Categories
KOLOM KANG MAMAN

Surat Terbuka untuk Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim

Saya termasuk salah seorang yang sangat mendukung “Pokok-pokok Kebijakan Merdeka Belajar” yang baru saja Mas Menteri sampaikan pada 11 Desember. Termasuk, apa yang Mas Menteri sampaikan dalam Peringatan Hari Guru Nasional 2019.

Juga, saya mendukung “5 Agenda Kerja Mendikbud”:

  1. Pendidikan Karakter
  2. Deregulasi dan Debirokratisasi
  3. Meningkatkan Investasi dan Inovasi
  4. Penciptaan Lapangan Kerja
  5. Pemberdayaan Teknologi

Pada 3 Desember lalu, saya menjadi salah seorang narasumber dalam Seminar Nasional “Pendidikan Masyarakat dan Evaluasi Kinerja Pengelolaan PAUD dan Dikmas Tahun 2019”, yang diadakan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Yogyakarta. Saya bersua dengan banyak pengelola PKBM dan juga SKB, selain pengelola LKP.

Saya menangkap “semacam keresahan” yang menurut saya, layak untuk saya sampaikan secara terbuka kepada Mas Menteri, berkaitan dengan pendidikan kesetaraan karena sejalan dengan agenda kerja 3 dan 4:

  1. Meningkatkan Investasi dan Inovasi
    Ditempuh lewat penciptaan pola pembelajaran keterampilan dan kompetensi yang bersesuaian dengan kebutuhan dunia kerja, industri dan kewirausahawan. Caranya, di antaranya dengan merevitalisasi pendidikan vokasi.
  2. Penciptaan Lapangan Kerja
    Program kewirausahawan akan ditekankan dalam proses pembelajaran pada lembaga pendidikan tinggi melalui penggalian kreativitas, seni dan jiwa wirausaha siswa. (Nadiem mengatakan Kementerian Pendidikan HARUS menciptakan institusi yang tidak hanya menyediakan tenaga kerja tetapi juga ikut menciptakan lapangan kerja.)

“Keresahan” itu berkaitan dengan pengurusan dan pengelolan pendidikan kesetaraan. Padahal, pengelola, pendidik dan peserta didiknya tidak sedikit.

Saat ini, pendidikan kesetaraan sebagai pendidikan bagi anak usia sekolah yg tidak sekolah (ATS) atau bagi anak yg tidak memiliki kesempatan belajar melalui jalur pendidikan formal, memiliki peserta didik berjumlah 1.406.061 orang. Sementara, penyelenggara pendidikan kesetaraan berjumlah 9.246 (PKBM) dan 425 Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).

Jika peserta didik dan satuan pendidikan sebanyak ini tidak diurus secara khusus, maka akan banyak warga negara yg dirugikan. Pengalaman serupa pernah terjadi di periode 2010-2014, dimana pendidikan kesetaraan dikelola oleh Dikdasmen hanya sebagai program, berakibat pendidikan kesetaraan tidak terurus dan tidak mendapat perhatian yang serius.

Karenanya, sejak tahun 2015 pendidikan kesetaraan kembali ditangani dan dikelola secara khusus. Dan, Mas Menteri bisa menelusuri sendiri data-datanya, dimana telah terwujud kemajuan yg sangat signifikan.

Perkembangan tersebut antara lain : sistem pendataan yang lebih akurat melalui aplikasi dapodikmas; sistem pendataan ujian nasional yg semakin baik, bahkan hampir 100% peserta ujian nasional dengan moda UNBK. Ini menandakan pendidikan kesetaraan semakin berintegritas.

Dari sisi sistem pembelajaran, pendidikan kesetaraan sedang melaksanakan kurikulum K-13 yang sudah dikontekstualisasikan dan difungsionalisasikan pembelajaran dengan sistem Satuan Kredit Kompetensi (SKK), dengan bahan belajar modul yang telah disusun lebih dari 450 modul dalam bentuk PDF dan e-book. Hal ini benar-benar memerdekakan guru dan peserta didik dalam proses belajar.

Pendidikan kesetaraan juga sudah mengembangkan sistem pembelajaran daring dengan platform yang memungkinkan peserta didik untuk belajar kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja.

Perkembangan peserta didik dari tahun 2015 sampai tahun 2019 juga sangat luar bisa. Mas Menteri bisa mendapatkan data-datanya di kementerian di mana Mas Menteri sekarang mengabdi.

Karenanya, jika sistem pendidikan yang sudah “kekinian” dan memerdekakan ini tidak diurus dengan baik, saya khawatir akan terjadi kemunduran yang luar biasa hanya karena ego sektoral atau dikotomi formal-nonformal yang justru tidak produktif.

