Categories
Artefak Literasi Cerpen

Sinaran

“Jadi kamu tidak tahu kalau  dia itu tinggal di daerah  lokalisasi Patok Besi?” tanya Dony dengan mata melotot dan tangan kanan di dagunya.

“Lokalisasi?” timpal Dita.

“Eh, kamu tahu tidak itu daerah apa?” Mata Dony lebih melotot.

“Memangnya  kenapa, Don? Apa hubungannya dengan Bayu?”

“Biasanya yang tinggal di tempat seperti itu pasti tabiat dan kelakuan aslinya tidak akan beda jauh,”  cibir Dony.

“Kamu ini jangan ngawur ah, keliatan  kok kalau Bayu itu tidak seperti itu,” Dita terlihat membela.

“Yo wes kalo tidak mau percaya!” Dony mengangkat bahu.

“Sudahlah, fokus saja dengan progam yang lagi kita susun untuk kelompok kita ini!” sela Wenti.

Perkataan Dony membuat otakku bermain-main. Aku hanya bisa terdiam memikirkannya. Benarkah demikian adanya, ataukah  hanya  prasangka? Apakah sikap  positif seperti yang Dita tunjukkanlah yang harus kuterapkan dalam pemikiranku? entahlah.

Satu minggu telah berlalu dari percakapan instan itu. Jadwal  praktik kerja lapangan (PKL) pun keluar. Setiap kelompok mendapatkan jatah daerahnya masing-masing.

Desa Sumber Agung RT 02 tertulis jelas dalam daftar pembagian daerah PKL di kelompok kami yang beranggotakan Dony, Dita, Salsa, Wenti dan aku.

“Ini dekat rumahnya si Bayu, ‘kan?” celoteh Dony.

Semua anggota  kelompok  diam. Kami bergegas berangkat ke lokasi.

Tak terasa sudah menginjak hari kelima kami bertugas, bertepatan hari di mana para pria muslim diwajibkan untuk menjalankan salat Jumat.

“Yuk Jumatan,” ajakku

“Tunggu sebentar,” wajah  Dony terlihat murung,

“Kenapa wajahmu, Don, lagi ada masalahnya?” tanyaku dalam perjalanan.

“Tidak ada apa-apa, hanya saja …”

“Kenapa?” potongku cepat.

“Aku merasa bersalah, seharusnya aku tak memandang orang dari cover-nya saja. Semua pemikiran itu ternyata hanya tumpukkan prasangka yang menjatuhkan harga diriku saat ini. Aku hanya ingin meminta maaf sekarang,” ujar Dony menyesal.

Ucapan  Dony  ini membuatku berpikir panjang—sedang ngomong apa anak ini?  Sosok yang biasanya sok tahu dan banyak bicara itu kini terlihat seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orangtuanya.

Tibalah kami di Masjid Nurul Hidayah, satu satunya masjid yang menyelenggarakan kegiatan ibadah salat Jumat di kelurahan tersebut. Masuklah kami ke dalam masjid, para jemaah penuh sesak di dalamnya.Tak lama berselang, naiklah khotib ke mimbar masjid.

Hatiku berdegup, daraku mendesir ke kepala dan mataku terbelalak. Sontak aku menoleh ke arah Dony yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya seraya menjawab salam sang khotib.

Bayu Sembiring. Pemuda 21 tahun ini merupakan mahasiswa semester IV yang tengah menjadi buah bibir para mahasiswa wanita di STKIP PGRI Lubuklinggau ini. Postur tubuhnya yang tegap berisi, wajahnya yang tampan berhiaskan berewok tipis nan rapi. Vixion putih yang ditungganginya membuat kegagahannya makin purna.

Tanpa sadar aku keluar dari masjid dan mengambil telepon selular dari kantongku. Kupercepat memencet kontak nomor. Tepat di nama Ibu, aku pun langsung membuat panggilan.

“Halo Ibu,” kataku cepat begitu panggilan terjawab. “Ini Yadi. Tolong, Bu,   segerakan adikku dihalalkan oleh yang meminangnya, Bu. Aku  ridho dunia akhirat didahului. Insya Allah, ini jalan yang terbaik.”

“Lho bukannya kamu kemarin ….”

“Iya, Bu!” potongku cepat, “Kemarin-kemarin bedaa, Bu …”

“Kok ..?”

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Air mataku menetes. Aku pikir, ada baiknya aku menenangkan diri dulu sebelum menjelaskan semuanya kepada Ibu. Aku merasa lega, jauh lebih lega, jauh lebih bahagia dari biasanya.[]

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Ruang Senja

Kupandangi, ah sekali lagi, pikirku. Aku tak pernah jemu berhadapan dengan cermin dengan tangan kiriku memegang fotomu. Siapa pun di antara kami yang akan mengungkapkan hal apa pun, akan kami temukan kesamaan. Semua rindu terkumpul pada satu ruang senja yang selalu setia hadir di manapun kami berada. Sampai kini aku melihat kita sedang membuka sebuah misteri. Pernah kau bercermin kawan? Apa yang kau lihat? Di sini aku melihat pinang dibelah dua, yah kekuatannya seperti lubang hitam menarik sisi manapun dari diriku.

