Categories
Artikel Opini

Peran TBM dalam Literasi Transformatif

Oleh. Heri Maja Kelana

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang tersebar dari Aceh hingga Papua sangat banyak, yang terdaftar hinga tulisan ini dunggah sudah mencapai 3215 TBM. Belum yang tidak mendaftarkan diri ke Forum TBM. Hal ini menjadi modal penting dalam meningkatkan literasi di Indonesia, karena TBM berada di akar rumput, di mana dekat sekali dengan masyarakat.

TBM juga menjadi salah satu tempat yang dapat menyebarluaskan informasi juga sebagai tempat belajar serta praktik-praktik literasi di masyarakat. Sehingga dengan adanya TBM, masyarakat dapat terpenuhi nutrisi-nutrisi pemahaman terkait dirinya sendiri maupun pada konteks yang lebih luas, seperti dunia sekarang yang semakin kompleks.

Dalam dunia yang semakin kompleks, ketegangan akibat perbedaan budaya, etnis, agama, hingga latar belakang sosial terus bermunculan, menuntut upaya untuk membangun jembatan yang dapat menghubungkan berbagai kelompok masyarakat. Salah satu pendekatan yang dapat menjawab tantangan ini adalah literasi transformatif, sebuah konsep yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga untuk membentuk individu yang mampu berpikir kritis, empati, serta siap berdialog. Literasi transformatif menjadi alat yang esensial dalam menciptakan saling pengertian, membangun keselarasan sosial, dan mendorong perdamaian yang berkelanjutan.

Saling Pengertian Melalui Literasi Transformatif

Salah satu aspek penting dari literasi transformatif adalah kemampuannya untuk meningkatkan saling pengertian. Literasi transformatif tidak hanya memfokuskan pada penyerapan informasi, tetapi juga mengajak individu untuk melihat berbagai sudut pandang dengan lebih kritis. Dengan menanamkan kesadaran kritis, individu diharapkan mampu memahami konteks sosial, politik, dan budaya yang melatarbelakangi berbagai fenomena. Misalnya, melalui pembacaan teks-teks dari budaya atau perspektif yang berbeda, seseorang dapat belajar untuk memahami pandangan dunia orang lain, menghindari prasangka, dan mengembangkan sikap lebih terbuka terhadap keragaman.

Lebih dari sekadar memahami perspektif, literasi transformatif juga memainkan peran penting dalam membangun empati. Dengan membaca dan terlibat dalam cerita-cerita dari berbagai kelompok masyarakat, individu dapat memahami lebih dalam pengalaman hidup orang lain, merasakan emosi yang dirasakan oleh kelompok-kelompok tersebut, dan akhirnya dapat lebih memahami masalah dan tantangan yang mereka hadapi. Dengan demikian, literasi transformatif menciptakan ruang untuk saling memahami, yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik berbasis perbedaan.

Keselarasan Sosial sebagai Dampak dari Literasi Transformatif

Selain meningkatkan saling pengertian, literasi transformatif juga memiliki kekuatan untuk membangun keselarasan sosial. Keselarasan sosial terbentuk ketika masyarakat memiliki rasa saling percaya dan kesatuan, serta mengurangi fragmentasi yang sering kali disebabkan oleh prasangka. Literasi transformatif mendorong individu untuk mendekonstruksi prasangka yang sering kali muncul akibat kurangnya pemahaman atau informasi yang salah. Dengan memperkenalkan narasi yang lebih inklusif, literasi ini memungkinkan masyarakat untuk melihat kesamaan di tengah keragaman.

Lebih jauh lagi, literasi transformatif membuka ruang bagi dialog yang bermakna. Dialog ini tidak berfokus pada perdebatan untuk memenangkan argumen, melainkan untuk saling mendengarkan dan memahami sudut pandang masing-masing. Dalam dialog seperti ini, orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat terlibat dalam percakapan yang konstruktif, berbagi pengalaman, dan mencari solusi bersama untuk masalah yang dihadapi. Keselarasan sosial yang dihasilkan dari dialog semacam ini bukan hanya bersifat sementara, tetapi dapat mengakar kuat dalam masyarakat yang menghargai perbedaan dan mengutamakan kesamaan.

Perdamaian Berkelanjutan Melalui Literasi Transformatif

Literasi transformatif juga berperan signifikan dalam mendorong perdamaian. Salah satu kunci untuk menciptakan perdamaian adalah kemampuan untuk menyelesaikan konflik melalui cara-cara yang damai. Literasi transformatif mengajarkan keterampilan komunikasi, mediasi, dan penyelesaian konflik yang berbasis dialog. Dalam konteks ini, individu yang terlibat diajak untuk memahami akar penyebab konflik, tidak sekadar melihat permukaannya. Proses ini memungkinkan mereka untuk mencari solusi yang adil dan saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.

Selain itu, literasi transformatif juga mendukung prinsip keadilan sosial dan inklusivitas, yang merupakan fondasi bagi terciptanya perdamaian jangka panjang. Dengan memahami ketidakadilan yang ada di masyarakat, literasi ini mendorong individu untuk aktif mengupayakan perubahan sosial yang lebih adil. Perdamaian yang dihasilkan bukanlah perdamaian semu yang hanya menutupi ketegangan di permukaan, tetapi perdamaian yang didasarkan pada rasa keadilan dan penghargaan terhadap hak-hak semua kelompok masyarakat.

Literasi transformatif menawarkan pendekatan yang holistik untuk mengatasi berbagai tantangan sosial yang ada di masyarakat. Dengan meningkatkan saling pengertian, memperkuat keselarasan sosial, dan menciptakan perdamaian melalui dialog dan keadilan, literasi ini tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Dalam dunia yang semakin kompleks, literasi transformatif menjadi salah satu kunci untuk membangun masyarakat yang damai dan berkeadilan.

Secara tidak langsung, literasi transformatif telah dilakukan oleh TBM. Sebagai contoh, di Sulawesi Tengah, ada TBM Kandepe Topelinja, di mana salah satu praktik literasi yang dilakukannya adalah mendampingi masyarakat yang masih trauma dalam tragedi Poso, meskipun sudah lama, namun rasa trauma tersebut masih ada. Kandepe Topelinja mendampingi masyarakat yang masih trauma.

Di Kalimantan Barat, di mana kita tahu bahwa ada tiga etnis besar, Thionghoa, Dayak, dan Melayu, yang hidup berbarengan dengan  keselarasan sosial yang sangat tinggi. TBM Fitrah Berkah Insani, mentransformasikan Tari Tidayu (tarian tiga etnis) dalam kontaks kekinian. Supaya generasi muda terus melestarikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Praktik-praktik literasi transformatif ini juga banyak dilakukan oleh TBM yang lainnya.

