Categories
KOLOM WIEN MULDIAN

Hernowo: Sahabat yang Sebenar-benar Pembelajar

Kaget banget mendapat kabar meninggalnya Mas Hernowo tadi malam (24/05/2018). Kenal pertama kali dengan almarhum sekitaran tahun 1996/1997, saat saya ikut terlibat pada program penerbitan pertama kali Quantum Learning-nya Bobbie de Potter berbahasa Indonesia. Beragam bedah buku, workshop dan macam lainnya kita adakan bersama, termasuk membuat “Super Camp” turunan dari Quantum Learning. Mas Her kemudian menerbitkan karya-karyanya dalam Seri Quantum yang paralel terbit dengan karya-karya Bobbie de Potter berikutnya.

Mas Her teman yang asyik buat bicara beragam hal seputar literasi, dan kebetulan saya juga waktu itu baru pulang belajar di Jepang dan terinspirasi menggalakkan budaya baca di tanah air. Kloplah kami sama-sama bersemangatnya. Secara tidak langsung tanpa kami sadari, kami sudah berbagi tugas dan ranah kerja keliterasian. Mas Her menuliskan beragam materi literasi, saya dan teman-teman mengimplementasikannya di lapangan.

Saya senang Mas Her yang mengelola imprint Kaifa, lini buku Mizan Pustaka banyak menerbitkan buku-buku seputar membaca, menulis dan kecakapan literasi. Waktu itu sejalan banget dengan beragam program yang kami buat di Komunitas PasarBuku Indonesia, Forum Indonesia Membaca dan Yayasan Literasi Indonesia yang saya dirikan.

Tahun 2006, saat saya pertama kali menggagas festival literasi bertajuk World Book Day Indonesia, keaktifan Mas Her terlibat mengembangkan budaya baca-tulis di Indonesia kami apresiasi dalam bentuk Penghargaan dari Komunitas Pembaca. Mas Her adalah tokoh pertama Indonesia yang mendapat penghargaan sebagai penulis yang berhasil membangkitkan semangat membaca masyarakat Indonesia. Saat itu ia menyampaikan pidato literasi yang sangat menggerakkan kita semua.

Sekian perjumpaan dengan Mas Her terus terjadi di banyak tempat, termasuk saya juga terlibat bersamanya memberikan workshop literasi di kampung halamannya di Magelang, Jawa Tengah. Terakhir Mas Her kami ajak ikut berperan pada proses penyusunan Standar Penjenjangan Buku Nasional, tahun 2017 lalu. Beliau sangat antusias dan merasa apa yang sedang kami susun bersama sangat bermanfaat bagi pengembangan budaya baca-tulis di Indonesia.

Mas Hernowo adalah teman belajar yang menginspirasi banyak komunitas dan pegiat literasi di Indonesia dalam mengelola beragam program. Targetnya adalah peningkatan kapasitas orang Indonesia sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Mas Her adalah contoh terbaik orang Indonesia yang pembelajar. Terus belajar tak pernah putus sepanjang hidupnya.
Kita tidak pernah kehilangan Mas Her. Ia selalu ada di dalam setiap bukunya yang menjadi karya dan cipta yang insya Allah terus memotivasi kita untuk menghargai pengetahuan dan memaknai kehidupan.

Mas Hernowo terima kasih ya. Kami akan terus mengikat makna setiap ilmu yang kami hirup dari kehidupan.

Bogor, 25 Mei 2018

~Wien Muldian
pegiat literasi

Categories
KOLOM WIEN MULDIAN

Bangga pada Penulis, Respek pada Karya, Peduli pada Pembaca

Oleh: Wien WM Muldian *)

Dua minggu ini saya bersinggungan dan berinteraksi dengan teman-teman di dunia kepenulisan yang tergabung di perkumpulan SatuPena yang dikomandoi bang Nasir Tamara, seorang tokoh, juga sahabat lama yang hampir 20 tahun lalu bekerja bersama mewujudkan ide media, mencipta dan merealisasikan pasarnya.

Saya merasakan ada impian dan cita-cita yang hendak dibangun bersama mengangkat dunia kepenulisan kita.