Mengenai siapa yang mengelola dan mengurus pendidikan kesetaraan, saya serahkan sepenuhnya kepada Mas Menteri. Yang pasti sangat saya harapkan, harus ada yang khusus mengurus dan mengelola pendidikan kesetaraan, di bawah payung apa pun direktorat jenderalnya.

Yang penting bagi saya, pendidikan kesetaraan harus dipedulikan. Apalagi, “merdeka belajar” yang Mas Menteri berulang sebutkan, sejalan dengan pendidikan kesetaraan, bahkan sudah menjadi ruh dari pendidikan kesetaraan itu sendiri.

Demikian surat terbuka saya, semoga menjadi pertimbangan Mas Menteri, agar tetap ada kelangsungan layanan pendidikan kesetaraan — termasuk vokasi kesetaraan yang berorientasi lapangan kerja dan menciptakan lapangan kerja — yang baik, sehingga kita tidak mengorbankan nasib 1,4 juta peserta didik.

Terimakasih.

Maman Suherman
Alumni Kriminologi FISIP-UI yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Kelompok Kompas Gramedia dan Managing Director Avicom, rumah produksi dan biro iklan. Kini, menjadi penulis buku di Kepustakaan Populer Gramedia dan Grasindo, Konsultan Komunikasi dan Kreatif di Sejumlah Institusi, Kreator/Pengisi Acara TV (MetroTV, Trans7, KompasTV), Sahabat Literasi Kemendikbud, Penasihat Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Pusat, Advisor Aksaramaya; Juri “Pustakawan/Perpustakaan Inovatif” Kementerian Kesehatan (2018-2019), Juri Anugerah “Nugra Jasa Dharma Pustaloka 2019” – Perpustakaan Nasional, Juri “Anugerah Aparat Sipil Negara” KemenpanRB, 2018-2019, Juri “Anugerah Jurnalistik Polri 2019”.

Categories
KOLOM KANG MAMAN

Praktik Baik Literasi

Saya senang dengan istilah PRAKTIK BAIK LITERASI yang berulang-ulang diucapkan sahabat saya Wien WM Muldian dalam setiap pertemuan dengan saya, dan juga di grup WA FTBM (Forum Taman Bacaan Masyarakat), dan Diskusi Literasi Lokal. Tentu ini langkah lebih jauh di dunia literasi setelah “pintunya dibuka” oleh kemampuan dan kecakapan baca, tulis, hitung–menjodohkan buku dengan pembaca, di antaranya. Praktik baik bisa diterapkan dalam keseluruhan dari 6 literasi dasar menghadapi abad 21 ini: baca-tulis, numerik, finansial, digital, sains, budaya dan keberagaman.

Pagi tadi, saat membaca cuitan-cuitan di medsos, sambil mengaji Al Hikam, misalnya, kutemukan praktik baik literasi digital, yang bisa diterapkan dalam keliterasian lainnya, bahkan sampai ke literasi “tingkat tinggi” : literasi hati (Ceileh…. bisa aja istilah lu, Man 🤑🤑). Hal itu pun kucuitkan di twitter dalam “kultum” – kuliah 7 cuitan :

1. Kalau ada kata dan kalimat-kalimat aneh, diemin aja, akan padam sendiri. Kalau dihebohin, ya memang maunya si penyulut kata dan kalimat itu. Dia nyalakan api, kalian siramkan minyak.

2. Kata Ibnu Atha’illah, saat seseorang merasa sempit karena tak diberi dan merasa lapang saat diberi, itu pertanda bahwa ia ( baru hanya) mempedulikan kepentingan dan maslahatnya. Belum selesai dengan dirinya. ‘Ubudiyahnya belum tulus

3. “Apabila kau gembira ketika diberi karunia olehNya dan kecewa saat ditolakNya, simpulkanlah bahwa itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.”

4. Tapi, kata Ibnu Atha’illah, itu jangan sampai membuatmu putus asa dari kelurusan dan keseimbangan ahwal-mu dengan Tuhanmu. Tak ada yg mustahil utk beristikamah setelah berbuat salah

5. Kuncinya:
” Jika kauingin dibukakan pintu asa, lihatlah karuniaNya kepadamu. Namun, jika kauingin dibukakan pintu takut lihatlah amal yg kaupersembahkan kepadaNya.”

6. Tempat terbitnya cahaya ilahi adalah hati dan relung batin.
Sirami selalu dengan sikap:
“Jika seorang mukmin dipuji di hadapan mukanya, keimanan akan bertambah dalam hatinya.”

7. Tempat terbitnya cahaya maknawi yg berupa bintang PENGETAHUAN, bulan ILMU dan matahari TAUHID adalah HATI & RELUNG BATIN. Hati orang ‘arif, seumpama langit yang di dalamnya seluruh bintang bersinar.

Sudah lama sekali lahir kalimat, “literasi itu untuk menyejahterakan.” Wien sangat tahu itu 🙏🙏🙏 . (Salut, respek!)