Pada dasarnya, TBM sudah memiliki peran yang sangat signifikan dalam masyarakat. Hal ini perlu dan harus disambut baik oleh berbagai kalangan dari mulai pemerintah hingga pihak swasta dalam mendukung gerakan-gerakan TBM. Supaya gerakan-gerakan yang sudah baik ini memiliki dukungan yang banyak dari berbagai kalangan.

Selamat Hari Literasi Internasional 2024. Salam.

 

Sumber: https://www.unesco.org/en/days/literacy

Categories
Artikel Opini

Jalan yang Menantang

Oleh. Heri Maja Kelana

“Sebuah mimpi bisa menjadi titik tertinggi kehidupan”, kalimat tersebut terdapat dalam novel yang sangat fenomenal dari seorang penulis hebat asal Nigeria, yaitu Ben Okri yang berjudul The Famished Road. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1991 oleh penerbit Jhonathan Cape di London, Inggris.

Novel The Famished Road ini menjadi bahan perbincangan para ahli pada waktu itu, pasalnya novel ini mengangkat postmodern dan pascakolonial yang terjadi pada realitas masyarakat Nigeria. Novel ini memenangkan Booker Prize pada tahun 1991.

Pada kesempatan kali ini, saya tidak banyak bercerita tentang novel yang ditulis oleh seorang Ben Okri, melainkan akan banyak mengemukakan tentang jalan, mulai dari realitas dan filosofi.

Jalan adalah konsep yang mencakup berbagai pemahaman dan pandangan mengenai jalan, baik secara harfiah maupun metaforis. Filosofi ini dapat mencakup aspek fisik, spiritual, dan simbolis dari jalan dalam kehidupan manusia.

Jalan sering kali digunakan sebagai metafora untuk perjalanan hidup seseorang. Setiap individu menempuh jalannya sendiri dengan berbagai rintangan, persimpangan, dan tujuan.

Dalam banyak tradisi spiritual dan religius, jalan sering kali diartikan sebagai perjalanan menuju pencerahan atau keselamatan.

Filsuf seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus membahas konsep jalan dalam konteks pilihan dan kebebasan individu. Jalan di sini menggambarkan pilihan yang harus dibuat oleh setiap individu dalam kehidupannya yang absurd dan penuh dengan kebebasan.

Kant membahas konsep jalan dalam konteks moralitas. Jalan yang benar adalah mengikuti imperatif kategoris, prinsip moral yang bersifat universal dan harus diikuti tanpa pengecualian. Jalan moral ini adalah panduan untuk bertindak berdasarkan prinsip yang dapat diterima secara universal.

Heidegger berbicara tentang konsep “Weg” (jalan) dalam karyanya Being and Time. Baginya, jalan adalah perjalanan eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan (Sein). Dia menekankan pentingnya “berjalan” atau “menjalani” kehidupan dengan kesadaran penuh tentang keberadaan dan waktu.

Nietzsche menggunakan metafora jalan dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra. Dia berbicara tentang “jalan ke atas” sebagai perjalanan menuju pengembangan diri dan transformasi menjadi “Übermensch” (manusia unggul). Jalan ini penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi penting untuk mencapai potensi penuh sebagai individu.

Masing-masing filsuf memiliki cara unik dalam memahami dan menjelaskan konsep jalan, tetapi secara umum, “jalan” sering kali merujuk pada perjalanan hidup, proses mencapai tujuan, atau cara menjalani hidup yang benar dan bermakna

Banyak karya sastra dan budaya yang menggunakan konsep jalan sebagai simbol perjalanan, perubahan, dan transformasi. Jalan juga bisa dipahami dari sudut pandang urbanisme dan perencanaan kota, di mana jalan menjadi ruang sosial yang menghubungkan orang-orang dan berfungsi sebagai sarana mobilitas dan interaksi sosial.

Gas Terus Semangatmu

JNE, ya JNE ekspedisi pengiriman barang kekinian memiliki moto Menyambung Kebahagiaan dari Generasi ke Generasi begitu sangat terasa di masyarakat Indonesia. Dari mulai anak kecil hingga lansia, pasti tahu JNE.

Saya memiliki pengalaman tersendiri dengan JNE. Setiap bulan saya mengirimkan buku-buku untuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di pelosok-pelosok Indonesia. Tidak sampai empat hari, buku-buku yang dikirim sudah sampai di TBM yang dituju. Saya mengetahuinya dari laporan TBM yang mengirimkan pesan lewat whatsapp ke ponsel.

Suatu ketika, saya mengirimkan paket ke wilayah Indonesia timur, lebih tepatnya ke Provinsi Maluku. Seperti biasa ada pesan pemberitahuan ke ponsel bahwa buku telah sampai. Namun kali ini ada yang berbeda, setelah pemberitahuan lewat whatsapp penerima buku telepon melalui aplikasi whatsapp.

Tidak berpikir panjang, diangkat telepon tersebut dan orang yang telepon tersebut menangis terharu. Bahwa buku-buku yang dikirim telah sampai di TBM dan mengatakan selama membuka TBM baru kali ini ada yang mengirimkan buku dari luar Provinsi Maluku dengan paket JNE.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa TBMnya sangat jauh dari Ambon, kurir JNE sempat kebingungan untuk mencari alamat yang dituju. Kurir pun menanyakan ke kecamatan dan desa, akhirnya menemukan alamat TBM yang dituju.

Mendengar pengakuat tersebut saya jadi terharu. Pertama terharu karena dapat membantu pengadaan buku di TBM untuk kemajuan literasi di Indonesia. Kedua terharu oleh perjuangan kurir JNE yang bersusah payah menemukan alamat tujuan.

Saya membayangkan dalam pikiran kurir tersebut, bahwa yang dikirimnya adalah buku, maka dia harus menemukan alamat, supaya buku ini sampai dan dapat dimanfaatkan oleh penerima. Saya sangat menghargai kerja keras yang dilakukan oleh kurir JNE, mengantarkan paket-paket buku yang saya kirim ke pelosok-pelosok Indonesia.

Dalam komunikasi pun JNE sangat baik, terutama kurir yang mengantarkan paket. Mereka selalu laporan apabila ada TBM yang sudah pindah alamat dan tidak ditemukan. Kemudian saya komunikasi ulang dengan TBM yang dikirim buku untuk meminta alamat yang baru atau no kontak yang dapat dihubungi.

JNE telah menemukan makna dari “jalan”. Bagi JNE, jalan adalah penyambung kebahagiaan dari generasi ke generasi yang kemudian dibuat moto oleh JNE “Menyambung Kebahagian dari Generasi ke Generasi”. Dan untuk kurir JNE, jalan adalah perjalanan eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan (Sein), seperti yang dikatakan pada buku Being and Time karya Martin Heidegger.

