Oleh. Atep Kurnia

Betapa dahsyat perkembangan penggunaan internet di Indonesia! Saya menelusuri situs kominfo.go.id dan menemukan paling tidak dalam rentang antara tahun 2011 hingga 2021, ternyata pengguna internet di Indonesia meningkat sangat pesat.
Dari 245 juta penduduk Indonesia pada Desember 2011, pengguna internetnya mencapai 55 juta orang. Dua tahun kemudian, pada 2013, penggunanya meningkat menjadi 63 juta orang. Pada tahun 2014 telah mencapai 82 juta orang. Tiga tahun kemudian jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat menjadi 143,26 juta jiwa atau 54,68 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Selanjutnya menurut hasil survei Pengguna Internet Indonesia 2019-2020, dengan penduduk Indonesia sebesar 266,9 juta orang, pengguna internetnya sebanyak 196,7 juta orang. Dan pada Maret 2021 pengguna internet di Indonesia mencapai 212,35 juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Indonesia berada di urutan ketiga dengan pengguna internet terbanyak di Asia, setelah Tiongkok dan India.
Dari angka-angka di atas persentase terbesar pengguna internet di Indonesia mengakses jejaring sosial. Situs jejaring sosial yang banyak diakses adalah Facebook, Instragram, Youtube, Twitter, dan lain-lain. Dari sisi umur para penggunanya, lebih dari 50 persen para penggunanya adalah remaja berusia 15-19 tahun.
Memang, sekarang, sejak bangun tidur di pagi hari dan tidur di malam hari, internet seakan tidak terlepas dari kehidupan kita. Selama mata masih melek, kita bisa dan terbiasa melakukan banyak hal menggunakan platform apa pun yang disukai. Kita kerap mencari informasi di Google, membuat pembaruan status di media sosial, menonton video di YouTube, streaming film di Netflix, berbelanja pada pelapak-pelapak daring, kirim pesan lewat WhatsApp.
Dari pengalaman sehari-hari yang seolah tidak bisa lepas dari internet itu, ada pihak yang rajin menghitung seberapa dahsyat kekuatan internet dalam setiap detiknya. Misalnya, hingga 2015, disebutkan bahwa jumlah perkakas digital hampir dua kali lipat jumlah orang sedunia, sehingga salah satu akibatnya akan diperlukan waktu lima tahun bagi kita untuk dapat menampilkan video yang berseliweran di internet. Demikian pula dalam rentang 2016-2017, yang disebut-sebut bahwa kita semua menggunakan lebih banyak data dibandingkan keseluruhan sejarah manusia. Dalam rentang ini, ada 3 juta email terkirim, 50 juta lebih twit yang terkirim, 21 jam secara terus-menerus terjadi penggunggahan video, dan 24 petabit lebih data yang diproses oleh Google setiap harinya.
Untuk 2020 dan 2021 menurut Visual Capitalist dan Lori Lewis, terjadi lonjakan selama semenit dalam berinternet. Untuk tahun 2020 saat mulainya Pandemi Covid-19, penggunaan aplikasi Zoom dalam waktu 60 detik sebanyak 208 ribu orang yang hadir mengikuti pertemuan. Stories pada Instagram meningkat dua lipat dari 347 ribu stories pada tahun 2020 menjadi 695 ribu pada tahun 2021. Demikian pula dengan pesan yang terkirim melalui WA meningkat dari 41,7 juta pesan menjadi 69 juta. Hal yang masih sama adalah jumlah durasi video yang diunggah pada YouTube, sebanyak 500 jam setiap 60 detik.
Menghadapi fakta peningkatan jumlah pengguna di tanah air dari tahun ke tahun dan betapa dahsyatnya pengaruh internet, pada satu sisi saya pikir sangat menggembirakan. Betapa tidak, itu artinya jumlah yang melek aksara di tanah air terus meningkat pula dari tahun ke tahun, sehingga angka buta aksara di Indonesia terus dapat ditekan. Mengapa demikian? Barangkali kita sama-sama mafhum penggunaan internet mengisyaratkan kemampuan membaca dan menulis. Sehingga dapat dikatakan orang yang tidak dapat membaca dan menulis dalam alfabet Latin hampir dikatakan tidak akan dapat mengakses internet.
Namun, apakah memang demikian?

Empat Epos

Pakar komunikasi Marshall McLuhan dalam karyanya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), membagi sejarah manusia kepada empat epos, yakni: Budaya lisan (oral tribe culture), budaya naskah (manuscript culture), Bimasakti Gutenberg (Gutenberg galaxy), dan zaman elektronik (Electronic age). Sementara Walter J. Ong (Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, 1982) membagi pembabakan tersebut dengan dua bagian, yakni oral cultures (kelisanan) dan chirographic/typographic cultures (keberaksaraan).