S

enja baru saja usai di Paris. Kulangkahkan kaki secepat mungkin beranjak menuju apartemen. Aku tak ingin kalah, berlomba dengan air langit yang tak tertahan lagi akan tumpah. Apartemenku tak jauh dari tempat senja yang selalu menjadi ruang transfer untuk senjamu hanya berjarak beberapa meter dari manara Eiffel. Aku berlari dan terus berlari, bukan aku takut pada air langit, tapi waktu untuk bertemu-Nya akan segera tiba. Dibutuhkan setunggal hati yang tangguh untuk tetap tawaduk di negara ini. Sebentar lagi aku sampai, pikirku, aargh seketika saja semua gelap, kakiku terganjal batu yang membuatku tersungkur ke bagian badan jalan. Parahnya mobil berwarna biru melaju begitu kencang  hingga ingatanku bepergian entah ke mana. Aku lupa segalanya. Amnesia.

L

angit bergemuruh. Awan hitam membentang di petala langit senja. Sebentar lagi air langit akan tumpah ruah menghunjam Bumi. Mata-mata sendu yang berbinar sedari tadi, kini padam. Bak rumah tak berpenghuni, senja telah gagal dinikmati. Kamu dan aku belum mampu menerima kejamnya langit yang merenggut keindahan itu. Di bawah kanopi pohon mangga yang rindang dan rerumputan yang basah kita masih membungkam kata-kata, membiarkan sepersekian detik air langit berderu bersahutan bersama halilintar yang terlihat berirama menyambar ke kiri dan ke kanan. Kulihat matamu berisi ragu, sesuatu yang terus mengganjal hati tentang senja yang kaumiliki.

Aku tak tahu apakah kamu menangkap hal yang sama, kebersamaan kita seperti merajut misteri. Gelak tawamu selalu dibumbui sesuatu. Yah rasa itu, rasa yang membuatku mengerti arti senja. Dahulu aku selalu merasa senja adalah keindahan yang percuma, karena ia hanya hadir di waktu penyisa terang. Kini aku mengerti bahwa senja adalah keindahan yang mahal. Tak semua orang dapat menikmatinya. Dia hadir di waktu sempit menuju gelap, memberi indah pada lanskap lalu tak lama senyap, pemanjaan mata yang singkat.

“Dani …” Perlahan kamu membuka kata-kata dengan tatapan nanar pada air langit. Aku hanya menggerakan kepalaku ke arahmu seraya menatap ekspresi wajahmu.

“Apakah kita akan seperti senja?” Aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ambigumu.

“Maksudmu apa?” Aku balik memberi tanya.

“Yah, apakah kita akan menjadi seperti senja yang memberi keindahan sesaat lalu hilang?” Penjelasan pertanyaanmu terdengar lirih..

“Tak perlu khawatir karena hari ini air langit merampas senjamu, senja memang menghilang untuk sesaat tapi esok ia akan kembali dengan keindahan yang sama, bahkan lebih dari yang kamu duga,” jawabku. Di dalam hati sebenarnya pertanyaanmu memberiku rasa takut, aku seakan merasa esok hari kamu bersama senja akan memberikan ruang. Memori ini terus melintasi pikiranku selama empat tahun ini.

M

asih teringat jelas pagi ketika sinar surya tampak malu di balik kabut tebal yang menyelimuti Yogyakarta ini. Kamu layangkan sepucuk pesan singkat tentang keberangkatanmu mencari ilmu di negara seberang—bagiku semua terasa tiba-tiba. Tapi tidak bagimu yang telah mempersiapkannya dari jauh hari. Kau  dan beberapa keluargamu telah bersiap mengantarkanmu ke bandara pagi ini, aku pun tak ingin kalah dengan mengenakan pakaian terbaikku. Ah, kau terlihat anggun dengan baju biru langit serta kerudung hijau daun.

Lalu rindu?

Apakah kita bisa menahan rindu yang berlarut lama seperti ini atau apakah rindu kita akan lekang termakan jarak dan waktu. Oh, aku terasa tak ingin berpisah darimu, siapa lagi yang akan menemaniku menghabiskan senja-senja saban sore tiba. Bisakah sesaat senja ini kusimpan keindahnnya dalam lemari atau saku celana, bila tiba waktunya akan kuperlihatkan bersamamu lagi! Aku tak ingin senja ini hanya dinikmati sendiri sementara rindu kian menbuncah!

“Reynia, kutunggu kepulanganmu, kuharap senjamu dan senjaku menyatu di ruang senja yang akan kita perlihatkan beberapa tahun yang akan datang.” Kuberanikan diri untuk membuat ruang senja. Kamu terlihat menyeka kerlingan air yang melewati kedua pipimu diiringi anggukan kepala. Senyum tipis itu perlahan merona dari wajahmu. Setidaknya memberi kelegahan sesaat pada hati kita berdua.