Pengalaman-pengalaman kurir JNE terkait jalan saya kira sangat banyak dan beragam. Pengalaman mereka satu sama lain akan sangat berbeda. Hal ini menjadi kekayaan terhadap pengalaman empirik, psikologi, dan sosial dari kurir JNE tersebut. Apabila pengalaman-pengalaman ini dibukukan, ini menjadi portofolio yang sangat bagus untuk JNE.

Kembali pada novel The Famished Road, saya membayangkan bahwa sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh JNE terkait pengiriman paket menembus batas-batas realis. Seperti yang dilakukan oleh Azaro seorang tokoh dalam novel The Famished Road.

Menembus batas realis yang saya maksudkan adalah bagaimana paket tersebut berpindah dari satu moda ke moda yang lain, karena Indonesia adalah sebuah negara kepulauan, tidak menutup kemungkinan bahwa kurir JNE menaiki sepeda motor atau mobil menyebrangi lautan atau sungai setiap hari untuk mengirimkan paket. Ini menjadi suatu trans di luar nalar. Dan menjadi suatu keberhasilan JNE dalam membangun jaringan yang begitu luar biasa. Terutama adalah kepercayaan terhadap pelanggan setia.

JNE tidak lantas berpuas diri dengan capaian yang telah dicapai selama ini dalam mengantarkan paket ke pelosok-pelosok Indonesia. Hingga banyak penghargaan yang diraih olehnya. JNE terus melakukan inovasi dan kreativitas. Dan tentu saja yang terpenting adalah tetap bahagia di jalan.

Kurir menjadi ujung tombak penyalur kebahagiaan dari pengirim ke penerima di seluruh Indonesia. Kurir juga tidak pernah lelah, berada di jalanan yang kadang hujan, panas, berbatu, lumpur, menyebrangi sungai dan lautan. Namun dengan spirit berbagi kebahagiaan, rintangan di jalan dapat teratasi.

Saya memiliki pengalaman empirik dengan kurir dan penerima paket buku yang dikirim oleh JNE ke Indonesia timur. Pengalaman ini tidak akan terlupakan. Bravo JNE. Seperti apa yang dikatakan oleh Friedrich Nietzsche “jalan ke atas” sebagai perjalanan menuju pengembangan diri dan transformasi menjadi “Übermensch” (manusia unggul). Jalan ini penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi penting untuk mencapai potensi penuh sebagai individu. Dan sebuah mimpi bisa menjadi titik tertinggi kehidupan.

Bravo JNE!

Salam.

Categories
Artikel Opini

Mengarungi Samudra Pasifik: Kisah Epik Kon-Tiki dan Thor Heyerdahl

Oleh. Heri Maja Kelana*

Pada tahun 1947, sebuah rakit kayu sederhana, bernama Kon-Tiki, memulai perjalanan epik yang akan mengubah cara kita memandang sejarah maritim dunia. Dipimpin oleh penjelajah dan penulis Norwegia, Thor Heyerdahl, ekspedisi ini berangkat dari pantai Amerika Selatan menuju Kepulauan Polinesia, menantang samudra luas dan angin kencang dengan satu tujuan utama: membuktikan bahwa orang-orang dari Amerika Selatan bisa mencapai Polinesia pada masa pra-Kolumbus.

Mimpi yang Menjadi Nyata

Heyerdahl, seorang antropolog dan peneliti, terinspirasi oleh mitos dan cerita kuno tentang Viracocha, dewa Inca yang juga dikenal sebagai “Kon-Tiki”. Menurut legenda, Kon-Tiki mengarungi lautan besar untuk mencapai tanah baru. Terinspirasi oleh cerita ini, Heyerdahl mengemukakan teori bahwa orang-orang Polinesia mungkin berasal dari Amerika Selatan, bukan dari Asia seperti yang diyakini oleh sebagian besar ilmuwan saat itu. Untuk membuktikan teorinya, Heyerdahl memutuskan untuk melakukan perjalanan berbahaya melintasi Samudra Pasifik menggunakan teknologi dan bahan yang tersedia pada masa kuno.

Persiapan yang Matang

Dengan dana dari pinjaman pribadi dan sumbangan peralatan dari Angkatan Darat Amerika Serikat, Heyerdahl dan tim kecilnya menuju Peru. Di sana, mereka membangun rakit dari kayu balsa, sesuai dengan penggambaran sejarah yang ditemukan dalam catatan penjelajah Spanyol. Dibantu oleh pemerintah Peru, mereka membangun rakit menggunakan bahan-bahan alami dan teknik yang mungkin digunakan oleh orang-orang kuno.

Perjalanan yang Menantang

Pada tanggal 28 April 1947, Heyerdahl dan lima rekannya memulai perjalanan mereka dari Callao, Peru. Tanpa teknologi canggih, mereka hanya mengandalkan arus laut dan angin untuk membawa mereka ke tujuan. Meski menggunakan beberapa peralatan modern seperti radio, jam tangan, peta, sekstan, dan pisau logam, Heyerdahl menegaskan bahwa ini hanya untuk keamanan tambahan, dan inti dari percobaan ini adalah membuktikan bahwa rakit kayu balsa bisa melakukan perjalanan jauh.

Selama 101 hari, mereka mengarungi laut sejauh 6.900 kilometer, menghadapi badai, hiu, dan tantangan alam lainnya. Pada 7 Agustus 1947, rakit Kon-Tiki menabrak terumbu karang di Raroia, Kepulauan Tuamotu, dan mereka berhasil mendarat dengan selamat.

Perhatian Dunia

Kisah perjalanan ini segera menarik perhatian dunia. Buku Heyerdahl, The Kon-Tiki Expedition: By Raft Across the South Seas, diterbitkan dalam bahasa Norwegia pada tahun 1948 dan segera menjadi bestseller internasional. Buku ini diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Inggris dengan judul Kon-Tiki: Across the Pacific in a Raft pada tahun 1950.

Tidak hanya bukunya yang sukses, film dokumenter yang dihasilkan dari penjelajahan ini, berjudul Kon-Tiki, memenangkan Academy Award untuk Film Dokumenter Terbaik pada tahun 1951. Disutradarai oleh Heyerdahl dan disunting oleh Olle Nordemar, film ini memberikan gambaran visual yang mendalam tentang petualangan luar biasa mereka. Pada tahun 2012, sebuah film yang didramatisasi tentang penjelajahan ini juga dinominasikan untuk Academy Award untuk Film Internasional Terbaik.

Warisan Kon-Tiki

Meskipun hipotesis Heyerdahl tentang asal-usul orang Polinesia dari Amerika Selatan umumnya ditolak oleh komunitas ilmiah, perjalanan Kon-Tiki memberikan wawasan baru tentang kemampuan navigasi dan keberanian manusia pada masa kuno. Sebagian besar bukti arkeologi, linguistik, budaya, dan genetika menunjukkan bahwa orang Polinesia berasal dari Taiwan dan Filipina, menggunakan teknologi layar multihull yang canggih. Namun, ada bukti yang menunjukkan adanya kontak genetik antara Amerika Selatan dan Pulau Paskah.

