Categories
KOLOM BENNY ARNAS

Menolak Sastra Tanpa Tanda Jasa

Oleh Benny Arnas

Malam tadi, seseorang yang mengaku panitia lomba puisi yang diadakan salah satu kampus bergengsi di Pulau Jawa, menghubungi saya lewat kotak pesan Instagram. Setelah memperkenalkan diri ia menanyakan kesediaan saya menjadi salah satu dewan juri di kegiatan mereka. Saya tidak langsung menjawabnya. Saya masih menunggu. Saya pikir ia akan mengirimkan hal-hal teknis terkait lomba puisi itu, seperti aturan lomba, metode penilaian, sampai ke besaran upah jasa penilaian. Ya, saya menunggu itu, sebab di bennyinstitute, kami terbiasa membeberkan hal-hal tersebut di awal agar tidak ada kesalahpahaman pascakegiatan. Namun ternyata panitia tersebut tak melakukannya. Saya pun mengetik “Insya Allah” lalu memintanya memberitahu saya perkara teknis perlombaan. Saya pikir panitia pasti mengerti ini. Ternyata tidak. Ia ‘tak mengerti’ atau sengaja ‘menyembunyikannya’, wallahualam. Saya minta dikirimkan maklumat digital (flyer) lomba tersebut. Sayangnya, saya justru dikirimi flyer semacam seminar sastra dengan sejumlah rangkaian acara yang tertulis di bagian atasnya. Lomba puisi salah satunya.

Saya kembali memintanya mengirimkan flyer yang saya maksud, flyer lomba puisi. Tujuan saya sederhana, saya ingin tahu seserius apa panitia menggarap lomba ini. Desain flyer dan sejumlah aturan lomba (+ plus besaran hadiah) yang tertera di sana biasanya bisa mencerminkan ini. Namun tenyata panitia bergeming. Flyer itu belum dibuat atau memang saya tak/belum diperkenankan tahu, saya tak tahu. Yang jelas, panitia tak merespons permintaan saya akan flyer ini.

Baiklah.

Karena saya tak ingin terjadi kesalahpahaman di kemudian hari, saya pun menanyakan anggaran penjurian. To the point lebih baik daripada sokbaik tapi ngedumel kemudian. Sebagai catatan: saya melakukan ini kepada panitia/penyelenggara yang tidak saya kenal sebelumnya. Kepada orang-orang/lembaga yang saya kenal baik, saya jarang sekali (untuk tidak mengatakannya “tidak pernah”) melakukan ini. Bahkan juga saya kerap dibayar dengan satu kotak kudapan atau ucapan terima kasih saja sebagai pembicara ataupun juri. Tapi kepada yang belum dikenal, saya tak ingin kecele. Ini tak berarti saya selalu dibayar (mahal) untuk acara/lomba kepenulisan yang diadakan oleh orang-orang/lembaga yang belum/baru-saya kenal saat itu juga. Tentu saja tidak. Saya bahkan pernah menjadi juri lomba novel tingkat nasional dan hanya dibayar dengan sebuah (catat: sebuah) buku yang tak saya baca hingga sekarang. Namun saya nggak ngedumel sebab semuanya sudah “clear” di awal.

Pertanyaan saya tentang teknis lomba dan honorarium itu ternyata tidak juga ditanggapi meskipun pesan saya sudah lama dibacanya. Saya pikir, panitianya mungkin berubah pikiran: batal ‘’memakai” saya karena kerewelan saya. Kalau memang begitu adanya, gak papa. Gak masalah. Belum jodoh, artinya.

Namun saya salah, siang ini si panitia akhirnya merespons pesan saya. Namun alih-alih menginformasikan anggaran penjurian, ia malah meminta saya menyebutkan besaran honorarium yang saya inginkan. Wah, gak bener ini. “Kalau Anda bertanya dari awal, pasti saya jawab. Tapi karena saya yang proaktif, tentu lucu sekali kalau saya menjawab pertanyan sendiri,” balas saya agak kesal. Jujur, pada titik ini, lomba ini mulai
kehilangan magnet untuk membuat saya makin dekat.

Si panitia pun akhirnya menyebutkan anggaran untuk juri. Saya rada terkejut. Bagaimana bisa acara kampus sebergengsi itu kesannya tidak menaruh perhatian pada kerja penjurian? Meskipun begitu, saya tak ingin buru-buru menolak. Saya tak ingin membuatnya tersinggung. Ini sudah dimulai dengan “enak” (paling tidak, panitia sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan), saya pun harus meresponsnya dengan “enak” pula.

Saya mencoba berpikir ulang dan menepikan prasangka-tak-baik yang pintar sekali memanfaatkan peluang semacam ini.

Apakah lomba ini mengutip bayaran dari para peserta? Apakah saya hanya membaca puisi-puisi hasil seleksi panitia (katakanlah saya hanya membaca maksimal 30 puisi saja)? Saya pikir kalau lomba ini tak berbayar dan saya hanya membaca karya-karya terpilih saja, saya akan menerimanya. Itung-itung membantu mahasiswa, pikir saya. O ya, saya juga menanyakan partner saya dalam menilai karya-karya peserta, dan … lagi-lagi meminta panitia mengirimkan flyer lomba.