Tak terasa waktu kian cepat berjalan, kini kamu dan aku telah berada dalam ruangan perpisahan, kamu berjalan perlahan mendekati elang besi. Sesekali kau palingkan wajahmu dari kejauhan, air hangat yang menganak pinak di kedua bola mata kita seakan menjadi saksi bahwa perasaan cinta dan kasih sayang itu telah tumbuh dan bersemayam di hati kita.

A

mnesia sesaat yang kualami selepas mengantar kepergianmu tak mampu membuatku melupakan masa-masa senja yang memberi ruang pada kita hingga sekarang kamu di sana dan aku di sini. Waktu itu pikiranku hanya tertuju padamu, bagaimana cara bertahan sendirian di Kota Gudeg, di desa Sambi yang terkenal asri, tempat kita berdua melihat senja. Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, alhasil  …. gegar otak ringanlah yang aku dapatkan kala mobilku mengelak mobil di depan.

Perlahan ingatanku kembali normal enam bulan setelah kepergiannmu. Dokter bilang, amnesia sesaat akan cepat sembuh jika ada stimulasi dari alam bawah sadar pasien. Aku memerlukan support. Aku yakin memori kita berdualah yang membuat kita bisa melalui kejadian amnesia sesaat ini, bagaimana bisa kita dapat mengalami kecelakaan di tempat yang berbeda dengan analisis yang sama, tetapi memori tentang ruang senja kita tak pernah pudar. Setiap peristiwa sama yang kita lalui inilah yang membuat aku semakin yakin, ada sesuatu yang sedang Tuhan persiapkan untuk kita.(*)

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Kenangan dan Cinta Baru yang Bisu

Sejak awal mataku sudah dirampas kilau jelitamu. Ini bukan suatu yang mengada-ada tapi fakta. Memasuki kelas pertama dan kau duduk dibelakangku. Bola mata ini selalu ingin tertuju padamu. Awalnya aku mengira ini imajinasi, tapi ini nyata! Parasmu mengingatkan aku pada seseorang di masa lampau.

P

enasaran tentangmu berlanjut pada minggu ke minggu. Aku seperti Bumi gersang yang siap dibasahi hujan, pasrah! Pada perasaan yang timbu ltanpa adanya alur. Dan sunyi tiba-tiba hinggap, lalu bayangmu hadir bersama cahaya, tenggelamkan aku pada dirimu. Bagai dewi malam menjelma bulan. Wajahmu menancap pada tahta hati dan aku terkubur pada cinta. Di pertemuan kedelapan aku baru tahu namamu, juga puisi malammu, Shafira Amellya!

Malam

Kelam mengatar malam

Gelap melepas sunyi

Sinar bulan terang menyelimuti

Apakah kau melihatnya?

Ada rinduku bersinar di atas langit

Wajah bulan

Biaskan hitam

Jarak tak mematahkan rindu

Lihatlah sinar itu

Apakah kau melihatnya?

Ada rinduku bersinar di atas langit

Bulan semakin lelah

Kini sinarnya rebah

Berbaring pada kelam

Malam pada rindu

Rindu pada dirimu

Seorang wanita dengan puisi adalah romantis, bagiku seperti itu. Sekarang  aku akan menjadi pengagummu, puisi-puisimu. Kuharap kau akan terus memetik kata-kata. Mengubah aksara menjadi hujan yang membasahi resah, menjadikannya palu pemecah gundah. Remukkanlah kebencianmu, jadikan ia partikel yang melayang, hingga kau sampai pada inginmu. Kau tahu, Shafira? Kamu seperti wanita masa laluku itu, Nadia. epertinya Tuhan sengaja mempertemukan kita. Entah apa maksudnya, kau benar-benar mengingatkan aku padanya.

Pagi berlalu, siang berganti. Saat kelas berakhir, kata-kata untuk jawaban puisimu hadir dalam otakku. Kusiapkan kertas, menulisnya sambil menunggu azan zuhur di pelataran Masjid Agung. Menenggelamkan diri pada mega, menculik diksi lewat putihnya.

Tak lama kumandang azan berbunyi. Saatnya menuju Tuhan dan berdoa. Awan-awan putih kutinggalkan. Kusalin ia menjadi aksara, agar cinta itu berbahasa. Usai salat dan pikiran menjadi tenang, kenangan indah itu muncul ke permukaan, Nadia Ameli. Nadia wanita masa  laluku yang diberkati dengan paket komplit. Berhati emas, pikiran jenius, penampilan menawan. Siapa pun pertama kali melihatnya akan jatuh cinta. Itulah dia, sama sepertimu, Shafira.

D

iskusi karya sekelompok denganmu pada pertemuan ke delapan menjadi komunikasi perdana kita.

“Puisimu bagus, cuma perlu belajar diksi lagi, serta ritme, kataku memberi masukan padamu. Kau tersenyum. Andai aku bisa melihat senyum itu lebih banyak, pasti aku sangat bahagia.

Sejak diskusi itu komunikasi kita jadi cukup cair. Aku tidak canggung untuk bertanya dan sekedar menyapa hello padamu.

Kamu sekolah kelas berapa Shafira? tanyaku ketika kamu sedang menyaksikan anak-anak acting melakukan monolog.