Untuk pembabakan kelisanan, Ong membaginya menjadi dua, yaitu kelisanan pertama (primary orality) dan kelisanan kedua. Kelisanan pertama terdapat pada masyarakat yang sama sekali tidak mengenal tulisan. Di situ, waktu yang berlangsung adalah keserentakan (polychronic time), semuanya terjadi dalam waktu bersamaan. Di situ, sosialisasi sangat berperan besar karena saling pengaruhi antara pembicara dan yang diajak bicara bersifat langsung dan intim. Ingatan dan proses pengingatan pun menjadi satu-satunya cara mengabadikan peristiwa. Jadinya, kelisanan pertama lebih dekat kepada kehidupan manusia, karena lebih situasional dan melibatkan semua orang, ketimbang budaya tulis yang lebih abstrak dan elitis.
Implikasinya, konsep diri (individualisme, keakuan) hampir tidak dikenal di masyarakat yang sepenuhnya lisan. Mengapa? Karena dalam budaya itu, belajar sama dengan berusaha mengenal lebih erat, empatis, dan komunal dengan obyek yang dipelajarinya. Oleh karena itu, struktur kepribadian masyarakat lisan lebih komunal, mengarah keluar (externalized), juga kurang introspektif dibanding masyarakat aksara. Akibatnya, komunikasi yang timbul selalu menyaran pada penyatuan dan pengikatan orang pada satu kesatuan. Jadi, keakuan kurang diberi tempat.
Namun, memang tradisi inilah yang menjadi awal dan yang utama pada perkembangan sebuah budaya masyarakat manapun. Sehingga dengan demikian, budaya lisan lebih dekat dengan kehidupan manusia, lebih situasional, dan partisipatoris bila dibandingkan dengan budaya tulisan yang lebih abstrak kadarnya. Sedangkan kelisanan kedua merujuk kepada kelisanan yang secara esensial lebih terencana dan sadar diri, serta bersandarkan pada penggunaan budaya tulisan dan cetak.
Dari sini kita dapat membandingkan kadar tradisi tulisan yang ada pada tradisi naskah, cetak, dan kelisanan kedua. Saya pikir di tradisi naskah karena merupakan gabungan antara tradisi lisan dan tulisan, dalam arti cara baca teksnya masih menggunakan suara keras yang mengimplikasikan partisipasi orang lain yang juga mengikutinya, maka membaca dalam tradisi naskah adalah soal komunal: seseorang membacakan teks, sementara yang lainnya mendengarkan. Dengan kata lain, membaca dalam tradisi naskah adalah milik bersama, bukan milik perseorangan. Oleh karena itu, saya pikir, pada tradisi naskah tradisi literasinya dapat dikatakan hanya mencapai 25-30 % saja, sementara sisa terbesarnya masih milik tradisi lisan.
Pada gilirannya, tradisi cetak mengimplikasikan tradisi literasi 100% atau menjadi faktor yang paling dominan bila dibandingkan tradisi lisan. Hal ini dapat dimengerti, karena pada tradisi cetak yang dikedepankan adalah cara baca yang bersunyi-sunyi (silent reading) yang dilakukan orang per orang, tidak melibatkan orang lain di sekitarnya. Karena kehadiran orang lain, tentu akan merusak konsentrasi pembacaan teks. Karena yang terjadi di sana adalah dialog dan dialektika, antara pembaca dengan teks yang dihadapinya. Dengan demikian, tradisi lisan jadi surut ke belakang, atau cenderung melemah di hadapan tradisi tulisan.
Oleh karena itu, dalam pandangan McLuhan, tradisi cetak melahirkan “Manusia Gutenberg” yaitu orang yang sangat bertaut dengan produk cetak, terutama buku. Mereka terbiasa membaca dan menelaah buku cetak. Hasilnya, konsep diri atau subyek yang kesadarannya dibentuk buku cetak: rasional, beridentitas khas, berpikiran mandiri, dan berpengetahuan khusus. Selain itu, karena teks tersebar luas, maka membaca kritis mengemuka sebab orang diberi pilihan untuk menentukan teks yang akan dibacanya. Di sini metode membaca dari awal hingga akhir buku mulai berubah. Orang mulai membaca bab-bab yang diminatinya saja, sehingga dapat membaca lebih banyak topik bacaannya. Dengan itu pula orang mampu membaca teks dan menafsirkannya, yang bisa jadi sangat berbeda dengan yang dimaksudkan penulisnya.
