Kami warga desa Lamatutu familiar dengan sebutan “Tosiba”. Tidak hanya kami, bagi warga desa tetangga ataupun sekecamatan dengan kami umumnya juga tahu tentang Tosiba, ataupun siapa saja yang mengerti sebutan Tosiba bagi kami yang bukan bermakna nama merek laptop itu. Asal mula sebutan Tosiba untuk kami warga desa Lamatutu memang sedikit unik.
Namun mungkin bagi kebanyakan orang, menyebutkan kata tosiba yang lebih dikenal adalah merek sebuah laptop begitupun apabila mendengar sebutan tosiba. Orang akan lebih memaknai atau mengartikan dengan laptop. Sehinggga ketika menyebutkan tosiba, yang mendengar bisa menyambung dengan acer, azuz, dell, ataupun merek laptop lainnya. Kita perlu ingat tentang“homofon” dalam ilmu bahasa di mana pengucapan bisa sama tetapi tulisan dan maknanya bisa berbeda . “Toshiba” sebagai merek laptop terdapat huruf “h”, sedangkan tosiba sebutan bagi kami tidak ada huruf ”h”. Sama pengucapan tetapi beda tulisan dan maknanya. Begitulah kira – kira maksud dibalik “toshiba” dan “tosiba”. Penasaran ya dengan kisah tentang tosiba sebutan kami… ayo dibaca ya……
Pada tahun 1992, Pulau Flores diguncang bencana alam dan tsunami yang hebat. Beberapa kota dan desa yang terletak di pantai utara pulau Flores lebih mengalami dan merasakan kedahsyatan guncangan gempa dan hempasan ombak tsunami. Tak luput desa kami yang bernama Lamatutu. Kala itu, Desa Lamatutu terdiri dari 3 dusun yaitu Turubean, Tanabelen, dan Bou/ Wulokolong. Jarak dusun Tanahbelen dan Bou/ Wulokolong lebih dekat, kurang lebih 30 menit perjalanan lamanya dengan berjalan kaki, sedangkan menuju dusun Turubean yang agak jauh, bisa memakan waktu perjalanan 1,5 jam dengan berjalan kaki bila ditempuh dari Tanahbelen atau Bou/ Wulokolong. Di tempat kami inilah ada sebuah tanjung yang disebut Tanjung Bunga yang dipakai sebagai nama kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Bunga.
Waktu itu, tepatnya 12 Desember 1992, kurang lebih pukul 14.00 WITA di siang yang terik desa kami yang berada dekat pantai diguncang gempa bumi dan tsunami hebat. Waktu anak – anak sekolah telah pulang. Para orang tua yang bekerja sebagai petani masih belum pulang bertani yang lahannya terletak di daerah perbukitan yang jauh dari desa. Peristiwa ini menelan korban jiwa 138 orang baik itu bayi, anak – anak umumnya berumur pelajar PAUD/ TK, maupun SD, remaja, orang dewasa, dan lansia. Peristiwa ini sangat tragis bagi kami, rumah – rumah penduduk dan bangunan lain sekuat apapun luluh lantak runtuh dan roboh oleh guncangan gempa, hilang bersih tanpa bekas diterjang oleh gelombang tsunami. Tinggal sedikit puing dan beberapa tumbuhan tertampak setelah air tsunami surut. Semuanya hanya tinggal cerita dan kenangan.
Setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami, kami mengungsi ke daerah yang jauh dari pantai. Semua warga tinggal bersama di dusun Turubean. Warga dusun Tanahbelen dan Bou/Wulokolong bergabung dengan Turubean tetapi selang beberapa tahun warga Tanahbelen dan Wulokolong kembali ke tempat lama sebelum gempa dan tsunami yang agak jauh dari pantai, tinggal di daerah perbukitan . Kami mendapat perhatian dari pemerintah dan donatur lainnya untuk membangun kembali desa kami seperti membangun rumah warga per kepala keluarga, membangun sekolah yang terdiri dari 2 sekolah yaitu SD Katolik Tanahbelen dan SD Inpres Bou, dan membangun tempat ibadah (gereja).
