Categories
KOLOM SOFIE DEWAYANI

Menapaki Tanah Kelahiran Literasi Ideologis

Oleh: Sofie Dewayani

Saat saya menjejakkan kaki di Imam Khomeini International Airport, malam tengah merayap. Akan tetapi, geliat kota Tehran terasa hidup. Jejak kemajuan di negara yang diembargo Amerika ini tampak pada bentang jalan yang mulus dan kokoh, jembatan dan lorong bawah tanah yang bersilangan, menggiring mobil-mobil yang sebagian besar berupa sedan tua berwarna putih buatan Eropa dan Jepang.

Sejak dulu Iran konon dikenal cantik tanpa harus bersolek kemayu. Bangsa Parthia di Iran yang dulu menguasai jalur perdagangan sutera dari Cina berhasil mengusir tentara Romawi dengan mengibarkan bendera-bendera sutera mereka di bawah terik matahari sehingga berkilau-kilau menakutkan. Tak hanya sutera, bangsa Parthia juga membarter mutiara dari saudagar Cina dengan rempah-rempah dan buah-buahan yang menjadi komoditi unggulan Iran. Ruas jalanan di Mashhad, di utara Iran, pun sejak dulu dikenal mulus sehingga melejitkan peran Iran sebagai penentu strategis perdagangan di jalur sutera.

Kemolekan ini pun lalu rapuh di penghujung kekuasaan Shah Iran di era tahun 1970an. Inflasi sangat tinggi, korupsi merajalela, pembangunan hanya terjadi di perkotaan sehingga arus migrasi ke kota sangat tinggi. Produksi pertanian menurun drastis sehingga negara harus mengimpor buah-buahan yang biasa mereka produksi sendiri. Ketika banyak media melaporkan situasi politik dan ekonomi yang melatari pergantian pemerintahan Iran yang ditandai Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, Brian Street, seorang antropolog Inggris, justru memilih untuk tinggal di Mashhad di penghujung tahun 1980 itu. Ia merekam bahwa desa Cheshmeh, penghasil buah-buahan di pinggiran Mashhad, memiliki strategi bertahan yang menarik.

Awal musim semi di Mashhad (doc. Sofie Dewayani)

Street mencatat fakta unik bahwa para petani buah dan gandum di Chashmeh tidak lulus pendidikan dasar di sekolah formal, dan karenanya tidak “literat” dalam definisi yang ditetapkan UNESCO ketika itu. Menariknya, petani-petani ini cukup berhasil mencukupi kebutuhan pangan untuk Mashhad dan kota lain di sekitarnya dengan mengembangkan gandum dan buah di lahan milik mereka. Hal ini bertentangan dengan asumsi ekonomi yang berlaku umum ketika itu bahwa produktivitas pertanian akan lebih mudah dipacu dengan kepemilikan lahan kolektif–atau tuan tanah yang mampu membeli peralatan modern–dan mekanisasi pertanian. Meskipun tidak menggunakan peralatan modern, para petani ini bekerja secara komunal. Mereka mengkordinir sistem kerja, sistem dan giliran irigasi, juga pengangkutan hasil pertanian mereka ke kota. Dalam situasi politik dan ekonomi nasional yang bergejolak, mereka tak hanya bertahan, namun memperoleh keuntungan yang sangat besar. Beberapa figur petani menjadi kaya-raya dan aktif membangun Cheshmeh dan sekitarnya.

