Categories
Kabar TBM

EPILOG HUT FORUM TBM: MERDEKA BERLITERASI UNTUK MERDEKA BERPIKIR

Oleh. Prof. Djoko Saryono

Bapak/Ibu/Hadirin/Para Sahabat Forum TBM  yang terkasih,

Menurut hemat saya, bukanlah rendahya tingkat kecerdasan (IQ), indeks atau tingkat literasi, indeks kegemaran membaca, kemampuan membaca, dan/atau kemampuan menulis (yang belakangan ini sering diramaikan di media sosial, media digital, dan forum pertemuan terkait) yang menjadi salah satu persoalan mendasar kebudayaan dan pendidikan kita. Akar fundamental persoalan kebudayaan sekaligus pendidikan kita ialah terbatas(sempit-dangkal)nya daya pikir, daya imajinasi, dan daya ekspresi bangsa kita. Tak heran, sekalipun kita selalu mengakui dan merapalkan akan pentingnya, secara real-empiris kreativitas dan inovasi bangsa kita masih jauh dari harapan dan kalah dibandingkan dengan berbagai bangsa lain di belahan bumi. Padahal diyakini banyak kalangan bahwa masa depan bangsa kita sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi.

Di samping karena ekosistem dan ruang berpikir, berimajinasi, dan berekspresi yang masih terbatas dan belum kondusif, hal tersebut disebabkan oleh tidak atau kurang merdekanya bangsa kita dalam berpikir, berimajinasi, dan berekspresi baik secara tertulis maupun lisan. Ekosistem dan ruang simbolis, sosial, dan material yang ada sering tidak mendukung atau malah membatasi kemauan, kesukacitaan, kegemaran, dan kebiasaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi bangsa kita secara merdeka dan maksimal. Demikian juga ketakbebasan, ketakberanian (ketakutan), kemalasan, dan ketakmandirian berpikir, berimajinasi, dan berekspresi mengakibatkan ketakmerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi, yang selanjutnya hal tersebut dapat menimbulkan “kemiskinan atau ketandusan” daya pikir, daya imajinasi, dan daya ekspresi bangsa.

Jika mau jujur, sekarang kita sedang berhadapan dengan ketandusan dan kegersangan, minimal kerentanan dan kerapuhan daya pikir, apalagi daya pikir kritis dan kreatif selain dibelit persoalan ketimpangan atau kesenjangan daya pikir secara spasial, geokultural, dan sosial. Pernyataan ini mungkin bisa dianggap sebagai generalisasi berlebihan karena di sana-sini di seluruh wilayah dan kawasan Indonesia tetap berlangsung upaya-upaya penumbuhkembangan dan penguatan daya pikir, daya angan, dan daya artikulasi. Akan tetapi, marilah kita juga menyadari bahwa tingkat daya pikir, daya imajinasi, dan daya artikulasi kita belumlah dalam dan/atau luas. Kita berkutat pada daya pikir literal dan komprehensif, belum biasa daya piker kritis dan kreatif (pakai kacamata Bloom); atau intransif dan semitransitif, belum daya piker transitif (pakai perspektif Freire). Oleh sebab itu, di sinilah diperlukan kebijakan dan program pemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi secara tertulis dan lisan.

Merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu selalu menggunakan sekaligus berada di dalam sistem simbol mengingat manusia makhluk simbolis (homo symbolicum/animal symbolicum) di samping di tengah konteks sistem sosial (masyarakat dan komunitas, misalnya) dan sistem material (teknologi dan ekonomi, misalnya). Artinya, manusia atau orang (termasuk bangsa Indonesia) tak mungkin (mustahil) dapat berpikir, berimajinasi, dan berekspresi di luar sistem simbol. Menurut para pakar hermeneutika, mustahil manusia berpikir, lebih-lebih berpikir kritis dan kreatif, di luar simbol – termasuk simbol verbal berupa bahasa.

Literasi merupakan salah satu sistem simbolis terpenting yang dimiliki oleh manusia atau bangsa Indonesia sehingga merdeka tidaknya manusia atau bangsa Indonesia berpikir, berimajinasi, dan berekspresi (secara) selalu menggunakan sekaligus berada di dalam sistem literasi tulis dan lisan. Di sinilah literasi terutama literasi Indonesia atau literasi bahasa Indonesia menjadi palang pintu kebebasan, keberanian, dan kemandirian berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu.

Implikasi pokoknya ada dua. Pertama, penguatan merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi harus dilandasi dan didukung oleh sistem literasi yang memungkinkan adanya kebebasan, keberanian, dan kemandirian pemakai bahasa dan sastra. Kedua, politik literasi Indonesia harus selaras dan diselaraskan, bahkan diarahkan pada terwujudnya merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi di dalam ekosistem dan ruang simbolis, sosial, dan material tertentu.

Untuk itu, haluan, desain, dan format politik literasi (di) Indonesia yang diperlukan sekarang dan masa depan adalah politik literasi yang mampu menjadi integrator sekaligus instrumen kemerdekaan (baca: kebebasan, keberanian, dan kemandirian, bahkan keotentikan) berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu. Pemerintah yang memiliki lembaga [ter]-penting bidang kebahasaan dan kesastraan (di) Indonesia harus memastikan politik literasi berjalan dan bekerja di atas rel perwujudan kemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan bereskpresi. Konkretnya, kebijakan, program, dan kegiatan kebahasaan dan kesastraan perlu difokuskan dan ditujukan demi terwujudnya merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi di dalam suatu eksosistem dan ruang kehidupan.

Berkenaan dengan itu, semua program dan kegiatan pelindungan, pengembangan, dan pembinaan, bahkan pemanfaatan literasi (di) Indonesia diabdikan bagi terciptanya kemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi manusia atau bangsa Indonesia di dalam ekosistem dan ruang kehidupan yang terbuka, inklusif, dan berkeadilan. Guna mendukung hal tersebut, perlu diperkuat tata kelola literasi yang terbuka, inklusif, dan berkeadilan di tengah lanskap kebangsaan dan keindonesiaan. Di samping itu, perlu diperkuat infrastruktur (i) linguistis dan literer-estetis, (ii) intelektual dan kultural, (iii) institusional, dan (d) fisikal (antara lain teknologi dan tempat).

Literasi sebagai sistem simbolis yang mampu menjadi pengintegrasi sekaligus instrumen berkembang dan menguatnya daya pikir, daya imajinasi, dan daya ekspresi manusia atau bangsa Indonesia tersebut dapat menjadi prakondisi merdeka berbudaya. Mengapa? Merdeka berbudaya – dalam arti kebebasan, keberanian, kemandirian, ketangguhan, dan keontentikan berbudaya – niscaya sulit, malah mustahil terealisasi bila tanpa landasan merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi secara kritis, kreatif, dan inovatif. Lebih lanjut, kemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi hanya dimungkinkan oleh sistem simbolis literasi (di) Indonesia yang terbuka, inklusif, dan kaya ragam yang disangga tradisi cetak, baca-tulis, dan kesadaran manusia.

Itu semua menunjukkan, prakondisi keberhasilan merdeka berbudaya adalah tersedianya sistem literasi yang bisa menjadi instrumen sekaligus pengintegrasi kebebasan, keberanian, kemandirian, dan ketangguhan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu. Haluan, desain, format, dan tata kelola politik literasi Indonesia harus ditujukan untuk mencapai hal tersebut. Inilah kerja kita ke depan di bidang literasi. Inilah kerja penting Forum TBM dan segenap penggelut literasi Indonesia.

 

 

Leave a Reply