Akhirnya panitia berterus terang bahwa lomba ini berbayar meskipun ia tak menyebutkan besaran biaya pendaftaran dengan spesifik. Panitia ini juga, lagi-lagi, tidak mengirimkan saya flyer lomba. Selain itu, dengan anggaran ‘sekecil’ itu, ia keukeuh meminta juri (baca: saya) membaca semua karya peserta dan mengisi borang penilaian dengan lengkap sesuai dengan kriteria yang sudah mereka buat (Saya membayangkan, kerja ini bakal setara dengan kerepotan istri saya yang seorang guru dalam menambah-bagi nilai harian dan ulangan siswa untuk kemudian menghasilkan nilai-nilai yang siap masuk rapot—alamakjang!!!). Terakhir, ia mengirimkan nama dua juri partner saya. Nama-nama yang tak saya dengar dengungnya di ranah sastra, termasuk puisi. Setelah saya googling, nama yang satu ternyata pengarang novel teenlit, satunya lagi tak teridentifikasi mesin pencarian itu.

Bismillah. Saklek saya jawab, mungkin kita belum berjodoh. Saya belum bisa bergabung dengan panel juri. Saya juga mendoakan semoga acaranya sukses!

Selama kebersastraan saya belum mampu dihargai dengan layak dan atau kenersastraan saya belum mendapatkan waktu/tempat/pihak yang tepat untuk ‘bersedekah’, maka waktu luang saya, insya Allah, lebih bermanfaat saya habiskan untuk keluarga. Bersastra demi prestise, bukan lagi zamannya. Merasa bangga menjadi juri sebuah lomba tingkat nesyenel, buat apa, apabila kudu kerja rodi di baliknya?! Cukup profesi istri saya saja yang dimulia-muliakan karena ketiadaan tanda jasa yang melekat padanya. Sastra, jangan masuk lubang juga!***

Lubuklinggau, 18-11-2018

Categories
KOLOM BENNY ARNAS

HAMSAD dan Bulan Celurit Api

Oleh Benny Arnas

“7 dari 10 endorser tidak membaca (tuntas) naskah yang mereka puji di sampul buku!”

Saya lupa siapa yang pertama kali mengungkapkan fenomena tak sehat di atas. Namun sempat membuat saya tercenung agak lama. Saya pernah protes kepada beberapa penulis—yang tak saya ragukan lagi mutu karyanya—yang memberi pujan berlebihan pada karya yang buruk sekali dan ia secara tidak langsung menyatakan kalau ia sebenarnya 1 dari 7 orang dalam kutipan itu!

Terkait endorsment ini, saya punya pengalaman menarik. Kali ini terkait buku “Bulan Celurit Api” dan Hamsad Rangkuti yang baru saja meninggalkan kita di dunia yang fana ini.

Selain Putu Wijaya, Hanna Fransisca, dan Avianti Armand yang membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga pekan untuk membaca tuntas draf buku yang disunting Kurnia Effendi dan Damhuri Muhammad itu sebelum memberikan endorsment mereka, Hamsad Rangkuti punya cerita yang berbeda.

Awal Juni 2010, saya mengirimkan draf “Bulan Celurit Api” kepada para calon endorser. Saya menyebutnya “calon” sebab saya tak memaksa mereka memberikannya apabila mereka tak menyukai 13 cerpen dalam draf itu. Di waktu yang sama saya mengirim SMS kepada Pak Hamsad Rangkuti. Saya bermaksud mengirimkan draf kumpulan cerpen itu via posel kepadanya. Harapan saya, kalau beliau menyukai cerpen-cerpen yang akan dibukukan Koekoesan itu, beliau akan bersedia memberikan endorsment, kalau tidak, ya tidak apa-apa.

“Kita sempat berjumpa setahun lalu di Temu Sastrawan Indonesia di Pangkalpinang.” Saya mencoba memancing ingatannya. “Tentu ingat. Saya baca ‘Bujang Kurap’-mu di Kompas,” balasnya beberapa menit kemudian. Tentu saja perasaan saya langsung bungah. Lalu ia meminta waktu untuk membaca cerpen-cerpen saya. Ia juga mengatakan kalau ia mungkin akan butuh waktu agak lama sebab ia sedang sakit (kalau tidak salah, saat itu kelenjar prostatnya sedang bermasalah). Tentu saja saya mengatakan siap menunggu, meskipun saya tidak bisa berharap banyak terkait kesehatan beliau yang sedang bermasalah.

Akhir Juni 2010, endorsment sudah terkumpul. Hamdallah, semuanya bersedia memberikan endorsment, kecuali Bapak Rangkuti yang tak berkabar. Saya pun tak menagihnya. Saya pikir, keadaannya yang kurang sehat membuat ia tak bisa berkonsentrasi membaca. Namun, sekitar dua bulan kemudian alias tiga bulan setelah saya mengirimkan draf buku tersebut kepada Pak Hamsad, sebuah kalimat pujian-nan-dahsyat mampir di kotak pesan ponsel saya. Saya awalnya agak bingung sebelum kemudian nama pengirim mengingatkan saya pada draf “Bulan Celurit Api” yang akan naik cetak dua pekan lagi. Yang membuat saya ‘melayang’ bukan saja kalimat pujiannya atas “Bulan Celurit Api”, melainkan lebih pada SMS-nya yang datang kemudian. “Maaf, telat. Saya baru rampung membaca semua cerpenmu kemarin. ‘Perkawinan tanpa Kelamin’ harus saya baca berulang-ulang.” Saya terdiam cukup lama. Saya tersanjung ia membaca karya saya di masa pengobatannya, sebelum kemudian saya katakan apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikannya. Beliau mengirimkan nomor rekening dengan mengimbuhinya sebuah kalimat, “Ringankanlah beban istri yang mengurus saya, Ananda.” Saya mengerti. Saya suka gaya apa-adanya beliau.