Penjelajahan Kon-Tiki membuktikan bahwa perjalanan melintasi Samudra Pasifik menggunakan rakit kayu balsa adalah mungkin, meskipun tidak umum terjadi. Pada tahun 2020, penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya dampak genetik dan budaya yang lebih luas di Polinesia akibat kontak dengan Amerika Selatan.

Rakit Kon-Tiki asli kini dipajang di Museum Kon-Tiki di Bygdøy, Oslo, Norwegia. Museum ini menjadi saksi bisu dari salah satu penjelajahan paling berani dan inovatif dalam sejarah eksplorasi maritim. Penjelajahan Kon-Tiki tidak hanya membuktikan keberanian dan keuletan manusia, tetapi juga membuka wawasan baru tentang kemungkinan kontak antar benua pada masa pra-Kolumbus.

Kisah Kon-Tiki tetap hidup sebagai simbol keberanian manusia untuk menjelajahi yang tidak diketahui dan menantang batasan-batasan yang ada. Thor Heyerdahl dan timnya telah meninggalkan warisan yang akan terus menginspirasi penjelajah dan ilmuwan di masa depan.

 

Sumber:

Heyerdahl, Thor; Lyon, F.H. (translator) (1950). Kon-Tiki: Across the Pacific by Raft. Rand McNally & Company, Chicago, Ill.

Hesselberg, Erik (1950). Kon-Tiki and I : illustrations with text, begun on the Pacific on board the raft “Kon-Tiki” and completed at “Solbakken” in Borre. Allen & Unwin

Andersson, Axel (2010) A Hero for the Atomic Age: Thor Heyerdahl and the Kon-Tiki Expedition (Peter Lang)

Heyerdahl, Thor (1973). Kon-Tiki. Simon & Schuster Paperbacks, New York. 

*Ketua Bidang Infokom dan Litbang Forum TBM

Categories
Artikel Opini

FITRAH

Sugiman, S.Pd., M.Pd.*

Pada mula kehadiran manusia semuanya suci, bukan hanya pada para Nabi, sahabat Nabi, Ulama dll, tetapi kita semua adalah mahluk yang suci. Namun berselang waktu kehadiran manusia di muka bumi ini, sudah mulai merasa bahwa dirinya diciptakan dengan penuh kesalahan yang berlimpah dosa atas sikapnya tertutu oleh cahaya terang dalam dirinya.

Manusia itu mahluk yang paling sempurnah di antara ciptaan Allah yang lainnya, suci dari segala noda di saat ia dilahirkan semuala, meski tak mampu berbuat apa-apa selain menangis.Tidak mampu berbuat apa-apa bukan berarti manusia dilahirkan mulanya bodoh dan akan hidup diatas aturan mahluk yang tidak berakal, mengikut dengan aturan bagi para pembuat aturan tidak sesuai dengan landasan sesungguhnya. Dr. Zakir Naik mengatakan setelah diberikan kehendak bebas dan patuh kamu lebih baik diripada malaikat setelah diberikan kehendak bebas dan kamu tidak patuh kamu menjadi seperti setan.

Kesucian manusia itu ada pada hatinya yang sudah berkomitmen akan sebuah bentuk keikhlasan kepada sang pemilik segala-galanya, dari segala apapun yang dilakukan baik itu perintah tubuh maupun kewajiban roh akan senantiasa kita melapangkan dada untuk menerimanya.

Segala tindakan pribadi yang bersifat perintah sudah kita jadikan sebagai pusat perjanjian dalam diri dan merupakan jalan menuju nilai fitrah manusia.

Fitrah berarti perasaan yang tulus (Al-Ikhlas). Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Di antara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan aktivitas.

Sifat baik manusia hanya ada pada ketundukan hati terhadap Tuhan-nya yang memiliki kebaikan abadi, bahkan dari segala aktivitas yang diputuskan akal akan dikelola oleh hati sampai ia menemukan puncak ketenangan dalam dirinya, posisi hati selain memilih juga mempertimbangkan.

Kebanyakan manusia berbuat baik karena ingin dikenal oleh para sesama bukan dari kata hatinya, ingin mendapat penilaian yang lebih dari pada yang lainnya, mengambil kesempatan buruk dalam kondisi yang tidak memungkingkan, ingin di kenal baik padahal kenyataan-nya penilaian hanya sampai pada pujian, tidak sampai pada puncak sebuah nilai pujian yang dapat berubah menjadi karakter kepribadian, membangga tanpa menghasilkan kebanggaan. Padahal sesungguhnya orang yang paling baik disaat saling mengenal adalah orang yang saling mengenal karena sikapnya yang tunduk kepada Tuhan dan tidak merugikan sesama manusia yang lain tanpa mengenal dia laki-laki maupun perempaun.

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-banagsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesu-ngguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.(QS. Al-Hujurat: 13).

Kebaikan hakiki manusia tidak lahir dari sikap adanya sebab karena ingin mendapat Keuntungan, sanjungan, penghargaan dari yang lainnya tetapi kebaikan manusia itu dinilai dari yang baik akan kedekatannya kepada Allah Swt. Sikap dasar manusia ada pada kesucian hatinya, segala tindakan yang ia lakukan semata-mata karena Allah. Tidak butuh berapa orang yang mengakui akan kebaikannya, karena Tuhan lebih tahu yang mana keba-ikan sejati dan yang pura-pura.

Sudah banyak orang yang menyala gunakan kata dari “Segala aktivitas manusia harus dengan atas nama Allah.” Tidak lagi takut mereka diluar sana dengan mengucapkan kalimat BASMALAH sebagi awal melakukan kemaksiatan dan kalimat hamdalah sebagai bentuk kesyukuran atas terwujudnya tindakan yang tidak senono.Mereka terlalu mudah memanfaatkan kalimat sucinya Allah dalam sebuah kemunafikan. Mereka lakukan itu karena pengetahuan tentang fitrah dirinya masih sangat terbatas sehingga tidak mampu ia amalkan dalam perjalanan kehidupannya.

Pada mulanya manusia bukan dicipta untuk menikmati kemewahan dunia tanpa izin Allah, bukan pula untuk mengejar iming-iming kebahagiaan ak-hirat dengan janji Surganya Allah, tetapi kehadiran semata-mata untuk bertakwa kepadanya, manusia tidak berbuat akan banyaknya kemewahan yang menjadi pusat perhatian oleh yang lainnya tetapi manusia hanya untuk kembali menghadap sang maha agung dengan cara sewajarnya. Tanpa harus melihat derajat, kualitas yang kita miliki bahkan sikap yang dimiliki sebagai perempuan dan laki-laki tidak memandang buluh untuk selalu bersyukur akan kehadirat Allah Swt, sebagai bentuk ketakwaan kita kepadanya.

