Malam itu (29/9) di Hotel Dangau Kubu Raya, peserta Fesival Literasi Indonesia (FLI) memadati ruangan. Acara diskusi panel yang diisi anak-anak muda pegiat literasi dari berbagai penjuru negeri cukup ramai. Ini bukan semata-mata materi dan pengalaman narasumber dalam menggerakkan komuntas dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di tempat masing-masing. Jauh dari hal itu, karena di dalamnya ada pertukaran energi positif yang barangkali jarang dijumpai. Diskusi bertema “Ragam Kegiatan Literasi di TBM dan Komunitas” menjadi ruang saling berbagi.
Bayangkan, pemantik diskusi FLI datang dari Lampung, Amin Budi Utomo, membentangkan aktivitas literasi selama bergiat di TBM Ronaa, kampung Metro cukup menjadi perhatian peserta di dalam ruangan. Pendidikan kecakapan hidup, begitu Amin menyebutnya. Di mana bentuknya adalah pelatihan-pelatihan seperti soft skill dan life skill. Program unggulannya adalah sekolah transformatif yang diisi pendidikan advokasi seperti hidroponik yang dirintis sejak tahun 2019 sampai sekarang. Kegiatan ini menyasar bapak dan ibu-ibu petani. Produknya bisa ditemukan di Indomaret dan lain-lain.
Sedangkan untuk usia produktif, anak-anak remaja selama tiga bulan diajak untuk mengikuti pelatihan desain grafis dan handy craft akrilik. Amin cukup jeli menangkap peluang di era digital. Ia memanfaatkan media sosial, YouTube, dan Website sebagai bahan menyebarluaskan kegiatan-kegiatan bermanfaat di lingkungan TBM Ronaa. Amin juga berkolaborasi dengan beberapa pihak, sehingga di lain waktu mengadakan Bazar UMKM, Literasi Camp, dan Vokasi. Inilah sepotong cerita dari kampung Metro.
Demikian juga dengan TBM Omah Buku, besutan Budi Susila menawarkan warna lain. Seperti namanya, “buddi” dari bahasa Sansekerta mempunyai makna pandai dan berakal. Sedangkan Susila dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti beradab, sopan. Sederhananya, Budi Susila adalah orang yang berbudi luhur dan beradab dalam kesehariannya. Iya, dengan menyandang nama itu, Budi seperti mesin waktu. Melakukan aktivitas unik di TBM-nya, mengajak anak-anak pergi ke Candi, Museum, dan dolanan ketika jenuh menjelajahi teks-teks di halaman buku.
Pendiri dan ketua TBM Omah Buku ini juga berstatus sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan di Magelang, Jawa Tengah. Selain ada ruang belajar yang sifatnya jelajah museum dan situs-situs bersejarah lainnya, Budi juga mengabadikan karya anak-anak dalam bentuk buku. Bahkan meluncurkan sebuah film “Denting Sepi”, yang digarap tahun 2022 sebagai bagian dari kegiatan alih wahana buku digital Let’s Read, ini adalah kegiatan dari Dana Hibah Let’s Read The Asia Foundation-Forum TBM. Film ini digarap bersama anak-anak anggota dan relawan TBM Omah Buku.
Uniknya lagi, ada program Instal Iman (Inklusi dan Toleransi untuk Indonesia Aman), di mana Budi mengajak anak-anak di TBM Omah Buku mempelajari bahasa isyarat dan huruf braille. Untuk mendukung pendidikan ramah difabel, Budi melakukan pembelajaran secara langsung. Anak-anak yang usianya masih di bawah umur 12 tahun bersinggungan dengan difabel sejak dini. Inilah pola pembelajar yang inklusif. Barangkali Merdeka Belajar yang digagas Kemendikbud sudah dikerjakan Budi sejak beberapa tahun lalu.
Berbeda dengan Irzan, laki-laki yang masih trauma dengan gempa di Palu, Sulawesi Tengah. Ia memaparkan kegiatannya di Palu. Sebut saja misalnya, ada lapak buku keliling dan kelas bahasa daerah Kaili. Di tengah kesibukannya mendampingi anak-anak dalam meningkatkan minat baca, Irzan juga berupaya untuk menggerakkan dan mengembangkan kesenian tradisional. Sehingga bakat seni cukil, dan musik tradisional, seperti rebana terus dimainkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Ide melakukan hal-hal baik tak melulu hadir di ruang-ruang akademik. Buktinya TBM Sou mPombaca Tata Vuri yang lahir dari teras rumah. Pak Syahid Lasira dan tentu sosok laki-laki bernama Irzan juga terlibat dalam mendirikan TBM Sou mPombaca Tata Vuri tahun 2017. Kadang, niat baik tidak melulu berbarengan dengan kondisi sosial dan ekonomi yang baik pula. Keterbatasan dana dan prasarana menjadi persoalan yang lumrah di negeri ini. sehingga TBM Sou mPombaca Tata Vuri memulainya dari bekas kandang kambing. Inilah tempat melakukan aktivitas utuk menggali kreativitas sebagian anak-anak di Palu.
Sou mPomba Tata Vuri sendiri berasal dari bahasa daerah Kaili dan bagian sub entis Ledo. Sou mPombaca punya arti Pondok Baca sedangkan Tata Vuri adalah Bapak Hitam. Sou mPombaca Tata Vuri mengembangkan Literasi Budaya dan Kewargaan di Masyarakat dan menjadikan lingkungan cakap literasi.
Sampai hari ini yang membuat Sou mPombaca Tata Vuri bertahan adalah berkolaborasi dengan komunitas-komunitas literasi di Palu. Juga dukungan dari masyarakat setempat dan Pemerintah. Sebagai bagian dari gerakan literasi untuk negeri, TBM Sou mPombaca Tata Vuri menjadi ruang yang tidak boleh diabaikan. Ia menjadi rumah bagi generasi emas Indonesia dalam mencintai Tanah Air dengan sepuh hati. Cinta itu bernama literasi.