Bagaimana pun dunia penerbitan Indonesia punya kekhasan tersendiri dibandingkan negara-negara lain. Dominasi rantai distribusi dan penguasaan konglomerasi tertentu di tingkat hilir terasa dominan. Jadinya pembaca harus banyak berkorban untuk menjangkau karya penulis. Begitu juga penulis yang harus berjuang di segala hal terkait karyanya sampai ke pembaca.

Ketergantungan penulis pada perilaku penerbit yang beragam dari yang major label, indie sampai yang mengatasnamakan organisasi masyarakat masih enggak tertebak.

Profesi penulis masih menjadi sebuah profesi yang besar sekali aspek spekulasinya. Sebagian malah baru menjadikannya sebagai status sosial atau akademik secara individu atau kolektif, belom sampai ke tingkat eksekusi capaian pesan & efek dari karya serta capaian ekonomi yang terukur.

Penerbit pun masih harus survive mengangkat potensi yang ada dengan kondisi lapangan yang belum sehat dan perilaku pembaca yang masih terbatas. Belum lagi bicara ukuran dan kapasitas pemuasan pada karya yang beragam antar generasi.

Iklim yang ada sekarang otomatis dampak nya ya ke kualitas karya yang bisa jadi tanpa capaian baru. Masih muter-muter dan terus melakukan pola yang berulang dari karya-karya yang sudah ada sebelumnya… belum ada kurasi yang fair dan mudah dipahami terkait beragam fenomena karya, subjek, konten apalagi mapping tingkat kebutuhan beragam pembaca di Indonesia.

Hal ini yang sama-sama perlu kita simak, rancang dan benahi. Jangan karya hanya berhenti pada cerita pengalaman hidup, proses kreatif yang memiliki pola seragam, reportase yang miskin akurasi data dan sarat opini, fiksi yang hanya genit dan pamer sensasi, dan macam lainnya.

Potensi individual dan pemahaman lokalitas yang perlu kita angkat bukan hanya dalam proses karya tercipta, tetapi juga setelah karya itu selesai dan dikonsumsi publik. Begitu juga ketika alih wahana dan mengalami proses transliterasi.

Apakah karya bermanfaat dalam peningkatan perilaku positif masyarakat?

Apakah karya menggugah kesadaran dan mencapai kebaruan dalam kualitas pengetahuan individu?

Apakah karya membangun daya imaji yang kemudian menciptakan kreativitas baru?

Dan lain sebagainya sebagai karya cipta yang menjadi bagian proses dan tumbuhnya kompetensi serta keterampilan di setiap perikehidupan masyarakat sipil.

Sesuatu yang mau enggak mau menjadi PR bersama kalau kita bicara kualitas dan capaian karya dari penulis. Bukan sekadar bicara kuantitas karya yang sudah dikonsumsi publik tapi miskin makna.

Penulis sebagai artist yang bukan artis pastinya akan memiliki apresiasi dari beragam argumen setiap kita, terkait capaian proses kreatif masing2. Ini adalah anugerah, bukan pertentangan yang tidak berujung. Respek yang utama.

Lainnya, dengan kesadaran kita bersama, rancangan yang harus berani kita wujudkan adalah berbagi kerja menjadikan penulis-penulis Indonesia mendunia tanpa sekadar berspekulasi dan pertemanan semata. Tetapi memang memiliki karya berkualitas dengan capaian baru yang menggugah setiap pikir dan hati umat manusia dalam membangun kesadaran hidupnya menjadi lebih baik.

Selama dan setelah di pulau Buru, dalam proses kreatif Pramoedya Ananto Toer ada Yusuf Isak dan Hasyim Rahman yang selalu mendampinginya dalam menghasilkan karya-karya yang kemudian mendunia.