Memiliki kesucian manusia bukan pada kulit yang sering di poles bedak racikan sebagai pengombar syahwat bagi manusia yang lainnya, laki-laki menabung rasa sama perempuan, sementara perem-puan sesama perempuan mendatangkan kecem-buruan, begitupun sebaliknya, tetapi kesucian manusia ada pada hatinya yang selalu kita asa dengan zikir, menilai dan berbuat kebaikan dunia untik akhiratnya tanpa menjadikannya sebagai motivasi hidup melainkan kesadaran dalam diri pribadi masing-masing sebagai hamba Allah.

Fitrah dalam diri manusia terletak pada titipan Allah Swt, yakni apa yang dimiliki manusia semenjak ia dilahirkan di muka bumi ini. Manusia memiliki indra yang mesti dipergunakan sebaik-baik mungkin sebagai bentuk kesyukuran atas banyaknya kejadian yang kita alami baik yang besar maupun yang sedang karena itu merupakan bentuk kesadaran manusia Insani. Mata untuk melihat kebaikan, memandang fenomena alam yang silih berganti terkadang baik dan buruk, akan banyaknya ciptaan manusia ingin menandingi ciptaan sang pemilik segalanya, yang terkadang lebih cenderung merusak dari pada memperbaiki.

Telinga untuk mendengar segala kebaikan malah dipakai untuk mendengarkan keburukan orang sebagai bahan cerita dasar dari perpecahan persaudaran, gosip di mana-mana tidak menyadari sikap priabadi seperti apa. Hidung untuk mencium kebaikan malah dipakai untuk mencium keburukan orang lain yang belum tentu asalnya. Lidah yang seharusnya dipakai untuk mengecap malah dipakai untuk berdusta. Kulit yang seharusnya dipakai merasakan akan keindahan alam mala dipakai untuk merasakan ujian kesalahan.

Panca indra bukan sesuatu yang final untuk menentukan langkah seseorang di muka bumi ini karena ada akal dan hati sebagai penyempurnah atas kesucian manusia.Akal dan hatilah yang menyimpuilkan akan segala sesuatu yang baik terjadi pada diri manusia.

Sebaik apapun sesuatu di hadapanmu bila memang tidak masuk akal dan tidak diyakini oleh hati maka akan tetap dinilai salah.

Kepercayaan diri manusia atas akal dan hati akan mempertemukan Allah sang pemilik segalanya, karena kedua inilah yang menjadi pusat pertim-bangan atas segala keputusan.Bukan hanya di akhi-ratnya tetapi juga di bumi yang tercinta ini akan kita rasakan, berbagai macam kenikmatan yang dimilikinya, baik dari ketenangan Lahirnya maupun kenikmatan batinnya. Atas keyakinan yang dimiliki manusia akan menambah semangat, kekuatan pribadi dengan dasar hidup berdampingan dengan Allah Swt.

Kekuatan fitrah yang dimiliki manusia tidak kalah dahsyatnya kenikmatan dunia atas jaminan akal dan hati yang diperoleh setiap saat melakukan usaha, semewah apapun hidup tidak akan mampu terkalahkan oleh kenikmatan fitrah. Fitrah manusia lahir dari keikhlasan hati yang abadi, fitrah adalah ciptaan Tuhan yang wajib kita jaga, karena dia yang akan menjadi pelindung selama hidup kita di dunia. Tidak akan berubah sedikitpun.Anda mungkin sering kali merasakan disetiap memutuskan sesuatu ada bisikan yng bedah dengan keinginan akal. Adapun kesalahan yang sering kita lakukan dalam bertindak pasti sebelumnya ada bisikan yang mengarah pada kebaikan.

Di sinilah letak kehadiran para pemimpin dalam menyikapi setiap problem yang ada, selain memberi peringatan, mengingatkan, juga harus menjadi pelaku utama sebagai contoh dalam mengarungi seperti apa kehidupan ke depan.

*Ketua TBM Motivation Tour Majene, Sulbar

Categories
Artikel Opini

Menuju TBM sabagai Organisasi Literat

Oleh. Aris Munandar*

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) merupakan ruang gerakan literasi yang diinisiasi oleh dan untuk masyarakat. Sebagai entitas literasi, TBM hendaknya tidak hanya fokus pada usaha untuk menjadikan masyarakat menjadi literat. Tetapi, harus diupayakan pula bagaimana TBM, sebagai suatu organisasi, bisa menjadi organisasi yang literat. Maksudnya?

Mari kita mulai dengan membayangkan sebuah tempat di mana setiap sudutnya memancarkan semangat belajar, inovasi, dan perubahan. Sebuah TBM yang tidak hanya dipenuhi dengan deretan buku, tetapi hidup dengan dinamika pengetahuan dan ide-ide segar. Mari kita lanjutkan dengan memikirkan bahwa TBM bisa menjadi lebih dari sekadar tempat meminjam buku. TBM sebagai wujud tersendiri, keberadaannya tidak hanya ditentukan oleh suatu figur seseorang atau sekelompok orang. Ia menjadi pusat pembelajaran yang terus berkembang, adaptif, dan inspiratif.

TBM memiliki potensi besar untuk menjadi organisasi literat yang mampu menyalakan semangat literasi dan inovasi dalam masyarakat. Melalui strategi yang tepat, kolaborasi yang erat, dan inovasi yang berkelanjutan, TBM bisa menjadi motor penggerak perubahan sosial. Ada tiga pendekatan kerangka kerja jika ingin mengembangkan TBM sebagai organisasi literat.

Sebelum membahas ketiga kerangka kerja tersebut, terlebih dahulu kita definisikan apa itu kerangka kerja yang dimaksud. Kerangka kerja di sini kita maksudkan sebagai struktur yang digunakan untuk mengatur pemikiran kita tentang suatu pembahasan tertentu. Ini memberi kita konsep-konsep terkait pembahasan itu dan panduan tentang bagaimana konsep-konsep tersebut saling berhubungan. Dengan kerangka kerja, kita dapat memahami apa yang kita amati, merumuskan ide-ide baru, dan mengelola pembahasan tersebut. Clear? Sekarang saatnya kita bahas kerangka kerjanya satu per satu.

Memerdekakan Pengetahuan

Hampir lima tahun terakhir ini kita akrab dengan jargon Merdeka Belajar. Bagaimana tidak, pemerintah (baca: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) sangat masif menggaungkannya. Tapi kita tidak akan membahas Merdeka Belajar. Hanya mengingatkan, di dalam proses belajar yang merdeka terdapat pengetahuan yang harus dimerdekakan. Kenapa pengetahuan harus dimerdekakan?