Komentar Pak Rangkuti sendiri akhirnya tercetak di sampul muka buku yang pada tahun 2013 lalu beroleh penghargaan Kumpulan Cerpen Terpuji dari Forum Lingkar Pena Pusat.

Beberapa tahun kemudian, saya lupa kapan persisnya, ia sempat mengirimi saya SMS dengan nomor ponsel yang lain (mungkin nomornya yang tak aktif lagi). Ia mengabarkan kesehatannya yang masih bermasalah. Saya tahu apa yang ia perlukan dan apa yang harus saya lakukan. Karena nomor rekeningnya tak saya simpan, saya menanyakannya kembali. Ia justru membalas, “Saya baca ulang cerpen ‘Malam Rajam’ dan ‘Percakapan Pengantin’ di buku yang ananda kirimkan beberapa tahun lalu. Saya seperti baru membacanya. Mungkin saya lupa dan sudah tua. Tapi bisa saja itu tandanya kalau keduanya adalah cerpen yang baik.” Saya ucapkan terima kasih, lagi dan lagi, karena saya merasa sangat tersanjung, sebelum kemudian saya menanyakan kembali nomor rekeningnya dan hingga kini tak dibalas-balasnya. Tujuh-delapan tahun kemudian saya baru mendapatkannya ketika nomor rekening istrinya beredar dalam sebuah maklumat terkait kesehatannya yang makin memburuk.

Hamsad Rangkuti memang sudah pergi, tapi ia meninggalkan pelajaran tentang dedikasi pada sastra. Bukan hanya perihal berkarya, tapi juga tentang kebertanggungjawabannya dalam mengapresiasi karya sastra. Ia membaca sebuah karya, paling tidak draf buku saya kala itu, dengan saksama sebelum memberikan pandangannya.

Terima kasih, Pak Hamsad, telah menjadi bagian dari ‘perjuangan saya’ merilis salah satu buku yang sangat penting dalam proses kreatif saya dalam bersastra.

Selamat jalan, Pak Rangkuti.
Damailah di gulistan.

Lubuklinggau, 26-27 Agustus 2018

Categories
KOLOM BENNY ARNAS

Punya Banyak Buku, Buat Apa?

 

Pada 2017 saya memutuskan ‘menutup’ perpustakaan pribadi saya. Saya memindahkan 90% koleksinya ke perpustakaan lembaga yang saya kelola, bennyinstitute. Dengan manajemen perpustakaan lembaga yang jauh dari ketertataan, saya mengambil keputusan berani itu. Saya tahu, di perpustakaan terbuka itu, keamanan dan keselamatan koleksi saya terancam tiap saat. Selain daftar hadir, perpustakaan lembaga itu tak memiliki perangkat formal sebagaimana perpustakaan umumnya; buku yang terkodifikasi, kartu anggota, dan lain-lain. Saya sengaja melakukannya untuk fleksibilitas, sesuai visi perpustakaan yang saya buka sejak 2012 ini–“books for life”. Tapi, please, saya tak ingin membahas hal ini sebab bukan poin ini yang hendak saya sampaikan.

Saya termasuk orang yang gemar berfoto/memfoto buku yang sedang saya baca atau aktivitas saya yang lain dengan latar rak buku perpustakaan pribadi saya. Entah, keberadaann buku dalam foto-foto postingan saya kok, rasanya keren aja gitu. Meski tidak ada aturan tertulis yang saya tempel di dekat rak buku bahwa sesiapa dilarang meminjam buku, namun saya biasanya menunjukkan keberatan kepada mereka yang bermaksud membawa-baca buku-buku tersebut ke rumah mereka. Saya, entah, mudah sekali berprasangka bahwa buku saya takkan dibacanya, atau kalaupun dibaca pastilah memakan waktu yang tidak sebentar sebab mereka tidak menjadikan membaca buku sebagai agenda prioritas atau sesuatu yang teragendakan dalam hidup. Saya sangat ‘malas’ dan kesal dengan semua itu. Ya, perasaan itu muncul, seakan-akan prasangka (buruk) saya itu adalah benar adanya. Padahal ia baru asumsi. Belum terbukti!

Pada titik itu, buku, telah membuat saya menjadi pribadi yang pelit, mudah melempar prasangka tak baik, dan memperlakukannya nyaris sama dengan tabiat istri saya menjaga koleksi tupperware-nya. Padahal apalah, cuma wadah plastik gitu. Padahal apalah, buku, ‘kan, cuma kumpulan huruf yang tercetak di atas kertas. Ya, cuma kertas, tas, tas!