Jangan biarkan penulis bekerja sendirian. Mari kita bergotong royong membangun dunia kepenulisan Indonesia, menciptakan karya yang diapresiasi di masyarakat kita dan dihargai di mata Internasional… Aamiin…

Bravo SatuPena…
bergerak bersama
untuk literasi Indonesia
yang lebih baik…

*) pegiat literasi di Perkumpulan Literasi Indonesia

👌🏻
#respekpadakarya
#respekpadapencipta

**) Foto dari Facebook penulis

Categories
Kolom KOLOM WIEN MULDIAN

Membangun Indonesia dengan Perpustakaan Keluarga

“Saya sangat heran dan terinspirasi bagaimana di Indonesia, sebuah perpustakaan keluarga yang dibangun bisa dimanfaatkan koleksinya oleh masyarakat di sekitar keluarga itu tinggal. Dan lalu, berkembang menjadi perpustakaan komunitas atau taman bacaan masyarakat,” ungkap Stian Haklev, mahasiswa International Development Studies, University of Toronto, dalam surat elektroniknya kepada saya.

Ia melihat fenomena ini berbeda dengan negara-negara lain yang pernah ia kunjungi, karena “perpustakaan” didirikan oleh negara untuk melayani kebutuhan informasi rakyatnya. Haklev pernah meneliti perkembangan perpustakaan dan literasi di Indonesia. Sebelum jauh sampai ke fenomena perpustakaan komunitas yang sedang “mewabah” di Indonesia, mari kita kenali dulu apa yang dimaksud dengan perpustakaan keluarga serta aktivitas di dalamnya.

 

Kebiasaan Membaca

Membaca pada dasarnya perlu dipupuk di setiap rumah atau keluarga Indonesia, karena keluarga berperan penting mewujudkan budaya baca. Bila memungkinkan membaca sudah bisa dijadikan aktivitas harian sekeluarga, seperti halnya menonton televisi, makan bersama, dan beribadah bersama.

Untuk menciptakan suasana seperti itu adalah penting menyediakan kebutuhan bahan bacaan yang mengandung ilmu pengetahuan maupun rekreasi sekeluarga di rumah. Manfaat lainnya, membaca juga bisa menanamkan sikap saling membantu seluruh anggota keluarga dalam proses pembelajaran pengetahuan di rumah.

Lazimnya setiap orang mempunyai bahan bacaan yang dibeli dan disimpan sendiri. Koleksi ini bisa dikumpulkan dan disusun di suatu tempat di dalam rumah. Pada tahap awal mungkin baru dalam berbentuk rak-rak buku yang kemudian bisa berkembang menjadi sebuah perpustakaan keluarga dengan fasilitas semakin lengkap dan nyaman. Perpustakaan keluarga bisa dibuat sesuai kondisi dan kebutuhan setiap keluarga.

Sebuah keluarga yang telah menjadikan perpustakaan sebagai jantung sebuah rumah, bisa dikatakan telah mengerti fungsi dan manfaat keberadaan tempat pengetahuan tersebut. Kemudian pada tingkat lanjut, mereka menjadi paham bahwa buku dan pengetahuan bisa memengaruhi hidup mereka agar menjadi semakin baik.

 

Penataan Ruang

Desain dan penataan perpustakaan keluarga bisa disesuaikan dengan kebutuhan penghuni rumah. Misalnya, ada yang menginginkan perpustakaan juga menjadi ruang baca atau sekadar tempat mengisi waktu luang dan rileks semata. Ada juga mendesain perpustakaan dengan serius, misalnya dibuat khusus dengan dinding kaca berbatasan langsung dengan taman atau kolam agar bisa menikmati keasrian rumah sambil membaca buku. Ada yang menatanya sekaligus menjadi ruang kerja juga menyimpan berbagai dokumen dan surat-surat.

Perpustakaan keluarga sebagai tempat rekreasi pengetahuan sangat mungkin dikembangkan dengan menyediakan koleksi audio-visual. Dia menyediakan televisi, multimedia player, komputer beserta koleksi film fiksi bermutu, film dokumenter, dan pengetahuan. Playstation dan alat permainan interaktif berbasis komputer dan teknologi lainnya tentu tidak dianjurkan ditempatkan di dalam perpustakaan keluarga.

Penempatan televisi dan multimediaplayer pun sebenarnya riskan digabung di dalam perpustakaan keluarga. Bila kesadaran atas pembelajaran sudah mendominasi keluarga, tidak menjadi masalah. Tapi, kalau belum, cukup koleksi audio-visualnya yang ditempatkan di perpustakaan. Hal yang paling penting adalah kenyamanan dan fungsi perpustakaan di tengah keluarga.