Keberlimpahan teks di pasar memang akhirnya mendorong demokratisasi pengetahuan. Seluruh karya klasik dicetak ulang dan disebarkan. Oleh karena itu, orang bisa memperoleh pengetahuan baik yang baru maupun yang lama, dan menyebabkan lebih banyak orang yang membahas karya-karya cetak. Namun, produksi yang massif itu akhirnya menyebabkan lahirnya komersialisasi buku dan ketentuan hak cipta pengarang.
Lebih jauhnya, Ong (1982) dan Elizabeth L. Einstein (The Printing Revolution in Early Modern Europe, 1983) menyatakan teknologi cetak mendorong perubahan-perubahan lainnya. Menurut Ong, teknologi cetak melahirkan kesadaran baru pada orang saat harus memperhitungkan waktu; berkembangnya penggunaan bahasa setempat orang yang membaca buku dan pada gilirannya sangat terkait dengan lahirnya nasionalisme karena berkaitan dengan penggunaan bahasa setempat tersebut; munculnya kamus; observasi ilmiah; dan tumbuhnya kesadaran akan hak cipta.
Di sisi lain, Einstein menambahkan: Lahirnya individualisme sebagai produk bentuk-bentuk baru standarisasi buku; persemaian intelektualitas yang kompleks; menjadi ajang saling rujuk antara satu buku dengan buku lainnya; munculnya beragam pekakas visual; tanda dan simbol dibakukan; dan pengembangan komunikasi ikonografis dan non-fonetik.

Pandangan Berbeda pada Masing-masing Media

Kemudian, bagaimana dengan internet? Saya teringat ungkapan McLuhan, “medium is the message.” Kata-kata tersebut bukan sekadar berarti “media adalah pesan itu sendiri,” tetapi bermakna media yang diciptakan manusia dan difungsikan untuk memenuhi kebutuhannya, pada gilirannya akan pula membawa perubahan pada pikiran dan perasaan penggunanya. Karena, masing-masing media atau teknologi baru yang diciptakan manusia senantiasa membutuhkan perlakuan yang baru pula.
Salah satu dampak yang ditimbulkan dengan keberadaan internet adalah berubahnya pandangan kita terhadap informasi. Pada masa-masa sebelumnya, produsen informasi dapat dikatakan terbatas pada media-media cetak, tetapi setelah datang internet, informasi dengan mudah diproduksi, bahkan seakan-akan kita bersama-sama dipacu untuk menghasilkan informasi dalam setiap detik. Imbasnya tentu saja yang terjadi adalah kelebihan informasi yang dialami oleh orang yang sulit memahami dan memutuskan sesuatu disebabkan karena terlalu banyak informasi. Sebabnya jelas sekali, karena kita manusia memang terbatas. Alam sadar atau pikiran kita hanya dapat memperhatikan kepada tiga atau mungkin empat hal sekaligus pada waktu bersamaan. Namun, bila di atas itu, maka yang terjadi adalah keputusan akan ngawur, kehilangan fokus. Bahaya lainnya antara lain banyak berbuat kesalahan, terlalu banyak memperhatikan yang remeh-temeh, menghambur-hamburkan waktu, muncul kekusutan, menimbulkan stres, dan muak untuk bekerja.
Akibat dari banyaknya informasi yang dapat diperoleh, arus penyebaran informasi yang kini kian kompleks dengan adanya berbagai platform media sosial, serta sulit yakin bahwa informasi yang didapat bisa membantu dalam menentukan suatu keputusan, maka kemungkinan untuk mendapatkan dan bahkan mempercayai kabar bohong atau berita palsu pun akan sangat besar. Keberhasilan kabar bohong sebenarnya terletak pada dua hal, yaitu viralitas gagasan atau judulnya serta amplifikasi beritanya di internet oleh orang yang berkepentingan. Cara kerjanya antara lain mengulang-ulangi pada satu titik di mana orang-orang dapat menyimaknya terus-menerus. Ya, sehingga diyakni benar hanya karena adanya repetisi tersebut.
Untuk menyikapi informasi berlebihan sudah banyak orang yang memberikan nasihat. Umberto Eco dalam wawancaranya dengan Patrick Coppock (“A Conversation on Information,” atau “Perbincangan tentang Informasi” terjemahan oleh Antariksa, 2005) menyatakan di zaman meruyaknya informasi menyebabkan orang menjadi pencari informasi eksesif. Ia menganggapnya ironis sekaligus paradoksal. Meski demikian, “Internet bukan pengalaman negatif. Sebaliknya, saya justru mengatakan bahwa ini akan menjadi sebuah tantangan besar. Sekali kita memasukinya, saya berusaha mengisolasi jebakan-jebakan yang muncul; aspek-aspek negatif yang mungkin muncul.”