Brian Street membagi kegiatan literasi di Iran ketika itu ke dalam tiga kategori; (1) literasi sekolah (schooled literacy) yang lebih sistematis, berorientasi ke paradigma keilmuan Barat dan sekuler, (2) literasi maktab – kegiatan mengkaji Quran, Hadits, dan literatur keagamaan lain, serta (3) literasi komersial yang mencakup kecakapan dan pengetahuan yang dikembangkan petani dalam mencari nafkah. Menariknya, Street menemukan bahwa literasi komersial terkait erat dengan literasi maktab, dan tidak dengan literasi sekolah. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Meskipun petani-petani Cheshmeh tidak mengenyam pendidikan formal, mereka secara aktif mengkaji literatur keagamaan dibimbing oleh para mullah dan ulama. Pengkajian teks relijius ini, menurut Street, ternyata jauh dari asumsi akademisi Barat ketika itu bahwa pengkajian Al Quran merupakan bagian dari tradisi lisan yang menitikberatkan pada hafalan ayat dan pemaknaan harfiah semata. Di Cheshmeh, dan di banyak tempat lain di Iran, praktik pengkajian Al Quran dilakukan secara kontekstual, dengan perangkat ilmu logika dan hikmah. Mullah dan ulama bahkan memberikan panduan dan fatwa terhadap permasalahan sehari-hari, termasuk yang terkait dengan kegiatan bertani. Para petani meningkatkan pengetahuan agrarianya dalam literasi maktab dan merundingkan cara untuk meningkatkan produktivitas lahan mereka. Menurut Street, keloyalan para petani dengan literasi maktab menjadi simbol resistensi mereka terhadap hegemoni Barat yang identik dengan Shah Reza Pahlevi saat itu.

Paska Revolusi Islam, literasi pada pendidikan dasar tidak lagi terbelah antara pendekatan maktab dan sekuler. Muatan Islam terintegrasi dalam pendidikan dasar. Pada jenjang pendidikan tinggi, literasi maktab dalam bentuk hauzah dan universitas umum menjadi dua metode yang berkembang berdampingan. Hauzah yang dikelola oleh para mullah dan ulama menjadi wahana tumbuhnya tradisi pemikiran yang mengkritisi, bahkan mengembangkan wacana keilmuan kontemporer. Pola keterbukaan dan sistem pengembangan kurikulum yang dinamis dimungkinkan dengan dukungan dana umat dalam bentuk khumus, semacam zakat atau cukai pendapatan yang dikelola langsung oleh mullah dan ulama. “Dana crowdfunding umat ini” (Toutounchian, 2011) tidak hanya memapankan sistem literasi maktab, namun juga memulihkan kondisi keuangan negara saat resesi ekonomi terjadi. Saat ini, meskipun kecakapan literasi masyarakat Iran tidak terukur oleh tes PISA (Programme for International Student Assessment), UNDP (United Nation for Development Programme) mencatat Iran termasuk negara yang memiliki Human Development Index (HDI) yang tinggi, yaitu peringkat 69 (sementara itu, Indonesia berada di urutan 113 dari 188 negara).

Praktik literasi kontekstual ini lalu melatari lahirnya ide “literasi ideologis’ yang dipertentangkan dengan ‘literasi otonom (autonomous)’ yaitu praktik literasi yang mengabaikan konteks sosial- budaya – agama yang mengasumsikan bahwa semua orang, di manapun mereka berada, belajar dan memperoleh pengetahuan dengan cara dan proses kognitif yang seragam. Tahun 1990an ditandai dengan maraknya penelitian etnografi yang mendokumentasikan beragam cara masyarakat di berbagai belahan dunia mempraktikkan literasi. Dihimpun dalam Kajian Literasi Baru (New Literacy Studies – NLS), studi-studi di Bangladesh, Ghana, India, Namibia, dan Eritria (sebagaimana dihimpun dalam Literacy and Development yang terbit tahun 2001) ini menganalisis makna membaca, menulis, dan mencerna pengetahuan dalam konteks sosial, budaya, dan praktik keagamaan yang spesifik. Tak hanya itu, studi etnografi ini lalu mengidentifikasi bagaimana komunitas dengan praktik literasi spesifik ini berkontribusi dalam perekonomian regional. Studi ini lalu mengkritisi ukuran-ukuran modernitas yang melihat keberhasilan pendidikan dari masa partisipasi dan ketuntasan siswa dalam pendidikan formal. Literasi diyakini tak dapat dikungkung oleh formalitas pendidikan.

Kajian literasi ideologis ini dianggap terlalu meromantisasi praktik literasi komunitas yang terpencil atau masyarakat di negara di luar peradaban Barat. Kritik terhadap literasi ideologis mengemuka karena bagaimanapun fakta menunjukkan bahwa kekuasaan (power), status sosial, dan akses terhadap lapangan pekerjaan tetap memihak mereka yang memiliki ijazah sekolah formal. Belum lagi asesmen literasi global seperti tes PISA telah memerangkatkan kinerja negara-negara berdasarkan perilaku dan kecakapan literasi dengan standar literasi (cara berpikir dan memahami teks) yang otonom begitu diamini dan menyadarkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahwa mereka gagap memenuhi salah satu standar modernitas.