Kalau pakai “bahasa kalbu” (literasi hati), literasi itu memberdayakan, bukan memperdayakan. Dari tidak bisa baca tulis menjadi melek huruf dan angka; dari tidak tahu menjadi tahu; dari tidak mampu menjadi mampu; dari tidak berdaya menjadi berdaya. Dan, mari buka Al Baqarah: minadz dzulumati ilan nur. Dari kegelapan menuju nur-cahaya. Sahabatku lintas iman menyebutnya: jadilah terang.

Jadi menarik ketika teman-teman FTBM memutuskan Membaca Kartini sebagai tema World Book Day kali ini. Tentu semua sudah tahu darinya kita mengenal Habis Gelap Terbitlah Terang. Dan dariNya, Kartini menemukan kalimat itu.

Selamat Hari Senin

Teruslah melakukan praktik baik literasi…

 

Maman Suherman

Categories
Kolom KOLOM KANG MAMAN

KITA Literat, KITA Antikorupsi, KITA Bahagia (Bukan: Aku)

Aristoteles mengatakan, kebahagiaan sejati berasal dari batin yang telah DIDIDIK, dan karenanya harus dimulai sedari dini. Pendidikan yang baik tidak membiarkan seseorang  berkembang “sesuai seleranya sendiri”, tetapi perlu dibuka dimensi hatinya agar orang tersebut merasa bangga dan gembira apabila ia berbuat baik, sedih dan  malu apabila melakukan sesuatu yang buruk. Melalui perasaan-perasaan itu seseorang, tanpa paksaan, BELAJAR berbuat baik dengan gampang dan menolak dengan sendirinya yang jelek atau memalukan.

Dan menjadi bahagia, ujar Aristoteles, disadari atau tidak, adalah tujuan semua manusia. Motif yg menggerakkan manusia melakukan apa pun adalah untuk mencapai kebahagiaan!

Apa itu bahagia?
Ada kalimat indah yang mendefinisikannya dengan sangat sederhana, tetapi menurut saya, sangat tepat menggambarkan apa itu bahagia:

Jika kamu berbuat dan memberi sesuatu semata kepada dirimu, itulah KESENANGAN. Baru di tahap kesenangan. Tetapi jika kamu berbuat dan memberi sesuatu — yang sama seperti yang kamu berikan pada dirimu — kepada orang lain, itulah KEBAHAGIAAN.

Pesan ini sekaligus menyiratkan, untuk mendapat senang, bisa kita lakukan seorang diri. Untuk bahagia, kita perlu orang lain. Itu juga sebenarnya esensi dasar dari pentingnya bersinergi selain, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang bisa melakukannya seorang diri.

Ingat 4 C atau 4K yang menjadi kompetensi dasar untuk mewujudkan 6 keliterasian dasar? Tak cukup mampu berKomunikasi, Kreatif dan Kritis dalam berpikir, tapi harus mampu membangun konektivitas, keterhubungan, berjejaring, bersama-sama: Kolaborasi.

Lalu apa hubungannya: kebahagiaan, kolaborasi dengan apa yang teman-teman pegiat literasi sejati sudah lakukan selama ini dan dirayakan kembali hari ini untuk mengawali tanggal 17 pertama di 2018?

Pertama:
Kita tahu, dan sering kita kutip di mana-mana, Indonesia adalah negara literatif kedua dari bawah, 60 dari 61, dan hanya setingkat di atas Botswana. Dan lima-enam negara paling literatif di dunia adalah:
1. Finlandia
2. Norwegia
3. Islandia
4. Denmark
5. Swedia
6. Swiss
.
.
8. German
15. Selandia Baru
Dan di Asean, paling literat:
36. Singapura
59. Thailand.
(Hasil Riset  bertajuk “World’s Most Literate Nations Ranked” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity, Maret 2016).

Kedua:
Negara-negara mana saja yang indeks persepsi korupsinya paling tinggi — dengan skala 0 – 100 — dan sekaligus menggambarkan negara yang paling  terendah korupsinya di dunia ? Data indeks persepsi korupsi 2016 yg dilansir Transparansi International (TI) menyebutkan:
1. Denmark (negara nomor 4 paling literatif di dunia) – skor 90
2. Selandia Baru (15) – 90
3. Finlandia (1) – 89
4. Swedia (5) – 88
5. Swiss (6) – 86
6. Norwegia (2) – 85
7. Singapura (negara yang paling literat di Asean) – 84
8. Belanda – 83
9. Kanada – 82
10. Jerman – 81
adalah 10 negara yang paling tinggi nilai indeks persepsi korupsinya di dunia — yang ternyata adalah juga negara-negara paling literatif.