Setelah adanya peristiwa gempa dan tsunami 2 Desember 1992, kami menamakan klub sepak bola dari desa kami dengan sebutan “Tosiba”. Akronim tosiba ini memiliki arti yang bagi kami sangat bermakna dan mengenang kisah kedahsyatan gempa bumi dan tsunami yang kami alami waktu itu. “Tosiba” memiliki arti TORAN SISA BENCANA ALAM”. Toran dalam bahasa nagi untuk orang Larantuka – Flores Timur artinya kami. Sehingga Toran sisa bencana alam bisa berarti kami sisa bencana. Kami adalah orang-orang yang selamat dari peristiwa bencana alam dan tsunami dahsyat itu. Ketika menyebutkan Tosiba bagi kami yang mengalami menjadi suatu kenangan peristiwanya dan juga menjadi kisah yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi sampai sekarang.
Untuk mengenang peristiwa gempa bumi dan tsunami ini, kami mendirikan sebuah tuguh kenangan, di mana pada bagian atas tuguh itu terdapat tangan yang mengatup tanda sikap orang sedang berdoa sebagai permohonan untuk perlindungan Tuhan bagi kami yang masih berziarah di dunia serta untuk semua orang yang telah meninggal khususnya para korban bencana alam dan tsunami. Pada bagian dasar tuguh itu ada sebuah prasasti yang mengisahkan secara singkat kisah kejadian bencana alam dan tsunami tersebut serta ungkapan doa memohon keselamatan dan kebahagiaan kekal bagi semua korban dalam peristiwa ini, tertulis dalam bahasa daerah Lamaholot dan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya. Prasasti itu ditandatangani oleh Ketua DPRD dan Bupati Kabupaten Flores Timur waktu itu yaitu Bapak Drs. Hendrikus Hengki Mukin, SH sebagai Ketua DPRD dan Bapak H. Iskandar Munthe sebagai Bupati. Pada prasasti itu juga terdapat gambar buku yang bertuliskan ayat Kitab Suci.
Berikut tulisan pada prasasti tersebut:
MEMORI BENCANA ALAM
12 DESEMBER 1992
(berikut dalam bahasa daerah Lamaholot)
BLERO REDO LEWO TURUBEAN
TANAH HEPAK IA BAO WOLO SUBAN
BLEBO LEBO TANAH NAMANAKEN
EKAN PEAK PI TOBI PEHAN BAREK
OLE MEAN GOLO LALI HAKA,
HAKA TADAK GAN ANA IHE IA AI SIRAPAJI
WURA MITEN BURA HETI HAU
HAU HELI NENU BAI BERA PI WATAN LAGADONI
O, AMA TETI KELEN TUKAN, SORON RAE TOBO SENAN
TETI LANGO MOEN BELEN
NEIN RAE PAE MAE WELI ULI MOEN BLOLON
(terjemahan dalam Bahasa Indonesia)
GUNCANGAN GEMPA GELEGAR
MEMBELA RETAK BUKIT BATU TURUBEAN
AIR PASANG FATAL SETINGGI 26 METER
MENGHANYUT HANCUR PADANG LADANG NAMANAKE
AMUKAN ARUS GARANG,
MENELAN KORBAN MANUSIA SEPANJANG PANTAI SIRAPAJI.
GERANG GELOMBANG BENGIS
MENERJANG WARGA REBAH TERSERAK DI PESISIR LAGADONI.
YA, BAPA SURGAWI GANJARI MEREKA TEMPAT YANG BAIK
DAN LAYAK DI RUMAH – MU
AGUNG DAN BAHAGIA DALAM RANGKULAN KASIH – MU
Pada prasasti tersebut, di sisi kiri tulisan dalam bahasa daerah Lamaholot dan kanan terjemahan dalam Bahasa Indonesia baris per baris. Sesudahnya pada bagian bawah adalah gambar buku di bagian tengah bertuliskan:
betapa berharga kasih – Mu
Anak – anak manusia berlindung dalam naungan sayap – Mu (Mazmur, 36:8)
Kemudian bagian paling akhir adalah tanda tangan dan nama Ketua DPRD di sebelah kiri dan Bupati pada sebelah kanan.
Walaupun tuguh itu dibuat tidak tepat pada tanggal 12 Desember 1992, namun untuk mengenang peristiwa itu terjadi maka sebelum bagian yang ditanda tangan oleh Ketua DPRD dan Bupati, di sebelah kanan tertulis tempat dan tanggal yang bertuliskan: Turubean, 12 Desember 1992.
Itulah cerita kami dari pelosok ujung tanjung Nusa Bunga (Flores).
Antonius Sani & Carol fr, dkk (Pengelola Taman Baca Tosiba)
#TBM Story2017 #SahabatLiterasi # relawanliterasi #forumtbm #gerakanliterasinasional #gerakanliterasilokal