Seorang perempuan berparas cantik gemar mengunggah video musikalisasi puisinya pada instagram. Ia sering menerjemahkan puisi-puisi yang kemudian diberi langgam. Seorang teman lelakinya mengiringi dengan petikan-petikan gitar.

“Bagaimana dengan sosok ini?” seorang kawan memperlihatkan instagram seorang perempuan dari gawainya. Saya kemudian mengikuti perkembangan aktivitas perempuan jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia UPI Bandung itu. Ternyata, ia pun melakukan hal yang sama, sering mengikuti aktivitas literasi yang saya unggah pada instagram juga.

Kami saling mengakui ketika sepakat mendirikan sebuah kelompok musikalisasi puisi bersama para barista Tangkal Kopi awal tahun 2017. Saya memang membutuhkan seorang deklamator perempuan saat itu. Kami sepakat memberi nama kelompok “Rumpaka feat Baroedak Tangkal Kopi”. Beberapa bulan kemudian, Wien Muldian – Satgas GLS Kemendikbud menghubungi. Kami diminta untuk mengisi acara Sarasehan Literasi Sekolah yang diselenggarakan pertama kali.

Inggri Dwi Rahesi, ternyata pernah bergiat di Galeri Jalanan. Sebuah komunitas literasi yang sering menggelar buku-buku di jalanan. Sekarang, lebih sering menggelar buku di bawah tugu alun-alun Kota Tasikmalaya. “Kami pernah diusir dan dianggap anak jalanan oleh pihak keamanan,” akunya karena kesalahpahaman. Padahal, ayahnya sendiri adalah seorang polisi. Jiwa pergerakannya tumbuh mulai dari halaman rumah. Sang ibu berharap dirinya meneruskan profesi dirinya sebagai seorang bidan. Namun, pilihan hidup adalah hak pribadi, baginya. Dengan berbagai alasan, akhirnya orang tua luluh juga membiarkan anak perempuannya mengambil jurusan sastra.

Mengenal Inggri, panggilan akrabnya, hampir berjalan satu tahun. Ia pun sering membantu gerakan spiral literasi Rumpaka Percisa, komunitas yang saya dirikan tujuh tahun lalu. Ia pun bersedia menjadi duta baca Rumpaka Percisa. Dua minggu lalu, ia mengisi sebuah acara yang diselenggarakan Rumpaka Percisa, “Pengaruh Baik Orang Tua Membaca Nyaring Terhadap Anak-anak”, (19/11/2017).

Pada suatu senja, ia mengajak bertemu di kedai kopi Baretto. Ia ingin meminta saran untuk mendirikan sebuah komunitas perempuan pecinta buku. Bercerita panjang lebar soal inspirasi yang hadir dari keresahannya. Menurutnya, perempuan-perempuan lebih mementingkan kecantikan fisiknya. Berlomba-lomba mempercantik diri dengan berbagai cara. Tidak sedikit pula, perempuan-perempuan menjual diri karena terdesak ekonomi. Hal itu dilakukan demi mendapatkan uang untuk dapat mengikuti peradaban sekarang. Oleh karena pemikiran yang sempit, mereka tidak dapat menghargai dirinya sendiri.

“Padahal, perihal cantik tidak sama definisinya di setiap negara,” Inggri berapi-api. Konde Sartika hadir untuk melindungi perempuan, memberikan wawasan, dan saling mengasah intelektualitas perempuan. Selain itu juga, partisipasi perempuan Tasikmalaya jarang bergabung dalam gerakan literasi. Padahal, ia yakin juga banyak perempuan Tasikmalaya yang gemar membaca. Senang berkecimplung di dunia literasi, tetapi mereka bingung masuk ke ceruk yang mana.

Berdasarkan penjelasan Inggri, Konde Sartika diambil dari dua kata. Konde merupakan sanggul sebagai identitas perempuan pada zaman dulu. Pada umumnya, perempuan di zaman dulu menggunakan konde di rambutnya. Konde juga bermakna pertahanan, pengikat, fondasi para perempuan. Sedang Sartika diambil dari nama Dewi Sartika, seorang ibu pendidikan yang lahir di Cicalengka, Bandung, 4 Desember1884 dan meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun. Salah seorang pahlawan perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan.

“Jadi, ini kan gerakan khusus perempuan dengan identitas ‘konde’. Selain itu, karena konde juga berarti pertahanan, pengikat ruh keperempuanan. Hubungannya dengan Sartika supaya perempuan di komunitas ini memiliki ruh keberanian. Seperti karakter yang dimiliki Dewi Sartika; cerdas, pejuang, mengangkat harkat dan derajat perempuan melalui pendidikan,” katanya sambil mennyesapi secangkir kopi.

Konde Sartika diharapakan dapat menjadi rahim pustaka Tasikmalaya, yang berarti melindungi para anggota yang notabene para perempuan. Sementara ini, pelibatan anggota menerima perempuan-perempuan yang berada di sekitar wilayah Tasikmalaya. Konde sartika tidak membatasi usia anggota, usia berapa pun dapat diterima. Para anggota yang telah terdata kurang-lebih sejumlah 60 perempuan. Mulai dari perempuan yang masih sekolah, kuliah, hingga memiliki pekerjaan.

Meski Konde sartika berdiri pada bulan Oktober 2017, tetapi peminatnya cukup banyak. Kegiatan yangg dilaksanakan seminggu sekali, cukup produktif. Pertemuan yang telah biasa dilaksanakan, yaitu kumpul di salah satu kedai di Tasikmalaya. Menyelenggarakan arisan buku sambil menikmati bercangkir-cangkir kopi.

Kegiatan rutin yang dilaksanakan, yaitu baca buku berjamaah, berdiskusi buku, belajar menulis, mempresentasikan hasil bacaan. Belajar berbicara di depan umum, saling mengasah intelektualitas, dan saling melengkapi wawasan baru. Inggri bersama para anggotanya berharap bahwa Konde Sartika dapat menjadikan perempuan-perempuan Tasikmalaya cerdas, berguna untuk orang-orang disekitar,  kritis, bijaksana, dan peduli dengan kemanusiaan.

Inggri dan teman-temannya berharap dapat mengembangkan Konde Sartika ke berbagai wilayah yang berada di Priangan Timur. Bahkan, hingga menjadi sebuah gerakan nasional yang diinisiasi oleh perempuan.

“Sebuah gerakan yang tidak sekadar mengajak para perempuan membaca buku. Namun, memberikan contoh dan dampak secara langsung tentang karakter seorang perempuan yang rajin membaca,” pungkasnya sebelum pamit pulang.[]