Dua tahun lalu, saya menyadari kalau ternyata sebagian besar buku koleksi saya belum saya baca. Meski telah memiliki agenda membaca (satu buku per pekan harus saya khatamkan), ternyata buku-buku itu terlalu banyak, seperti beranak-pinak, sementara waktu seperti timbangan di pasar yang gemar mengurangi keberadaannya tanpa saya sadari. “Buat apa tumpukan buku masih berplastik dan berdebu itu?” celetuk istri saya suatu hari. Saya diam. Saya agak kesal juga dengan kata-katanya. Lha, kayak nggak tahu kalau lakinya penulis aja. “Kan pas si fulan, fulani, dan fulano mau minjam itu kemarin kenapa gak dikasih aja, Yah? Pasti sudah selesai mereka bacanya,” lanjutnya. “Lha kalau ilang?” tanya saya, seperti sedang menyerang balik. “Ya ilang! Memang ilang tuh buku, hidupmu bakal miskin mendadak! Lagian mending dibaca siapa pun, bermanfaat bagi siapa pun, daripada jadi barang antik. Lagian vas bunga kaca mending pecah daripada jadi aksesori ruang tamu yang saban detik dicemaskan keselamatannya!” Kali ini suara yang lain mencecar-cecar kepala saya. Iya, itu bukan suara istri saya. Oh, bagaimana mungkin buku-buku itu bernilai sama dengan hiasan ruang tamu!

Buku, hari ini, saya maknai sebagai salah satu benda yang menjembatani kita menjadi baik dalam berilmu. Ya, menjadi baik. Itulah cita-cita purna bagi tiap manusia. Baik dalam berilmu, baik dalam bermuamalah, baik dalam berkreativias, baik dalam …. Ah, menjadi baik itu pun ternyata bisa saja dibuat banyak varian, banyak genre. Namun, menjadi “Baik-Nirgenre” itu, menurut saya, adalah keadaan ideal manusia sebagai makhluk sosial, sementara menjadi baik “Lintasgenre” adalah keadaan utopis yang selalu hidup dalam diri kita, termasuk tumbuh subuh dalam diri kolektor buku.

Hari ini, literasi (buku) telah melahirkan eksklusivisme yang berbahaya, yang kerap tak disadari keberadaannya. Mereka yang menggemari buku (termasuk kolektor buku), seakan-akan dicitrakan lebih baik statusnya di antara mereka yang tidak atau belum tentu membaca buku. Banyak cara, wahana, dan benda yang akan mengantarkan kita menjadi orang baik, buku hanya salah satunya. Bahkan, bila buku, termasuk mengoleksinya, dapat menyuburkan (potensi) kefasikan dan menyingkirkan kehanifan, buku pun bisa ditinggalkan (baca: dihibahkan kepada yang bisa membuatnya bernilai sosial kebaikan).

Saya mengidolakan Pak Suliman, petani kopi yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Sikap tenggang rasanya tinggi, ramah, sehingga anak-anak saya senang dan betah bermain di rumahnya. Ia juga sering membagi apa pun yang dimasak di rumahnya dalam porsi yang agak lebih, kepada tetangganya, termasuk kami. “Bapak suka membaca?” tanya saya suatu hari. Dia menggeleng. Saya rasa saya tak perlu memeriksa apakah ia memiliki rak buku di rumahnya atau tidak.****

Benny Arnas
Penulis 23 buku lintas genre.
Novelnya “Cinta Menggerakkan Segala” adalah versi novel atas film “212 The Power of Love”.
www.bennyinstitute.com

Categories
Kolom KOLOM BENNY ARNAS

Memelihara Energi

 

Apa sebenarnya yang paling diburu dalam seminar, pelatihan, lokakarya, talkshow, gathering, dan sejenisnya? Jawabannya adalah energi. Kekuatan yang menguar dari orang-orang, kata-kata, peristiwa, dan hal-hal yang kerap gagal kita beri nama.

Dalam dunia kreatif, saya memiliki analogi tersendiri atas energi ini.

Energi adalah dodol yang masih hangat. Kita semua kenal dodol, bukan? Panganan manis berbahan utama beras ketan, gula merah dan santan ini apabila sedang panas/hangatnya bisa dibuat-bentuk seperti apa saja–baik dengan membungkus atau menuangnya dalam cetakan–karena sifat fisiknya yang masih kenyal. Bahkan saat memasaknya di kuali besar pun, dodol ini tidak boleh berhenti diaduk, sebab kalau itu terjadi ia akan mengendap dan mengerak di dasar wajan. Ketika disajikan dalam keadaaan dingin, dodol takkan bisa dibentuk lagi. Bila ia diletakkan ke dalam loyang petak ia akan menjadi petak, ke dalam cetakan bunga ia seperti mekar karenanya, dan seterusnya dan seterusnya.

Energi yang kita tangkap dalam sejumlah acara-acara berfaedah, adalah dodol yang masih panas atau hangat itu. Ketika masih panas/hangat itu dodol adalah energi potensial. Semakin cerkas kita membentuk/mengarahkannya untuk gerakan-gerakan nyata, semakin dekat ia menjadi energi kinetik, semakin dekat wujudnya menjelma karya. Namun bila dibiarkan saja hingga dingin, energi potensial itu bukan hanya tidak berubah menjadi energi kinetik alias tidak menjadi apa pun, tapi juga kehilangan khasiatnya sebagai energi potensial itu sendiri. Semua yang didapat-tangkap dari kegiatan-kegiatan positif yang diikuti pun tinggallah wacana yang lambat-laun hengkang dari niat dan pudar dari ingatan.