Proses memerdekakan pengetahuan merupakan aset tak berwujud (ATB) bagi TBM. Kerangka kerja ATB memandang pengetahuan sebagai kapasitas untuk mengambil tindakan. Menurut K.E. Sveiby (1997) hal tersebut terjadi jika ada pengetahuan tacit dalam diri para pengelola TBM, visi yang berorientasi tindakan, prosedur yang terkodifikasi, serta perubahan yang konstan. Jika disederhanakan: adanya struktur, internal dan eksternal, serta interaksi diantara keduanya. Dimaksud struktur di sini tentu saja bukan merujuk pada struktur suatu bangunan. Lalu apa?

Kompetensi pengelola TBM menjadi kunci pertama untuk mengembangkan TBM sebagai organisasi literat. Kompetensi yang dibutuhkan berupa kapasitas untuk bertindak dalam berbagai situasi untuk menciptakan nilai. Kompetensi tersebut dibentuk oleh lima elemen, yaitu: (1) pengetahuan yang terkodifikasi (explicit); (2) keterampilan; (3) pengalaman; (4) pengambilan keputusan; dan (5) jejaring sosial. Kompetensi ini akan menjadi aset berharga jika TBM memiliki struktur internal yang baik.

Struktur internal TBM berupa sistem administrasi, tata kelola dan pengorganisasian, prosedur relasi antar bagian, termasuk pemanfaatan teknologi. Struktur internal ini yang nantinya akan memberi bentuk bagaimana TBM berinteraksi dengan struktur eksternal, yaitu: masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya. TBM yang memiliki ATB adalah TBM yang bertumbuh dan berdinamika.

Menggerakan Pengetahuan

Sudah dijelaskan jika pengetahuan sebagai ATB itu bukan benda. Jika ingin tetap dimiliki, maka pengetahuan tersebut harus terus digerakan. Bagaimana caranya menggerakan pengetahuan?

Dalam manajemen kita mengenal POAC. Planning, organizing, actuating, dan controlling. Saat menggerakan pengetahuan kita akan berkenalan dengan RARC, agak maksa ya? Kita panjangkan saja: review, act, reflect, dan conceptualize.

Kita pahami TBM tidak berada dalam ruang statis. Lingkungan internal dan eksternal senantiasa berubah. Terhadap perubahan yang terjadi dibutuhkan review atau tinjauan. Tinjuan bisa berupa monitoring dan evaluasi kinerja, atau kebutuhan dalam menghadapi perubahan situasi. Hasil tinjauan bahan untuk act, bertindak. Pada fase ini POAC dilakukan. Keluaran dari act ini untuk melakukan reflect. Merenungkan apa-apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan. Direnungkan hingga bisa terkonseptualisasi, conceptualize. Tergudangkan seperangkat pengetahuan terkodifikasi sebagai referensi bagi TBM. Terpetakan apa saja yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman TBM. Menggunakan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) akan dapat diformulasikan strategi pengembangan, berupa: (1) SO (Strengths-Opportunities), menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang; (2) WO (Weaknesses-Opportunities), mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang; (3) ST (Strengths-Threats), menggunakan kekuatan untuk mengurangi dampak ancaman; dan (4) WT (Weaknesses-Threats), membuat rencana untuk mengatasi kelemahan dan ancaman secara bersamaan.

Biarkan Pengetahuan Mengalir

Inti dari organisasi literat, dalam konteks ini TBM, menjaga pengetahuan tetap merdeka. Dengan merdeka, maka akan selalu tercipta pengetahuan baru. Baik pengetahuan yang terpersonifikasi (dari explicit ke tacit), tersosialisasi (dari tacit ke tacit), terkodifikasi (dari tacit ke explicit), maupun terkombinasi (dari explicit ke explicit).

Pengetahuan yang merdeka adalah pengetahuan yang terus tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, TBM akan selalu relevan dan kontekstual. TBM hadir sebagai jawaban atas pertanyaan dan tantangan yang diberikan zaman kepada masyarakatnya.

Mungkin saat ini kita baru bisa mengimajinasikan TBM sebagai organisasi literat. Tapi bukankah literasi itu tentang imajinasi? Dan literat adalah mereka yang mewujudkannya.

Aris Munandar, Ketua Bidang Program dan Kemitraan Pengurus Pusat Forum TBM dan founder Rumah Matahari Pagi.

Categories
Artikel Kabar TBM Opini

Membaca Buku Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi karya H.B Jassin

Oleh. Awir*

Melihat Jassin

Sekilas melihat buku Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi karya H.B Jassin dengan sampul berwarna Hijau dan kuning itu, saya menduga isinya secara keseluruhan adalah sudut pandang Jassin tentang Qur’an. Ternyata saya keliru. Buku terbitan Grafiti atau Pustaka Utama Grafiti, 1995 itu berisi komentar, tanggapan orang-orang penting yang bereaksi terhadap karya Jassin. Buku dengan jumlah halaman 290 itu disusun oleh H.B Jassin, barangkali dalam rangka pendokumentasian. Buku ini berisi sejumlah catatan Artikel surat kabar harian umum/ Majalah yang mengikuti dialektika proses penyusunan Al-Quran Berwajah Puisi.

Sebelumnya H.B Jassin yang ditulis lengkap Dr. (HC) Hans Bague Jassin, S.S., M.A., Ph.D sudah menyusun Al-qur’an Bacaan Mulia yang proses cetaknya sudah naik empat kali. “ide penyusunan Al-Quran Berwajah Puisi ini timbul ketika saya memeriksa kembali Al-qur’an Bacaan Mulia cetakan ketiga untuk merevisi cetakan keempat” Kata Jassin dalam pengantar buku itu.

Terus terang saya penasaran dengan cetakan Al-qur’an Bacaan Mulia. Barangkali dulu, tahun 2000 saya pernah memegangnya di TPQ. Sudah lupa. Dan saya lebih penasaran melihat bentuk cetakan Al-Quran Berwajah Puisi (ABP). Meski dalam buku itu beberapa bentuk cetakan ditampilkan sebagai lampiran.

Tidak hanya berisi opini yang dimuat dalam surat kabar harian umum/majalah , buku ini juga mengkliping beberapa surat baik yang ditulis-kirimkan oleh H.B Jassin kepada orang-orang yang dia anggap penting serta balasan surat-suratnya, bahkan diakhir buku ini ada surat serta lampiran dokumen dari Mahasiswa yang hendak menjadikan karya H.B Jassin sebagai bahan penelitian, cukup menarik.

Saya kenal H.B Jassin sejak duduk di bangku kuliah 2013 silam. Meski terlambat mengenal pak H.B.Jassin, saya bersyukur karena tahu bahwa ada orang seperti Jassin yang tabah dan sabar bekerja untuk sastra, dokumentasi sastra. Kritikus cum paus sastra itu, kata Saut Situmorang dalam rekaman pidatonya di Forum Polemik Kanonisasi Sastra Indonesia Maret 2010 yang digelar di gedung bekas pengadilan kolonial Jl. Perintis kemerdekaan 5 Bandung menyoal Majalah Sastra Horison yang menjadi kanon atau bahkan tokoh Jassin sendiri sebagai kritikus menurutnya karya sastra yang dimuat oleh Horison itu setara dengan memenangkan hadiah nobel sastra. Dia juga mempertegas, Jassin bukan hanya paus sastra tapi Jassin adalah sastra Indonesia itu sendiri. Angker.