Meskipun tes ini setidaknya telah melecut Indonesia untuk menyadari peran penting literasi, tak ada salahnya kita tidak menganggap literasi ala PISA sebagai satu-satunya tolok ukur. Seperti dikemukakan Street, kita perlu menunda penghakiman tentang tingkat literasi seseorang atau suatu kelompok sebelum kita memahami apa makna literasi bagi seseorang tersebut. Seseorang mungkin saja ‘iliterat’ dalam standar PISA namun telah mempraktikkan literasi dengan tujuan dan dalam konteks yang spesifik. Praktik literasi maktab tentunya menyadarkan kita bahwa literasi memiliki dimensi yang kaya. Pemberdayaan negara melalui literasi sejatinya bukan bertujuan untuk menaikkan peringkat negara pada tes PISA, tetapi meningkatkan kesejahteraan sosial bangsa.[]

*) foto utama: Makam penyair Firdausi di luar Kota Mashhad (doc. pribadi Sofie Dewayani) 

Categories
Kolom KOLOM SOFIE DEWAYANI

Ruang Tanpa Huruf Kapital

Erin Gruwell hanya ingin mengatakan bahwa penghinaan dan pembantaian itu hanya berjarak sejengkal. Suatu siang, Erin menyentak murid-muridnya dengan amarah yang tak biasanya tumpah. Amarah itu berasal dari selembar gambar karikatur yang dibuat salah satu muridnya.

Karikatur murid berkulit hitam itu terlihat bebal dengan hidung besar dan bibir tebal. Juga bodoh, dengan dahi kecil yang menggambarkan ukuran otak yang tak “normal.” Genocide bisa disebabkan oleh gambar seperti ini, kata Erin. Murid-muridnya hanya menatapnya dari bangku yang berjajar tak rapi. Tatap mereka kosong, seperti tak peduli. Hawa panas dari jendela seperti menyapu kelas. Seperti tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang bicara terbuka tentang ras atau kelas.

Erin mengawali karir mengajarnya dengan ambisi yang tumpah-ruah. Dia ingin murid-muridnya melihat warna kulit seperti cermin yang memantulkan pesan moral tentang perbedaan. Dunia di luar kelas sudah gaduh oleh baku-hantam antar gang. Erin ingin kelas menjadi ruang jeda ketika semua benci reda, namun tak terlupa. Kelas adalah sudut yang nyaman untuk membicarakan dendam, perbedaan, atau apa saja. Tentu itu terlalu muluk, meski tak mengada-ada.

Kebencian bisa dipicu oleh hal kecil, kata Erin lagi. Murid-muridnya menamparnya dengan pandangan sinis. Kau tak mengerti, kau tak mengerti, gumam mata-mata itu berkali-kali. Erin tak terlahir dengan stigma, seperti murid-muridnya yang berkulit hitam, kuning, atau sawo matang kecokelatan. Di Long Beach California, identitas warna kulit dipertaruhkan dengan senjata. Erin bertanya, siapa di antara mereka yang pernah terluka oleh senjata. Semua mengangkat t-shirt mereka, memamerkan amarah dalam cabikan luka. Semuanya, kecuali seorang murid berkulit putih dan Erin Gruwell, tentu saja.

