“Jadi kamu tidak tahu kalau dia itu tinggal di daerah lokalisasi Patok Besi?” tanya Dony dengan mata melotot dan tangan kanan di dagunya.
“Lokalisasi?” timpal Dita.
“Eh, kamu tahu tidak itu daerah apa?” Mata Dony lebih melotot.
“Memangnya kenapa, Don? Apa hubungannya dengan Bayu?”
“Biasanya yang tinggal di tempat seperti itu pasti tabiat dan kelakuan aslinya tidak akan beda jauh,” cibir Dony.
“Kamu ini jangan ngawur ah, keliatan kok kalau Bayu itu tidak seperti itu,” Dita terlihat membela.
“Yo wes kalo tidak mau percaya!” Dony mengangkat bahu.
“Sudahlah, fokus saja dengan progam yang lagi kita susun untuk kelompok kita ini!” sela Wenti.
Perkataan Dony membuat otakku bermain-main. Aku hanya bisa terdiam memikirkannya. Benarkah demikian adanya, ataukah hanya prasangka? Apakah sikap positif seperti yang Dita tunjukkanlah yang harus kuterapkan dalam pemikiranku? entahlah.
Satu minggu telah berlalu dari percakapan instan itu. Jadwal praktik kerja lapangan (PKL) pun keluar. Setiap kelompok mendapatkan jatah daerahnya masing-masing.
Desa Sumber Agung RT 02 tertulis jelas dalam daftar pembagian daerah PKL di kelompok kami yang beranggotakan Dony, Dita, Salsa, Wenti dan aku.
“Ini dekat rumahnya si Bayu, ‘kan?” celoteh Dony.
Semua anggota kelompok diam. Kami bergegas berangkat ke lokasi.
Tak terasa sudah menginjak hari kelima kami bertugas, bertepatan hari di mana para pria muslim diwajibkan untuk menjalankan salat Jumat.
“Yuk Jumatan,” ajakku
“Tunggu sebentar,” wajah Dony terlihat murung,
“Kenapa wajahmu, Don, lagi ada masalahnya?” tanyaku dalam perjalanan.
“Tidak ada apa-apa, hanya saja …”
“Kenapa?” potongku cepat.
“Aku merasa bersalah, seharusnya aku tak memandang orang dari cover-nya saja. Semua pemikiran itu ternyata hanya tumpukkan prasangka yang menjatuhkan harga diriku saat ini. Aku hanya ingin meminta maaf sekarang,” ujar Dony menyesal.
Ucapan Dony ini membuatku berpikir panjang—sedang ngomong apa anak ini? Sosok yang biasanya sok tahu dan banyak bicara itu kini terlihat seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orangtuanya.
Tibalah kami di Masjid Nurul Hidayah, satu satunya masjid yang menyelenggarakan kegiatan ibadah salat Jumat di kelurahan tersebut. Masuklah kami ke dalam masjid, para jemaah penuh sesak di dalamnya.Tak lama berselang, naiklah khotib ke mimbar masjid.
Hatiku berdegup, daraku mendesir ke kepala dan mataku terbelalak. Sontak aku menoleh ke arah Dony yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya seraya menjawab salam sang khotib.
Bayu Sembiring. Pemuda 21 tahun ini merupakan mahasiswa semester IV yang tengah menjadi buah bibir para mahasiswa wanita di STKIP PGRI Lubuklinggau ini. Postur tubuhnya yang tegap berisi, wajahnya yang tampan berhiaskan berewok tipis nan rapi. Vixion putih yang ditungganginya membuat kegagahannya makin purna.
Tanpa sadar aku keluar dari masjid dan mengambil telepon selular dari kantongku. Kupercepat memencet kontak nomor. Tepat di nama Ibu, aku pun langsung membuat panggilan.
“Halo Ibu,” kataku cepat begitu panggilan terjawab. “Ini Yadi. Tolong, Bu, segerakan adikku dihalalkan oleh yang meminangnya, Bu. Aku ridho dunia akhirat didahului. Insya Allah, ini jalan yang terbaik.”
“Lho bukannya kamu kemarin ….”
“Iya, Bu!” potongku cepat, “Kemarin-kemarin bedaa, Bu …”
“Kok ..?”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Air mataku menetes. Aku pikir, ada baiknya aku menenangkan diri dulu sebelum menjelaskan semuanya kepada Ibu. Aku merasa lega, jauh lebih lega, jauh lebih bahagia dari biasanya.[]