Oleh Badaruddin Amir
(Pendiri Perpustakaan Komunitas Iqra)
Harus diakui bahwa kami memang belum mengenal sistem yang digunakan dalam pengelolaan perpustakaan dan sementara ini kami masih mempelajarinya, karena demikianlah awalnya kami mengelolanya dalam “gaya sastrawan”. Apa yang disebut sistem (administrasi/pengelolaan) selalu menjadi bahagian yang rumit dibenak sastrawan. Saya ingat bagaimana penyair Sosiawan Leak mengelola sebuah ‘komunitas’ bernama ‘PMK’ (Puisi Menolak Korupsi” yang anggota konkretnya berjumlah lebih dari 1000 penyair dari berbagai daerah dan mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan konkret seperti membuat antologi puisi, melakukan roadshow di berbagai kota dan daerah tanpa menganut satu sistem pengelolaan organisasi dan tata kelola administrasi secara formal. Kuncinya hanya kata-kata ini: kejujuran, transparansi, toleransi dan kepercayaan. Tiga kata yang gampang diucap tapi susah diwujudkan dalam organisasi-organisasi resmi beranggaran dasar. Pengelolaan seperti itu memang tidak pernah dibenarkan dalam sistem administrasi pada lembaga-lembaga pemerintahan, namun dalam organisasi-organisasi swasta yang sifatnya non frofit segalanya bisa terjadi. Yang pasti kejujuran, transparansi, toleransi dan kepercayaan sangat ampuh untuk membangun sebuah idealisme dan juga telah menjadi barang mahal dalam pergaulan hidup.
Memang mengembang amanah ‘mencerdaskan bangsa’ bukanlah perkara mudah bagi orang-orang yang bergelut dalam dunia literasi. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Persoalan pendanaan menjadi persoalan utama, bagaimana mengatasi kebutuhan lembaga atau komunitas, atau organisasi sehingga tetap bisa bernafas dan tetap bisa berkontribusi pada banyak orang, terutama pada masyarakat di lingkungannya. Sementara itu, sebaliknya masyarakat atau konsumen tidak memahami peran penting organisasi atau komunitas literasi sehingga banyak yang menyia-nyiakan kesempatan untuk ‘mencerdaskan bangsa’ yang diberikan kepadanya. Lebih dari itu, kadang-kadang ada pula yang muncul sebagai antagonis dan berperan hanya sebagai perusak sistem.
Masyarakat kita pada umumnya memang belum membaca. Tradisi mereka tidak dimulai dengan ‘iqra’ atau membaca. Tapi dari tradisi lisan, tradisi tutur yang turun temurun dari nenek moyang. Karena itu di rumah-rumah, di ronda-ronda, di balai-balai atau dimana saja yang mempertemukan beberapa orang dapat dipastikan bahwa aktivitas yang berproses di sana adalah aktivitas lisan, bukan membaca. Kegiatan membaca selalu menempati urutan ke dua atau mungkin ke sekian dari daftar kebutuhan masyarakat. Berbicara atau menjadi pendengar memang jauh lebih gampang dan lebih enak ketimbang membaca. Tapi hal itu tak mengapa seandainya kegiatan berbicara/mendengar yang bisa berlangsung di berbagai tempat dan memakan waktu berjam-jam ini memang dapat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ (atau dalam bahasa agama dapat mendatangkan kemaslahatan), sebagai tujuan nasional dari gerakan literasi. Yang miris karena kebanyakan aktivitas seperti itu hanyalah bermuatan gosif dan tidak menambah kecerdasan. Sangat beda dengan aktivitas yang dilakukan di taman-taman baca atau rumah-rumah baca, yang selain menumbuhkan aktivitas baca juga membiasakan kegiatan-kegiatan diskusi dan pengembangan kreativitas. Karena itulah kami di Perpustakaan Komunitas Iqra merencanakan kegiatan-kegiatan proaktif untuk mengunjungi rumah-rumah masyarakat dengan segerobak buku, menawarkannya untuk dibaca tanpa harus mendatangi perpustakaan. Tapi ini baru tahap perencanaan karea kami belum memiliki pasilitas maupun kapasitas. Kami masih mencari relawan literasi yang bisa bekerja tanpa pamrih.
Perpustakaan Komunitas Iqra sesungguhnya berangkat dari keprihatinan ini. Sebagai pengelola saya berusaha untuk terus mengembangkan taman bacaan ini baik dengan merogoh kocek sendiri maupun berupaya mencari bantuan dari berbagai donatur yang bisa memberikan bantuan bahan-bahan pustaka. Karena itu Perpustakaan Komunitas Iqra menjalin hubungan cinta tanpa ikatan dengan berbagai lembaga atau yayasan yang dapat menjadi donatur bagi Perpustakaan Komunitas Iqra. Tercatatlah beberapa lembaga yang telah memberikan bantuan bahan pustaka (buku, majalah dan sebagainya) yang tidak sedikit seperti yang telah kami paparkan di atas. Badan Arsip dan Perpustakaan Daeran Propinsi Sulawesi Selatan harus kami berulang sebut karena dari sanalah bantuan sebanyak 1000 judul serta mencanangkan Perpustakaan Komunitas Iqra sebagai “Baruga Baca” (Rumah Baca) sebagai “pilot projeknya” di tahun 2011 lalu di kabupaten Barru. Kami tentu harus menagih tindak lanjut seterusnya agar apa yang pernah menjadi proyek tersebut tidak berhenti hanya pada “label” yang menempel di perpustakaan kami: Mereka telah memberikan penghargaan sebagai pelopor perputakaan di Sulawesi Selatan dan whot next ? Demikian juga dengan Perpustakaan Daerah Kabupaten dan Dinas Pendidikan kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan-bantuannya.
Akhirnya sebagai relawan literasi kami memang hanya pelaksana kegiatan yang memiliki sejuta cita-cita tapi tidak memiliki pasilitas dan modal untuk bergerak. Kami masih terus mengharapkan bantuan dari siapapun juga demi terlaksananya kehidupan literasi di tengah-tengah masyarakat sebagai bentuk dari kepedulian terhadap Gerakan Literasi Nasional.
Barru, 28 Juli 2019