Erin lalu bercerita Holocaust yang dipicu karikatur tentang Yahudi buatan Nazi. Kebencian itu tragedi, dengan kapital T yang besar sekali. Karena kebencian tak hanya menghapus nama, tetapi juga sebuah bangsa. Karena kebencian itu mengalir dalam darah, seperti wabah tak terindera. Aneh. Erin tak melihat luapan emosi dalam tatap mata murid-muridnya. Seolah-olah apa yang mereka alami di luar sana tak terjalin dengan belahan bumi lainnya. Erin bertanya, siapa di antara mereka yang pernah mendengar tentang Holocaust. Hanya satu yang mengangkat tangan, sang murid berkulit putih yang tubuhnya tanpa luka. Erin terhenyak. Ternyata dia memang tak mengerti apa-apa. Dia tak mengerti murid-muridnya.
Woodrow Wilson High School dalam film lama Freedom Writers itu mewakili kebanyakan SMA di pusat kota-kota besar di Amerika. Gedung-gedung pucat bercat kusam nyaris seperti penjara. Detektor logam di gerbang masuk mengendus aroma senjata. Pintu ganda hanya bisa dibuka dari dalam, untuk mencegah mereka yang ingin masuk seenaknya. Banyak yang percaya bahwa kekerasan dan kebrutalan yang tertahan di ruang-ruang kelas itu terakumulasi dan siap tumpah kapan saja. Murid-murid kulit berwarna ini terlabeli dengan stigma unteachable dan at-risk. Sekolah sering meyakini bahwa kekerasan adalah semacam “budaya” untuk melampiaskan ketakmampuan dan kemiskinan murid-murid kulit berwarna.

Sejak tahun 60-an, pakar pendidikan di Amerika risau terhadap kompetensi anak-anak dari kalangan working class ini. “Disadvantage” adalah label yang ditempelkan untuk anak-anak yang tidak punya pengalaman, akses, dan eksplorasi bahasa seperti anak-anak dari kalangan middle class. Bereiter dan Engelmann (1966) menyimpulkan bahwa kompetensi berbahasa dan struktur logika anak-anak miskin ini “cacat” karena mereka tidak dibesarkan dalam lingkungan dengan tradisi bahasa yang melatih kemampuan berpikir abstrak, analitis, dan tertib tata bahasa.

William Labov menyanggah teori defisit ini pada tahun 1972, dengan bukunya yang fenomenal, The Language in Inner City. Tak ada yang cacat dengan bahasa kaum minoritas, dalihnya. Mereka punya tata bahasa dengan struktur yang konsisten, dengan aturan yang berbeda dengan tata bahasa kalangan middle class. Yang salah, dengan demikian, adalah ideologi tersembunyi yang memarjinalkan pengguna bahasa non-mayoritas. Bahasa menjadi index status sosial, ekonomi, juga kemelek-hurufan. Bahasa mayoritas, dalam hal ini Standard English, menjadi semacam kapital. Penggunanya memiliki akses lebih baik terhadap kesempatan ekonomi dan struktur sosial.

Untung saja Erin Gruwell bukan termasuk guru-guru yang menganggap murid-muridnya berpikir dan berbahasa dengan “cacat.” Di era No Child Left Behind ini, label “at risk” yang menggantikan “disadvantaged” sesungguhnya menyampaikan pesan yang sama, bahwa sekolah mengusung misi mulia untuk mengembangkan dan “mendidik” budaya minoritas agar menjadi lebih beradab. Bahwa budaya minoritas orang-orang kulit berwarna itu tak sesempurna dan sebaik budaya “kulit putih” yang berkuasa. Namun Erin Gruwell ingin memahami murid-muridnya dengan memahami potensi mereka. Pendidikan multikultural yang terinspirasi William Labov, konon adalah upaya yang melihat apa yang dimiliki anak, dan bukan apa yang mereka tak punya. Pendidikan seperti ini mendefinisikan ulang konsep kapital sebagai pengetahuan apa saja yang dibawa anak dari lingkungannya. Karena pengetahuan itu bermakna dan memperkaya pelajaran di sekolah.

Mungkin cara termudah menghadapi isu rasial adalah berpura-pura masalah itu tak ada. Kita bisa bersikap buta warna dan memperlakukan setiap orang sama, apapun warna kulitnya. Namun realita tak begitu sederhana. Erin Gruwell mewakili sekelumit guru-guru yang mau membicarakan topik rasial dan kelas secara terbuka. Dia memahami bahwa murid-muridnya bertahan hidup bukan dengan mempelajari the Holocaust, namun dengan menyelamatkan diri dari holocaust-holocaust dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, holocaust seperti ini nyata dan mengintai kapan saja, tak hanya terpajang dalam kesaksian hidup di buku teks tentang sejarah dunia. Ruang kelas hidup oleh dialog-dialog tanpa huruf kapital, ketika semua konsepsi dan teori terbahasakan dengan pengalaman hidup sehari-hari.