Aku kelas 11 kak jawabmu tersenyum. Jawabanmu selalu singkat dan tidak ada komunikasi balik. Sikap itu selalu membuat penasaran dan diammu entah kenapa aku suka. Aku kembali bertanya mencoba melakukan komunikasi lagi.

Sekolah di mana

MAN 1 kak, jawabmu pendek.

Aku mengangguk-angguk Kalau Kakak udah tamat kuliah, Shafira.

Komunikasi itu hanya satu arah, tapi bahagianya tak terhingga. Walau singkat dan sebentar, hatiku bergetar dapat melihat senyummu itu. Shafira Amellya, dapatkah kau merasakan hatiku?

H

ujan turun bersama puisi yang kamu kirim melalui Whatsapp. Pikiranku jadi tenggelam. Dua wanita jadi satu, dalam rindu yang melaju. Aku berdoa untuk ingatan dan cinta, semoga Nadia bahagia di sana, amiin.

K

ehampaan tak kasat mata, doa menghilangkan lara dan duka. Ingatanku masih jelas merekam mimpi tentang Nadia tadi malam.Wanita masa lalu yang telah Tuhan panggil dalam rahmat-Nya. Dia benar mirip denganmu, Shafira. Cantik, berhidung mancung, dan misterius. Dia juga mahir merangkai kata, hingga aku menjulukinya dewi puisi.

Pagi ini, saat sinar surya mulai menyisir pori. Rutinitas kelas menulis memaksaku bergelut dengan cepat. Berhenti dari mimpi, membuang selimut, dan pergi menuju kamar mandi, aku terlambat! Sudah pukul 08.15 WIB, aku bergerak cepat mempersiapkan sesuatunya. Dan berangkat pukul 08.30 WIB,  melajukan motor dengan cepat.

Aku sampai di gedung Dewan Kesenian LubukLinggau tepat waktu. Kelas menulis akan segera mulai. Kamu juga baru datang diboncengi ibumu. Sebuah senyum kau lempar padaku, aku membalasnya dengan senyum terbaik. Kak, sapamu. Di pertemuan kali ini,  ingin sekali aku dapat mengenalmu lebih dekat, seperti rapatnya awan dengan langit.

Aku mendapatkan puisi malammu yang telah kau edit. Kau cepat belajar, kulihat ada tujuh baris puisi dari tiga baris sebelumnya. Diksinya juga seksi dan aku suka. Seperti kata-kata memeluk resah. Aku seolah ditarik pada puisi Nadia, mengapa kalian begitu sama? Kepenasarananku sekarang berada di puncaknya, sepertinya asmara tlah menjangkitiku, Shafira.

Sejak mengenalmu di kelas menulis, alam bawah sadarku tentang Nadia kembali kuat.Setiap malam selalu bermimpi tentangnnya. Entah kenapa Tuhan hadirkan Nadia lewat dirimu,Shafira. Mungkin karena kalian mirip atau Tuhan punya rencana ajaib lain, aku tak tahu.Minggu esok, usai kelas menulis aku berencana akan mengunjungi Nadia. Untuk melepas rindu yang bergelombang ini.

H

ari terakhir kelas menulis terasa mengesankan. Rasanya ingin kuberlama-lama berada di antara teman-teman, termasuk kamu, Shafira. Apakah kamu nanti akan mengingatku? Aku tak berharap banyak, bagiku dapat mengenalmu sudah menjadi kebahagiaan.

Sebuah senyum terpancar di wajahmu. “Jangan sombong ya, Kak, bila ketemu lagi. Dan, tetap komunikasi di Whatsapp, katamu diakhir kelas. Lalu kita berjabat tangan seolah baru pertama kali berkenalan. Kita saling tersenyum, berpandangan untuk sesaat.

Kau perlahan meninggalkan gedung Dewan Kesenian Lubuklinggau dengan senyum indahmu. Kubiarkan mata ini memandang sampai bayangmu hilang, dan wujudmu menjauh dalam penglihatan. Rasanya aku melihat dua orang dalam satu, Shafira dalam Nadia, Nadia dalam Shafira.(*)

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Start di Kota Kembang

Awan berarak cerah tiada titisan hujan, pohon melambai tanda syukuran. Kususuri perjalanan bertemankan senyuman di hari ini, hari bahagiaku.

—dinukil dari lirik nasyid Selamat Hari Lahir (Saujana, 2000)

Sungguh, Allah maha romantis.  Semua yang terjadi di atas muka bumi ini, nyaris tak bisa ditebak. Skenario dari-Nya penuh misteri. Semua berawal saat aku kembali ke kota kelahiranku Kota Kembang,  Bandung dan bertemu dengan seseorang yang kuharap akan menghabiskan masa tua bersama. Eby, sosok lelaki yang sempat membuat hatiku berbunga-bunga siang dan malam. Sesaat kemudian dirinya meninggalkan kubangan lara. Harapan untuk menua bersama hanya sebatas mimpi, setelah pertengkaran hebat itu terjadi. Aku mencoba untuk tetap tersenyum dan yakin akan skenario terbaik dari-Nya. Semua akan indah pada akhirnya.