Ruang perpustakaan juga harus memiliki sirkulasi udara dan tata cahaya yang baik. Bila memang diperlukan, keberadaan penyejuk ruangan (AC) dimungkinkan. Begitu juga suasana ruangan yang idealnya jauh dari ruang-ruang menimbulkan suara bising, seperti dapur dan garasi. Hindari koleksi yang ada di rak terkena langsung sinar matahari karena bisa merusak bahan pustaka yang dikoleksi.

 

Pengembangan Koleksi

Koleksi bahan bacaan di dalam sebuah perpustakaan keluarga masih lemah dalam pemilihan subjek dan jenisnya. Biasanya koleksi itu monoton pada tema-tema tertentu, yang kadang mengikuti minat berlebihan seseorang di dalam keluarga.

Koleksi paling umum di dalam sebuah perpustakaan adalah menyediakan berbagai referensi, seperti ensiklopedia, kamus, buku manual, direktori, dan berbagai panduan lainnya. Termasuk di dalamnya buku-buku how to yang bisa membantu setiap anggota keluaga untuk masalah keseharian, misalnya panduan P3K, perawatan peralatan rumah tangga, dan perbaikan instalasi listrik.

Koleksi berikutnya adalah buku-buku fiksi yang biasanya tergantung pada minat masing-masing anggota keluarga pada novel, karya sastra, komik, dan buku fiksi lainnya. Kemudian masuk ke buku-buku pengetahuan, baik itu populer maupun akademisi/ilmiah. Buku-buku pengetahuan ini biasanya lebih banyak ke subjek-subjek yang sesuai dengan jenis dan tingkat pendidikan anggota keluarga.

Buku-buku pelajaran dan pengetahuan bisa jadi akan mendominasi rak-rak buku bila keluarga memiliki kecenderungan gandrung akan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Bila sebuah keluarga lebih menjadikan buku sebagai sarana penghibur, maka buku-buku fiksi akan lebih melimpah. Bila keluarga mendukung keberadaan koleksi audio-visual, maka DVD, VCD, dan kaset berisi kisah-kisah fiksi dan pengetahuan akan menjadi koleksi perpustakaan keluarga.

Dalam pemilihan koleksi, terutama untuk anak-anak, idealnya ada tingkatan bacaan disesuaikan dengan umur anak. Karena di Indonesia belum tersedia, maka bisa dimulai dari bacaan ringan yang disukai anak dulu dan terus meningkat sampai ke hal diinginkan orang tua. Di negara-negara maju, buku bacaan anak sudah memiliki peringkat standar berdasarkan umur dan tingkat kebutuhan atas bacaan.

 

Pengadaan Bacaan

Berkembangnya sebuah perpustakaan keluarga sangat terkait dengan sejauh mana keseriusan setiap anggota keluarga mengadakan koleksinya. Bila membeli buku sudah menjadi kegiatan rutin di dalam keluarga, maka bertambahnya koleksi akan terus berlangsung setiap waktu. Biasanya ada keluarga yang pergi bersama ke toko buku setiap bulan, tetapi ada juga dilakukan oleh masing-masing anggota keluarga. Dalam kondisi seperti ini setiap keluarga sudah mengalokasikan dana khusus.

Pengadaan buku yang lebih banyak biasa terjadi bila ada anggota keluarga melakukan perjalanan keluar negeri. Kadang mereka memborong buku-buku yang sulit didapat di Indonesia. Biasanya ada dana khusus memang disiapkan dan bisa dipastikan ada anggota keluarga lain juga menitipkan sejumlah judul untuk dibeli.

Bila di dalam koleksi perpustakaan keluarga dikembangkan secara khusus subjek tertentu mengikuti penokohan keilmuan dari salah satu anggota keluarga, maka bahan pustaka yang ada akan berkembang menjadi tema-tema tertentu. Pendokumentasian ini akan berkembang menjadi koleksi khusus. Beberapa contoh adalah koleksi Nurcholis Madjid, Sarlito Wirawan, atau HB Jassin yang dikembangkan pada subjek tertentu.

 

Penyusunan Pustaka

Semakin banyak koleksi perpustakaan, maka perlu ada pengelompokan dan penyusunan di rak. Pada awal biasanya dikelompokkan berdasarkan ukuran buku dan bukan berdasarkan klasifikasi kelompok pengetahuan.