H.B Jassin tidak hanya terkenal dikalangan Sastrawan Manikebu, tapi juga terhadap Lekra sangat dibenci. Hal itu terjadi di tahun 1962 ketika konflik di kalangan seniman yang puncaknya gerakan seniman terbagi pada Lembaga Kebudayaan Rakyat dan Manifestasi Kebudayaan. Menurut Jassin dalam pledoinya bahwa “penyempitan daerah pengalaman (seorang sastrawan) seperti hasil-hasil kesusastraan yang berdasarkan pada slogan-slogan politik dan ideologi semata mata, …penyempitan seperti itu mau tak mau akan kering dan kerdil seperti yang kita lihat dimasa Jepang” hal.133- Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi karya H.B Jassin.

Pramudya Ananta Toer, Sastrawan Lekra itu mengakui posisi H.B Jassin dalam dunia sastra dan kesusastraan, Menurutnya apa yang di katakan atau ditulis oleh H.B Jassin akan didengar dan diikuti oleh orang seluruh Indonesia. Posisinya sangat penting. Pram mengatakan itu langsung kepada H.B Jassin saat bertamu ke kediamannya. “bung ini seperti Octopus, gurita besar yang mempunyai ratusan tangan, apa yang bung tulis dan katakan, didengar dan diikuti orang diseluruh Indonesia ini” hal,135.

Hebat, tapi apa yang dikerjakan H.B Jassin sepadan dengan apa yang diterima dirinya. Dia Kritikus Sastra. Bekerja untuk sastra. Tidak ada permusuhan antara H.B Jassin dengan seluruh seniman, sastrawan Lekra bahkan karya karya Pram yang dituduh dan disita oleh negara justru dibela H.B Jassin.

Dibalik kehadiran karya ABP

Meski H.B Jassin seorang paus sastra dia tidak takabbur. Proyek besar ABP ini dikerjakan bersama seorang Kaligrafer kelas kaliber. H.B Jassin serius dalam proyek ini, itu terlihat saat dia memilih kawan dalam menyelesaikan karyanya. Dari sini saya paham Jassin tidak takabbur. Saat semua orang mencemooh dan meragukan Jassin dalam penyusunan ABP karena Jassin bukan seorang santri, tidak menguasai disiplin ilmu bahasa arab dan disiplin ilmu sejenisnya, juga karena Jassin terobsesi dari karya sebelumnya dan dorongan kuat dari perjalanan spritualitasnya pasca istrinya berpulang ke Rahmatullah.

Santri

Ketika membaca buku ini, saya seperti orang awam yang penasaran dengan karya ABP. Tapi komentar orang orang yang dimuat dalam artikel/majalah dan surat surat yang dilayangkan, juga saya penasaran siapa D. Sirojuddin.

Saya tidak tahu persis hal ihwal yang menjadi dasar kenapa Jassin memilih D. Sirojuddin. Disini Jassin mengandalkan seorang santri dalam perihal menulis dan ikut membaca tampilan susunan ABP secara lebih dekat. Dia adalah Didin Sirojuddin A.R seorang pendiri Lembaga Kaligrafi AL-quran (LEMKA) 1985 yang merupakan santri asal Modern Gontor, Ponorogo, Jatim.
D. Sirojudddin adalah kaligrafer yang seniman. Dia menggunakan prinsip W.S Rendra dalam upaya mengembangkan hobi kaligrafinya “bahwa seniman itu diatas angin, karena itu saya lemparkan gagasan saya tentang kaligrafi lewat angin agar menyebar ke seluruh tanah air” katanya pada Hypeabis.id
13 tahun setelah mendirikan LEMKA, dia kemudian membangun pondok pesantren khusus mendalami ilmu kaligrafi dan mendorong lembaga perkumpulan serupa diseluruh tanah air untuk memajukan ilmu kaligrafi. Filososi yang sering dia terapkan “menjadi murid jangan merasa bosan, lalu saat menjadi guru jangan lelah” D. Sirojuddin.

Didin sempat berguru pada KH. M Abdul Razaq Muhili (penulis buku Kaligrafi Buku Profesional) dan HM. Salim Fachry (Kaligrafer lulusan Penulis Alquran Pusaka Indonesia). Dia pernah menjadi Dewan Hakim Seni MTQ Nasional di Padang pada 1983. Juga yang lebih membanggakan pernah menyandang juara 1 peraduan menulis khat se-ASEAN 1987.

1992-1993 Didin memenuhi permintaan HB Jassin dalam proses penyusunan ABP.

Kiai pengasus pondok pesantren LEMKA yang lengkap di tulis Dr. KH. D. Sirojuddin AR, M.Ag sehari hari menulis dan mengajar para santri juga seorang kolumnis aktif di nu.or.id tulisan-tulisanya menyoal kaligrafi dalam segala dialektikanya.

Kejujuran Terhadap Karya

Saya melihat buku ini adalah konfirmasi dan bentuk komunikasi yang paling humanis digambarkan Jassin. Dia mengajak orang berinteraksi dengan proses berkarya dan karya itu sendiri. Berikut daftar komunikasi, afirmasi publik H.B. Jassin kepada mereka yang berkepentingan yang dimuat dalam artikel surat kabar, majalah dan sejumlah surat-surat penting.

Cara Jassin bicara dan tidak hanya sekadar berdialektika pada karyanya, Alqur’an Berwajah Puisi, juga mengerti terhadap manusia yang adalah dunia susastra, mereka yang pro dan kontra terhadap karya dibantah dan dikonfirmasi dengan cara berdialog.