Siang itu, kurebahkan tubuhku pada sebuah kursi rotan panjang di depan teras rumah, sembari menikmati sentuhan angin yang berhembus sangat lembut, memberikan kedamaian dan kesejukkan bagi hatiku. Tiba-tiba di seberang rumah, kulihat ada lelaki yang tak asing lagi bagiku sedang duduk mengerjakan sesuatu dengan serius, dia terlihat begitu tampan dan aku terus memandanginya. Iya benar, dia adalah Doni sahabat karib Eby. Aku tertunduk tersipu malu dan mencoba menggali ingatan awal perkenalanku dengannya di sebuah toko elektronik. Suara khas darinya terus terngiang-ngiang di benakku. Aku pun tersenyum dan kembali masuk ke dalam rumah.

Hari terus berganti. Sebuah keyakinan kuat terus meneguhkanku, bahwa jodoh tidak akan pernah tertukar, kalaupun ditakdirkan berjodoh pasti akan bersama apapun jua yang terjadi, begitu pun sebaliknya. Batinku terus berkecamuk. Apakah mungkin aku bisa memilikinya? Siapa aku? Aku berusaha bangkit dari keterpurukan serta rasa ketakutan yang kucipta sendiri. Mencoba membuka pintu hati dan membiarkan semua kemungkinan itu terjadi.

Witing tresno jalarane songko kulino.

Cinta bisa tumbuh karena sering bertemu. 

Begitulah, pertama kali aku bertemu Eby saat masih di Kota Kembang. Kami sama-sama bergerak di bidang kegiatan bakti sosial peduli anak bangsa. Dari kegiatan dan berbagai pertemuan inilah, membuat kami sering bertatap muka dan menjalin komunikasi. Hingga akhirnya perasaan cinta itu tumbuh dan berkembang di antara kami berdua. Aku tak bisa melewatkan masa romantis itu. Saat Eby menyatakan cintanya di malam pergantian tahun, dimeriahkan pesta kembang api dan disaksikan jutaan manusia.

“Clara, Aku cinta padamu, maukah kau menerima cintaku!” teriak Eby di depan kerumunan banyak orang dan mereka memandangi kami berdua.

“Aku mau menerimamu, asal kau bisa membuatkanku pesta kembang api yang sangat meriah,” pintaku gembira. Seandainya waktu bisa diulang, aku akan meminta ia untuk setia bukan minta dibuatkan pesta kembang api, sayangnya?

Aku tersadar dari lamunanku.

Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku mengingat kejadian itu lagi. Semua sudah berakhir, buang jauh-jauh pikiran tentang Eby dan sekarang yang harus kau pikirkan hanya masa depanmu. Haruskah aku berpikir tentang Doni saja?

Seiring berjalannya waktu,  aku menjalin hubungan dengan Doni. Dia adalah sosok yang penuh sensasi, tidak mudah untuk orang baru bisa masuk kedalam hatinya. Pertama bertemu, dia kelihatan seperti orang yang galak, serem dan sombong, tapi setelah mengenal dia lebih dalam ternyata aku bisa jadi orang yang istimewa di hatinya. Hubunganku dengan Doni begitu penuh rasa, ada rasa amarah, rasa kekanak-kanakan, rasa cemburu, rasa kehilangan. Sesuatu yang berbeda yang aku rasakan saat aku berada didekatnya, aku merasa terlindungi dan aku sangat menghormatinya. Meskipun dia bukan sosok romantis, setidaknya aku berhasil melupakan Eby. Setelah 4 tahun menjalin hubungan hatiku semakin yakin ingin hidup bersamanya, kami berusaha menikmati pacaran jarak jauh. Tetap terus menjalin komunikasi dan menunjukkan perhatian setiap harinya melalui alat komunikasi.

Aku pasrahkan perasaanku pada sang pencipta, tak henti bibirku berucap. Ya Allah ikatkanlah hubunganku dengannya dengan tali pernikahan. Bagi kami jarak tercipta bukan untuk memisahkan, tetapi agar rindu ini terus hidup dan tak pernah redup di antara kami. Menanti kehadirannya adalah hal terindah dalam hidupku. Setelah sekian lama terpisah, kini tiba saatnya ia memenuhi janji suci. Doni datang ke pulau Sumatera.

“Senang sekali ya lihat aku datang?” Doni menggodaku.

Aku hanya bisa tersenyum dan tak bisa berkata apa-apa. Sungguh bertemu setelah lama berpisah itu sangat menyenangkan, aku pun sudah menjadwalkan semua kegiatan yang ingin aku lakukan bersamanya. Sampai dirumah tak lupa kukenalkan dia dengan ibu dan kakakku mereka menyambutnya dengan penuh kehangatan, bertambah lagi alasanku untuk bahagia.

“Don, mau makan di Cafe Nara Keke?” tanyaku.

“Boleh, di mana tempatnya?” tanya Doni.