Walaupun perpustakaan pribadi bukan perpustakaan umum, sudah saatnya kita menata buku berdasarkan klasifikasi. Klasifikasi yang umum digunakan adalah Dewey Decimal Classification (DDC) atau Universal Decimal Classification (UDC). Dalam sistem klasifikasi DDC, kita membagi bahan pustaka dalam kelompok karya umum (berkode 000), karya filsafat (100), agama (200), ilmu-ilmu sosial (300), bahasa (400), ilmu-ilmu murni (500), teknologi/ilmu terapan (600), kesenian (700), kesusastraan (800), serta geografi, biografi dan sejarah (900). Untuk koleksi buku fiksi dan anak bisa dikelompokkan sendiri. Teknik mengklasifikasinya bisa dicari di berbagai bahan yang tersedia di internet.

Ilmu tentang klasifikasi pengetahuan ini idealnya sudah dikembangkan di tengah-tengah keluarga. Hal ini akan bermanfaat ketika ada yang memanfaatkan berbagai perpustakaan umum, baik di Indonesia maupun di negara lain. Secara umum klasifikasi buku di rak-rak perpustakaan seragam. Di banyak negara, proses pembelajaran penggunaan perpustakaan dan ilmu klasifikasi pengetahuan telah diajarkan sejak anak-anak.

Inventarisasi dan pencatatan koleksi idealnya sejak awal telah dikembangkannya di sebuah perpustakaan keluarga. Dengan terdokumentasinya setiap buku yang masuk koleksi, maka akan memudahkan setiap anggota keluarga mengetahui buku-buku sudah ada di rak perpustakaan. Pencatatan ini bisa mencegah terbelinya buku yang sama dan mengetahui buku sedang dipinjam oleh kerabat dan teman.

Biasanya perpustakaan mengenal buku induk. Buku induk ini bisa mencatat apa saja terkait dengan koleksi berdasar kebutuhan. Di dunia perpustakaan Indonesia tersedia perangkat lunak perpustakan gratis yang menggabungkan buku induk dan klasifikasi koleksi. Di antaranya, perangkat lunak Senayan Library and Information Management System (SLIMS) yang bisa diunduh melalui internet.

Dengan perangkat lunak ini, perpustakaan keluarga bisa dengan mudah mencatat, mengklasifikasi, dan mengatur penempatan buku di rak. Bahkan ia juga bisa mendata keanggotaan, kalau memang diperlukan, ketika perpustakaan dikembangkan melayani kerabat, teman, dan tetangga.

 

Aktivitas Perpustakaan

Perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat berkumpulnya keluarga, selain meja makan dan ruang ibadah. Aktivitasnya bisa dikembangkan bermacam-macam, seperti membacakan buku cerita rutin di tengah-tengah keluarga, semacam read aload, mendiskusikan buku dengan tema tertentu secara berkala, mempresentasikan bacaan yang berkesan dari seorang anggota keluarga, mengulas tema-tema hangat di media massa, atau kegiatan paling sederhana seperti bermain scrabble, monopoli, dan teka-teki silang.

Aktivitas lebih lanjut yang menggairahkan adalah ketika sudah meningkat ke tahap proyek menulis yang sedang dilakukan salah satu anggota keluarga. Penulisan adalah tingkat lanjut dari aktivitas membaca ketika individu menuangkan gagasannya dan dikembangkan menjadi buku, baik itu fiksi maupun nonfiksi.

Anggota keluarga yang lain bisa mengambil peran mengkritik gagasan-gagasan sang penulis atau membandingkan dengan buku-buku lain. Alangkah indahnya bila budaya membaca telah menyatu dengan budaya menulis di tengah-tengah keluarga.

Di luar itu, seperti pernyataan Haklev di awal tulisan ini, bila sebuah perpustakaan keluarga berkembang menjadi pusat pendokumentasian pengetahuan, maka akan bisa beralih fungsi menjadi perpustakaan komunitas dan taman bacaan masyarakat—ketika negara tidak bisa mengakomodasi kebutuhan pengetahuan masyarakatnya.[]