Makanya tepat sekali kalau KPK mau berkolaborasi dan bersinergi dengan para pegiat literasi lewat pembentukan Panglima Tali Integritas dan berbagai kegiatan lain. Karena korupsi tak semata dilawan lewat OTT (operasi tangkap tangan), tetapi lewat mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan masyarakat literat yang dasarnya adalah: meningkatkan kualitas hidup. Semakin berkualitas hidup manusia semakin benci mereka pada ketidakjujuran, karena selain sudah tercerahkan, mereka juga bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang baik dan benar. Dan, tidak mengambil yang bukan haknya. Sebaliknya, memberi kebaikan kepada orang lain dengan tidak mengambil haknya. Bukankah itu inti kebahagiaan yang disebut Aristoteles.

Oh iya, di mana posisi Indonesia menurut TI?
Jawabnya di posisi ke 90 dari 176 negara dengan  skor 37 ( rentangnya 0 – 100, kalau ikut Ujian Nasional, berarti Indonesia belum lulus, nilainya masih jauh di bawah 50). Ingat, Denmark, Selandia Baru itu skornya 90, dan Finlandia 89….

Ketiga:
Negara paling bahagia di dunia menurut World Happiness Report 2017 yang dikeluarkan PBB adalah:
1. NORWEGIA (negara nomor 2 paling literatif di dunia)
2. DENMARK (4)
3. ISLANDIA (3)
4. SWISS (6)
5. FINLANDIA (1),
yang notabene adalah negara-negara yang warganya paling literatif di dunia. (SWEDIA, negara nomor 5 paling literatif berada di posisi ke-10 paling bahagia di dunia).

Benang merahnya apa?
Negara Paling Literatif adalah negara yang warganya paling tidak ingin menghinakan dirinya dengan perbuatan memuakkan, koruptif. Sebaliknya, warganya terdorong kuat untuk membahagiakan sesama dengan, setidaknya, tidak mengganggu dan mencuri/mengkorupsi hak milik orang lain. Dan, mereka juga adalah negara yang paling bahagia.

Sungguh tepatlah kita semua berkumpul di sini, bersinergi, saling mendukung, karena untuk mencapai bahagia — saya mengutip kembali apa yang saya sampaikan di awal — adalah dengan bersama-sama orang lain. Berbuat untuk diri, itu semata kesenangan, tetapi berbuat untuk orang lain itulah kebahagiaan.

Salah satu wujud nyata, langkah konkret dari semua itu, kita berkumpul bersama saling dukung untuk berdonasi buku. Bukan membentuk “jalur sutra” atau “jalur rempah” — yang kental nuansa ekonomi dan kemegahan serta kemewahannya — tapi membentuk “jalur buku”. Bersinergi membahagiakan sesama dengan meliteratkan satu sama lain.

Buku adalah pilihan tepat. Sekaligus jadi penutup refleksi pagi ini, saya mengutip pernyataan Borges yang dikutip Baez dalam bukunya, “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”:
“Dari berbagai instrumen manusia, tak syak lagi yang paling mencengangkan adalah BUKU. Yang lain adalah perpanjangan ragamu.
“Mikroskop dan teleskop adalah perpanjangan penglihatan.
“Telepon adalah perpanjangan suara.
“Lalu kita memiliki bajak dan pedang, perpanjangan lengan.
“Namun buku berbeda:
“Buku adalah PERPANJANGAN INGATAN dan imajinasi.”

Bukulah yang memberi wadah bagi ingatan manusia. Buku adalah pelembagaan ingatan; dan perpustakaan, arsip atau museum adalah warisan budaya dan semua bangsa memandangnya sebagai kuil-kuil ingatan.

Mari terus bersinergi dengan bersedekah buku, meningkatkan kualitas hidup sesama, antimengambil hak dan milik orang lain, dan membuat orang lain sekaligus negeri ini menjadi bahagia.

Sekali lagi, untuk itu, kita tidak bisa melakukannya seorang sendiri. Harus bersinergi, berkolaborasi, mengingat besarnya jumlah penduduk, banyaknya pulau, dan luasnya bentang negeri ini dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote.

Ada 17.500 pulau — 13.466 di antaranya sudah bernama dan dilaporkan ke PBB, yang jika satu pulau saja kita datangi selama 3 hari, butuh 2 kali untuk hidup (hidup, mati dan hidup lagi), jika dihitung dari usia harapan hidup manusia Indonesia. Dan, kita punya sekitar 1340 suku bangsa (Suku Dayak saja memiliki 7 rumpun suku dengan 405 subsuku kecilnya). Semuanya harus dicerdaskan bersama, diliteratkan bersama-sama, karena demikianlah amanat preambule UUD 1945. Tanpa kecuali.

Terakhir,
Teringat apa kata Pramoedya Ananta Toer dalam “Jejak Langkah”:
“Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.”

Mari bersama-sama, berkolaborasi tularkan kebajikan, lewat aksara lewat kata, lewat kalimat, lewat buku.