Setelah menunjukkan alamatnya dengan jelas. Kami pun bergegas.  Ketika baru tiba di sana aku langsung ke Toilet, Doni yang mencari tempat duduk. Setelah dari toilet aku langsung mencari Doni, kulihat Doni tidak sendiri, ada sosok laki-laki yang menemaninya. Siapa itu? Aku langsung menuju tempat duduk Doni dan betapa kagetnya ternyata laki-laki itu Eby, aku terdiam dan bingung dengan keadaan ini.

“Clara, kenapa berdiri saja, duduk sini,” ajak Doni.

“Iii …ya,” aku menjawab dengan gugup.

“Selamat ya, Clara, semoga hubungan kamu langgeng sama, Doni.” Kata Eby sembari menjabat tanganku.

Seketika jantung ini berdegup kencang, kulihat wajah Doni dalam hatiku berharap Doni tidak terpancing omongan Eby. Tapi betapa kagetnya aku saat Doni berkata.

“Semua ini juga berkat kamu, Eby, aku bisa bertemu Clara. Oh ya, tahun depan insya Allah kami akan melangsungkan pernikahan,” ucap doni dengan wajah santai tapi serius.

Mendengar Doni berkata seperti itu, aku terkesiap bangkit dari kursi dan menuju pintu keluar café. Terdengar suara samar memanggilku. Aku terus berlari dan tak menghiraukan semuanya. Saat itu aku hanya ingin pergi sejauh mungkin, tanpa aku sadari dari kejauhan ada sebuah mobil melaju kencang, aku tak bisa mengelak seketika penglihatanku berubah menjadi gelap.

“Clara!”

Terdengar samar-samar seseorang memanggil namaku, perlahan kubuka mata dan kulihat  ada seseorang yang sedang menangis sembari memegang tanganku dengan begitu erat. Aku masih terbaring lemah di rumah sakit.

“Kamu sudah sadar, Sayang?” tanya Doni.

Aku pun mengangguk pelan.

Kami berdua tersenyum tanda bersyukur.

“Maaf sayang, Aku harus segera pergi,” ucap Doni dengan sedikit menunduk.

Aku terdiam, membayangkan perpisahan itu lagi.

“Pergiku untuk kembali dan menghalalkanmu,” senyum merekah dibibir manis Doni menyakinkanku akan janji sucinya, tepat tanggal 05 Mei di hari kelahiranku, kami akan melangsungkan pernikahan.

Betapa aku bahagia mendengar kata-kata itu, aku tersenyum diiringi tetesan air mata bahagiaku. Betapa Allah maha romantis, semua akan indah pada akhirnya. Jangan pernah menyerah, karena Allah tahu apa yang lebih baik buat kita dan kita harus terus berusaha dalam doa.(*)

Categories
Artefak Literasi Cerpen

La dunya laduni (bagian II)

Terakhir Kupluk melihat dirinya sendiri. Orang lain menikmatinya. Sebenarnya Kupluk juga menikmatinya. Seharian Kupluk mencari kunang-kunang tapi ia tidak memperolehnya juga. Dengan sedikit putus asa Kupluk mengasingkan diri menuju sebuah sungai. Mula-mula ia mendekati sungai yang jernih itu. Wajah dan tubuhnya terlihat memantul di dalam air sungai. Ternyata Kupluk baru sadar, ada banyak kunang di sekujur tubuhnya. berwarna-warni dan berseri-seri. Tidak seperti dulu yang pernah ditemukannya. Kunang yang menyala putih, kali ini Kupluk di kelilingi kunang berwarna-warni.

Sebenarnya Kupluk sadar. Sungai adalah cermin dan kunang yang hinggap di tubuhnya bukanlah kunang biasa. Banyak misteri yang tersimpan pada setiap kunang-kunang itu. Ada kunang yang bercerita tentang seorang remaja. Ia hidup dengan masa lalu yang mengecewakan. Remaja perempuan berusia 15 tahun yang hilang masa keremajaannya. Ada pula kunang yang bercerita tentang kakek yang tidak pernah belajar bahkan mengenal aksara. Hidupnya hanyalah dengan sebuah nyanyian.
“Aku ingin pulang” Kata kakek tua sambil bernyanyi.

Kupluk yang gerah dengan kunang-kunang yang menyebalkan itu mencoba memahami persoalan setiap kunang. Kupluk lantas pergi dan menemui remaja perempuan itu.

“Bagaimana aku dapat membantumu, aku tidak memiliki apa-apa. Aku hanyalah seorang pria bodoh pemburu kunang.” Kupluk memelas.

“Nikahi Aku, biarkan Aku mendampingimu memburu kunang”

Mulanya Kupluk menghitung usianya. Usia Kupluk memang sudah sepantasnya menikah. Tapi hati kecilnya belum siap. Ia masih ingin mengembara mencari cahaya. Namun, ia tidak tega melihat perempuan yang sudah tidak berdaya ini. Di dalam pesantren diajarkan bahwa perempuan sangat dijunjung tinggi kehormatannya. Bahkan, Tuhan meletakkan surga di telapak kakinya. Keputusan yang akan diambil ini adalah hal yang rumit bagi Kupluk. Mula-mula Kupluk merundingkannya dengan hati kecilnya.

“Bagaimana nanti aku memberinya nafkah? Aku sendiri makan seadanya.” Pikir Kupluk.

