Jumat, 9 Juni 2018, diskusi di Pustaka Kabanti Kendari berlangsung khidmat. Topik yang menjadi pembicaraan adalah komunitas sebagai ladang bermain, belajar, dan berkarya.

Pukul 21.30, saya persilakan Sahlan dari Obat Manjur (Orang Hebat Main Jujur) Makassar, berbagi pengalaman dan pengetahuan. Sahlan berkisah tentang latar keluarga, pendidikan, dankomunitas. Ia menuturkan bagaimana di Pesantren Immim Makassar membentuk iklim berliterasi yang menjadi nilai plus bagi lembaga keagamaan tersebut. Poli Integritas. Itulah nama sudut baca di Immim, menyediakan buku dan dialog nilai integritas.

Ia juga paparkan betapa pentingnya dunia pendidikan mengintegrasikan filosofi bermain, belajar, dan berkarya dalam tarikan nafas pengabdian. Pendidikan harus menyenangkan. Membahagiakan.

Menariknya, walau hanya diikuti peserta sebanyak 16 orang, tetapi diskusi di malam ganjil Ramadan itu, malam turunnya Lailatul Qadar, berjalan khidmat. Setiap perwakilan komunitas saya beri kesempatan untuk, mengisahkan pengalaman masing-masing. Pahit-getir berproses diutarakan. Bahkan ada yang menahan isak. Semalam, sekat dan rasa kikuk di hadapan yang lain, menjadi luruh.

Adhy Rical berkisah pengalamannya di Teater Sendiri, TAM, dan kini di komunitas film. Katanya, dalam visi kreatifnya,  antimaen stream, selalu ada tantangan baru. Kenali karya yang sementara berlangsung di sekitarmu. Lalu masuklah dengan perspektif yang lain. Begitu kira-kira maksudnya. Adhy bilang,untuk mengenali dunia anak-anak, kadang menjadi lebih relevan saat kita memiliki anak sendiri. Ada pengalaman bersama anak. Jika masih jomblo, panggillah masa kanakmu untuk kamu bawa ke dunia anak yang kamu geluti sekarang. Adhy memberikan pandangannya bahwa sejak ia mahasiswa tahun 1996 hingga zaman milenia ini, demonstrasi selalu identik dengan bakar ban. Orang-orang sekitar hanya akan merasakan hawa racun dari polusi udara. Kenapa tidak bakar ikan, misalnya? Bukankah itu dapat menarik simpati? Sudut pandang seperti ini perlu diterapkan dalam kerja kesenian dan kerja literasi, katanya.

Eross sampaikan pengalamannya menggeluti musikalisasi puisi sebagai jalan pedang kreatifnya. Tangan takdir membawanya ke Laskar Sastra (Lastra). Tersebab ia tidak bertalenta di tari, teater, dan sastra, ia pun memilih musikalisasi puisi. Hasilnya, ia kini dikenal di Kendari sebagaipemusikalisasi yang hebat. Suaranya bening dan menggetarkan. Mau dengar suara dan petikan gitarnya? Search Eross Lastra di youtube.

Asniwun Nopa mengabarkan prosesnya di Gerakan Kendari Mengajar. Baginya, lambaian kerelawanan dan pengabdian, membawanya ke haribaan anak-anak tak bernasib baik di “Kota LayakAnak” ini. Kisah di tempat pembuangan akhir dan perjalanan ke Lembah Harapan didengar hadirin dengan serius. Asni berharap ada kelak Pesta Komunitas Kendari. Perayaan kebersamaan dalam keberagaman.

Begitu juga saat Derick dari Aksi Indonesia Muda (AIM) Kendari, berbagi kisah. Ia harus bertungkus-lumus dengan dunia sampah di tempat pembuangan akhir, Kendari. Anak-anak dibuatkan jalan lapang agar dapat juga meraih kesempatan belajar walau dalam udara tak sedap. Khalik dari Duta Bahasa tak ketinggalan berbagi pengalaman. Di Ika Dubas membuka jalan bagi gerak literasi di TBM Tanjung Tiram. Saya memetik pengalaman  indah bersua dengan anak pesisir, pungkasnya.