Tabik.

(Refleksi singkat yang disampaikan pada 17 Januari 2018, dalam rangka Silaturahim dan Donasi Buku, yang diadakan Forum TBM bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, PT Pos Indonesia, dan Perpustakaan Nasional RI, di Kantor Pos, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat)

Categories
Kolom KOLOM KANG MAMAN

Membangun Ruang Ketiga

 

Borges yang dikutip Baez dalam bukunya, “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”, mengungkapkan:
“Dari berbagai instrumen manusia, tak syak lagi yg paling mencengangkan adalah BUKU. Yg lain adalah perpanjangan ragamu.
“Mikroskop dan teleskop adalah perpanjangan penglihatan.
“Telepon adalah perpanjangan suara.
“Lalu kita memiliki bajak dan pedang, perpanjangan lengan.
“Namun buku berbeda:
“Buku adalah PERPANJANGAN INGATAN dan imajinasi.”

Bukulah yang memberi wadah bagi ingatan manusia. Buku adalah pelembagaan ingatan; dan perpustakaan, arsip atau museum adalah warisan budaya dan semua bangsa memandangnya sebagai kuil-kuil ingatan.

Di sisi lain, masih dari buku itu kita diingatkan, tak ada identitas tanpa ingatan. Jika kita tidak ingat siapa kita, kita tidak akan mengenal siapa diri kita. Dan sejarah membuktikan, bahwa ketika suatu kelompok atau bangsa berusaha menguasai kelompok atau bangsa lain, yang pertama mereka lakukan adalah menghapus jejak-jejak ingatan dalam rangka membentuk ulang identitasnya!

Karenanya, penghancuran buku, pembakaran perpustakaan, arsip atau museum, atau setidaknya melakukan pembiaran terhadap perampokan dan penjarahan perpustakaan, arsip dan museum menjadi bagian dari proses penaklukan sebuah bangsa.

“Hilangkan identitasnya, bentuk identitas baru untuk mereka sesuai mau kita (sang penakluk, sang penjajah), lalu curi kekayaan intelektual dan kearifan lokalnya dan klaim sebagai milik kita,” adalah penaklukan paling mengerikan, yang “bersembunyi” di balik penaklukan bersenjata dan genosida.
“Lakukan bibliosida, pemusnahan buku, agar mereka kehilangan ingatan dan otomatis kehilangan identitas/jati diri!”

KARENANYA, aku selalu menaruh penghargaan tinggi pada siapa pun yang bergerak di “jalan buku”. Menjodohkan buku dan manusia. Tak semata membawa buku, lalu menghamparkannya begitu saja. Karena keliterasian tak semata itu.

Betul, keaksaraan dan kewicaraan adalah pintu, tetapi tidak berhenti dari semata membangun pintu, tetapi mengisi apa-apa yang ada di balik pintu itu. Karena keliterasian bukan semata keberaksaraan — keaksaraan dan kewicaraan. Bukan semata meningkatkan minat baca. Tetapi, dalam bukunya “Suara dari Marjin”, Sofie Dewayani, tersirat dan tersurat menyebutnya sebagai kemampuan menggunakan dan memanfaatkan informasi untuk kepentingan dirinya.

Keliterasian teknis, baca-tulis, harus melangkah ke level fungsional dan budaya: bagaimana memaknai teks untuk meningkatkan kualitas hidup. Lebih jauh, dalam bincang-bincang di acara Kopdar Pegiat TBM Jawa Barat di Bumi Perkemahan Ikopin, Jatinangor (26/12), Sofie dengan sangat cerdas menyebutnya sebagai “mothering literacy”. Saya menangkapnya — mudah-mudahan tidak salah– literasi sebagai “ruang” pengasuhan, perawatan nilai, ingatan, nalar; tempat pulang yang merekatkan, membahagiakan seperti kedekatan anak kepada ibunya. Menjadikan literasi sebagai “ruang ketiga” setelah hal-hal yang bersifat fisik (semata) dan intelektual. Ruang afeksi yang merekatkan.

Penghancuran buku sungguh sebuah upaya memisahkan anak manusia dengan ibunya, memisahkan anak bangsa dengan ibu pertiwi. Jadi teringat pada apa yang kerap kusampaikan dalam sejumlah pertemuan, bahwa tak cukup mengandalkan “Hand” ( tangan, fisik), dan Head (kepala, intelektual), dalam semua langkah, lengkapi dengan Heart (Hati, kasih, sayang kearifan ibu).

