Apakah saya selalu bergembira ketika mengelola TBM?
Suatu hari anak-anak bertanya perihal mengapa saya mendirikan TBM. Saya mengatakan bahwa saya hanya ingin kalian membaca. Namun di belakang mereka, di dalam pikiran saya sendiri saya mengatakan bahwa semua itu saya lakukan untuk membuat saya bahagia. Bahagia dalam definisi saya adalah bergembira dalam melakukan sesuatu, apa pun itu.
Apakah akhirnya saya selalu mendapatkan kegembiraan? Tidak. Emosi seorang manusia selalu naik turun. Ada kalanya saya menjadi sangat bersemangat dan ada kalanya pula saya hampir ingin menyerah.
Saya merasa sangat gembira ketika melihat anak-anak bersemangat membaca buku dan belajar untuk menyelesaikan tugas sekolahnya dari buku-buku koleksi TBM. Saya juga akan riang sekali ketika anak-anak yang selama ini belajar, berlatih menari atau storytelling itu mendapat prestasi yang bagus di sekolah dan diundang untuk tampil di sebuah acara.
Seperti ketika melakukan evaluasi pada setiap anak-anak yang mengikuti kegiatan beberapa bulan belakangan dan mengamati perubahan apa yang tampak dari mereka. Beberapa memang tidak begitu terlihat, biasanya bagi mereka yang tidak rutin datang ke TBM. Namun ada pula yang rutin mengikuti setiap kegiatan dan saya bisa melihat adanya perbedaan pada diri mereka yang sekarang.
Misalnya Nisa (kelas 6 SD) dan Nami (kelas 1 SD), pada saat pertama kali kami mengadakan kegiatan baca puisi, mereka tidak fasih membaca dan masih terkesan malu-malu. Saat ini jika mereka diminta membaca puisi, mereka dapat melakukannya dengan baik. Ada pula Zacky, Viroza dan Jeny yang menemukan tempatnya untuk berlatih tari, membaca dan membuat puisi. Viroza dan Jeny nampak berbakat menulis puisi sedangkan Zacky lebih bagus ketika diminta membaca puisi, dan ia juga paling mahir menari ketimbang yang lain. Lebih dari itu, ia pun bisa membuat gerakan tarinya sendiri. Ia hanya butuh persetujuan kami sebagai mentor untuk memastikan bahwa ia sudah menciptakan gerakan yang tepat atau belum. Adapula Aditya yang saat ini duduk di kelas 3 SD, ia ternyata bisa menulis puisi dan fiksi-fiksinya punya cerita yang sangat menarik—untuk seusianya. Sementara Ulan saya dengar mendapat peringkat empat di sekolahnya pada semester lalu, padahal sebelumnya-sebelumnya ia belum pernah mendapat peringkat setinggi itu.
Dalam suasana yang santai, saya menanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka dapatkan dari belajar di TBM. Secara umum, mereka menjawab bahwa mereka menjadi lebih berani dan percaya diri daripada sebelumnya. Saya mengatakan pada mereka bahwa keberanian dan rasa percaya diri yang mereka tunjukkan kepada saya juga semestinya ditunjukkan kepada semua orang. Mengingat-ingat hal ini membuat saya merasa bahwa apa yang kami lakukan selama ini memiliki manfaat bagi mereka.
Namun, ada pula saatnya saya merasa gamang, misalnya saja ketika saya melakukan demonstrasi lava di hadapan anak-anak sekolah dasar. Demonstrasi itu membutuhkan air, minyak dan Adem Sari serta gelas sebagai perlengkapannya. Seperti demonstrasi-demonstrasi lainnya, tentu ada dana yang dibutuhkan. Setidaknya saya menghabiskan lima ribu rupiah untuk hari itu. Secara teori, saya ingin menunjukkan betapa menariknya sains kepada mereka. Dan secara biaya, bagi saya itu sudah minimum. Saya juga ingin memperlihatkan secara khusus bagaimana cara kerja lampu lava yang sedang tren saat itu, sekaligus memberi cara alternatif yang jauh lebih murah untuk membuat barang yang sama. Pada akhirnya, mereka akan belajar tentang konsep fisika dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tiba-tiba salah satu anak menanggapi kegiatan yang saya selenggarakan tersebut dengan bertanya, “Tidak sayangkah dengan bahannya, Mbak?” Saya, siswa tersebut dan siswa-siswa lainnya sadar betul bahwa setelah kegiatan ini, semua bahan tersebut akan menjadi sampah.
Kali lain saya merasa terganggu ketika pada suatu kali ada anak-anak yang sedang mengerjakan prakarya, memenuhi tugas dari guru sekolah mereka. Di TBM tersedia setidaknya alat dan bahan yang mereka butuhkan dan tempatnya relatif mereka sukai, sebab saya tidak memarahi mereka jika barang-barang berserakan. Selama mengerjakan prakarya tersebut, saya perhatikan mereka sering menggerutu. Bahwa tugasnya tidak jelaslah, bahwa tugasnya tidak pentinglah, bahwa guru terlalu membuat repot siswanyalah dan sebagainya.
Lalu saya bertanya tentang apa yang mereka kerjakan itu. Mereka menjawab itu adalah tugas prakarya sekolah.
“Pentingnya tugas itu apa sih?”
Seolah sudah menunggu untuk ditanya demikian, salah satu dari mereka menjawab, “Entahlah.” Ditambah dengan embel-embel lain di belakangnya.
“Ya, kalau tidak penting, tidak usah dikerjakanlah. Buat apa menghabiskan waktu.” Supaya lebih dramatis, saya menambahkan, “Lebih enakan main kok.”
“Trus nanti kami gak akan dapat nilai donk,” potong mereka.
“Lagipula apa pentingnya nilai sih?” tanya saya.
“Ya, supaya kami pintar terus supaya kami lulus sekolah terus supaya kami…. Ok, ini penting. Kami paham maksudnya apa, Mbak.”
Setelah itu, saya memilih tidak menanggapi apa pun lagi. Yang terpenting, pekerjaan mereka dilanjutkan dengan damai hingga selesai.
Kali lain saya merasa lelah ketika mereka datang ke TBM hanya untuk bermalas-malasan saja. Saya pikir, selama duduk di bangku perkuliahan, kita hanya belajar apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya untuk menuntaskan kebodohan, sementara musuh terbesar yang hendak kita perangi bukanlah kebodohan melainkan ketidakmauan seseorang mengubah dirinya menjadi seseorang yang lebih baik.
Selama menjadi guru, saya selalu menghadapi dua macam pertarungan. Saya mendorong anak-anak hingga ke tepi batas dalam dirinya dan jika mungkin menghancurkan batas tersebut sembari saya sendiri menghadapi keterbatasan yang saya miliki. Dan dengan menjadi pengelola TBM, saya harus terus menyemangati orang lain untuk belajar sambil terus menyemangati diri saya untuk terus menyediakan sarana dan prasarana untuk mereka.
Mengutip Rita Pierson yang mengatakan bahwa setiap anak berhak menjadi pemenang dan orang dewasa yang tidak boleh menyerah pada mereka, maka akhirnya saya, para mentor dan semua yang turut mendukung keberlangsungan TBM ini harus terus melakukan segala cara untuk bertahan dan menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk belajar. Kami hanya tahu, bahwa ini semua adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Meskipun nyatanya tidak selalu berjalan baik, namun ini semua saya awali dari sebuah kegembiraan, berusaha dijalankan dengan kegembiraan dan akan diteruskan dengan kegembiraan pula. Karena itu, biarlah ia mengalir saja.[]