Saya ingat sekali. Sekitar tahun 2000-an, saya dan teman-teman satu kampus membuat grup nasyid. Setidaknya 1,5 dasawarsa (1992-2007) nasyid sangat popular di dunia. Popularitas itu pun menular ke daerah. Tak terkecuali kami yang berada di Padang. Oleh kalangan dakwah (kampus), kami ditengarai berperan besar dalam menggaet anak muda (baca: mahasiswa) ke jalan dakwah. Tentu saja kami gembira, bangga, sekaligus besar kepala. Panggung pun sudah jadi bagian dari hari-hari kami. Hampir semua kota & kabupaten di Sumatera Barat pernah mengundang kamu untuk tampil. Kami jadi militan. Dalam mengatur jadwal tampil, merumuskan manajemen yang baik, pembagian honor yang proporsional, sistem kaderisasi yang efektif, dll. Ya, dalam segala urusan di atas. Bukan urusan dakwah. Bukan!

Tahun 2008 saya berkenalan dengan sastra. Menulis saya pilih karena saya pikir profesi ini yang paling memungkinkan saya untuk terus dekat dengan keluarga. Dimuatnya cerpen pertama saya di Kompas di pengujung tahun tersebut membuat saya percaya kalau saya memang berbakat sekaligus memandang sebelah mata pada para penulis yang tak kunjung mampu–atau paling tidak, membutuhkan waktu bertahun-tahun–menembus media massa dengan oplah tertinggi di Tanah Air itu. Saya pun makin giat menulis. Sebagian besar hari-hari saya bergumul dengan komputer, printer, dan diskusi karya. Karier kepengarangan saya makin gemilang. Saya menjadi militan. Dalam menulis, membuat daftar media yang masuk giliran saya kirimi cerpen. Membuat daftar honorarium yang saya terima tiap bulannya. Membuat daftar ide cerita yang belum saya garap. Ya, dalam urusan-urusan di atas. Bukan urusan untuk terus dekat dengan keluarga. Saya kelimpungan membagi waktu. Raga saya di rumah. Jiwa saya berkelana dari cerita ke cerita. Saya hidup dalam dunia rekaan!

Pengujung 2010 saya berkenalan dengan pegiat seni lintas-disiplin. Seni rupa, teater, dan musik. Saya merasakan kenikmatan dan sensasi kegembiraan yang lain. Namun yang lebih penting dari itu adalah, saya bisa menjadi jembatan bagi seniman lain untuk mendapatkan “panggung”-nya kembali. Saya menyelenggarakan sejumlah pertunjukan dan festival. Saya jadi militan. Dalam berkesenian. Saya pun dipercaya menjabat peran penting di perkumpulan seniman. Namun, saya baru sadar kalau apa-apa yang saya pikir baik belum tentu dipandang sebangun. Satu-dua rekan yang saya beri “ruang” itu menikam dari belakang, mengkhianati saya!

Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang seniman dari negeri seberang. Dengan semangat meletap-letup ia mengampanyekan pentingnya menyelenggarakan even kebudayaan. Saya memilih menjadi penyimak yang baik, padahal dengan energi positif yang dengan sukarela ia bagikan, saya biasanya dengan senang hati dipengaruhi. Tidak kali itu.

Saya merasa deja vu.

Baru-baru ini, saya kembali terlibat dalam keriuhan yang nyaris sama namun atas nama yang berbeda: literasi. Kegiatan-kegiatan apa pun, apa pun kontennya, dibungkus dengan “literasi”. Bahkan ekstensifikasi atau ameliorasi (atau apalah-apalah istilah yang artinya kurang lebih sama) dari definisi “literasi” itu membuat ia bisa menyasar ke dalam lini kehidupan apa pun. Literasi bisa menjadi dan dijadi(kan) apa saja. Saya yang hari ini berdiri di tengah-tengah kerumunan itu (dan menjadi bagian darinya) kerap bertanya; apakah semuanya akan berulang? Tiba-tiba saya merasa ngeri membayangkan euforia yang seperti hendak membunuh dirinya sendiri ini! Semua “orang baik” menjelma pe(ng)giat literasi atau sebaliknya.

Lagi, saya merasa deja vu.

Saya berpikir keras, keras sekali. Ketika seniman itu terus berkoar-koar tentang pentingnya menyelenggarakan festival-festival yang dinisiasi dari bawah (baca: rakyat), pikiran saya justru melayang mundur, berusaha memeras gambar-gambar yang memiliki garis dan warna dengan apa yang saya saksikan saat ini.

Saya mengernyitkan dahi seperti menahan lipatan permasalahan yang menampar-nampar dahi saya ketika pahlawan-pahlawan literasi makin terkenal, populer, dan ditahbiskan kuasa membawa banyak orang masuk surga.

Alangkah dahsyatnya kekuatan militansi.
Alangkah remah-remah rempeyeknya saya hari ini!
Bagaimana mereka mengelola kebahagiaan pribadi dan keluarga di tengah kelimun permasalahan umat yang senantiasa siap mereka carikan solusinya.
Alangkah tak ada apa-apanya saya.

Tiba-tiba saya merasa ingin menangis dalam absurditas yang gagal saya letakkan baik-baik di dalam kepala yang mulai mendingin. Oh, apakah apa yang saya alami sebelumnya adalah kesalahan-kesalahan atau ketidaklihaian saya mengelola militansi atau … memang, sebagai manusia yang hidup di tengah mozaik-mozaik urusan yang bersilintas tanpa permisi, tanpa mampu didefinisi, tanpa memberi kesempatan untuk diurai hati-hati, militansi memang tidak dibutuhkan, tidak disarankan, sebab menjadi militan artinya memilih salah satu dengan menepikan yang lain. Menenggelamkan yang lain, yang tidak kalah pentingnya, yang tidak kalah membahagiakannya bila berhasil diperlakukan baik-baik, sebagaimana mestinya. Skala prioritas, jangan mudah berpuas diri, menekuni passion–sekadar menyebut beberapa ajakan yang kadung diimani sebagian kiblat kelaziman (kebenaran)–adalah hal-hal yang tidak semestinya mendarahdaging dalam hidup manusia yang begitu kompleks, begitu kaya!

Menyitir definisi “militan” menurut KBBI (Anda bisa pakai versi mana pun untuk membuktikan uraian di atas)–bersemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras, makin menegaskan keraguan saya perihal untuk apa menjadi militan. Dalam agama sekalipun. Dalam kebaikan sekalipun–yang ini membuatnya terdengar oksimoron.

Tidak bisakah kita melakoni kehidupan ini sesuai porsinya: dengan “bersemangat (tanpa harus “tinggi-tinggi), bergairah (tanpa harus “penuh-penuh”), apalagi berhaluan keras. Apalagi merasa paling benar sendiri, paling saleh sendiri, paling tahu sendiri. Paling adil sendiri.

Mencicipi seni saja.
Berenang sekadarnya di lautan buku.
Bukan menjadi panggung itu sendiri.
Bukan menjadi penulis sekaligus pembacanya sendiri.

Wallahualam.

Lubuklinggau, September-November 2017