Beberapa hari ini, 10-13 Desember 2017, saya bertemu dengan 39 orang pegiat literasi dalam kegiatan yang diinisiasi KPK dengan menggandeng Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Pusat di Jakarta di bawah tajuk Taman Literasi Integritas. Kegiatan yang bertujuan untuk “membentuk” kami menjadi bagian dari gerakan masif bangsa ini untuk melawan korupsi ini mau-tidak mau menggesek-benturkan saya dengan energi-energi yang bersilintas selama acara. Baik dari para pemateri, panitia, dan tentu saja dari para peserta.

Sekadar menyebut beberapa; Rekan sekamar saya, Babrak, memberikan “highlight” menarik tentang “menanamkan-ideologi-bertani” yang menjadi salah satu pendekatan yang ia terapkan di taman bacaannya di Jombang. Atau rekan satu grup saya, Ilma, gadis SMA yang sudah aktif terlibat dalam gerakan-gerakan inspiratif dengan pendekatan kreativitas dan lokalitas untuk menciptakan “dunia baru yang menyenangkan” bagi anak-anak di Purwakarta. Atau perempuan 50 tahunan, Ibu Diyah, yang begitu antusias membincangkan parenting dan keterlibatan orangtua dalam membangun karakter anak-anak di TK Masyitah 25 Sokaraja tempat ia mengajar.

Makin intens saya berinteraksi dengan para pegiat literasi itu (yang dalam acara ini kemudian disebut Panglima Integritas), makin angslup saya ke dalam ketiadaan, bahwa apa yang saya lakukan 6 tahun ini di bennyinstitute ini sungguh belum apa-apa, sungguh jalan di tempat, sungguh tidak seseksi gerakan mereka. Entah, pada titik ini, tiba-tiba saya berpikir bahwa, adakalanya sesekali “membiarkan diri menjadi inferior” adalah usaha membuang separuh air yang memenuhi gelas ilmu, kecakapan, pengalaman, dan gerakan yang selama ini kerap saya tenggak untuk terus bertahan.

Dan semuanya menjadi “makin akut” dan mencemaskan ketika pelatihan itu menghadirkan pembicara yang menyuarakan “lawan korupsi” dan sejumlah subkegiatan yang bertubi-tubi menyerang kesadaran saya dengan energi wajib yang melandasi visi-misi kehidupan ini: berintegritas! Ya, kekhawatiran itu susah payah saya letakkan di tempat yang baik dan benar, supaya serakan energi beberapa hari ini adalah energi kinetik yang menjadikan saya benar-benar berguna. Benar-benar menggiring saya jadi manusia yang utuh. Membuat saya bisa masuk surga.

Saya tak sabar pulang. Saya seperti sudah berpekan-pekan tidak mendongengi anak saya sebelum mereka terlelap, tidak memeluk istri saya dari belakang dan membisiki betapa bangga saya memiliki guru bahasa Indonesia yang menjaga 3 putri kami dengan cinta tanpa menepikan amanahnya sebagai guru bahasa Indonesia di pedesaan, tidak memerhatikan murid-murid saya di kelas dengan senyuman paling tulus dan teladan yang mumpuni.

Saya sudah menulis 4 esai selama di Jakarta. Namun gejolak ingin pulang itu terlalu kurang ajar mencabik-cabik kesadaran saya. Telahkah saya melakukan semuanya dengan perenungan dan rasa khidmat yang layak sehingga keriuhan itu tak sekadar bernama keriuhan. Saya tiba-tiba ingin mengunjungi bilik lain dalam diri saya, membuka pintunya dan bertanya, “Hai Kejujuran, kamu masih di sana?” untuk kemudian pulang dan memeriksa integritas saya dengan cekatan. Ya, cekatan! Sebab saya tak mau ia menjadi dodol yang dingin. Sebab saya tak mau menangis tanpa air mata, tanpa suara, dan tanpa apa-apa yang menjejak … di udara sekalipun.(*)

Jakarta, 13 Desember 2017

Categories
Kolom KOLOM BENNY ARNAS

Membaca Tanpa Jeda, Menulis (Cerpen) Tanpa Berpikir

Suatu hari, seorang peserta Bennyinstitute Writing Class (BWC) bercerita bahwa ia kerap kali menulis cerpen setelah mengikuti seminar, pelatihan, kelas menulis, atau sekadar kumpul-kumpul santai dengan teman, namun di saat yang sama ia juga mengeluhkan tentang nasib semua cerpennya: tak satu pun di muat!
Kemudian tanpa diminta ia menunjukkan dua cerpen terbaiknya. Saya pun membacanya dengan skimming. Saya perhatikan, apa-apa yang ditulisnya sudah sangat lengkap. Baik tentang informasi dasar sebuah cerita (5W + H) maupun dari caranya menyusun kalimat. Meskipun begitu, saya merasa ada yang ia ‘lewatkan’ tentang ‘kaidah’ menulis di media massa. Saya pun menanyakan beberapa pertanyaan dan memintanya menjawab cepat.

(Catatan: = Question, A = Answer S= Suggestion/Solution)

Q: Mengapa kamu menulis cerpen–seperti–itu? Kalau kamu memiliki lebih dari satu alasan, tidak apa?

A: Karena saya seminar/pelatihan/kelas menulis itu memotivasi saya untuk melakukannya. Selain, mungkin karena saya juga ingin berkeinginan menjadi penulis, termasuk cerpenis, seperti mereka.