“Apakah kau mau hidup denganku? Apakah kau mau tidak makan bersamaku?.”

“Maka nikmat manakah yang kamu dustakan” Kalimat keramat itu terdengar dari remaja perempuan bernama Anjani ini.

Kupluk baru memutuskan hal yang ia anggap rumit ini. Kupluk senang dan lega. Sedikit membantu beban orang lain.

Kupluk melanjutkan perjalanannya. Ia berusaha menemui Kakek tua. Ia ingin menemukan kunang lagi. Kupluk berpikir mengembara mencari kunang selalu mendapatkan keberkahan. Misteri kunang sekarang menjadi menyenangkan bagi Kupluk.

“Kupluk, apa kau senang mencari kunang seperti ini. Setiap pagi dan malam menangkap kunang yang terbang ke sana kemari.” Ucap Anjani.

Pada akhirnya Kupluk bertemu Kakek tua. Ia tengah duduk di tepian sungai. Kakek tua terlihat memandangi dirinya yang memantul di air sungai.

“Kek, kunang apa yang Kakek miliki. Hingga air sungai ini bisa memantulkan bayangan Kakek?” tanya Kupluk penasaran.

Sungai yang mengalir di depan Kupluk ini berwarna coklat. Hal inilah yang membuat bayangan Kupluk tidak terlihat. Berbeda dengan Kakek tua yang terlihat jelas bayangannya jernih memantul di air sungai.

“Kupluk”

“Iya Kek”

“Apa alasanmu mencari kunang?”

“Kupluk tidak mencari kunang Kek,”

“Kupluk!”

“Bayanganmu tidak akan memantul di air sungai ini”

“Kenapa Kek?”

“Kau hanyalah mencari kunang untuk dirimu sendiri”

“Kunangmu hanyalah untukmu, tanpa kau berikan cahayanya pada orang lain”

Kupluk menunduk diam. Sepi dan sunyi mengantarnya kembali menuju pesantrennya dulu. Malam itu gelap dan hening. Kupluk baru terbangun dari mimpinya.

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Ladun ya Laduni

Seharian ia memikirkan dirinya sendiri. Tentang mimpinya yang ia rahasiakan. Saat Santri lain bertanya apa cita-citanya?. Kupluk tidak pernah menjawabnya dengan jelas. Bibirnya mengecil dan telapak tangannya hanya menunjukkannnya pada dadanya.

Tidak sia-sia Kupluk sudah menghabiskan waktunya untuk mendengar ceramah dan belajar kitab gundul. Seribu pengetahuan ia kuasai. Kepekaan intuisinya pun semakin hari meningkat tajam. Di dalam pikirannya seperti berdiri lemari buku yang berjejer rapi. Betapa pertanyaan sulit yang dilemparkan, Kupluk mampu menjawabnya. Seakan otaknya memiliki pembantu yang mengambilkan jawaban untuk Kupluk.

Tidak heran, santri lain sangat segan dengan Kupluk karena kecerdasannya ini. Bahkan jika ada persoalan sebelum santri mengajukannya pada Kyainya. Karena merasa jika setiap hari harus menundukkan kepala  hanya untuk mengajukan pertanyaan. Santri lain biasa mendahulukannya pada Kupluk yang selalu berdandan sarung dan kopyah ini.

Ada cerita Kupluk selalu membaca Sholawat Nabi sebelum dan sesudah tidur. Ia mendapatkan wejangan itu ketika ia berhasil menghafalkan Nadhom Alfiyah Ibn Malik. Bait-bait yang panjang itu selalu mengelilingi pikirannya setiap hari. Ia mengeluhkannya karena tidak kunjung tidur. Kupluk pun mendapat wejangan Sholawat Nabi agar bisa tidur.

Demikianlah, Kupluk akhirnya sudah bisa tidur dengan nyenyak. Tapi semenjak ia tidur dengan nyenyak ia merasa menjadi ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Ada hal yang orang bisa melihatnya. Namun, Kupluk sendiri sulit melihatnya.

Saat di dalam kamar ia mencoba menghadap cermin dan memperhatikannya. Ia tidak melihat apa yang mengganjal pada dirinya. Ia hanya melihat bayangan yang memantul membentuk dirinya. “Kupluk yang cerdas dan disegani banyak orang”. Pikirnya.

Kupluk dicintai banyak santri. Kupluk pun membalasnya dengan tidak mencintai satu orang. Ia mencintai semua santri. Semua laki-laki. Persoalan perempuan, Kupluk memiliki catatan sendiri di lembaran kertas yang ia tulis “CINTAKU PADA ILMU LEBIH BESAR DARI PADA CINTAKU PADA SEORANG WANITA”. Kupluk menyembunyikan catatan itu pada selembar kertas yang ia selipkan di dalam Al-Qur’an. Kupluk sengaja menyimpannya di awal surat Yusuf. Saat Kupluk membuka surat tersebut, maka ia sedang jatuh cinta lalu Kupluk berusaha menghilangkannya.

Kupluk tidak mau pikirannya terganggu. Ia tidak mau saat ada persoalan datang. Di dalam pikirannya hanya mengingat-ingat perempuan.