Untuk menangani informasi berlebihan, Eco menawarkan gagasan tapis informasi pribadi dalam melakukan pencarian di Internet. Tapis ini disebutnya sebagai seni penyusutan (the art of decimation). Ia meringkaskan seni tersebut dengan kata-kata, “Hanya membunuh satu dari sepuluh orang”. Artinya, tentu saja, memilih informasi yang sahih yang bisa dijadikan pijakan dan pegangan. Di sini ia menegaskan harus adanya aturan mendasar dalam menapis informasi.
Tentang seni desimasi, kita dapat membacanya dari tulisan Eco, “From Internet to Gutenberg” (1996). Eco memaksudkan desimasi sebagai penyusutan dengan mengeksekusi satu dari sepuluh orang atau menyisihkan 999.999 dari satu juta hasil pencarian di internet. Artinya, pengguna internet harus mampu membedakan antara sumber informasi yang dapat diandalkan dan yang tidak terpercaya. Lebih jauhnya, bahkan pengguna internet harus berani memilih informasi yang penting serta menolak informasi yang tidak layak.
Dari situ saya pun menangkap kesan bahwa Internet hanya cocok untuk kalangan muda-belia. Katanya, “Hari ini kebaruan datang begitu cepat dan hanya anak muda yang mampu menerima dan mencernanya, sementara orang tua lebih lambat melakukannya”. Ia menilai, “Orang yang lebih muda sangatlah segar dan bisa melihat apa-apa yang terjadi pada ranah-ranah ini”. Karena demikian, ia berharap “generasi muda mesti membuat analisis-analisis baru. Mereka lebih fleksibel dan mereka lebih bebas dari pengalaman di masa lalu. Mereka tak punya risiko mengulangi skema yang sama; skema interpretatif.” Inilah yang barangkali dapat menjelaskan mengapa sekarang lebih banyak remaja dan anak muda yang aktif di internet, sementara kalangan orang tua hanya mengikuti gerak zaman, menyesuaikan diri dengan yang sedang terjadi.
Secara praktis, ada nasihat untuk menapis informasi antara lain dari Debbie Rodrigues dan Project Manager. Mereka bilang kita harus mengusahakan agar tidak menggandakan informasi, mendaftar atau subscribe pada layanan yang benar-benar membuat tertarik dan memberikan nilai, kita tidak perlu semua platform media sosial, mampu mengatur waktu agar memaksimalkan efisiensi, jangan tergoda untuk mencoba hal baru di luar yang sudah direncanakan, membuat jadwal bebas internet, dan menciptakan serta menerapkan sistem penapis informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemungkinan. Pokoknya, kita harus selektif, punya prioritas, tahu apa yang penting, dan ingat akan batasan. Toh kita tidak harus mengetahui tiap detik perkembangan suatu peristiwa? Kita perlu memodifikasi perilaku dan sikap kita sehingga tidak terlalu berlebihan menanggapi informasi yang masuk ke dalam kesadaran kita. Jadi, kita memang harus mengambil sikap untuk membiarkan semua keinginan untuk mengetahui informasi secara lengkap itu.

Representasi Kelisanan Kedua

Internet sejatinya merupakan representasi kelisanan kedua. Kelisanan ini menurut Walter J. Ong merupakan kelisanan yang secara esensial lebih disengaja, sadar diri dan tetap berlandaskan kepada penggunaan tulisan dan cetak. Pada masa sebelumnya, kelisanan kedua mewujud antara lain dengan kehadiran radio dan televisi. Bukankah penyiaran radio yang berbentuk suara itu sebetulnya berawal dari tulisan-tulisan yang kemudian dibacakan di depan corong? Bukankah penyiaran televisi yang bersuara dan bergambar itu sebetulnya juga bersandar pada script yang dibacakan si penyiar di depan kamera yang menyorotnya?
Pada gilirannya, timbal-balik kelisanan dan teknologi tulisan dalam kelisanan kedua sangat mempengaruhi keadaan jiwa. Dunia lisan yang mula-mula mengungkap kesadaran dengan bahasa lisan yang mulai memperlihatkan adanya subjek dan predikat. Kemudian bahasa lisan menghubungkan dan mengikat orang dalam satu komunitas. Sedangkan tulisan memperkenalkan pembagian dan pengasingan, tapi juga penyatuan yang lebih besar. Bahkan, tulisan memperkuat kesadaran diri dan mengembangkan interaksi yang lebih sadar.