Di Indonesia, ruang kelas dan ruang dialog untuk anak steril dari diskusi tentang konsep-konsep berhuruf kecil seperti ini. “Pancasila,” “Nasionalisme,” dan “Toleransi” menjelma jargon yang teralienasi dari realitas sehari-hari.
Menyedihkan. Anak-anak tidak datang dari rumah dengan otak dan tangan kosong. Mereka datang dengan membawa segengam penuh konsep dan teori yang mereka ramu dengan keseharian mereka. Orang dewasa tinggal membuka pintu, memberikan ruang, menerima dan mendengarkan mereka berbicara tentang pancasila, toleransi, nasionalisme; semua jargon yang tak tercatat dengan huruf kapital.[]

 

*) Tulisan ini pernah dimuat di sini, dengan beberapa perubahan yang telah dilakukan oleh penulis. Dimuat di laman ini untuk penyegaran sebaran semata.

Categories
Kolom KOLOM SOFIE DEWAYANI

Membaca Pahlawan

Hakim Hasan bukan hanya seorang penjual buku. Dia menyebut dirinya seorang intelektual jalanan. Yang membedakan dirinya dari penjual buku lain di perempatan jalan 8th Street, Greenwich Street, dan Sixth Street – yang terkenal di New York itu – adalah bahwa dia membaca dan gemar mendiskusikan buku-buku yang dijualnya. Sebagai seorang laki-laki berkulit hitam, tidak berpendidikan tinggi, miskin, tinggal berpindah-pindah, dan pernah menjadi seorang Muslim taat, Hakim bukanlah potret tipikal sosok intelektual di Amerika.
Hakim hanya pernah mengenyam beberapa tahun pendidikan sarjana di Rutgers University, sebelum akhirnya dropout karena menunggak biaya kuliah terlalu banyak. Sempat bergiat di American Muslim Mission ketika dia berkuliah di Rutgers, ia terkesan dengan perintah Iqra’ dalam Al Quran yang menekankan pentingnya membaca. Sembari melamar pekerjaan, dia membaca banyak buku, dan menjadi ketagihan. Saat tawaran pekerjaan datang dari beberapa firma hukum dan perusahaan, dia memutuskan untuk menolak semuanya. Dia tidak mau menukar kebebasan yang didapatnya dari membaca buku dengan menjadi karyawan perusahaan. Dia menolak penjara kemapanan. Membaca buku baginya lebih membebaskan.
Hakim berjualan buku di emperan kota New York karena ingin mengubah kehidupan orang ‘jalanan’ sepertinya (lelaki berkulit hitam, yang digambarkan oleh statistik sebagai populasi yang cenderung mengisi penjara-penjara ketimbang universitas) melalui buku. Maka di balik mejanya yang penuh sesak oleh buku-buku bekas, majalah, dan beberapa buku-buku baru, Hakim menawarkan ulasan buku kepada calon pembeli. Terkadang dia mengisi harinya hanya dengan berdiskusi tentang buku tanpa ada satu pun bukunya yang terbeli. Namun dia tak peduli. Hakim lebih peduli kepada bagaimana menggunakan buku-buku untuk memotivasi orang untuk keluar dari belenggu kemiskinan, dan mempengaruhi cara pandang mereka tentang kehidupan. Diskusi jalanan ini terjadi di pinggiran kebijakan pendidikan berskala masif seperti No Child Left Behind yang diluncurkan untuk menekan tingkat dropout populasi remaja laki-laki berkulit hitam. Meskipun keberhasilannya tak terukur oleh data statistik, Hakim berhasil menyentuh kehidupan banyak orang.
Bukan suatu kebetulan apabila sosok Hakim Hasan, tokoh utama dalam studi etnografik Mitchell Duneier di bukunya yang berjudul Sidewalk, memikat saya di Hari Pahlawan ini. Ada benang merah yang menghubungkan pejuang kemerdekaan dengan pahlawan di era kebangkitan literasi. Pahlawan adalah seseorang yang enggan menukar kemapanan – dalam bentuk gaji bulanan, jabatan, atau mungkin proyek yang didikte anggaran – dengan kebebasan. Kemerdekaan ini mewujud dalam kebebasan untuk menentukan aksi dan kontribusi; apa yang dianggap baik dan paling dibutuhkan oleh bangsa saat ini? Seorang pahlawan adalah ia yang berani menyatakan kontribusi terbaiknya dan berupaya sendiri (maupun bersistem) untuk mewujudkannya. Seorang pahlawan adalah ia yang tak memaksakan diri untuk menjadi inspirasi; ia hanya bekerja untuk hati nurani.
Pahlawan modern ini, antara lain mewujud dalam sosok yang disebut Deborah Brandt (1998) sebagai ‘sponsor literasi;’ yaitu seorang, sekelompok orang, baik terlembaga atau tidak, yang membantu orang lain untuk mencapai kecakapan literasi (gaining literacy). Lebih jauh, sponsor literasi mempromosikan kegiatan membaca, menulis, dan berpikir untuk memberdayakan masyarakat. Dalam penelitian Brandt, sponsor literasi dalam sosok pendeta, pendidik, kerabat, pustakawan, penulis dan pegiat literasi ternyata berperan signifikan dalam kemajuan ekonomi, politik, dan sosiokultural di Amerika Serikat pada era tahun 1990-an. Istilah ‘sponsor’ digunakan Brandt untuk menandai inisiatif dan power. Seorang sponsor adalah mereka yang menyadari potensi intelektual dalam dirinya dan menggunakannya secara sadar untuk mempengaruhi dan mengupayakan kemajuan orang lain. Kapasitas sponsor tidak terkait dengan status sosial ekonomi, bahkan pendidikan formal. Seorang Hakim Hassan, juga ribuan pegiat literasi di Indonesia, berasal dari pengalaman pendidikan formal dan profesi yang beragam. Yang menghubungkan mereka adalah satu hal: kegelisahan untuk segera menciptakan perubahan melalui pendidikan.
Bangsa ini merdeka karena upaya banyak pejuang dan pengabdi masyarakat. Mereka mengusahakan agar kemajuan tak hanya dinikmati oleh anak dan cucu mereka semata, namun juga seluruh bangsa. Bagi kita, upaya ini mungkin suatu pengorbanan. Bagi para pahlawan, bisa jadi itu semua bermakna kerja untuk kemerdekaan jiwa semata. Mari bekerja dengan merdeka.