ARTIKEL SURAT KABAR/MAJALAH
1. “Proyek” H.B. Jassin: Al Quran Berbentuk Puisi
2. Alquran Berbentuk Puisi Menjadi Obsesi H.B. Jassin
3. Format Qur’an H.B Jassin Ditolak MUI dan Depag
4. Depag Keberatan Penerbitan Quran Berwajah Puisi
5. Depag Keberatan Penerbitan Al-Quran Berwajah Puisi
6. MUI Minta H.B. Jassin Jelaskan Quran Berwajah Puisi
7. Kasus Bentuk Puitisasi Alquran: H.B. Jassin Akan Jalan Terus Walau Depag dan MUI Melarang
8. D. Sirojuddin A.R., Ahli Kaligrafi Arab: Bentuk Puitisasi Alquran H.B. Jassin tak Menyalahi Kaidah Mushaf Utsmani
9. H.B. Jassin Membaca Al-Quran dengan Pikiran
10. Soal Penulisan “Al Quran Puitis”: H.B. Jassin Siap Diadili Muslim Internasional
11. MUI Kirim Surat pada H.B. Jassin: Jangan Bersikeras Ubah Cara Penulisan Al Quran
12. Ihwal
13. Al Quran dan Wajah Puisi – oleh M. Quraish Shihab
14. H.B. Jassin dan Alquran Berwajah Puisi
15. Kontroversi Alquran Bacaan Mulia dan Alquran Berwajah Puisi oleh Chusnul Huda
16. Perlukah Mewajahpuisikan Al Quran
17. Al-Quran Usman dan Al-Quran H.B. Jassin – oleh D. Sirojuddin A.R.
18. Puitisasi Al Quran H.B. Jassin Dilarang untuk Disebarluaskan
19. Quran Berwajah Puisi
20. Lima, atau Tujuh, Quran
21. Pro-Kontra Alquran Berwajah Puisi H.B. Jassin – oleh Darmawan Sepriyossa
22. Dilarang, Alquran Berwajah Puisi
23. Al Qur’an adalah Kalam Ilahi
24. Salahkah Jassin: Karyanya Alquran Berwajah Puisi? – oleh Prof A. Hasjmy
25. Penggagas Al Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin: “Saya Menangis Tersedu-Sedu”
26. Al-Qur’an Maha Indah
27. Puisi Quran H.B. Jassin Sudah Rampung 28 Juz: Dapat Bantuan ICMI Rp 25 Juta
28. H.B. Jassin: Masuk Penjara pun Saya Rela
29. Al-Qur’an Berwajah Puisi: Dibenarkan tapi tidak Diakui – oleh D. Sirojuddin A.R.
30. Kontroversi di Sekitar H.B. Jassin
31. Alquran Berwajah Puisi H.B. Jassin – oleh J.A. Dungga
SURAT-SURAT
1. Surat Departemen Agama RI kepada Dr. H.B. Jassin
2. Surat H.B. Jassin kepada Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
3. Surat M. Amien Rais kepada H.B. Jassin
4. Surat Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada Dr. H.B. Jassin
5. Surat Departemen Agama kepada Dr. H.B. Jassin
6. Surat Ali Audah kepada H.B. Jassin
7. Surat Harian Singgalang kepada H.B. Jassin
8. Surat H.B. Jassin kepada Prof. A. Hasjmy
9. Surat H. Gazali Dunia kepada H.B. Jassin
10. Surat Motinggo Busye kepada H.B. Jassin
11. Surat A. Baiquni kepada Dr. H.B. Jassin
12. Surat H.B. Jassin kepada Ali Audah
13. Surat H.B. Jassin kepada Sirojuddin
14. Surat Taufik Abdullah kepada Dr. H.B. Jassin
15. Surat Ridwan Saidi kepada H.B. Jassin
16. Surat Damiri Mahmud Saidi kepada H.B. Jassin
17. Surat Sirojuddin kepada H.B. Jassin
18. Surat Nursyahbani Katjasungkana, S.H. kepada H.B. Jassin
19. Surat A. Karim Halim kepada H.B. Jassin
20. Surat Prof. Achadiati Ikram kepada Dr. H.B. Jassin
21. Surat Ali Audah kepada H.B. Jassin
22. Surat Ajip Rosidi kepada Dr. H. H.B. Jassin
23. Surat Mochtar Naim kepada H.B. Jassin
24. Surat Probosutedjo kepada H.B. Jassin
25. Surat Dede Abdullah Achmad kepada H.B. Jassin
26. Surat Prof. Tudjimah kepada H.B. Jassin
27. Surat Baroroh Baried kepada H.B. Jassin
28. Surat Afrizal Malna kepada H.B. Jassin
29. Surat Mbiyo Saleh kepada H.B. Jassin
30. Surat Dr. A. Zainul A. Djaafar kepada Dr. H.B. Jassin
31. Surat A.M. Fatwa kepada H.B. Jassin
32. Surat H.B. Jassin kepada Quraish Shihab
33. Surat H.B. Jassin kepada K.H. Hasan Basri
34. Surat H.B. Jassin kepada Prof. Dr. Tudjimah
35. Surat H. Daniel Madjid, S.E. kepada H.B. Jassin
36. Surat Mansur Samin kepada H.B. Jassin
37. Surat H. Boediardjo kepada H.B. Jassin
38. Surat H. Misbach Yusa Biran kepada H.B. Jassin
39. Surat Prof. A. Hasjmy kepada H.B. Jassin
40. Surat Achdiat kepada H.B. Jassin
41. Surat M. Alwan Tafsiri kepada H.B. Jassin
42. Surat H.B. Jassin kepada Prof. A. Hasjmy
43. Surat Drs. Djabal Noor kepada H.B. Jassin
44. Surat H.B. Jassin kepada Pimpinan Tim Lajnah Pentashih Departemen Agama
45. Surat H.B. Jassin kepada Prof Dr. Ing. B.J. Habibie
46. Surat H.B. Jassin kepada Menteri Agama RI, Dr. Tarmizi Taher
47. Surat H.B. Jassin kepada Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta
48. Surat M. Nawawi Bakri kepada H.B. Jassin
49. Surat Prof. A. Hasjmy kepada Menteri Agama RI
50. Surat Prof. A. Hasjmy kepada Pimpinan MUI Pusat
51. Surat H.S.B. Aminuddin kepada H.B. Jassin
52. Surat Harian Singgalang kepada H.B. Jassin
53. Surat Prof. Dr. J.S. Badudu kepada H.B. Jassin
54. Surat Prof. A. Hasjmy kepada H.B. Jassin
55. Surat H. Abdul Karim Halim kepada H.B. Jassin
56. Surat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. kepada H.B. Jassin
57. Surat Baroroh Baried kepada H.B. Jassin
58. Surat A. Mustofa Bisri kepada H.B. Jassin
59. Surat H. Amura kepada Dr. H.B. Jassin

60. Pengajuan Skripsi M. Hariyadi tentang Al-Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin
61. Surat H.B. Jassin kepada Faisal Biki
62. Surat Azwar Anas kepada H.B. Jassin

Kumpulan artikel dan surat surat itu sangat mengejutkan serta begitu deskriptif. Kita jadi memiliki gambaran seperti apa dialektika yang terjadi pada masa itu.

Saya kira, bahwa kita semua seharusnya bersikap demikian, seperti HB. Jassin dalam menyoal ragam pemikiran yang terus berkembang. Hari hari ini yang kita jumpai di dunia maya dan realita lebih terlihat seperti kumpulan sinisme ketika mengomentari karya dan kerja kerja literasi.

*Pegiat LIterasi dan Pengelola Perpus Rumah Teras Baca