Transformasi daya ungkap teknologi elektronik memperdalam pertautan kata kepada ruang yang diawali oleh tulisan dan diperkuat cetakan, sehingga mendorong kesadaran diri menuju kelisanan kedua. Oleh karena itu, Internet mirip dengan kelisanan pertama, dalam hal mengedepankan peran aktif setiap anggota komunitas, menyaran pada tumbuhnya kepentingan untuk membentuk komunitas, terjadi dalam waktu yang sama serentak. Oleh karena itu, di internet pun memang mirip dengan masyarakat yang terlibat dalam kelisanan pertama, keduanya cenderung berkelompok. Bedanya, di internet orang lebih sadar diri, dan lebih terprogram karena mereka telah melek aksara. Dan setiap individu di dunia maya, sebagai aku-yang-sadar, harus lebih peka secara sosial.
Selain itu, dibanding masyarakat tutur yang mengarah ke luar (dalam istilah Dodong Djiwapradja bisa jadi “metot ka luar”), karena kesempatannya sangat sedikit untuk berpaling ke dalam diri (atau “metot ka jero”), orang yang bergelut di internet “metot ka luar” karena mereka harus berpaling ke dalam (“metot ka jero”). Demikian juga, di masyarakat kelisanan pertama, spontanitas diutamakan karena keberjarakan analitis yang diisyaratkan tulisan tidak ada. Mirip dengan tradisi kelisanan pertama, internet menyaran pada spontanitas tapi melalui refleksi analitis terlebih dahulu, sehingga orang yang terlibat di sana dapat memutuskan spontanitas itu sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk diri mereka.
Salah satu contohnya adalah Facebook. Kehadiran Facebook dan status yang diisyaratkan di dalamnya bila dipandang dari sisi literasi sebenarnya mendorong kegiatan keberaksaraan. Dengan kehadiran Facebook sebenarnya menyebabkan banyak orang yang terbiasa mengungkapkan pikiran dan perasaannnya dalam bentuk tertulis. Dengan keberaksaraan itu pula, karena informasi dari Facebook kebanyakannya bersifat pribadi, meskipun tidak menutup kemungkinan banyak di antaranya yang menyajikan informasi umum, yang tengah beredar di masyarakat luas.
Informasi yang disajikan di Facebook, terutama di dalam status, mengisyaratkan kesegeraan. Bentuknya tentu saja updating status. Ada yang memperbarui statusnya semenit sekali, sejam sekali, sehari sekali. Tapi ada juga yang sangat jarang memperbarui statusnya. Yang jelas, pembaruan itu mengindikasikan kesegeraan muncul, sekaligus menghilangnya informasi tersebut. Karena tertelan informasi yang datang belakangan. Memang yang terjadi akhirnya adalah ledakan informasi dan kita tak mampu membendungnya, tak mampu mengendalikannya. Selain itu, karena dalam dirinya status Facebook mengandaikan hadirnya orang lain yang ikut menanggapi status atau paling tidak mencoleknya dengan tanda jempol, maka Facebook berurusan dengan soal berbagi informasi di antara yang membuat status dan orang yang mengomentarinya. Di situ komunikasi yang bersifat langsung terjadi.
Ini tentu berbeda dengan informasi yang disajikan koran atau majalah, yang tentu mengindikasikan jarak antara sumber informasi dengan yang menggunakan informasinya. Komunikasi yang langsung sifatnya dalam informasi konvensional seperti itu sulit terjadi. Kalaupun ada tetap saja berjarak, dipisahkan waktu pemuatan. Misalnya dengan kehadiran kotak pembaca dan sebagainya.
Lalu, bagaimana idealnya konsep diri di internet? Idealnya, individu atau “aku” yang tercipta di internet adalah diri yang sudah menyadari dirinya sendiri melaui pembatinan (interiorisasi) budaya aksara, sehingga dapat berpikir dan memutuskan nasibnya sendiri. Berbekal kesadaran tersebut, maka “diri” di internet akan siap menangkap bahwa kebersamaan, keakraban, hubungan sosial yang terjalin di dunia maya wajib dirawat dan dipelihara. Karena secanggih apapun manifestasi budaya aksara, hubungan sosial tetap diperlukan. Kita harus tetap menyadari bahwa kita tidak bisa hidup sendiri di dunia. ***

Cikancung, 15 Januari 2022