Selamat Hari Pahlawan! []

Categories
Kolom KOLOM SOFIE DEWAYANI

Literasi Bukan Properti

Ketika Bordieu merumuskan teori kapital budaya (cultural capital) pada tahun 1986, sesungguhnya dia ingin menunjukkan betapa sistem pendidikan itu mereproduksi kesenjangan sosial. Ia menggagas bahwa pengetahuan yang mewujud dalam gaya bicara, gestur seseorang, juga buah pikir dalam bentuk buku, musik, karya seni, serta gelar akademik, cenderung dimiliki dan identik dengan kalangan yang terdidik saja. Seseorang perlu terlibat dalam kegiatan pendidikan secara berkesinambungan (habitus, dalam istilah Bordieu) sehingga memiliki kapital budaya itu dan berperilaku seperti kaum terdidik. Proses konversi kapital budaya itu menjadi keuntungan ekonomis dan sosial (dalam bentuk peningkatan taraf hidup, pendapatan dan status sosial) tentu membutuhkan waktu.

Lima belas tahun setelah Bordieu wafat, ternyata masih ada saja kalangan orang yang menganggap buku – yang menurut Bordieu adalah kapital budaya yang terobjektifikasi – tak ubahnya sebagai seonggok kertas yang menghasilkan nilai ekonomis secara instan. Orang-orang ini menilai potensi ekonomi buku pada materialnya – bukan pada kontennya — sehingga mereka menimbang dan menjualnya demi seperiuk nasi, bahkan menjadikannya suluh (pengganti kayu bakar) untuk memantik api. Kita pun terkadang mendengar kisah bagaimana di ruang publik, buku-buku pun diperlakukan sama seperti jajanan kaki-lima; mereka dianggap mencemari keindahan taman kota dan harus ‘membeli’ perlindungan preman yang tak cuma-cuma.