S: Benar! Salah satu waktu menulis paling baik adalah ketika gairah menulismu terbakar. Sekali kau mengabaikannya, saat itu juga kau sedang menuang air di nyalanya.

Q: Kamu menyukai tema itu? Kamu menulisnya dengan perasaan senang?

A: Hmm, saya tidak terlalu memerhatikannya.

S: Sebaiknya kita menulis sesuatu yang kita sukai atau yang kita kuasai. Ini perlu dipastikan. Apalagi bagi penulis pemula. Sebab hal itu akan sangat membantu kita dalam membangun kenyamanan menulis. Boleh-boleh saja keluar dari zona nyaman, apabila persiapan/risetmu cukup, apabila kamu sudah khatam atau benar-benar mampu menghasilkan karya yang baik dari sumber-daya-kegembiraan yang kamu miliki. Kalau tidak, jangan ambil risiko. Jangan menulis serampangan supaya dibilang eksperimental sehingga beroleh banyak perhatian. Jangan. Kau baru bisa membuat patung raksasa mahakarya kalau kemampuanmu menonjolkan anatomi tubuh makhluk hidup pada patung paling sederhana sekalipun, belum menuai pujian.

Q: Apa yang paling kauandalkan dalam menulis cerpen?

A: Imajinasi.

Q: Kamu banyak membaca? Buku apa yang kamu gemari?

A: Iya. Buku-buku fiksi.

Q: Sebanyak apa koleksi buku fiksimu?

A: Banyak. Banyak sekali.

S: Sejak lima tahun terakhir, jumlah koleksi nonfiksi saya melejit. Ini yang saya pegang; Bagi penulis fiksi, penting sekali banyak membaca nonfiksi agar dunia reka-reka yang ia hasilkan terbaca bernas, berisi, dan tidak sekadar permainan kata, sebagaimana penulis nonfiksi yanh disarankan banyak melahap buku fiksi supaya rumus/teori yang hendak ia
Kemukakan terbaca membumi bagi orang awam.

Q: Seberapa sering kamu membaca dan menulis?

A: Tidak sering. Sesekali saja. Itu pun kalau mood. Nenteng-nenteng buku, itu yang sering. Baca beberapa halaman, lalu teler, juga sering.

S: Hadeuh! Cuapek deh! Jangan bermimpi jadi penulis yang baik kalau baca dan nulis masih tergantung mood—sebiji makhluk yang wujudnya masih dipertanyakan! Sebagai pengarang yang bertanggungjawab moral bagi diri sendiri dan pembaca, menurut saya, kita harus kerap membaca dan menulis, sebab kita berurusan dengan mereka yang menganggap kita sebagai orang yang lebih tahu (segala hal lagi!). Walaupun pendapat itu salah, tapi jadikan saja lecutan agar isi kepala kita lebih kaya.
Di BWC saya pernah bilang begini: “Kalian tahu, ada 100 orang yang ingin jadi penulis, tapi hanya 20 yang suka, mau, dan berani memaksa dirinya untuk (terus) membaca. Dari 20 itu, hanya 1 atau 2 saja yang kelak akan jadi penulis!”
Membaca (buku) adalah aktivitas penyemaian kebun pengetahuan dan imajinasi di dalam diri seseorang. Intensitas membaca adalah pemeliharaan kebun itu. Kemampuan memecahkan persoalan adalah masa panen yang begitu membahagiakan. Ah, selintas lalu, kita bisa tahu apakah seseorang gemar membaca atau tidak dari kualitas ucapan/pernyataannya, bukan? Nah, perkara apakah ia ingin menjual atau membagi-bagikan saja hasil panennya ke pasar atau kepada para tetangga, itu adalah aktivitas menulis. Artinya, secara sederhananya, menulis adalah aktivitas turunan dari membaca. Jadi, membaca adalah aktivitas yang lebih intelektual dan spiritual dari menulis (Hmm, ingat kan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah Iqra! Alias Bacalah!).
Sesekali, dengan kasarnya saya akan keceplosan mengatakan ini pada peserta BWC yang tak menunjukkan kemajuan yang menggembirakan dengan naskahnya: Just forget your dream to be an author if u can’t create your own mood to read more!
Saya perlu memberi tekanan khusus pada create your own mood. Mengapa? Karena mood (baiklah, demi kemaslahatan umat saya memercayai keberadaan makhluk absurd ini) sebagian besar pemalas kerap menyamakannya dengan ilham dan wahyu seolah-olah mereka adalah reinkarnasi dewa atau nabi yang mulia.
Saya membahasakan mood sebagai kenyamanan untuk melakukan sesuatu. Nah, ciptakanlah keadaan nyaman itu oleh dirimu sendiri, dengan caramu sendiri. Kalau Anda merasa nyaman membaca/menulis di atas pelepah kelapa, di bawah lampu merah pada pukul 12 siang, atau di atas atap gedung lantai 5 di tengah hujan halilintar, lakukanlah. Jangan pernah percaya pada proses kreatif orang lain karena lingkungan, hobi, latar belakang, dan tentu saja keimanan dan warna favorit kita berbeda-beda.

Q: Mengapa tatabahasa dan tanda baca tulisanmu banyak yang salah?

A: Bukannya itu urusan editor/redaktur?