Sekali lagi, itu yang membuat saya  “jatuh hati” kepada para pegiat literasi — pelaku babat alas, perawat, pengembang — “jalan buku” dengan berbagai gerakan dan moda yang digunakannya. Sampai pada satu titik, aku bermimpi, ah indahnya dunia jika aku kaya raya. Bisa punya 100 taman baca, dan minimal satu taman baca kubiayai sejuta rupiah sebulan. Artinya, aku harus mengeluarkan donasi 100 juta perbulan untuk menggerakkan taman baca, tak semata menjalankan fungsi menghampar buku, tapi menghidupkan buku guna meningkatkan kualitas hidup pembacanya dan masyarakat yang terpapar virus literasi yang disebar para pecinta baca, para pembelajar sepanjang hayat.

Tapi, aku bukan miliuner, yang sanggup melakukan hal itu? Yang bisa dengan gagah berani, membusungkan dada seraya berteriak akulah pemilik seratus taman baca itu!

Patahkah semangatku?

Tidak! Sekali lagi tidak!

Setiap melihat para pegiat literasi sejati bergerak, berkumpul bersama dalam kerelawanan, rasa optimisku bangkit. Tak padam. Dalam kopdar kali ini, misalnya, berkumpul orang-orang baik yang datang dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat dengan semangat kerelawanan yang tinggi. Mereka digerakkan bukan oleh uang dan tenaga (fisik semata), bukan oleh pemikiran semata, tapi oleh “ruang ketiga” yang selama ini mereka bangun: naluri ibu, hati ibu yang hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.

Teringat aku pada 4 kompetensi dasar yang dibutuhkan untuk  mewujudkan enam keliterasian dasar yang dibutuhkan dalam menghadapi abad digital ini. Ada yang menyebutnya 4C, ada yang sukses mengindonesiakannya menjadi 4 K: Komunikasi, KOLABORASI, Kreatif dan Kritis dalam Berpikir.

Dengan berkolaborasi, berjejaring dalam kesetaraan — bukan atas dasar komando, perintah dan klaim kepemilikan — “ruang ketiga” itu bisa dibangun bersama, oleh orang-orang sederhana yang mewakafkan dirinya di jalan buku.

Teruslah menjadi ibu. Madrasatul ula*, guru utama anak-anak negeri agar mereka tak kehilangan ingatan dan identitas dirinya.

Respek.
Tabik.

– Kang Maman

*Sebuah syair Arab menuliskan “Al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.” Artinya: Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.

* Catatan kecil di pagi 27 Desember 2017 selepas menyaksikan pembagian buku untuk para pengelola TBM yang hadir di Kopdar Pegiat TBM se Jawa Barat, di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Categories
Kolom KOLOM KANG MAMAN

iBUKU, BUKU Kehidupanku….

 

Pagi ini seperti membaca buku harian seorang ibu tentang anaknya.

Saat menikah, tak pernah terpikir bakal punya anak seperti apa, bagaimana merawat dan membesarkannya, bagaimana membiayai pendidikannya. “Jalani saja,” kata ibuku.

Kata orang, saat melahirkan, ibu mengalami rasa sakit setara dengan 20 tulang patah bersamaan—melebihi rasa sakit yang mampu ditanggung oleh laki-laki mana pun di dunia ini. Tetapi ketika aku melahirkan, hampir aku menyerah. Namun, demi melihatnya lahir dan hidup ke dunia, aku terus berjuang melawan ancaman ketakutan akan kematian itu.

Pertama kali melihatnya, air mataku tetes menitik sekaligus bangga, dan bersumpah untuk membesarkannya dengan kedua tanganku—seberat apa pun dan sesulit apa pun.

Tak mudah membesarkan anak. Dia bandel sekali ketika kecil, suka bermain lupa waktu, tidak mau makan kecuali disuapi olehku, susah disuruh mandi, susah dibujuk tidur waktu malam, kadang marah dan membentak padaku. Bahkan kadang, dia mengejekku, kadang juga dia menghinaku.

Ketika besar, dia merasa dirinya terlalu dibatasi. Tidak boleh ini dan itu, menganggapku terlalu kolot, ketinggalan zaman, tidak pernah bisa mengerti apa maunya. Bahkan untuk jalan bersama pun, anakku kerap seperti orang yang malu beriringan dengan seorang perempuan tua yang tertatih, berbusana ketinggalan zaman, dan bau minyak angin. Dia berjalan jauh di depan dan aku di belakang ditemani seorang suster.

Jujur, kadang sakit hati sekali diriku ini. Tapi mengingat ketika pertama kali menggendongnya, ketika melahirkannya, semua sakit ini hilang seketika. Dia anakku, anak kesayanganku. Jadi, apa pun, aku cinta padamu, anakku. Karena kaulah yang menguatkanku, membuatku mau bekerja keras seharian, tak takut luka, duka, derita, dan sakit.

Karena kehadiranmulah aku merasa berarti, apalagi bila mendengarmu memanggilku: Ibu.