“Aku harus membagi pengetahuanku kepada santri lain.” Ujar Kupluk.

Saat malam. Kupluk membangunkan setiap santri yang tengah tidur pulas. Kupluk merasa perihatin. Kupluk tidak pernah melihat santri tidur dengan nyenyak. Ia selalu mendapati santri yang tengah tidur selalu menggaruk-garukkan tangannya pada tangan lainnya. Kadang ia melihat jari dengan kuku yang runcing seperti harimau hendak mencakar mangsanya. Para santri sangat menikmati mangsanya ini.

“Kalian hanya perlu melakukan sholat tengah malam, saat orang lain mendekatkan lambungnya dari lantai. Kalian harus menjauhkannya, mengerti?!” Kata Kupluk meyakinkan.

Di sinilah Kupluk memulai pengembaraanya. Ia membangunkan setiap santri yang tidak bisa bangun larut malam. Kupluk menjadi tukang pos ronda. Ia membisikkan suaranya di telinga-telinga Santri. Tidak jarang Kupluk mendapatkan santri yang tidur hanya memakai sarung tanpa pakaian dalam.

Dengan mata mengantuk santri-santri mencoba memahami apa yang disampaikan Kupluk. Para santri duduk berbaris menahan kantuk masing-masing. Suara Kupluk mula-mula merendah lalu meninggi mengejutkan santri yang hendak memenuhi kantuknya. Kupluk mencoba meniru badut yang menarik perhatian. Tapi Kupluk malah terlihat menjadi pendongeng yang menidurkan orang yang mendengarnya.

Panjang lebar Kupluk menjelaskan kepada teman santrinya. Belum juga santri-santri ini  memahami apa yang disampaikan Kupluk. Larut malam Kupluk merenungi diri. Menatap lintang-lintang di angkasa raya. Ia mulai menghitung-hitung sambil mendongkakkan kepala. Kupluk sudah tidak ingat lagi berapa jumlah lintang yang dihitungnya.

“Maka nikmat mana lagikah yang aku dustakan?!”

Kupluk meratapi diri. Mengunci keramaian disekelilingnya menjadi hening dan sepi. Tidak ada lagi suara keras. Burung-burung ikut meratapi Kupluk menghinggapi di genteng-genteng.

Sekarang Kupluk mengerti. Bagaimana pun sulitnya memberi pengajaran. Kupluk harus tetap mengajarkan sesuatu untuk teman santrinya.

Tidak ada kunang yang menyala di pelataran untuknya. Bulan yang sempurna masih juga menggelapi Kupluk. Entah apa yang dirasakan Kupluk sekarang. Kupluk merasa pengetahuannya tidak berguna.

Apakah dunia ini kecil sekali hingga kebodohan terlihat jelas di mana-mana. Memangnya siapa itu kebodohan, bagaimana ia lahir?. Kebodohan itu bukannya gelap. Membuat gelap hati, menjadi tidak tahu mana benar mana salah. Ah, rasanya susah sekali menjadi orang bodoh. Menjadi bodoh menjadi sedikit pula temannya. Sedikit diandalkan, mungkin begitu maksud gelapnya hati. Menerangi diri sendiri saja susah apalagi menerangi orang lain. Lalu di mana cahayanya? Bukankah saat gelap pasti membutuhkan cahaya? malam saja ditemani bulan sebagai cahaya. Lalu bagaimana dengan hati? di mana cahayanya? Bagaimana memperolehnya.

Setahu Kupluk ilmu adalah cahaya. Bahkan kadang Kupluk menganggap ilmu bak kunang yang menyala. Setiap ada orang yang akan berbicara. Kupluk akan menahan mulutnya sendiri dengan kedua tangannya. Ia selalu memperhatikannya dengan seksama. Lalu sejurus ia membayangkan kunang-kunang keluar dari pintu gua. Ia lihat dan perhatikan ke mana perginya kunang-kunang itu. Kemudian, ia menangkapnya dan membawanya pulang ke rumahnya.

Kupluk jenuh dengan keadaannya. Ia berpamitan dengan Gurunya untuk keluar dari Pesantren dan mencoba mengembara. Ia pikir kunang-kunang pasti akan lebih banyak ia peroleh di luar sana.  Di dalam Pesantren kunang-kunang berwarna putih berseri. Saat kunang tersebut dihinggapi debu akan terlihat jelas nodanya.

Sesampainya Kupluk di sebuah kota yang ramai.  Ada banyak keasingan di sana. Kupluk melihat seorang anak kecil yang dekil dan  berpakaian kusam tengah berdiri di samping tiang besi. Komat-kamit yang keluar dari  mulut anak kecil itu terasa menyedihkan. Tapi ia senang ada orang yang menyodorkan uang untuknya. Kupluk menikmatinya. Di seberang jalan Kupluk juga melihat seorang Nenek sedang duduk bercakap-cakap dengan cermin. Gelang bertumpukan di tangan kanan dan kiri Nenek itu. Sedangkan, di lehernya  juga menggantung emas bulat. Kupluk menikmatinya.**