S: Hallo! Editor/Redaktur di penerbitan atau media massa tidak akan membaca semua naskah yang masuk dengan saksama. Biasanya mereka akan scanning, atau paling banter skimming (perbedaan scanning dan skimming bisa di-googling ya). Biasanya perangkat komputer mereka, selain dilengkapi dengan aplikasi spell-check, juga grammatical-check. Semakin banyak garis merah keriting di dalam artikel kita, semakin dengan senang hati Pak Redaktur/Bu Editor menekan tombol delete untuk file kita.
Jadi kalau nulis, harus didampingi KBBI setebal bantal ya?

Ah, tidak juga. Meskipun saya memiliki KBBI, saya jarang menggunakannya. Selain karena sudah ada KBBI daring, cara paling keren memahami tatakalimat yang baik adalah dengan sering-sering membaca buku dan surat kabar nasional (sepengamatan saya, banyak tulisan di surat kabar lokal masih ditulis dengan insting dan asal maksud sampai, bukan dengan ilmu EYD yang mumpuni). Jadi, ya balik lagi, more you read, easier you write (well).

Q: Kok rumusnya muter-muter pada sering-seringnya baca dan nulis sih? Kan yang kita bicarakan adalah cerpen, cerpen untuk dimuat media massa!

A: Ya, memang begitu. Mau nulis novel, cerpen, artikel, buku motivasi, puisi, atau bahkan skripsi, kita harus memiliki referensi yang kaya. Aktivitas menulis itu adalah simpulisasi apa-apa yang menetap di dalam kepala. Endapan dari proses membaca (buku) adalah memori yang bisa diperbaharui. Sebuah kenangan takkan bisa kembali, pengalaman takkan kembali lagi, percakapan yang lewat takkan bisa diulang …. tapi tidak dengan buku: bila lupa, kita bisa kembali membukanya, membacanya!

(Percakapan kami pun terbalik. Kini, dia yang bertanya dan saya yang menjawab).

Q: Jadi, apa yang ingin dicapai dari intensitas membaca dan menulis yang intensif itu?

A: Reading with no stopping. Writing with no thinking.
Menurut saya, membaca tanpa menjedanya (dengan sengaja dan tanpa halangan serius) dan menulis tanpa berpikir adalah kecakapan tertinggi dalam literasi.

Ya, membaca dan menulis yang baik adalah ketika ia berada dalam level yang sama dengan aktivitas menyalakan televisi, mengikat tali sepatu, makan ketika lapar, dan ke belakang ketika kebelet. Ya, semua aktivitas itu dilakukan tanpa ada ‘yang bisa menghentikan’ dan dilakukan ‘tanpa berpikir’ terlebih dahulu. Jadi, salah satu ciri ketidakmahiran dalam membaca dan menulis adalah ketika masih gemar berhenti membaca usai menamatkan bab pertama sebuah novel atau “gemar menekan tombol backspace berkali-kali” untuk menghasilkan paragraf pertama sebuah tulisan.

Q: Jadi menulis dan membaca itu harus punya jadwal?

A: Mengapa tidak! Kalau an employee works on schedule, an artist works on mood, maka orang-orang kreatif (saya juga mengategorikan pekerja sosial dan penulis masuk dalam kelompok ini) adalah perpaduan antara keduanya. Mereka membaca/menulis pada waktu dan keadaan yang nyaman. Jadi, mereka diperkenankan membuat jadwal bekerja yang akan menumbuhkan kenyamanan (mood). Apakah bisa? Tentu saja bisa, sebab jadwal membaca/menulis itu tidak dibuat oleh atasan, tapi oleh mereka sendiri! []

Categories
Kolom KOLOM BENNY ARNAS

Di Tengah Geliat Militansi, Saya Jadi Remah-remah Rempeyek

Saya ingat sekali. Sekitar tahun 2000-an, saya dan teman-teman satu kampus membuat grup nasyid. Setidaknya 1,5 dasawarsa (1992-2007) nasyid sangat popular di dunia. Popularitas itu pun menular ke daerah. Tak terkecuali kami yang berada di Padang. Oleh kalangan dakwah (kampus), kami ditengarai berperan besar dalam menggaet anak muda (baca: mahasiswa) ke jalan dakwah. Tentu saja kami gembira, bangga, sekaligus besar kepala. Panggung pun sudah jadi bagian dari hari-hari kami. Hampir semua kota & kabupaten di Sumatera Barat pernah mengundang kamu untuk tampil. Kami jadi militan. Dalam mengatur jadwal tampil, merumuskan manajemen yang baik, pembagian honor yang proporsional, sistem kaderisasi yang efektif, dll. Ya, dalam segala urusan di atas. Bukan urusan dakwah. Bukan!

Tahun 2008 saya berkenalan dengan sastra. Menulis saya pilih karena saya pikir profesi ini yang paling memungkinkan saya untuk terus dekat dengan keluarga. Dimuatnya cerpen pertama saya di Kompas di pengujung tahun tersebut membuat saya percaya kalau saya memang berbakat sekaligus memandang sebelah mata pada para penulis yang tak kunjung mampu–atau paling tidak, membutuhkan waktu bertahun-tahun–menembus media massa dengan oplah tertinggi di Tanah Air itu. Saya pun makin giat menulis. Sebagian besar hari-hari saya bergumul dengan komputer, printer, dan diskusi karya. Karier kepengarangan saya makin gemilang. Saya menjadi militan. Dalam menulis, membuat daftar media yang masuk giliran saya kirimi cerpen. Membuat daftar honorarium yang saya terima tiap bulannya. Membuat daftar ide cerita yang belum saya garap. Ya, dalam urusan-urusan di atas. Bukan urusan untuk terus dekat dengan keluarga. Saya kelimpungan membagi waktu. Raga saya di rumah. Jiwa saya berkelana dari cerita ke cerita. Saya hidup dalam dunia rekaan!