Ibu mungkin sudah tua; badan sudah sekarat, kerutan muka sudah banyak, perjalanan usiaku tidak lama lagi. Anakku, jika kamu bekerja sangat keras, tidak perlu sampai memberikan istana yang mewah, atau uang yang bertumpuk. Gunakan dan simpan untukmu saja.

Ibu hanya berharap kamu mau menyisihkan sedikit saja waktumu untuk menemani masa-masa tua ibu; bisa di samping ibu, berbincang dengan ibu, itu sudah cukup bagi ibu.

Ibu bangga denganmu, Nak, dan maafkan jika ibu pernah memarahimu, melukaimu, melarangmu. Percayalah, semata karena ibu ingin kamu baik. Ibu cinta padamu dari dulu, sekarang, dan selamanya.

***

Dan, Ibu, di dalam kata ‘mOtHER’ ada kata ‘HERO’. Karena ibu memang seorang pahlawan sejati.

Hatimu, Ibu, adalah tempat teristimewa, di mana kami (anak-anakmu) selalu menemukan rumah dan surga sejati.

Selamat Hari Ibu, peluk dan sayang untukmu selalu, iBUKU, yang menggoreskan tinta darah, air mata dan peluh di dalam BUKU kehidupanku tanpa sedikit pun berkeluh kesah.

(Maman Suherman)

Categories
Kolom KOLOM KANG MAMAN

Resep Awet Muda: Disinari Cahaya Berlian

Entah basa-basi atau tulus bin ikhlas, kerap orang bertanya, kok aku terlihat tetap awet muda. Bisa jadi karena hingga di usia 52, rambutku belum tumbuh-tumbuh, sementara tak sedikit bayi yang begitu mbrojol ke muka bumi saja, sudah lebat rambutnya. Tapi yang pasti, saya berpraduga baik, bahwa ucapan itu doa — agar saya tetap awet muda dan awet sehat, terus aktif bergerak, karena “hidup adalah bergerak” dan “bayi/anak yang sehat itu adalah yang banyak bergerak dan karenanya jauhi dari benda yang membuatnya malas bergerak: gadget, smartphone.”

Menanggapi pertanyaan itu, jawabanku selalu sama, karena hobiku: menjadi #pelancongliterasi . Karena dengan menjadi pelancong literasi aku selalu mendapat radiasi cahaya yang menyehatkan. Sinar berlian yang membuat hatiku selalu terpana dan berbuah bahagia.

Siapa mereka?

Para penulis buku, yang membuatku selalu bergairah untuk terus membaca, memahami bacaan, menjaga nalar dan merawat kewarasanku, dan tak henti menjadi pembelajar hingga jatah pulsa hidupku habis di semesta ini. Bukankah kita diminta untuk terus belajar, sejak keluar dari liang bunda hingga ke liang lahat?

Tak sekali-dua, aku berjuang untuk bertemu langsung penulisnya agar kubisa menyerap energi dahsyat yang mereka miliki secara langsung dan tak semata lewat percik perenungan dan pemikirannya yang dituangkan dalam wujud kitab. Menjalin silaturahmi tanpa henti, hingga meminta menjadi muridnya, sebagaimana hubunganku yang tak terputus dengan — salah satunya– Sapardi Joko Damono, meski aku bukan lagi mahasiswanya di Sosiologi Sastra, yang hingga kini memanggilku dengan panggilan sayang: Si Sontoloyo.

Ketika beberapa waktu lalu aku mendapat undangan ke Mesir, yang langsung terbayang di benakku adalah bagaimana bisa menghidu energi Naguib Mahfouz(peraih Nobel sastra 1988) dan Nawal el Sadawi “Perempuan di Titik Nol” — yang karya-karyanya sudah sejak lama kubaca — selain tentunya Sayyidah Nafisah, keturunan kelima Rasulullah SAW, yang juga guru pendiri Mazhab Syafi’i, Imam syafi’i.

Setiba di Kairo, kukunjungi mesjid dan kuziarahi makam Sayyidah Nafisah, mendoakannya dan berterimakasih atas butir-butir pengajarannya, yang cahayanya tetap kuterima meski abad kehidupan kami berbeda.

Sebagai info pelengkap, inilah garis darah almarhumah: Rasulullah SAW > Fatimah – Ali bin Abi Thalib > Hasan bin Ali > Zaid bin Hasan > Hasan bin Zaid > Nafisah (lahir di Mekkah, 145 H).

Beliau hijrah ke Madinah di usia 5 tahun, kemudian menikah, dan bersama suami berangkat ke Mesir pada 193 H. Di Mesir, ia menjadi guru banyak pembelajar, di antaranya Imam Syafi’i , yg hampir selalu menyempatkan diri mengunjunginya untuk belajar, setiap berangkat dan pulang dari Mesjid Amr bin Ash. Imam Syafi’i kemudian wafat pada 204 H, dan sesuai wasiatnya, ia meminta dishalatkan oleh gurunya, Sayyidah Nafisah. Jenazahnya pun dibawa ke rumah Nafisah, dishalatkan lalu kemudian dimakamkan. Sayyidah Nafisah sendiri wafat pd 208 H.