Kata Catherine Prendergast (2003), kelompok orang seperti ini memang ada. Mereka adalah kelompok masyarakat yang tidak menjadikan buku dan literasi sebagai kapital budaya. Warga keturunan Afrika-Amerika, misalnya, memiliki budaya yang kaya dengan tradisi lisan, dongeng, dan musik. Buku dan literasi adalah properti kalangan berkulit putih. “Properti,” karena dua hal ini menandakan status sosial, gengsi, bahkan kesuksesan ekonomi. Buku adalah “properti” bagi kaum terdidik, karena penghargaan bagi seseorang diletakkan tak hanya pada gelar dan prestasi akademik, namun juga berapa banyak buku telah dibaca, ditulis, atau dikoleksi. Sistem pendidikan melanggengkan kesenjangan ini. Penandanya mudah ditengarai. Karena harga buku mahal, kalangan terdidik terpapar budaya membaca rekreatif melalui buku-buku cerita yang menyenangkan. Di sisi lain, kalangan menengah ke bawah hanya mengakses buku-buku pelajaran yang membosankan.

Di era gerakan literasi ini, kita menyaksikan bagaimana buku masih berpotensi menjadi properti. Banyak perpustakaan sekolah negeri memajang buku-buku dengan bangga; sebagian bahkan masih terbungkus plastik atau tersimpan di lemari kaca. Hal ini sangat dipahami mengingat jumlah buku – yang dibaca, ditulis, dan dikoleksi – menjadi kriteria untuk memenangkan lomba-lomba. Lalu, kita masih sering ragu mendekatkan buku, terutama buku-buku cerita yang cenderung mahal, kepada mereka yang belum berbudaya literat. Ketakutan akan buku kotor, buku rusak, dan buku hilang menjadi paranoia. Ketakutan ini seperti membenarkan mengapa hanya buku-buku yang ‘tidak menarik’ yang dapat diakses oleh anak-anak dari keluarga tak berpunya. Seolah hanya buku-buku seperti itu yang pantas mereka baca.

Namun banyak pegiat buku yang melampaui ketakutan itu. Ibu Elis Ratna Suminar, pegiat Angkot Pustaka di Kabupaten Bandung, mengatakan kepada Andi Noya bahwa dia tak merasa sedih ketika koleksi buku di angkotnya menipis. Pencuri buku-buku itu pasti adalah orang yang menyukai buku-buku tersebut, ujarnya. Demikian juga, Nero Taopik, pendiri Komunitas Ngejah, mengatakan bahwa hilangnya buku-buku adalah proses yang “harus direlakan.” Kehilangan buku, memperbaiki buku yang rusak, adalah harga yang harus dibayar saat membudayakan kegiatan membaca sebagai habitus. Mengutip Nero Taopik, “Hilang atau rusak tak terlalu bermasalah; yang penting ikhtiar kampanye membaca terus digalakkan dan suatu saat benar-benar bisa berhasil.”

Pembudayaan habitus, kata Bordieu, dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan melampaui sekian generasi. Pembudayaan ini memerlukan pegiat literasi yang merawat ketelatenan seperti para orangtua; mereka memberikan buku yang tepat kepada bayi mereka sambil membiarkan sang bayi menggigit, membanting-banting buku layaknya mereka mengeksplorasi sebuah benda. Mereka membacakan buku untuk memberitahu bayi mereka bahwa ada konten yang hidup di sana. Kelak, saat nalar sang bayi berkembang, mereka menghidupkan imajinasinya untuk menjelajahi cerita. Lalu, pemahaman dan sikap kritis terhadap buku terbentuk melalui proses yang dialektik; seorang pembaca menyerap makna sekaligus mengembangkan respons kritis. Proses pembacaan dan penghayatan ini yang kemudian melahirkan pemberdayaan dan membentuk kapital budaya. Proses ini tak mungkin terjadi apabila buku berperan sebagai properti semata.

Kegiatan literasi perlu tumbuh dengan semangat pemberdayaan; menjadikan sebanyak mungkin kalangan masyarakat tumbuh dengan budaya membaca yang menyenangkan. Literasi bukan properti eksklusif kalangan terdidik yang tereproduksi hanya untuk memberdayakan kalangan mereka saja.

Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In Richardson, J.E. (ed.). Handbook of theory and research for the sociology of education. New York: Greenword.

Prendergast, C. (2003). Literacy and racial justice: The politics of learning after Brown v Board of Education. Southern Illinois University Press.