Pengujung 2010 saya berkenalan dengan pegiat seni lintas-disiplin. Seni rupa, teater, dan musik. Saya merasakan kenikmatan dan sensasi kegembiraan yang lain. Namun yang lebih penting dari itu adalah, saya bisa menjadi jembatan bagi seniman lain untuk mendapatkan “panggung”-nya kembali. Saya menyelenggarakan sejumlah pertunjukan dan festival. Saya jadi militan. Dalam berkesenian. Saya pun dipercaya menjabat peran penting di perkumpulan seniman. Namun, saya baru sadar kalau apa-apa yang saya pikir baik belum tentu dipandang sebangun. Satu-dua rekan yang saya beri “ruang” itu menikam dari belakang, mengkhianati saya!

Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang seniman dari negeri seberang. Dengan semangat meletap-letup ia mengampanyekan pentingnya menyelenggarakan even kebudayaan. Saya memilih menjadi penyimak yang baik, padahal dengan energi positif yang dengan sukarela ia bagikan, saya biasanya dengan senang hati dipengaruhi. Tidak kali itu.

Saya merasa deja vu.

Baru-baru ini, saya kembali terlibat dalam keriuhan yang nyaris sama namun atas nama yang berbeda: literasi. Kegiatan-kegiatan apa pun, apa pun kontennya, dibungkus dengan “literasi”. Bahkan ekstensifikasi atau ameliorasi (atau apalah-apalah istilah yang artinya kurang lebih sama) dari definisi “literasi” itu membuat ia bisa menyasar ke dalam lini kehidupan apa pun. Literasi bisa menjadi dan dijadi(kan) apa saja. Saya yang hari ini berdiri di tengah-tengah kerumunan itu (dan menjadi bagian darinya) kerap bertanya; apakah semuanya akan berulang? Tiba-tiba saya merasa ngeri membayangkan euforia yang seperti hendak membunuh dirinya sendiri ini! Semua “orang baik” menjelma pe(ng)giat literasi atau sebaliknya.

Lagi, saya merasa deja vu.

Saya berpikir keras, keras sekali. Ketika seniman itu terus berkoar-koar tentang pentingnya menyelenggarakan festival-festival yang dinisiasi dari bawah (baca: rakyat), pikiran saya justru melayang mundur, berusaha memeras gambar-gambar yang memiliki garis dan warna dengan apa yang saya saksikan saat ini.

Saya mengernyitkan dahi seperti menahan lipatan permasalahan yang menampar-nampar dahi saya ketika pahlawan-pahlawan literasi makin terkenal, populer, dan ditahbiskan kuasa membawa banyak orang masuk surga.

Alangkah dahsyatnya kekuatan militansi.
Alangkah remah-remah rempeyeknya saya hari ini!
Bagaimana mereka mengelola kebahagiaan pribadi dan keluarga di tengah kelimun permasalahan umat yang senantiasa siap mereka carikan solusinya.
Alangkah tak ada apa-apanya saya.

Tiba-tiba saya merasa ingin menangis dalam absurditas yang gagal saya letakkan baik-baik di dalam kepala yang mulai mendingin. Oh, apakah apa yang saya alami sebelumnya adalah kesalahan-kesalahan atau ketidaklihaian saya mengelola militansi atau … memang, sebagai manusia yang hidup di tengah mozaik-mozaik urusan yang bersilintas tanpa permisi, tanpa mampu didefinisi, tanpa memberi kesempatan untuk diurai hati-hati, militansi memang tidak dibutuhkan, tidak disarankan, sebab menjadi militan artinya memilih salah satu dengan menepikan yang lain. Menenggelamkan yang lain, yang tidak kalah pentingnya, yang tidak kalah membahagiakannya bila berhasil diperlakukan baik-baik, sebagaimana mestinya. Skala prioritas, jangan mudah berpuas diri, menekuni passion–sekadar menyebut beberapa ajakan yang kadung diimani sebagian kiblat kelaziman (kebenaran)–adalah hal-hal yang tidak semestinya mendarahdaging dalam hidup manusia yang begitu kompleks, begitu kaya!

Menyitir definisi “militan” menurut KBBI (Anda bisa pakai versi mana pun untuk membuktikan uraian di atas)–bersemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras, makin menegaskan keraguan saya perihal untuk apa menjadi militan. Dalam agama sekalipun. Dalam kebaikan sekalipun–yang ini membuatnya terdengar oksimoron.

Tidak bisakah kita melakoni kehidupan ini sesuai porsinya: dengan “bersemangat (tanpa harus “tinggi-tinggi), bergairah (tanpa harus “penuh-penuh”), apalagi berhaluan keras. Apalagi merasa paling benar sendiri, paling saleh sendiri, paling tahu sendiri. Paling adil sendiri.

Mencicipi seni saja.
Berenang sekadarnya di lautan buku.
Bukan menjadi panggung itu sendiri.
Bukan menjadi penulis sekaligus pembacanya sendiri.

Wallahualam.

Lubuklinggau, September-November 2017