Makam dan masjid Sayyidah Nafisah

Aku juga berlama-lama di Kedai Kopi Al Fishawy yang sederhana, yang letaknya di tengah pasar, tak jauh dari mesjid dan makam Sayyidina Husein, cucu Rasul. Kududuk (katanya) di tempat Naguib Mahfouz dulu duduk. Kutatap foto-fotonya saat duduk di tempat itu, meminum kopi seperti yang (katanya) dulu dicecapnya saat berdialog dengan teman-teman diskusinya, dan saat menulis sejumlah karyanya.

Kutatap dalam-dalam patung wajahnya, saat berkesempatan ke Alexandria dan berkunjung ke musium indah dan bersejarah, Bibliotheca Alexandrina. Di atas tanah perpustakaan inilah dulu perpustakaan terbesar dunia pertama dibangun Ptolemeus II (sekitar 247/285 SM) dan kemudian dibakar habis pada 48 SM, lalu dibangun dan diresmikan kembali pada 2002.

Setelah penulis, lalu siapa?

Berlian-berlian dengan sinarnya yang selalu terpancar indah itu adalah para penebar ilmu sejati, salah satunya, para penggiat literasi sejati langsung di lapangan: pendiri, pemilik, penggerak taman bacaan masyarakat dan pustaka keliling, yang dengan tulus ikhlas terus #tebarvirusliterasi tanpa ambisi berlimpah dan aneh-aneh selain semata mengajak orang untuk tak henti iqra, iqra, iqra… baca… baca… baca…

Karena, jika (anggota) masyarakat sudah tertawan dengan bacaan, selalu terpapar virus literasi, “mabuk”nge-#BIR – baca, iqra, read, maka mereka akan menjadi (anggota) masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Apalagi jika para pejuang literasi dan orang-orang yang datang dan atau “dijemput” serta dijodohkan dengan buku oleh para pejuang literasi itu “berhasil” memadukan perintah pertama: iqra dengan surat kedua yang diturunkanNya ( Al Qalam – pena) alias menggoreskan penanya dan membukukannya, sungguh mereka telah menuju ke level masyarakat literer atau literat sejati.

Bukankah (gerakan) keliterasian, keberaksaraan itu tak semata untuk mewujudkan kemampuan keaksaraan dan kewicaraan semata? Tapi juga 4E: to educate, to empower, to enrich, dan TO ENLIGHTEN (yang memiliki spiritual insight). Mengedukasi, memberdayakan (bukan memperdayakan 😁😁😁), memperkaya (wawasan) dan MENCERAHKAN (MENYINARI).

Berlian-berlian itu menyinari, membuatku tersinari, tercerahkan. Dan aku beruntung menjadi pelancong literasi, yang berjalan ke mana-mana dan bertemu dengan berlian-berlian itu, termasuk saat pengukuhan  Panglima Integritas AntiKorupsi (sebuah hasil “pernikahan” indah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Forum Taman Bacaan Masyarakat) dalam rangkaian peringatan Hari Antikorupsi Sedunia.

Sekali lagi, itulah resep “awet muda”ku. Terus disinari dan dikelilingi orang-orang baik. Berlian-berlian sejati.

Dan sampai kapan pun, pelancong literasi itu tak mungkin bisa menjadi berlian itu sendiri, meski berteriak-teriak, mengklaim ke sana ke mari, bahwa akulah Sang Berlian.

Aku tetap seorang pelancong literasi dan sudah sangat berbahagia dengan status buatanku sendiri itu. Dan sahabat literasiku semua, teruslah menjadi berlian, menyinari semesta ini dengan segala kebersahajaanmu. Tanpa perlu mengaku-aku sebagai berlian, kalian sudah bersinar dengan sendirinya.

Jika pun ada yang mengaku-aku sebagai berlian dengan memanfaatkanmu, hadapi dengan santai. Percayalah, semesta akan bekerja sendiri tanpa perlu kita teriaki untuk menempatkan semuanya pada porosnya. Dan, siapa pun tahu membedakan, mana berlian, mana yang ngaku-ngaku berlian. Bahkan yang berkalung berlian sekali pun, tetap tak akan bisa menjadi dan diaku berlian, meski tenggorokannya rusak untuk berteriak hingga parau meminta diaku berlian.

Dan, berlian, berada di kota atau di pelosok, disorot media atau pun tidak, di bawah sorot sinar lampu atau di kegelapan, tetaplah berlian.

Salam literasi.
Salam integritas.

Tabik.

*) BERLIAN – BERjuang di dunia keLIterasian dengan sepenuh keikhlasAN.