluarga Pak Muslih untuk membebaskan suaminya yang telah bermalam di jeruji besi. Keluarga Pak Mahmud tertegun. Tak satu pun dari mereka yang melapor, bagaimana Muslih bisa ditahan!? Tanpa membuang waktu, keluarga Pak Mahmud datang ke penahanan Muslih, namun langkah mereka terhenti karena Muslih tidak ingin bertemu dengan siapa pun.

Biarkan aku berteduh di tempat ini ya Robb, hingga rasa ikhlas benar-benar kuteguk. Maafkan khilafku, kekufuran membutakan kasih-Mu, lirih Muslih sambil meneteskan air mata.(*)

Lubuklinggau, 25 Agustus 2017