Nindah dan Sugiarto dari GKM turut berbagi suka-duka. Nindah bahkan curhat sebagai pengajar di GKM. Ia mengalami proses ketika hanya satu dua orang pengajar GKM saja yang diikuti anak-anak. Apalagi, ditambah lagi ada perbedaan pandangan yang sengit sesama pengajar GKM tentang teknik mengajar. Nindah beberapa kali mendesah dan menyeka mata air dari matanya yang disambut tepuk tangan dukungan dari peserta. Sugiharto juga berbagi pandangan bahwa lika-liku jomblo, eh berliterasi, menjadi keniscayaan sebuah komunitas yang tumbuh. Engkau timbul-tenggelam dalam berproses, maka engkau ada. Begitu bahasa filosofisnya.

Putra Hanuddin juga menyampaikan masa awalnya masuk di dunia menulis. Mulanya ia ikut pelatihan menulis cerita di Kantor Bahasa Sultra. Tetapi ia sebelumnya telah menulis puisi. Dia lalu cari orang yang suka puisi sebagai teman berbagi. Dia lalu ketemu seseorang yang biasa disapa Om Puding dan menariknya ke dunia kata-kata. Ke ruang persegi malam itu

Kembali ke Sahlan. Ia bilang betapa pentingnya semangat berkarya dinyatakan dalam bentuk karya itu sendiri. Daeng Sahlan sampaikan bahwa dulu di Makassar ada namanya Pesta Komunitas Makassar sebagai pertemuan komunitas dengan latar belakang beragam. Mungkin di Kendari juga bisa dilaksanakan. Sahlan juga menekankan pentingnya fokus dalam literasi, ke arah mana engkau akan menunjukkan karya. Penting bagi penggiat dunia anak, mengerti dunia anak. Keluh-kesah dan konflik di komunitas itu adalah dinamika, dialektika. Selebihnya ia berpesan agar semangat penggiat di Kendari terus dipertahankan. Jangan lupa berjejaring, berkomunikasi yang baik. Sahlan sampaikan pesan tersirat bahwa kerja kebudayaant idak boleh bergantung pada materi.

Menanggapi Nindah, Sahlan katakan bahwa perbedaan pandangan yang tajam dapat berbuah positif jika dikelola dengan indah. Jika sabar, jika rela dan direlakan, Nindah indah.

Adhy Rical kembali berbicara. Katanya, komunitas membutuhkan debat bahkan ketegangan. Dari sanalah kita saling memahami. Jika ada perbedaan gagasan di dalamnya, tanda bahwa komunitas hidup. Menghadapi anak-anak harus sabar dan kreatif. Jika mereka nakal jangan beri bahasa kekerasan. Beri ia bahasa kasih sayang. Dengan lain kata,bahasa cinta yah, bro.

Jarum jam merangkak pelan tapi pasti. Tak terasa peralihan waktu Masehi berlangsung. Sang waktu di telepon genggam, menujukkan angka 00.00.

Kita butuh karya dan pengabdian. Begitu kata saya, di ujung acara. Teman-teman telah turut berkontribusi nyata bagi kota ini. Kendari dibangun dengan sentuhan beragam dari tangan kreatif seperti Anda. Ada yang membangun Kendari melalui film, fotografi,puisi, menerbitkan buku, bermain musik, mengantar buku,kritikus, pengamat, menggerakkan pengetahuan, bedah buku, seni pertunjukan, dan berbagi kasih sayang. Pelan-pelan Anda menjejakkan sejarah di kota ini.

Diskusi usai. Jarum bergerak menujuangka satu. Semuanya pulang. Kecuali satu orang yang memang biasanya menjadipeserta paling terakhir pulang.

“Masih ada kopi? Saya merokok-merokkan dulu nah. Sa’ kasih habis dulu satu batang.” Asap mengepul dari bibirnya yang tipis. Air putih-sebab kopi sudah habis–ia reguk. Topi pet hitamnya ia putar ke belakang.

“Sosoito deela. Mainkan sajakone. Ayo kita lanjut”, jawab saya.

Kami masih lanjut ngarol-ngidul tentang puisi,film, komunitas. Di sela-sela itu, sesekali saya hampir ambruk. Saya menyimaksambil sesekali tertidur. Teman saya yang satu ini, memang tetap semangat seperti dulu.

Ketika jarum jam menuding angka satu kami pun berpisah. Putra jalan kaki ke rumahnya karena dekat. Teman saya ngegas motornya membelah malam ganjil . Malam ini, semoga kami dijatuhi Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari 1000 bulan.

Selamat jalan Putra, selamat jalan Adhy. Kita bersua lagi yah. Jangan lupa berkarya. Selamat jalan Daeng Sahlan ke Makassar lagi….

Kendari, 10 Juni 2018

Pustaka Kabanti, pagi hari